Kedatuan Luwu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Ben haryoyuda (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Envapid (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(77 revisi perantara oleh 34 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{pp-semi-indef|small=yes}}
[[Berkas:Kerajaan awal SulSel.PNG|150px|thumb|right|Kerajaan-kerajaan awal di Sulawesi Selatan menurut [[I La Galigo]]]]
{{Infobox former country
'''Kesultanan Luwu''' (juga dieja '''Luwuq''', '''Wareq''', '''Luwok''', '''Luwu'''') adalah kerajaan [[Bugis]] tertua, pada [[1889]], [[Daftar Penguasa Hindia-Belanda|Gubernur Hindia-Belanda]] di [[Makassar]] menyatakan bahwa masa kejayaan Luwu antara [[abad ke-10]] sampai [[abad ke-14|14]], tetapi tidak ada bukti lebih lanjut. Luwu bersama-sama dengan [[Wewang Nriwuk]] dan [[Tompotikka]] adalah tiga kerajaan Bugis pertama yang tertera dalam epik [[I La Galigo]], sebuah karya orang Bugis. Namun begitu, I La Galigo tidak dapat diterima sepenuhnya sebagai teks sejarah karena dipenuhi dengan mitos, maka keberadaan kerajaan-kerajaan ini dipertanyakan. Pusat kerajaan ini terletak di [[Malangke, Luwu Utara|Malangke]] yang kini menjadi wilayah [[Kabupaten Luwu Utara]], [[Sulawesi Selatan]].
| native_name = ᨕᨀᨑᨘᨂᨛ ᨑᨗ ᨒᨘᨓᨘ<br>Akkarungeng ri Luwu
| conventional_long_name = Akkarungeng ri Luwu
| common_name = Akkarungeng Luwu
| status = Akkarungeng
| status_text = Bagian dari [[Indonesia]]
| event_start =
| year_start = Abad ke-14
| date_start =
| event_end =
| year_end = sekarang
| date_end =
| p1 =
| flag_p1 =
| s1 = Kesultanan Gowa
| flag_s1 = Flag_of_the_Sultanate_of_Gowa.svg
| s2 = Republik Indonesia
| flag_s2 = Flag of Indonesia.svg
| image_flag =Macangnge Flag of Luwu.jpg
| flag_caption =Bendera Macangnge
| image_coat = Flag of Sultanate of Luwu.svg
| image_map = Kerajaan awal SulSel.PNG
| image_map_caption = Kesultanan Luwu terletak di bagian utara menurut [[I La Galigo]]
| capital = [[Palopo]]
| common_languages = [[Bahasa Bugis]]; [[Bahasa Tae']]
| religion = Dari [[Tolotang]] berpindah ke [[Islam]]
| government_type = [[Monarki]], [[Akkarungeng]]
| title_leader = ''Datu Mappanjunge' ri Luwu''
| leader1 = Tumanurung
| year_leader1 = 1300-an
| era =
| life_span = 1300-sekarang
| currency = Tidak memiliki mata uang, menggunakan sistem [[Barter]]
| footnotes =
| today = {{flag|Indonesia}}<br /> <small>[[Berkas:Lambang Kabupaten Luwu.png|15px]] ([[Kabupaten Luwu]])</small><br /> <small>[[Berkas:Lambang Kabupaten Luwu Timur.png|15px]] ([[Kabupaten Luwu Timur]])</small><br /> <small>[[Berkas:Lambang Kabupaten Luwu-Utara.jpg|15px]] ([[Kabupaten Luwu Utara]])</small><br /> <small>[[Berkas:Lambang Kota Palopo.png|15px]] ([[Kota Palopo]])</small>
}}
'''Akkarungeng Luwu''' (juga dieja '''Luwuq''', '''Wareq''', '''Luwok''', '''Luwu'''') adalah salah satu [[Akkarungeng]] ({{lit|kerajaan}}) Bugis tertua. Pada 1889, [[Daftar Penguasa Hindia Belanda|Gubernur Hindia Belanda]] di [[Makassar]] menyatakan bahwa masa kejayaan Luwu antara [[abad ke-10]] sampai [[abad ke-14|14]], tetapi tidak ada bukti lebih lanjut. Luwu bersama-sama dengan [[Wewang Nriwuk]] dan [[Tompotikka]] adalah tiga kerajaan Bugis pertama yang tertera dalam epik [[I La Galigo]], sebuah karya orang suku Bugis. Namun begitu, I La Galigo tidak dapat diterima sepenuhnya sebagai teks sejarah karena dipenuhi dengan mitos, maka keberadaan kerajaan-kerajaan ini dipertanyakan. Pusat kerajaan ini terletak di [[Malangke, Luwu Utara|Malangke]] yang kini menjadi wilayah [[Kabupaten Luwu Utara]], [[Sulawesi Selatan]]. Kerajaan Luwu juga disebutkan dalam kitab [[Kakawin Nagarakretagama]], teks pada abad ke-14 sebagai daerah di bawah pengaruh kerajaan [[Majapahit]] bersama Lombok Mirah ([[Pulau Lombok|Lombok]]), Bantayan ([[Bantaeng]]) dan Udamakatraya ([[Kepulauan Talaud]]) dan pulau-pulau di sekitarnya pada periode Prabu [[Hayam Wuruk]] (1350-1389 M). Tidak ada bukti sejarah penaklukan kerajaan Luwu oleh Majapahit melainkan hanya perkawinan kerajaan.<ref>Riana, I Ketut (2009). [http://books.google.co.id/books?id=A5p9tEO1_gUC&lpg=PA215&dq=BAKULA%20PURA&pg=PA215#v=onepage&q=BAKULA%20PURA&f=false ''Nagara Krtagama'']. Penerbit Buku Kompas. h. 102. [[International Standard Book Number|ISBN]] [[Istimewa:Sumber_buku/9797094332|9797094332]].ISBN 978-979-709-433-1 "''48. Muwah tangi gurun sanusa mangaran ri lombok mirah, lawan tikang-i saksak-adi nikalun kahajyan kabeh, muwah tanahi bantayan pramuka bantayan len luwuk, tekeng udhamakatrayadi nikanang sanusa pupul''"</ref>
 
== Sejarah Kesultanan Luwu ==
Di dalam epik [[La Galigo]], terdapat versi menggambarkan sebuah wilayah pesisir dan sungai yang didefinisikan secara samar-samar yang ekonominya berbasis pada perdagangan. Pusat-pusat penting di wilayah ini adalah Luwu dan kerajaan Cina (diucapkan Cheena tapi identik dalam pengucapan bahasa Indonesia ke [[China]]), yang terletak di lembah Cenrana bagian barat, dengan pusat istananya di dekat dusun [[Sarapao]] di distrik [[Pamanna]]. Ketidakcocokan La Galigo dan ekonomi politik dengan realitas kerajaan agraris Luwu menyebabkan sejarawan Bugis mengajukan periode intervensi kekacauan untuk memisahkan keduanya secara kronologis.<ref>Pelras, C. 1996. ''The Bugis.'' Oxford: Blackwell.</ref>
=== Masa Awal Berdiri ===
Kesultanan Luwu disebut sebagai kesultanan tertua di [[Sulawesi Selatan]].
Meskipun belum diketahui secara pasti tentang tahun berdirinya kesultanan
ini, namun Kesultanan Luwu telah diakui pernah mengalami masa kejayaan
pada abad ke-XV. Jika ditarik ke
belakang, nama Kesultanan Luwu telah dikenal dalam naskah Bugis [[I La
Galigo]]. Di sini dikenal nama tokoh [[Sawerigading]] yang berasal dari
kesultanan di [[Sulawesi Selatan]] (besar kemungkinan adalah Kesultanan Luwu).
Menurut beberapa ahli, kesultanan di Sulawesi Selatan ini telah berdiri
pada abad ke-VII sampai XV. Dari pendapat sementara ini, bisa diperoleh kesimpulan awal bahwa Kesultanan Luwu telah
berdiri di Sulawesi Selatan pada abad ke-VII, bahkan bisa jadi sebelum
abad ke-VII.
 
Penelitian arkeologi dan tekstual yang dilakukan sejak tahun [[1980-an]] telah meruntuhkan kronologi ini.<ref>Bulbeck, D. and I. Caldwell. 2000. ''Land of iron; The historical archaeology of Luwu and the Cenrana valley.'' Hull: Centre for South East Asian Studies, University of Hull.</ref> Survei dan penggalian yang ekstensif di Luwu telah mengungkapkan bahwa Luwu tidak lebih tua dari kerajaan agraris yang berdiri paling awal di semenanjung barat daya. Pemahaman yang baru adalah bahwa orang Bugis yang berbicara dengan pemukim dari lembah [[Cénrana]] barat mulai menetap di sepanjang batas pantai sekitar tahun 1300. [[Teluk Bone]] bukanlah semata daerah yang berbahasa Bugis saja: ini adalah daerah dengan keragaman etnis yang sangat beragam. Orang [[Suku Pamona|Pamona]], [[Padoe]], [[Toala]], [[Wotu]] dan [[Lemolang]] tinggal di dataran rendah pesisir dan kaki bukit, sedangkan lembah dataran tinggi merupakan rumah bagi kelompok yang berbicara dalam berbagai bahasa Sulawesi Tengah dan Selatan lainnya. Orang-orang Bugis ditemukan hampir di sepanjang pantai, yang terbukti bahwa mereka bermigrasi untuk berdagang dengan masyarakat adat Luwu. Sudah jelas bahwa dari sumber arkeologi dan tekstual bahwa Luwu adalah koalisi Bugis dari berbagai kelompok etnis, yang dipersatukan oleh hubungan perdagangan.
Nama Luwu disebut dalam karya [[suku Bugis]], I La Galigo. Bersama dengan
Kesultanan Wewang Nriwuk dan Tompotikka, Luwu merupakan salah satu dari
tiga kesultanan pertama yang ditulis di dalam I La Galigo
(http:wiki-indonesia.club). Pada bagian awal kisah dalam I La Galigo
yang lazim disebut mula tau, dikisahkan tentang sejarah awal mula
masyarakat Bugis. I La Galigo membagi bumi menjadi tiga bagian, bumi
bagian atas, tengah, dan bawah. Kehidupan masyarakat Bugis dimulai di
daerah tengah yang bernama Ware (Wareq atau Luwu). Batara Guru
dianggap sebagai leluhur orang Bugis dari dunia tengah yang menikah
dengan seorang wanita dari dunia bawah yang bernama We Nyelliqtomaq.
Keturunan dari keduanya kemudian berturut-turut menjadi lakon dalam
kisah I La Galigo selanjutnya. I La Galigo menyajikan kisah yang
terkesan sebagai suatu sejarah yang diformulasikan ke dalam karya
sastra. Rafles menyebut I La Galigo sebagai sebagai teks sejarah,
khususnya pada bagian tokoh Sawerigading (Muhammad Yunus Hafid dan
Mukhlis Hadrawi, 1998:12).
 
Ekonomi politik Luwu didasarkan pada peleburan bijih besi yang dibawa turun, melalui pemerintahan Lémolang di [[Baebunta, Luwu Utara|Baebunta]], ke [[Malangke, Luwu Utara|Malangke]] di dataran pantai tengah. Di sini besi yang akan dilelehkan itu diolah menjadi senjata dan alat pertanian dan diekspor ke dataran rendah selatan yang memproduksi beras. Hal ini membawa kekayaan yang besar, dan pada abad [[abad ke-14|ke-14]] Luwu telah menjadi entitas yang ditakuti di bagian selatan semenanjung barat daya dan tenggara. Penguasa pertama yang diketahui secara nyata adalah [[Dewaraja]] (memerintah 1495-1520). Cerita saat ini di Sulawesi Selatan menceritakan serangan agresifnya terhadap kerajaan tetangga, [[Kerajaan Wajo|Wajo]] dan [[Kerajaan Sidenreng|Sidenreng]]. Kekuasaan Luwu mulai memudar pada abad [[abad ke-16|ke-16]] oleh meningkatnya kekuatan kerajaan agraris dari selatan, dan kekalahan militernya ditetapkan dalam [[Tawarik Bone]].
Tempat yang bernama Luwu memang menjadi sentral dalam I La Galigo.
Luwu merupakan sebuah tempat di daerah sebelah utara Teluk Bone.
Sehubungan dengan kisah yang diangkat dalam I La Galigo, sebagian
orang beranggapan bahwa Luwu dianggap sebagai awal mula keberadaan
orang-orang Bugis. Menurut sejarah politik pemerintahan orang Bugis,
Kesultanan Luwu menjadikan Ware (Wareq) sebagai pusat pemerintahan
sekaligus menjadi kesultanan tertua di tanah Bugis.
 
Pada tanggal 4 Februari 1605, [[Andi Pattiware'|Andi Pattiware' Daeng Parabung]] selaku Datu Luwu XV menjadi raja pertama dari wilayah [[Sulawesi Selatan]] yang memeluk agama Islam.<ref>{{Cite book|last=Amir, A., dan Utomo, B. B.|date=2016|url=http://rumahbelajar.id/Media/Dokumen/5cff5f5fb646044330d686d0/43d180873347a0b445e2c3d7f783ef51.pdf|title=Aspek-Aspek Perkembangan Peradaban Islam di Kawasan Indonesia Timur: Maluku dan Luwu|location=Jakarta|publisher=Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan|isbn=|editor-last=Sastrodinomo, K., dan Burhanudin, J.|pages=3|url-status=live}}</ref> Ia kemudian menggunakan gelar Sultan Muhammad Wali Mu'zhir (atau Muzahir) al-din. Dia dimakamkan di Malangke dan disebut dalam kronik sebagai [[Matinroe ri Wareq]], ("Dia yang tidur di Wareq"), bekas pusat istana Luwu. Guru agamanya, [[Dato Sulaiman]], dikuburkan di dekatnya. Sekitar tahun 1620, Malangke ditinggalkan dan sebuah ibu kota baru didirikan di sebelah barat, [[Kota Palopo|Palopo]]. Tidak diketahui mengapa wilayah Malangke, yang populasinya mungkin mencapai 15.000 pada abad ke-16, tiba-tiba ditinggalkan: kemungkinan besar termasuk penurunan harga barang besi dan potensi ekonomi perdagangan dengan suku-suku dari dataran tinggi [[Suku Toraja|Toraja]].
Kesultanan Luwu yang terbentuk dari suku Bugis ini disebut dengan beberapa
nama, seperti Luwuq, Wareq, Luwok, dan Luwu.
Bersama dengan [[Kesultanan Gowa]] dan [[Kesultanan Bone]], Kesultanan Luwu disebut sebagai Kesultanan Tellu Bocco-e (dalam bahasa Bugis, tellu artinya tiga dan bocco-e artinya yang penuh atau
utama). Kesultanan Luwu terletak di Teluk Bone bagian utara dan beribukota
di Palopo (atau disebut juga dengan nama Wareq). Di tempat yang berjarak sekitar 380 km
dari Gowa ini bermukim datu atau raja Kesultanan Luwu
 
[[Berkas:Begrafenis van de Datoe We Kambo Daeng Risompa van Loewoe zelfbestuurster te Palopo, KITLV 29807.tiff|thumb|Upacara pemakaman Datu We Kambo Daeng Risompa. Bendera Macangnge bisa dilihat.]]
Pada abad ke-XIV sampai XV, Kesultanan Luwu mencapai puncak kejayaannya. Pernyataan ini dikuatkan oleh
Pada abad [[abad ke-19|ke-19]], Luwu telah menjadi kerajaan kecil. [[James Brooke]], yang di kemudian hari menjadi Raja [[Sarawak]], menulis pada tahun [[1830-an]] bahwa "Luwu adalah kerajaan Bugis tertua, dan yang paling rusak [...] Palopo adalah kota yang menyedihkan, yang terdiri dari sekitar 300 rumah, tersebar dan bobrok [...] Sulit dipercaya bahwa Luwu bisa menjadi negara yang kuat, kecuali dalam keadaan peradaban asli yang sangat rendah."<ref>Brooke, J. 1848. ''Narrative of events in Borneo and Celebes down to the occupation of Labuan. From the Journals of James Brooke, Esq. Rajah of Sarawak and Governor of Labuan [. . .] by Captain [[Rodney Mundy]].'' London: John Murray.</ref>
Gouverneur van Celebes (Gubernur Sulawesi), Braam Morri pada tahun 1889
yang menyatakan bahwa antara abad ke-X sampai ke-XIV, Kesultanan Luwu
mencapai puncak kejayaannya. Sektor pendukung kejayaan Kesultanan Luwu
terutama berasal dari perdagangan bijih besi dan dan barang-barang yang
berbahan dasar besi. Komoditas ini kemudian diperdagangkan dengan
negara-negara agraria Bugis di selatan Sulawesi. Dari sinilah kemakmuran
Kesultanan Luwu menjadikannya sebagai kesultanan terkuat di sebelah tenggara
dan barat daya Sulawesi
 
Pada tahun [[1960-an]], Luwu menjadi wilayah fokus pemberontakan [[DI/TII]] yang dipimpin oleh [[Kahar Muzakkar]]. Dewasa ini, wilayah bekas kerajaan adalah rumah bagi tambang [[nikel]] terbesar di dunia dan mengalami ledakan ekonomi yang didorong oleh migrasi ke dalam, namun masih memiliki sebagian besar atmosfer perbatasan aslinya.
Kekuatan Kesultanan Luwu menjadi alasan untuk meluaskan wilayah kekuasaan.
Pada abad ke-XV, Kesultanan Luwu menguasai Sungai Cenrana yang merupakan
penghubung dengan Tasik Besar. Penguasaan ini berkaitan erat dengan
pengamanan jalur perdagangan sebagai tulang punggung perekonomian di
Kesultanan Luwu. Akan tetapi, sekitar tahun 1500 - 1530 Masehi, kekuasaan
Kesultanan Luwu mulai merosot seiring dengan semakin kuatnya Kesultanan
Wajo. Bahkan akibat yang paling parah, kawasan Sungai Cenrana akhirnya
diserahkan kepada Kesultanan Wajo. Ketika itu Kesultanan Wajo diperintah
oleh Arung Matoa Puang ri Ma?galatung, sedangkan Kesultanan Luwu
diperintah oleh Dewaraja
 
== Daftar Penguasa Luwu ==
Kekuasaan Kesultanan Luwu semakin merosot pada abad ke-XVII. Kala itu,
[[File:COLLECTIE TROPENMUSEUM De vorstin van Luwu Wé Kambo Daëng Risompa en haar tweede echtgenoot La Batjo To Vapilé Opoe Patoenroe eerste lid van de Andat van Luwu TMnr 10001343.jpg|thumb|Ratu Luwu, Wé Kambo Daëng Risompa, dan suami kedua, La Batjo To Vapilé Opoe Patoenroe]]
Kesultanan Bone mulai meningkatkan kekuasaan dengan melebarkan wilayah.
Penguasa Luwu menggunakan gelar ''Datu Mappanjunge' ri Luwu'' yang artinya "Raja yang berpayung di Luwu" atau "Raja yang menaungi Luwu", biasa disebut menjadi Datu Luwu, Pajung Luwu, atau Pajunge'.
Akibat dari semakin kuatnya Kesultanan Bone, pada pertengahan abad
ke-XVII, kemegahan Kesultanan Luwu mulai tertandingi seiring dengan
meningkatnya kebesaran Kesultanan Bone di bawah pemerintahan Arung Palaka
 
'''Daftar Datu Luwu'''
=== Masa Perlawanan Terhadap Penjajahan Belanda ===
* Mitos: Simpurusiang, Manurung ri Lompo (Sengkang, Wajo)
Pada awal abad ke-20, Kesultanan Bone telah takluk di tangan Pemerintah
* Mitos: Anakaji, anak Simpurusiang
Hindia Belanda. Penaklukan atas Kesultanan Bone ternyata berimbas dengan
* Mitos: Wé Matengngnaémpong, anak Anakaji
penaklukan terhadap Kesultanan Luwu dan kesultanan-kesultanan lainnya di
* Legendaris: Tampabalusu, Tomanurung di Tompotikka (Sulteng)
Sulawesi Selatan. Pemerintah Hindia Belanda menghendaki kekuasaan mutlak
* Legendaris: Tanrabalusu, anak Tampabalusu
di bumi Sulawesi Selatan. Atas dasar ambisi ini, Pemerintah Hindia
* Semi-legendaris: To Appanangi
Belanda mengirimkan utusan untuk membuat perjanjian pendek (korte
* Semi-legendaris: Batara Guru ''(bukan Bataraguru dari Galigo)''
verklaring) yang ditujukan kepada berbagai kesultanan di Sulawesi
* Akhir abad ke-15: To Sangkawana (= La Pasampoi, Maddanreng ri Talottenreng in Wajo - lihat Lontara Sukkuna Wajo)
Selatan, termasuk di dalamnya Kesultanan Luwu. Secara tegas, Kesultanan Luwu
* Akhir abad ke-15: La Busatana (Lontara Sukkuna Wajo)
menolak menandatangani perjanjian dengan Belanda. Akibat dari penolakan
* Awal abad ke-16: Déwaraja, Datu Sangaria, Datu Kellali
ini, perang antara Kesultanan Luwu dan Pemerintah Hindia Belanda meletus.
* Abad ke-16: Datu ri Saolebbi
* Abad ke-16: Maningo ri Bajo
* 1587-1615: Andi Pattiware’ Daéng Parabung atau Pati Arase, bergelar Petta Matinroé ri Malangké (Petta Luwu) "sebagai raja pertama yang menerima ajaran syariat islam yang di bawah olek Datuk Sulaiman"
* 1615-1637: Pati Pasaung, Sultan Abdullah
* 1637-1663: La Basso atau La Pakéubangan atau Sultan Ahmad Nazaruddin, bergelar Petta Matinroé ri Gowa (Lokkoé)
* 1663-1704: Settiaraja, bergelar Petta Matinroé ri Tompoq Tikkaq
* 1704-1704? Petta Matinroe’ ri Polka, memerintah ketika Settiaraja pergi membantu Gowa menghadapi VOC.
* 1704-1715: La Onro Topalaguna, bergelar Petta Matinroé ri Langkanaé
* 1706-1715: Batari Tungké, bergelar Sultan Fatimah Petta Matinroé ri Pattiro
* 1715-1748: Batari Toja, bergelar Sultan Zaenab Matinroé ri Tippulué
* 1748-1778: Wé Tenriléléang, bergelar Petta Matinroé ri Soréang
* 1760-1765: Tosibengngareng, bergelar La Kaséng Patta Matinroé ri Kaluku Bodoé
* 1778-1810: La Tenripeppang atau Daéng Paliq, bergelar Petta Matinroé ri Sabbangparu
* 1810-1825: Wé Tenriawaru atau Sultan Hawa, bergelar Petta Matinroé ri Tengngana Luwu
* 1825-1854: La Oddang Péro, bergelar Petta Matinroé Kombong Beru
* 1854-1880: Patipatau atau Abdul Karim Toapanyompa, bergelar Petta Matinroé ri Limpomajang
* 1880-1883: Wé Addi Luwu, bergelar Petta Matinroé Temmalullu
* 1883-1901: Iskandar Opu Daéng Paliq, bergelar Petta Matinroé ri Matekko
* 1901-1935: [[Andi Kambo]] atau disebut juga [[Siti Husaimah Andi Kambo Opu Daéng Risompa Sultan Zaenab]], bergelar Petta Matinroé ri Bintanna.<ref>Disebut juga [[Wé Kambo Daéng Risompa]] (1898-1935)??</ref>
* 1935-1945 & 1950-1965: [[Andi DJemma|Andi Djemma]], bergelar Petta Matinroe’ ri Amaradekanna merupakan Pajung [[Pahlawan Nasional]] Republik Indonesia dari Sulawesi Selatan
* 1945-1950: Andi Jelling, merupakan Pajung, memerintah ketika Andi Jemma ditahan dan diasingkan oleh Belanda.
* 1965-1987 : Andi Bau Alamsyah, bergelar Petta MatinroE ri Tellu Boccona
* 1987-1994 : Hj. Andi Bau Tenripadang, bergelar Opu Datu
* 1994-2012 : Wé Andi Addi Luwu, bergelar Opu Daengna Patiware
* 2012: [[Andi Maradang Mackulau]] Opu To Bau diangkat pada tahun 2012 sampai sekarang
 
== Dalam budaya populer ==
Utusan dari Pemerintah Hindia Belanda mendarat di wilayah Kesultanan Luwu
* Pada permainan komputer [[Age of Empires II: The Age of Kings|Age of Empires II]] ekspansi keempat ''[http://ageofempires.wikia.com/wiki/Age_of_Empires_II_HD:_Rise_of_the_Rajas Rise of Rajas]'' yang dirilis pada Desember 2016, Kerajaan Luwu menjadi lawan dari pemain pada misi keempat kampanye [http://ageofempires.wikia.com/wiki/Gajah_Mada Gajah Mada] berjudul '[http://ageofempires.wikia.com/wiki/Serving_the_New_King Serving the New King]'. Pada misi tersebut pemain memainkan kerajaan [[Majapahit]] melawan kerajaan di Timur Indonesia, diantaranya [[Kerajaan Kutai|Kutai]], [[Kesultanan Makassar|Makassar]] dan Luwu.
pada tanggal 14 Juni 1905 untuk menyodorkan perjanjian pendek (korte
verklaring) kepada raja Kesultanan Luwu saat itu, Andi Kambo. Seminggu
kemudian, pada tanggal 21 Juni 1905, Gouverneur van Celebes (Gubernur
Sulawesi) Kroesen yang merupakan perwakilan dari Pemerintah Hindia
Belanda membuat nota perjanjian kepada Andi Kambo. Belanda tak
memerlukan waktu yang terlalu lama untuk mengetahui sikap Andi Kambo
terhadap perjanjian tersebut. Pada tanggal 1 Juli 1905, surat dari Andi
Kambo telah sampai ke tangan Pemerintah Hindia Belanda. Surat itu dengan
tegas memuat penolakan atas inisiatif Belanda yang ingin membuat
perjanjian pendek dengan Kesultanan Luwu Sikap Andi Kambo diartikan sebagai bentuk perlawanan. Genderang perang akhirnya ditabuh Belanda. Kesultanan Luwu diserang oleh Belanda.
 
== Lihat juga ==
Andi Kambo sadar bahwa penolakannya atas perjanjian pendek tentu
menimbulkan perang. Beliau kemudian bermusyawarah dengan hadat luwu
untuk menyiapkan pertahanan apabila pasukan Belanda benar-benar
menyerang Luwu. Berbagai kubu pertahanan dibangun dan menunjuk Andi
Tadda sebagai pemimpin perlawanan terhadap Belanda. Andi Tadda membangun
kubu pertahanan di Ponjalae. Tepat seperti dugaan Andi Kambo sebelumnya,
Belanda benar-benar mengerahkan kekuatan militer ke Kesultanan Luwu.
Pendaratan pertama pasukan Belanda terjadi pada tanggal 9 September 1905
di bawah pimpinan Kolonel C.A. van Loenen. Perang pertama antara pihak
Belanda dan Kesultanan Luwu yang dimotori oleh Andi Tadda meletus pada
tanggal 12 September 1905.
 
Perlawanan Andi Tadda hanya berlangsung selama 14 jam. Andi Tadda gugur
di Ponjalae pada tanggal 12 September 1905. Atas kegigihannya dalam
mempertahankan bumi Luwu dari rongrongan penjajah, Andi Tadda mendapat
gealr Opu Pawelai Ponjalae (artinya kurang lebih, yang telah meninggal
dunia di Ponjalae). Pasca kematian Andi
Tadda, Kesultanan Luwu tak lagi memiliki pimpinan perlawanan. Ditambah
lagi, Belanda mengancam apabila Andi Kambo tidak menyerah dan
menandatangi perjanjian pendek, maka Belanda akan membakar Palopo. Andi
Kambo akhirnya menyerah dan menandatangani perjanjian pendek dengan
Belanda. Penyerahan ini terjadi pada tanggal 19 September 1905. Sejak saat itu, Kesultanan Luwu telah takluk dan
berada di bawah penguasaan Belanda.
 
Penaklukan Kesultanan Luwu oleh Belanda berimplikasi pada pengaturan
sistem pemerintahan yang berada di Kesultanan Luwu. Belanda mengatur
sistem pemerintahan dengan membagi Kesultanan Luwu menjadi dua bagian,
yaitu pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh pihak Belanda
dan pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh pihak swapraja (Kesultanan
Luwu). Selain itu, wilayah Kesultanan Luwu juga dibagi menjadi 5 onder
afdeling, yaitu Palopo, Makale, Masamba, Malili, dan Mekongga,
. Sistem pemerintahan di Kesultanan Luwu ini
tetap berlaku ketika Jepang menjajah Sulawesi Selatan menggantikan Belanda.
 
Pada era kemerdekaan, Kesultanan Luwu yang diperintah oleh Andi Jemma
(putera dari Andi Kambo) dikukuhkan kembali kedudukannya sebagai Datu
Luwu. Pada tahun 1953, Andi Jemma diangkat menjadi Penasehat Gubernur
Sulawesi, yang waktu itu dijabat oleh Sudiro. Ketika Luwu dijadikan
Pemerintahan Swapraja, Andi Jemma diangkat sebagai Kepala Swapraja Luwu
(periode 1957-1960). Andi Jemma merupakan penguasa (datu) Kesultanan
Luwu terakhir. Sejarah Kesultanan Luwu berakhir ketika Andi Jemma wafat
pada tanggal 23 Februari 1965 di Kota Makassar
 
== Sistem Pemerintahan ==
Struktur pemerintahan di Kerajaan Luwu menempatkan status seorang raja sebagai pemimpin tertinggi. Raja merupakan pelaksana kekuatan tertinggi sebagai penyatu kekuatan magis dan mistis. Di Kerajaan Luwu kedudukan seorang raja bergelar mangkue(yang bertahta) atau payungnge ri Luwu. Sebutan ini mengalami perubahan ketika ajaran Islam mulai masuk ke Kerajaan Luwu pada abad ke-16. Kala itu, Datu Luwu ke-XIII yang bernama La Patiware Daeng Parabbung (1585 - 1610 M) menerima dan masuk Islam pada tahun 1604 1605. Beliau menjadi raja pertama dari Kerajaan Luwu yang memeluk Islam. Sehubungan dengan telah masuknya La Patiware Daeng Parabbung ke dalam agama Islam, maka sebutan raja atau datu di Kerajaan Luwu berubah menjadi sultan sebagaimana gelar yang kemudian disandang oleh La Patiware Daeng Parabbung, yaitu Sultan Muhammad.
 
Menurut hukum adat, yang di wilayah Bone disebut Latowa, di Gowa disebut Rappang, dan di Wajo disebut Lontara, sistem pengangkatan seorang raja dilakukan dengan cara Raja sultan diangkat oleh Dewan Pemangku Adat. Raja diangkat melalui pemilihan calon-calon yang telah ditentukan dan disaring oleh Dewan Pemangku Adat yang berjumlah 40 orang. Sistem pengangkatan yang cukup ketat ini
diberlakukan karena kedudukan raja adalah pemimpin tertinggi. Sehubungan dengan kedudukan yang ditinggikan daripada masyarakat di sekitarnya, maka tidak jarang martabat seorang raja dihubungkan dengan unsur kedewaan, raja merupakan penjelmaan dari dewa. Selain itu, rakyat di Kerajaan Luwu juga hanya mau diperintah oleh keturunan dari tumanurung, yaitu wakil dewata di dunia.
 
=== Jabatan dalam Pemerintahan ===
Di bawah kedudukan seorang raja diangkat seorang opu patunru, sebuah jabatan yang setara dengan kedudukan mangkubumi (perdana menteri). Putra mahkota didudukan dalam suatu dewan pemerintahan yang bernama hadat tinggi(pakettena adee) dan hadat sembilan (ade aseraE). Kedua
nama ini lazim disebut sebagai hadat luwu. Hadat luwu terdiri dari opu patunru (perdana menteri), opu pabbicara (menteri kehakiman), opu tomarilaleng (menteri dalam
negeri), dan opu balirante (menteri kesejahteraan). Dewan pemerintahan ini merupakan pemangku kekuasaan yang kedudukannya setara dengan jabatan legislatif pada masa sekarang.
 
Opu patunru yang setara kedudukannya dengan seorang perdana menteri membawahi dua jabatan, yaitu opu pabicara dan opu tomarilang yang bertugas untuk mengurus segala urusan yang berhubungan dengan
rumah tangga di dalam istana. Di bawahnya terdapat opu bale rante yang mempunyai tugas seperti bendahara istana sekaligus mengurus urusan perdagangan dan hubungan ke luar kerajaan. Kerajaan Luwu tidak mengenal istilah menteri luar negeri karena tugas tersebut telah diemban sekaligus oleh opu bale rante.
 
Selain jabatan-jabatan di atas, terdapat pula jabatan-jabatan lain, seperti: opu wagee yang bertugas sebagai kepala pembawa sirih bipang, opu cenrana yang bertugas sebagai kepala pasukan, dan opu lalantoro yang menjabat sebagai kepala urusan rumah tangga putra mahkota. Sedangkan untuk urusan keagamaan, diurus oleh kadi yang dibantu oleh imam dan bilal.
 
=== Sidang Kerajaan ===
Ketika Islam telah masuk dan diterima oleh Kerajaan Luwu, dikenal adanya
sistem seba, yaitu suatu acara pertemuan atau sidang raja-raja. Pada
kesempatan ini, para penguasa di daerah taklukan akan menghadiri acara
sebagai tanda kesetiaan terhadap negara induk. Sistem seba diadakan
setahun sekali pada Hari Raya Idul Fitri. Konsep acara seba menjadi
tanggungjawab dewan pemerintahan, yaitu hadat luwu. Sebelum acara
seba berlangsung, dewan pemerintahan mengundang para kepala negara
taklukan untuk datang. Ketika para pemimpin dari negara taklukan telah
hadir, maka para pemimpin dari negara taklukan telah memperlihatkan
loyalitas mereka terhadap raja negara induk.
 
Selain seba, hubungan antara negara induk dengan negara bawahan juga
diatur dalam upaya perluasan wilayah. Apabila negara bawahan akan
memperluas wilayah, negara tersebut harus mendapatkan restu dari negara
induk. Hal ini dilakukan karena telah menjadi kesepakatan bahwa antara
negara induk dengan negara bawahan harus saling menghormati dan
mendukung, terutama apabila pada salah satu negara terjadi pertikaian
dengan negara lain. Bantuan secara otomatis akan diberikan oleh negara
induk kepada negara bawahan apabila terjadi penyerangan oleh musuh, baik
yang berasal dari dalam maupun luar.
 
=== Sistem Pemerintahan Masa Penjajahan Belanda ===
Ketika Belanda menguasai Kerajaan Luwu pada tahun 1905, sistem
pemerintahan dibagi menjadi dua bagian, yaitu pemerintahan tingkat
tinggi yang dipegang langsung oleh pihak Belanda dan pemerintahan
tingkat rendah yangdipegang oleh pihak swapraja (Kerajaan Luwu). Belanda
kemudian membagi wilayah Kerajaan Luwu menjadi beberapa bagian, yaitu:
# Wilayah Poso (yang kini termasuk ke dalam wilayah [[Sulawesi Tengah]]) yang semula termasuk daerah Kerajaan Luwu dipisahkan dan dibentuk menjadi satu afdeling tersendiri.
# Distrik Pitumpanua (sekarang Kecamatan Pitumpanua dan Keera) dipisah dan dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo.
# Dibentuk satu afdeling di Luwu yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen yang berkedudukan di [[Palopo]].
 
== Lihat pula ==
* [[Istana Luwu]]
* [[Tanah Luwu]]
Baris 196 ⟶ 102:
* [[Sawerigading]]
 
== Sumber ==
{{Kerajaan di Sulawesi}}
<references />
{{indo-sejarah-stub}}
 
 
[[Kategori:Kesultanan Luwu| ]]
{{Kerajaan di Sulawesi}}{{indo-sejarah-stub}}
 
[[Kategori:Kedatuan Luwu| ]]
[[Kategori:Kerajaan di Nusantara|Luwu]]
[[Kategori:Kerajaan di Sulawesi Selatan|Luwu]]
Baris 206 ⟶ 115:
[[Kategori:Kabupaten Luwu Timur]]
[[Kategori:Kota Palopo]]
 
[[en:Luwu]]
[[fr:Royaume de Luwu]]
[[ms:Kerajaan Luwuk]]