Orde Baru: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Dwinug (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
 
(298 revisi antara oleh lebih dari 100 100 pengguna tak ditampilkan)
Baris 1:
{{Untuk|tujuan geo-politik dan ideologis masa depan Jerman Nazi|Orde Baru (Nazisme)}}
{{pp-semi-indef|small=yes}}
{{Infobox historical era
| name = Orde Baru
| location = [[Indonesia]]
| start = 1966
| end = 1998
| image =Collectie NMvWereldculturen, TM-20019413, Dia- Schildering ter gelegenheid van het 40-jarig jubileum van de viering van Onafhankelijkheidsdag, Henk van Rinsum, 08-1985.jpg
| alt =
| caption = Lukisan di [[Medan Merdeka]] untuk memperingati [[Hari Kemerdekaan Republik Indonesia|hari kemerdekaan Indonesia]] yang ke-40
| before = [[Transisi ke Orde Baru]]
| including = [[Kepresidenan Sementara Soeharto|Kepresidenan sementara Soeharto]]
| after = [[Era Reformasi]]
| monarch =
| leaders= [[Soeharto]]
| key_events = {{bulleted list|[[Pembantaian di Indonesia 1965–1966|Pembantaian massal di Indonesia]]|Penandatanganan ''[[Surat Perintah Sebelas Maret|Supersemar]]''|[[Satelit Palapa|Peluncuran Palapa tahun 1976]]|[[Pendudukan Timor Leste oleh Indonesia|Pendudukan Timor Timur]]|[[Genosida Timor Timur]]|[[Krisis finansial Asia 1997]]|[[Kerusuhan Mei 1998]]|[[Kejatuhan Soeharto]]}}
}}
{{Sejarah Indonesia}}
 
'''Orde Baru''' (sering kali disingkat '''Orba''') adalah sebutan bagi masa pemerintahan [[Presiden Republik Indonesia|Presiden]] kedua Indonesia, [[Soeharto]], diyang menggantikan [[IndonesiaOrde Lama (1959–1965)|Orde Lama]] presiden sebelumnya, [[Soekarno]]. Lahirnya Orde Baru menggantikandiawali dengan dikeluarkannya [[SejarahSurat IndonesiaPerintah (1950-1959)Sebelas Maret|OrdeSurat LamaPerintah 11 Maret 1966]].{{sfn|Mustofa yangSh.|2009|p=2}} merujukOrde kepadaBaru eraberlangsung pemerintahandari tahun [[Soekarno1966]] hingga [[1998]]. OrdeDalam Barujangka hadirwaktu dengantersebut, semangat[[ekonomi "koreksiIndonesia]] total"berkembang ataspesat penyimpanganmeskipun yanghal dilakukanini olehterjadi Soekarnobersamaan padadengan masapraktik Orde[[korupsi]] Lamayang merajalela dan pengekangan kebebasan berpendapat.
 
== Latar belakang ==
Orde Baru berlangsung dari tahun [[1966]] hingga [[1998]]. Dalam jangka waktu tersebut, [[ekonomi Indonesia]] berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik [[korupsi]] yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Meski telah merdeka, Indonesia pada tahun 1950 hingga 1960-an berada dalam kondisi yang relatif tidak stabil.{{sfn|Vatikiotis|1998|p=1}} Bahkan, setelah Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949, keadaan politik maupun ekonomi di Indonesia masih labil karena ketatnya persaingan di antara kelompok-kelompok politik.{{sfn|Vatikiotis|1998|p=1}} Keputusan Soekarno untuk mengganti sistem parlemen dengan [[Demokrasi terpimpin di Indonesia|Demokrasi Terpimpin]] memperparah kondisi ini dengan memperuncing persaingan antara angkatan bersenjata dengan [[Partai Komunis Indonesia]], yang kala itu berniat mempersenjatai diri.{{sfn|Vatikiotis|1998|p=1}} Sebelum sempat terlaksana, peristiwa [[Gerakan 30 September]] terjadi dan mengakibatkan diberangusnya [[Partai Komunis Indonesia]] dari Indonesia.{{sfn|Vatikiotis|1998|p=1}} Sejak saat itu, kekuasaan Soekarno perlahan-lahan mulai melemah.{{sfn|Vatikiotis|1998|p=2}}
 
== Supersemar dan kebangkitan ==
Masa Jabatan Presiden Suharto
=== Kelahiran Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar) ===
[[Berkas:Surat Perintah Sebelas Maret - President version.jpg|200px|jmpl|Di kemudian hari, Supersemar diketahui memiliki beberapa versi. Gambar ini merupakan Supersemar versi Presiden.]]
Orde Baru lahir dari diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret ([[Supersemar]]) pada tahun 1966, yang kemudian menjadi dasar legalitasnya.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=2}} Orde Baru bertujuan meletakkan kembali tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=2}}
 
Kelahiran Supersemar terjadi dalam serangkaian peristiwa pada tanggal 11 Maret 1966. Saat itu, [[Kabinet Dwikora II|Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan]] yang dipimpin oleh Presiden Soekarno sedang berlangsung.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=3}} Di tengah-tengah acara, [[ajudan]] presiden melaporkan bahwa di sekitar istana terdapat pasukan yang tidak dikenal.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=2}} Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Presiden Soekarno menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II [[Johannes Leimena|Dr. Johannes Leimena]] dan berangkat menuju [[Istana Bogor]], didampingi oleh Waperdam I [[Dr. Subandrio|Dr Subandrio]], dan Waperdam III [[Chaerul Saleh]].{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=3}} Leimena sendiri menyusul presiden segera setelah sidang berakhir.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=3}}
Pada [[1968]], [[MPR]] secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun [[1973]], [[1978]], [[1983]], [[1988]], [[1993]], dan [[1998]].
 
Di tempat lain, tiga orang perwira tinggi, yaitu [[Mayor Jenderal]] [[Basuki Rachmat]], [[Brigadir Jenderal]] [[M. Yusuf]], dan [[Brigadir Jenderal]] [[Amir Machmud]] bertemu dengan [[Letnan Jenderal]] [[Soeharto]] selaku Menteri Panglima [[Angkatan Darat Indonesia|Angkatan Darat]] dan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban [[Pangkopkamtib|(Pangkopkamtib)]] untuk meminta izin menghadap presiden.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=3}} Segera setelah mendapat izin, pada hari yang sama tiga perwira tinggi ini datang ke Istana Bogor dengan tujuan melaporkan kondisi di ibu kota Jakarta meyakinkan Presiden Soekarno bahwa [[Angkatan Bersenjata Republik Indonesia]], khususnya [[Angkatan Darat]], dalam kondisi siap siaga.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=3}} Namun, mereka juga memohon agar Presiden Soekarno mengambil tindakan untuk mengatasi keadaan ini.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=3}}
Politik
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.
 
Menanggapi permohonan ini, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah yang ditujukan kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=3}} Perumusan surat perintah ini sendiri dibantu oleh tiga perwira tinggi ABRI, yaitu [[Mayor Jenderal]] [[Basuki Rahmat|Basuki Rachmat]], [[Brigadir Jenderal]] M. Yusuf, [[Brigadir Jenderal]] [[Amirmachmud|Amir Machmud]], dan [[Brigadir Jenderal]] [[Sabur]], Komandan Pasukan Pengawal Presiden [[Tjakrabirawa]].{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=3}} Surat perintah inilah yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=3}}
Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal [[19 September]] [[1966]] mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal [[28 September]] [[1966]], tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
 
=== Pemberangusan Partai Komunis Indonesia ===
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di [[Eropa Timur]] sering disebut [[lustrasi]] - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan [[Partai Komunis Indonesia]]. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar [[Mahkamah Militer Luar Biasa]] untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke [[Pulau Buru]].
[[Berkas:Lieutenant Colonel Suharto.jpg|200px|jmpl|Soeharto (1949)]]
Sebagai tindak lanjut keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret, [[Letnan Jenderal]] Soeharto mengambil beberapa tindakan. Pada tanggal 12 Maret 1966, ia mengeluarkan surat keputusan yang berisi pembubaran dan larangan bagi [[Partai Komunis Indonesia]] serta ormas-ormas yang bernaung dan berlindung atau senada dengannya untuk beraktivitas dan hidup di wilayah Indonesia.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=3}} Keputusan ini kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI/Mandataris MPRS No.1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=4}} Keputusan pembubaran [[Partai Komunis Indonesia]] beserta ormas-ormasnya mendapat sambutan dan dukungan karena merupakan salah satu realisasi dari [[Tritura]].{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=4}}
 
Pada tanggal 18 Maret 1966, Soeharto mengamankan 15 orang menteri yang dinilai tersangkut dalam [[Gerakan 30 September]] dan diragukan etika baiknya yang dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=4}} Ia kemudian memperbaharui Kabinet Dwikora yang disempurnakan dan membersihkan lembaga legislatif, termasuk [[MPRS]] dan [[DPRGR]], dari orang-orang yang dianggap terlibat [[Gerakan 30 September]].{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=4}} Keanggotaan [[Partai Komunis Indonesia]] dalam MPRS dinyatakan gugur.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=4}} Peran dan kedudukan MPRS juga dikembalikan sesuai dengan UUD 1945, yakni di atas presiden, bukan sebaliknya.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=6}} Di DPRGR sendiri, secara total ada 62 orang anggota yang diberhentikan.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=4}} Letnan Jenderal Soeharto juga memisahkan jabatan pimpinan DPRGR dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPRGR tidak lagi diberi kedudukan sebagai menteri.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=4}}
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks [[tapol]]).
 
Pada tanggal 20 Juni hingga 5 Juli 1966, diadakanlah Sidang Umum IV MPRS dengan hasil sebagai berikut:
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer. [[DPR]] dan [[MPR]] tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan [[Cendana]]. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian [[Pendapatan Asli Daerah|PAD]] juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada [[Jakarta]], sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
* [[Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966]] tentang Pengesahan dan Pengukuhan Supersemar.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=5}} Selain mengangkat Supersemar menjadi Ketetapan MPRS, Ketetapan MPRS ini menyatakan bahwa Supersemar hanya berlaku hingga "Terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat Hasil Pemilihan Umum."
* [[Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966]] mengatur Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=5}}
* [[Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966]] tentang Kebijaksanaan Politik Luar Negeri RI Bebas Aktif.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=5}}
* [[Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966]] tentang Pembentukan Kabinet Ampera.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=5}}
* [[Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966]] tentang Peninjauan Kembali Tap. MPRS yang Bertentangan dengan UUD 1945.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=5}}
* [[Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966]] tentang Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Perundang-undangan di Indonesia.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=5}} Ketetapan MPRS ini—yang banyak terinspirasi oleh [[Teori Hukum Murni]] [[Hans Kelsen]]—menyatakan sumber hukum RI adalah [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia]], [[Dekrit Presiden Republik Indonesia 1959]], Undang-Undang Dasar 1945, dan Supersemar itu sendiri, serta memisahkan (''decoupling'') Pancasila menjadi [[Teori Hukum Murni#Norma Dasar|norma dasar]] ({{lang|de|grundnorm}}) sumber segala hukum di Indonesia, termasuk Undang-Undang Dasar 1945 itu sendiri.
* [[Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966]] tentang Pembubaran [[Partai Komunis Indonesia]], Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang Diseluruh Wilayah Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=5}} "Komunisme/Marxisme-Leninisme" (''[[sic]]'') dalam Penjelasan Ketetapan MPRS ini termasuk "[p]aham atau ajaran ... yang terkait pada dasar-dasar dan taktik perjuangan yang diajarkan oleh [[Leninisme|Lenin]], [[Stalinisme|Stalin]], [[Maoisme|Mao Tse Tung]] dan lain-lain..."; namun, Ketetapan ini memperbolehkan "[pembelajaran] secara ilmiah, seperti pada Universitas-universitas, paham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila ... secara terpimpin, dengan ketentuan, bahwa Pemerintah dan [[Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia#Masa DPR Gotong Royong tanpa Partai Komunis Indonesia (1965–1966)|DPR-GR]], diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan."
 
Hasil dari Sidang Umum IV MPRS ini menjadi landasan awal tegaknya Orde Baru dan dinilai berhasil memenuhi dua dari Tritura, yaitu pembubaran [[Partai Komunis Indonesia]] dan pembersihan kabinet dari unsur-unsur [[Partai Komunis Indonesia]].{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=5}}
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar [[Seskoad]] II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung [[Ali Moertopo]]. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan [[Golkar]], [[TNI]], dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
 
Selain dibubarkan dan dibersihkan, kader-kader [[Partai Komunis Indonesia]] juga dibantai khususnya di wilayah pedesaan-pedesaan di pulau Jawa.{{sfn|Vatikiotis|1998|p=33}} Pembantaian ini tidak hanya dilakukan oleh angkatan bersenjata. Namun, juga oleh rakyat biasa yang dipersenjatai.{{sfn|Vatikiotis|1998|p=33}} Selain kader, ribuan pegawai negeri, ilmuwan, dan seniman yang dianggap terlibat juga ditangkap dan dikelompokkan berdasarkan tingkat keterlibatannya dengan [[Partai Komunis Indonesia]].{{sfn|Vatikiotis|1998|p=33}} Sebagian diasingkan ke Pulau Buru, sebuah pulau kecil di wilayah Maluku.{{sfn|Vatikiotis|1998|p=34}} Sejak pertengahan dekade 1980-an, pada tanggal 30 September setiap tahunnya, pemerintah menayangkan [[Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI|film yang menggambarkan Partai Komunis Indonesia sebagai organisasi yang keji]].{{sfn|Vatikiotis|1998|p=1}}
Eksploitasi sumber daya
Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian [[sumber daya alam]] secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang [[kelaparan]] dikurangi dengan besar pada tahun [[1970-an]] dan [[1980-an]].
 
=== Pembentukan Kabinet Ampera ===
Warga Tionghoa
Dalam rangka memenuhi tuntutan ketiga Tritura, [[Letnan Jenderal]] Soeharto dengan dukungan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 membentuk kabinet baru yang diberi nama Kabinet Ampera.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=7}} Tugas utama Kabinet Ampera adalah menciptakan stabilitas ekonomi dan stabilitas politik, atau dikenal dengan nama ''Dwidarma Kabinet Ampera''.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=7}} Program kerja yang dicanangkan Kabinet Ampera disebut ''Caturkarya Kabinet Ampera'', yaitu:{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=7}}
Warga keturunan [[Tionghoa]] juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga [[pribumi]], yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian [[barongsai]] secara terbuka, perayaan hari raya [[Imlek]], dan pemakaian [[Bahasa Mandarin]] dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
# memperbaiki perikehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan;
# melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti tercantum dalam Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 (5 Juli 1968);
# melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966;
# melanjutkan perjuangan antiimperialisme dan antikolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Kabinet Ampera dipimpin oleh Presiden Soekarno, namun pelaksanaannya dilakukan oleh Presidium Kabinet yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=7}} Akibatnya, muncul dualisme kepemimpinan yang menjadi kondisi kurang menguntungkan bagi stabilitas politik saat itu.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=7}}
 
Soekarno kala itu masih memiliki pengaruh politik, namun kekuatannya perlahan-lahan dilemahkan.{{sfn|Vatikiotis|1998|p=2}} Kalangan militer, khususnya yang mendapatkan pendidikan di negara Barat, keberatan dengan kebijakan pemerintah Soekarno yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia.{{sfn|Vatikiotis|1998|p=2}} Mengalirnya bantuan dana dari Uni Soviet dan Tiongkok pun semakin menambah kekhawatiran bahwa Indonesia bergerak menjadi negara komunis.{{sfn|Vatikiotis|1998|p=2}}
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah [[Harian Indonesia]] yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah [[ABRI]] meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya [[agama Konghucu]] kehilangan pengakuan pemerintah.
 
Akhirnya pada 22 Februari 1967, untuk mengatasi situasi konflik yang semakin memuncak kala itu, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada [[Jenderal]] Soeharto.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=7}} Penyerahan ini tertuang dalam Pengumuman Presiden Mandataris MPRS, Panglima Tertinggi ABRI Tanggal 20 Februari 1967.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=7}} Pengumuman itu didasarkan atas Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 yang menyatakan apabila presiden berhalangan, pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966 berfungsi sebagai pemegang jabatan presiden.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=7}} Pada 4 Maret 1967, [[Jenderal]] Soeharto memberikan keterangan pemerintah di hadapan sidang DPRHR mengenai terjadinya penyerahan kekuasaan.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=7}} Namun, pemerintah tetap berpendirian bahwa sidang MPRS perlu dilaksanakan agar penyerahan kekuasaan tetap konstitusional.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=7}} Karena itu, diadakanlah Sidang Istimewa MPRS pada tanggal 7-12 Maret 1967 di Jakarta, yang akhirnya secara resmi mengangkat Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia hingga terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=7}}
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh [[komunisme]] di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan {{fact}}.
 
== Kebijakan ekonomi ==
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
=== Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) ===
Di awal kekuasaannya, Pemerintah Orde Baru mewarisi kemerosotan ekonomi yang ditinggalkan oleh pemerintahan sebelumnya.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=8}} Kemerosotan ekonomi ini ditandai oleh rendahnya [[pendapatan perkapita]] penduduk Indonesia yang hanya mencapai 70 dollar AS, tingginya inflasi yang mencapai 65%, serta hancurnya sarana-sarana ekonomi akibat konflik yang terjadi di akhir pemerintahan Soekarno{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=8}}
 
Untuk mengatasi kemerosotan ini, pemerintah Orde Baru membuat program jangka pendek berdasarkan Tap. MPRS No. XXII/MPRS/1966 yang diarahkan kepada pengendalian inflasi
Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru
dan usaha rehabilitasi sarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekonomi, dan pencukupan kebutuhan sandang.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=9}} Program jangka pendek ini diambil dengan pertimbangan apabila inflasi dapat dikendalikan dan stabilitas tercapai, kegiatan ekonomi akan pulih dan produksi akan meningkat.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=9}}
Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti [[radio]] dan [[televisi]] mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan [[transmigrasi]] dari daerah yang padat penduduknya seperti [[Jawa]], [[Bali]] dan [[Pulau Madura|Madura]] ke luar Jawa, terutama ke [[Kalimantan]], [[Sulawesi]], [[Timor Timur]], dan [[Papua|Irian Jaya]]. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan [[Jawa|jawanisasi]] yang sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
 
[[Soeharto]] kemudian memulihkan ekonomi dengan meminjam [[hutang]] kembali dan meminta untuk [[hutang]] sebelumnya untuk ditangguhkan.<ref>{{Cite news|last=Sugianto|first=Danang|title=Orde Baru Pulihkan Ekonomi Pakai Utang dari Negara Blok Barat|url=https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4310274/orde-baru-pulihkan-ekonomi-pakai-utang-dari-negara-blok-barat|work=[[Detik.com|detikcom]]|language=id-ID|access-date=2022-05-25}}</ref>
 
Mulai tanggal 1 April 1969, pemerintah menciptakan landasan untuk pembangunan yang disebut sebagai [[Rencana Pembangunan Lima Tahun]] (Repelita).{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=9}} Repelita pertama yang mulai dilaksanakan tahun 1969 tersebut fokus pada rehabilitasi prasarana penting dan pengembangan iklim usaha dan [[investasi]].{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=9}} Pembangunan sektor pertanian diberi prioritas untuk memenuhi kebutuhan pangan sebelum membangun sektor-sektor lain.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=9}} Pembangunan antara lain dilaksanakan dengan membangun prasana pertanian seperti [[irigasi]], perhubungan, [[teknologi pertanian]], kebutuhan pembiayaan, dan kredit perbankan.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=9}} Petani juga dibantu melalui penyediaan sarana penunjang utama seperti [[pupuk]] hingga [[pemasaran]] hasil produksi.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=9}}
 
Repelita I membawa pertumbuhan ekonomi naik dari rata-rata 3% menjadi 6,7% per tahun, pendapatan perkapita meningkat dari 80 dolar AS menjadi 170 dolar AS, dan inflasi dapat ditekan menjadi 47,8% pada akhir Repelita I pada tahun 1974.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=9}} Repelita II (1974-1979) dan Repelita III (1979-1984) fokus pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional, dan pemerataan pembangunan dengan penekanan pada sektor pertanian dan industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=9}} Pada tahun 1984, Indonesia berhasil mencapai status swasembada beras dari yang tadinya merupakan salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia pada tahun 1970-an.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=9}} Fokus Repelita IV (1984-1989) dan Repelita V (1989-1994), selain berusaha mempertahankan kemajuan di sektor pertanian, juga mulai bergerak menitikberatkan pada sektor industri khususnya industri yang menghasilkan barang [[ekspor]], industri yang menyerap [[tenaga kerja]], industri pengolahan hasil pertanian, dan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=10}}
 
=== Swasembada beras ===
Sejak awal berkuasa, pemerintah Orde Baru menitikberatkan fokusnya pada pengembangan sektor pertanian karena menganggap ketahanan pangan adalah prasyarat utama kestabilan ekonomi dan politik.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=11}} Sektor ini berkembang pesat setelah pemerintah membangun berbagai prasarana pertanian seperti irigasi dan perhubungan, teknologi pertanian, hingga penyuluhan bisnis.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=11}} Pemerintah juga memberikan kepastian pemasaran hasil produksi melalui lembaga yang diberi nama Bulog (Badan Urusan Logistik).{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=11}}
 
Mulai tahun 1968 hingga 1992, produksi hasil-hasil pertanian meningkat tajam.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=11}} Pada tahun 1962, misalnya, produksi padi hanya mencapai 17.156 ribu ton.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=11}} Jumlah ini berhasil ditingkatkan tiga kali lipat menjadi 47.293 ribu ton pada tahun 1992, yang berarti produksi beras per jiwa meningkat dari 95,9&nbsp;kg menjadi 154,0&nbsp;kg per jiwa.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=11}} Prestasi ini merupakan sebuah prestasi besar mengingat Indonesia pernah menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia pada tahun 1970-an.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=11}}
 
=== Pemerataan kesejahteraan penduduk ===
Pemerintah juga berusaha mengiringi pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan kesejahteraan penduduk melalui program-program penyediaan kebutuhan pangan, peningkatan gizi, pemerataan pelayanan kesehatan, keluarga berencana, pendidikan dasar, penyediaan air bersih, dan pembangunan perumahan sederhana.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=11}} Strategi ini dilaksanakan secara konsekuen di setiap pelita.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=12}} Berkat usaha ini, penduduk Indonesia berkurang dari angka 60% pada tahun 1970-an ke angka 15% pada tahun 1990-an.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=12}} Pendapatan perkapita masyarakat juga naik dari yang hanya 70 dolar per tahun pada tahun 1969, meningkat menjadi 600 dolar per tahun pada tahun 1993.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=11}}
 
Pemerataan ekonomi juga diiringi dengan adanya peningkatan usia harapan hidup, dari yang tadinya 50 tahun pada tahun 1970-an menjadi 61 tahun di 1992.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=11}} Dalam kurun waktu yang sama, angka kematian bayi juga menurun dari 142 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup menjadi 63 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=11}} Jumlah penduduk juga berhasil dikendalikan melalui program Keluarga Berencana (KB).{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=11}} Selama dasawarsa 1970-an, laju pertumbuhan penduduk mencapai 2,3% per tahun. Pada awal tahun 1990-an, angka tersebut dapat diturunkan menjadi 2,0% per tahun.{{sfn|Mustofa Sh.|2009|p=11}}
 
== Penataan Kehidupan Politik ==
=== Pembubaran [[Partai Komunis Indonesia]] dan Organisasi masanya ===
Dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, serta stabilitas pemerintahan, Soeharto sebagai pengemban Supersemar telah mengeluarkan kebijakan:<ref name=":0" />
* Membubarkan [[Partai Komunis Indonesia]] pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat dengan Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966
* Menyatakan [[Partai Komunis Indonesia]] sebagai partai terlarang di Indonesia
* Pada tanggal 8 Maret 1966 mengamankan 15 orang menteri yang dianggap terlibat [[Gerakan 30 September]] 1965.
 
=== Penyederhanaan Partai Politik ===
Pada tahun [[1973]] setelah dilaksanakan pemilihan umum yang pertama pada masa Orde Baru pemerintahan pemerintah melakukan penyederhanaan dan penggabungan (fusi) partai- partai politik menjadi tiga kekuatan sosial politik. Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak didasarkan pada kesamaan ideologi, tetapi lebih atas persamaan program. Tiga kekuatan sosial politik itu adalah: <ref name=":0">{{Cite book|last=Warjio|first=|last2=Othman|first2=Muhammad Fuad|last3=Ladiqi|first3=Suyatno|date=Maret 2021|url=https://www.google.co.id/books/edition/GOOD_PARTY_GOVERNANCE/PP4kEAAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=Penggabungan+partai-partai+politik+tersebut+tidak+didasarkan+pada+kesamaan+ideologi,+tetapi+lebih+atas+persamaan+program.+Tiga+kekuatan+sosial+politik+itu+adalah&pg=PA200&printsec=frontcover|title=Good Party Governance: Praktik Partai Politik di Indonesia dan Malaysia dalam Tata Kelola Pemerintahan yang Baik|location=Medan|publisher=Gerhana Media Kreasi|isbn=978-623-6149-01-0|pages=200|url-status=live}}</ref>
* [[Partai Persatuan Pembangunan]] (PPP) yang merupakan gabungan dari NU, Parmusi, PSII, dan PERTI
* [[Partai Demokrasi Indonesia]] (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo
* [[Golongan Karya]]
 
Penyederhanaan partai-partai politik ini dilakukan pemerintah Orde Baru dalam upaya menciptakan stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengalaman sejarah pada masa pemerintahan sebelumnya telah memberikan pelajaran, bahwa perpecahan yang terjadi di masa Orde Lama, karena adanya perbedaan ideologi politik dan ketidakseragaman persepsi serta pemahaman Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia.
 
=== Pemilihan Umum ===
Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali pemilihan umum, yaitu tahun [[Pemilihan umum legislatif Indonesia 1971|1971]], [[Pemilihan umum legislatif Indonesia 1977|1977]], [[Pemilihan umum legislatif Indonesia 1982|1982]], [[Pemilihan umum legislatif Indonesia 1987|1987]], [[Pemilihan umum legislatif Indonesia 1992|1992]], dan [[Pemilihan umum legislatif Indonesia 1997|1997]]. Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memenangkan Pemilu.<ref>{{Cite book|last=Rully Chairul Azwar|first=|date=2009|url=https://books.google.co.id/books?id=O1M0NZUhqXMC&pg=PA61&dq=%22Golkar+%22+mayoritas%22&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjDkNfr2qjrAhXCc30KHSKCAg0Q6AEwAHoECAAQAg#v=onepage&q=%22Golkar%20%22%20mayoritas%22&f=false|title=Politik komunikasi Partai Golkar di tiga era: Dari partai hegemonik ke partai yang berorientasi "pasar"|location=|publisher=Grasindo|isbn=978-979-025-690-3|pages=60|language=id|url-status=live}}</ref>
 
Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa pemerintahan Orde Baru, Golkar memperoleh 74,51% dengan perolehan 325 kursi di DPR.<ref>{{Cite book|last=Bacharuddin Jusuf Habibie|first=|date=2006|url=https://books.google.co.id/books?id=eRtxAAAAMAAJ&q=%2251+persen+,+sehingga+memperoleh+325+kursi+*%22&dq=%2251+persen+,+sehingga+memperoleh+325+kursi+*%22&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwi3ibLL26jrAhXC7XMBHdVGCuYQ6AEwAHoECAEQAg|title=Detik-detik yang menentukan: jalan panjang Indonesia menuju demokrasi|location=|publisher=THC Mandiri|isbn=978-979-99386-6-4|pages=5|language=id|url-status=live}}</ref> Ini merupakan perolehan suara terbanyak Golkar dalam pemilu.<ref>{{Cite book|last=Firmanzah|first=|date=2008|url=https://books.google.co.id/books?id=RyvwaIFJJH8C&pg=PA7&dq=Golkar+1997+%22325+kursi%22&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwi8jrCr26jrAhV_7XMBHdhSB_MQ6AEwAHoECAQQAg#v=onepage&q=Golkar%201997%20%22325%20kursi%22&f=false|title=Mengelola partai politik: komunikasi dan positioning ideologi politik pada era demokrasi|location=|publisher=Yayasan Obor Indonesia|isbn=978-979-461-680-2|pages=7|language=id|url-status=live}}</ref> Adapun PPP memperoleh 89 kursi dan PDI mengalami kemorosotan perolehan suara dengan hanya mendapat 11 kursi di DPR.<ref>{{Cite book|last=Firmanzah|url=https://books.google.co.id/books?id=Xib3DQAAQBAJ&pg=PT78&dq=Golkar+1997+%22325+kursi%22&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwi8jrCr26jrAhV_7XMBHdhSB_MQ6AEwA3oECAYQAg#v=onepage&q=Golkar%201997%20%22325%20kursi%22&f=false|title=Persaingan, Legitimasi Kekuasaan, dan Marketing Politik: Pembelajaran Politik Pemilu 2009|publisher=Yayasan Pustaka Obor Indonesia|isbn=978-602-433-321-8|language=id}}</ref>
 
Kemorosotan perolehan suara PDIP disebabkan adanya konflik intern di tubuh partai berkepala banteng tersebut.{{fact}} PDI akhirnya pecah menjadi PDI Suryadi dan PDI Megawati Soekarno Putri yang sekarang menjadi [[PDIP]]. Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama masa pemerintahan Orde Baru telah menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia telah berjalan dengan baik.{{fact}} Apalagi Pemilu berlangsung dengan asas LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia). Namun dalam kenyataannya, Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah satu kontestan Pemilu saja yaitu Golkar. Kemenangan Golkar yang selalu mencolok sejak Pemilu 1971 sampai dengan Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah yang perimbangan suara di MPR dan DPR didominasi oleh Golkar. Keadaan ini telah memungkinkan Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode, karena pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh anggota MPR. Selain itu setiap pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa catatan.{{fact}}
 
=== Peran Ganda (Dwi Fungsi) ABRI ===
Menurut Connie Rahakundini Bakrie, Orde Baru menempatkan militer sebagai pemain sentral dalam perpolitikan melalui doktrin Dwi Fungsi ABRI.<ref>{{Cite book|last=Connie Rahakundini Bakrie|first=|date=2007|url=https://books.google.co.id/books?id=ipwN_Dg8tJUC&printsec=frontcover&dq=Pertahanan+Negara+dan+Postur+TNI+Ideal+(2007)&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwiFwYn73ajrAhUk8HMBHUfCC_gQ6AEwAHoECAAQAg#v=onepage&q=Militer%20di%20Indonesia%20mulai%20memiliki%20peran%20signifikan&f=false|title=Pertahanan negara dan postur TNI ideal|location=|publisher=Yayasan Obor Indonesia|isbn=978-979-461-665-9|pages=7|language=id|url-status=live}}</ref> Selain menjadi angkatan bersenjata, ABRI juga memegang fungsi politik, menjadikannya organisasi politik terbesar di negara. Timbulnya pemberian peran ganda pada ABRI karena adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan POLRI dalam pemerintahan adalah sama. di MPR dan DPR mereka mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa melalui Pemilu.{{fact}}
 
Dasar hukum pelaksanaan Dwifungsi ABRI di antaranya yakni Ketetapan MPR, yaitu sejak TAP MPR(S) No. II Tahun 1969 hingga TAP MPR No. IV Tahun 1978.<ref>{{Cite book|last=|first=|date=1978|url=https://books.google.co.id/books?id=FmlmBDUZa2IC&q=fungsi+ABRI+%22MPR+No.+IV+%22&dq=fungsi+ABRI+%22MPR+No.+IV+%22&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwi02d6E4ajrAhWf4nMBHQdjAHMQ6AEwAHoECAAQAg|title=Dwi fungsi dan kekaryaan ABRI|location=|publisher=Departemen Pertahanan-Keamanan|isbn=|pages=8|language=id|url-status=live}}</ref> Selain itu, dasar hukumnya yakni Undang-Undang (UU) No. 15 dan 16 tahun 1969 yang diperbarui menjadi UU No. 4 dan 5 tahun 1975.<ref>{{Cite book|last=|first=|date=1979|url=https://books.google.co.id/books?id=XYT5dldcJbMC&q=%22baru+diatur+dalam+UU+No.+15+dan+16+Tahun+1969+yang+telah+dirubah+oleh+UU+No.%22&dq=%22baru+diatur+dalam+UU+No.+15+dan+16+Tahun+1969+yang+telah+dirubah+oleh+UU+No.%22&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwivqKWD46jrAhWQlEsFHXjICzsQ6AEwAHoECAAQAg|title=Yudhagama|location=|publisher=TNI-AD|isbn=|pages=86|language=id|url-status=live}}</ref> Pengukuhan peran ABRI sebagai kekuatan sosial politik ditegaskan dalam UU No. 20 Tahun 1982.<ref>{{Cite book|last=Jurdi Fajlurrahman|first=|date=2019|url=https://books.google.co.id/books?id=D1e-DwAAQBAJ&pg=PA295&dq=%22selaku+dinamisator+dan+stabilisator%22&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwij5JTL46jrAhVP6nMBHRWrCGoQ6AEwAHoECAQQAg#v=onepage&q=%22selaku%20dinamisator%20dan%20stabilisator%22&f=false|title=Hukum Tata Negara Indonesia|location=|publisher=Kencana|isbn=978-623-218-050-5|pages=295|language=id|url-status=live}}</ref> Dalam penjelasan pasalnya disebutkan bahwa prajurit ABRI dalam bidang sosial politik bertindak selaku dinamisator dan stabilisator.<ref>{{Cite book|last=Tambunan|first=Arifin Sari Sarunganlan|date=1991|url=https://books.google.co.id/books?id=TTkbAAAAIAAJ&dq=Arifin+Tambunan&focus=searchwithinvolume&q=dinamisator|title=Pejuang dan prajurit, konsepsi dan implementasi dwifungsi ABRI|location=|publisher=Pustaka Sinar Harapan|isbn=|pages=370|language=id|url-status=live}}</ref> Peran dinamisator sebenarnya telah diperankan ABRI sejak zaman Perang Kemerdekaan. Waktu itu Jenderal Soedirman telah melakukannya dengan meneruskan perjuangan, walaupun pemimpin pemerintahan telah ditahan Belanda. Demikian juga halnya yang dilakukan Soeharto ketika menyelamatkan bangsa dari perpecahan setelah [[Gerakan 30 September]], yang melahirkankan Orde Baru.
 
Sistem ini memancing kontroversi di tubuh ABRI sendiri.{{sfn|Vatikiotis|1998|p=62}} Banyak perwira, khususnya mereka yang berusia muda, menganggap bahwa sistem ini mengurangi profesionalitas ABRI.{{sfn|Vatikiotis|1998|p=62}} Masuknya pendidikan sosial dan politik dalam akademi militer mengakibatkan waktu mempelajari strategi militer berkurang.{{sfn|Vatikiotis|1998|p=62}}
 
Secara kekuatan, ABRI juga menjadi lemah dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya.{{sfn|Vatikiotis|1998|p=62}} Saat itu, hanya ada 533.000 prajurit ABRI, termasuk Polisi yang kala itu masih menjadi bagian dari ABRI.{{sfn|Vatikiotis|1998|p=62}} Angka ini, yang hanya mencakup 0,15 persen dari total populasi, sangat kecil dibanding Singapura (2,06%), Thailand (0,46%), dan Malaysia (0,68%).{{sfn|Vatikiotis|1998|p=62}} Pendanaan yang didapatkan ABRI pun tak kalah kecil, hanya sekitar 1,96% dari total PDB, sementara angkatan bersenjata Singapura mendapatkan 5,48% dan Thailand 3,26%.{{sfn|Vatikiotis|1998|p=62}} Selain itu, peralatan dan perlengkapan yang dimiliki juga sedikit; ABRI hanya memiliki 100 tank besar dan 160 tank ringan.{{sfn|Vatikiotis|1998|p=62}}
 
=== Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) ===
{{Main article|Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila}}
Pada tanggal [[12 April]] [[1976]] Presiden [[Soeharto]] mengemukakan gagasan mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang terkenal dengan nama ''Ekaprasatya Pancakarsa'' atau Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).{{fact}} Untuk mendukung pelaksanaan [[Pancasila]] dan [[Undang-undang Dasar 1945]] secara murni dan konsekuen, maka sejak tahun [[1978]] pemerintah menyelenggarakan penataran P4 secara menyeluruh pada semua lapisan masyarakat. Penataran P4 ini bertujuan membentuk pemahaman yang sama mengenai [[demokrasi]] Pancasila, sehingga dengan adanya pemahaman yang sama terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. {{fact}} Sehingga sejak tahun [[1985]] pemerintah menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berorganisasi. Semua bentuk [[organisasi]] tidak boleh menggunakan asasnya selain Pancasila. Menolak Pancasila sebagai sebagai asas tunggal merupakan pengkhianatan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian Penataran P4 merupakan suatu bentuk [[indoktrinasi]] ideologi, dan Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia. Pancasila merupakan prestasi tertinggi Orde Baru, dan oleh karenanya maka semua prestasi lainnya dikaitkan dengan nama Pancasila. Mulai dari sistem ekonomi Pancasila, pers Pancasila, hubungan industri Pancasila, demokrasi Pancasila, dan sebagainya. Pancasila dianggap memiliki kesakralan (kesaktian) yang tidak boleh diperdebatkan.{{fact}}
 
== Penataan Politik Luar Negeri ==
Pada masa Orde Baru politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif kembali dipulihkan. MPR mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar negeri Indonesia. Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia harus didasarkan pada kepentingan nasional, seperti pembangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta keadilan.{{fact}}
 
=== Kembali menjadi anggota [[PBB]] ===
Pada tanggal [[28 September]] [[1966]] Indonesia kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Keputusan untuk kembali menjadi anggota PBB dikarenakan pemerintah sadar bahwa banyak manfaat yang diperoleh Indonesia selama menjadi anggota pada tahun 1955-1964.{{fact}} Kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB disambut baik oleh negara-negara Asia lainnya bahkan oleh PBB sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan dipilihnya [[Adam Malik]] sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974. Dan Indonesia juga memulihkan hubungan dengan sejumlah negara seperti [[India]], [[Thailand]], [[Australia]], dan negara-negara lainnya yang sempat renggang akibat politik konfrontasi Orde Lama.
 
=== Normalisasi Hubungan dengan Negara lain ===
==== Pemulihan Hubungan dengan Singapura ====
Dengan perantaraan Dubes [[Pakistan]] untuk [[Myanmar]], [[Habibur Rachman]], hubungan Indonesia dengan [[Singapura]] berhasil dipulihkan kembali.{{fact}} Pada tanggal [[2 Juni]] 1966 pemerintah Indonesia menyampaikan nota pengakuan atas Republik Singapura kepada Perdana Menteri [[Lee Kuan Yew]]. {{fact}} Lalu pemerintah Singapura menyampaikan nota jawaban kesediaan untuk mengadakan hubungan diplomatik dengan Indonesia.
 
==== Pemulihan Hubungan dengan Malaysia ====
[[Berkas:IndoMalaycooperation.jpg|250px|jmpl|ka|Penandatanganan persetujuan normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia]]
Normalisasi hubungan Indonesia dengan Malaysia dimulai dengan diadakannya perundingan di Bangkok pada 29 Mei - 1 Juni 1966 yang menghasilkan Perjanjian [[Bangkok]]. Isi perjanjian tersebut adalah:<ref>{{Cite news|url=https://www.kompas.com/skola/read/2020/03/06/184500369/berakhirnya-konfrontasi-indonesia-malaysia|title=Berakhirnya Konfrontasi Indonesia-Malaysia|editor-last=Nailufar|editor-first=Nibras Nada|first=Nibras Nada|last=Nailufar|work=[[Kompas.com]]}}</ref>
# Rakyat [[Sabah]] diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
# Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
# Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.
Dan pada tanggal 11 Agustus 1966 penandatangan persetujuan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia ditandatangani di Jakarta oleh [[Adam Malik]] (Indonesia) dan [[Tun Abdul Razak]] (Malaysia).
 
==== Pembekuan Hubungan dengan RRT ====
Pada tanggal 1 Oktober 1967 Pemerintah Republik Indonesia membekukan hubungan diplomatik dengan [[Republik Rakyat Tiongkok]] (RRT). Keputusan tersebut dilakukan karena RRT telah mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan cara memberikan bantuan kepada [[Gerakan 30 September]] baik untuk persiapan, pelaksanaan, maupun sesudah terjadinya [[pemberontakan]] tersebut.{{fact}} Selain itu pemerintah Indonesia merasa kecewa dengan tindakan teror yang dilakukan orang-orang Cina terhadap gedung, harta, dan anggota-anggota Kedutaan Besar Republik Indonesia di Peking. Pemerintah RRT juga telah memberikan perlindungan kepada tokoh-tokoh [[Gerakan 30 September]] di luar negeri, serta secara terang-terangan menyokong bangkitnya kembali [[Partai Komunis Indonesia]]. Melalui media massanya RRT telah melakukan kampanye menyerang Orde Baru. Pada 30 Oktober 1967, Pemerintah Indonesia secara resmi menutup Kedutaan Besar di [[Peking]].{{fact}}
 
== Penataan Kehidupan Ekonomi ==
=== Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi ===
Untuk mengatasi keadaan [[ekonomi]] yang kacau sebagai peninggalan pemerintah Orde Lama, pemerintah Orde Baru melakukan langkah-langkah:
* Memperbaharui kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Kebijakan ini didasari oleh Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966.<ref>{{Cite web|title=MADJELIS PERMUSJAWARATAN RAKJAT SEMENTARA|url=https://jdih.kemenkeu.go.id/fulltext/1966/XXIII~MPRS~1966TAP.HTM|website=JDIH Kemenkeu|access-date=2024-01-22}}</ref>
* [[MPRS]] mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program penyelamatan serta program stabilisasi dan rehabilitasi.
 
Program pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional, terutama stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi berarti mengendalikan inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak terus. Rehabilitasi ekonomi adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini adalah pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi ke arah terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
 
Langkah-langkah yang diambil Kabinet Ampera yang mengacu pada Ketetapan MPRS tersebut adalah:
* Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan. Adapun yang menyebabkan terjadinya kemacetan ekonomi tersebut adalah:
# Rendahnya penerimaan negara.
# Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran negara.
# Terlalu banyak dan tidak efisiennya [[ekspansi]] [[kredit]] [[bank]].
# Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri.
# Penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana.
 
* [[Debirokrasi]] untuk memperlancar kegiatan perekonomian
* Berorientasi pada kepentingan [[produsen]] kecil
 
Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut, maka pemerintah Orde Baru menempuh cara:{{fact}}
* Mengadakan operasi [[pajak]]
* Melaksanakan sistem pemungutan pajak baru, baik bagi pendapatan perorangan maupun kekayaan dengan cara menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
* Menghemat pengeluaran pemerintah (pengeluaran konsumtif dan rutin), serta menghapuskan subsidi bagi perusahaan Negara.
* Membatasi kredit bank dan menghapuskan kredit [[impor]].
 
Program [[stabilsasi]] ini dilakukan dengan cara membendung laju inflasi. Pemerintah Orde Baru berhasil membendung laju [[inflasi]] pada akhir tahun [[1967]]-[[1968]], tetapi harga bahan kebutuhan pokok naik melonjak. Sesudah dibentuk Kabinet Pembangunan pada bulan Juli 1968, pemerintah mengalihkan kebijakan ekonominya pada pengendalian yang ketat terhadap gerak harga barang khususnya sandang, pangan, dan [[kurs]] valuta asing. Sejak saat itu ekonomi nasional relatif stabil, sebab kenaikan harga bahan-bahan pokok dan valuta asing sejak tahun 1969 dapat dikendalikan pemerintah.{{fact}}
 
Program [[rehabilitasi]] dilakukan dengan berusaha memulihkan kemampuan berproduksi. Selama sepuluh tahun terakhir masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia mengalami kelumpuhan dan kerusakan pada prasarana sosial dan ekonomi. Lembaga perkreditan desa, gerakan koperasi, dan perbankan disalahgunakan dan dijadikan alat kekuasaan oleh golongan dan kelompok kepentingan tertentu. Dampaknya, lembaga negara tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyusun perbaikan tata kehidupan rakyat.{{fact}}
 
=== Kerjasama Luar Negeri ===
* '''Pertemuan Tokyo'''
Selain mewariskan keadaan ekonomi yang sangat parah, pemerintahan Orde Lama juga mewariskan utang luar negeri yang sangat besar, yakni mencapai 2,2 - 2,7 miliar, sehingga pemerintah Orde Baru meminta negara-negara kreditor untuk dapat menunda pembayaran kembali utang Indonesia. Pada tanggal [[19 September|19]]-[[20 September]] [[1966]] pemerintah Indonesia mengadakan perundingan dengan negara-negara kreditor di [[Tokyo]].{{fact}} Pemerintah Indonesia akan melakukan usaha bahwa devisa ekspor yang diperoleh Indonesia akan digunakan untuk membayar utang yang selanjutnya akan dipakai untuk mengimpor bahan-bahan baku. Hal ini mendapat tanggapan baik dari negara-negara kreditor. Perundinganpun dilanjutkan di [[Paris]], [[Prancis]] dan dicapai kesepakatan sebagai berikut:{{fact}}
# Pembayaran hutang pokok dilaksanakan selama 30 tahun, dari tahun [[1970]] sampai dengan [[1999]].
# Pembayaran dilaksanakan secara angsuran, dengan angsuran tahunan yang sama besarnya.
# Selama waktu pengangsuran tidak dikenakan bunga.
# Pembayaran hutang dilaksanakan atas dasar prinsip nondiskriminatif, baik terhadap negara kreditor maupun terhadap sifat atau tujuan kredit.
 
* '''Pertemuan Amsterdam'''
Pada tanggal 23-24 Februari [[1967]] diadakan perundingan di [[Amsterdam]], [[Belanda]] yang bertujuan membicarakan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta kemungkinan pemberian bantuan dengan syarat lunas, yang selanjutnya dikenal dengan [[IGGI]] (''Intergovernmental Group for Indonesia''). Pemerintah Indonesia mengambil langkah tersebut untuk memenuhi kebutuhannya guna pelaksanaan program-program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi serta persiapan-persiapan pembangunan.{{fact}} Di samping mengusahakan bantuan luar negeri tersebut, pemerintah juga telah berusaha mengadakan penangguhan serta memperingan syarat-syarat pembayaran kembali (''rescheduling'') hutang-hutang peninggalan [[Orde Lama]]. {{fact}} Melalui pertemuan tersebut pemerintah Indonesia berhasil mengusahakan bantuan luar negeri.
 
=== Pembangunan Nasional ===
 
==== [[Trilogi Pembangunan]] ====
Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, maka langkah selanjutnya yang ditempuh pemerintah Orde Baru adalah melaksanakan pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang diupayakan pemerintah waktu itu direalisasikan melalui Pembangunan Jangka pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. {{fact}} Pambangunan Jangka Pendek dirancang melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita memiliki misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup periode 25-30 tahun. Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam upaya mewujudkan tujuan nasional yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yaitu:{{fact}}
# Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah Indonesia
# Meningkatkan kesejahteraan umum
# Mencerdaskan kehidupan bangsa
# Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
 
Pelaksanaan Pembangunan Nasional yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru berpedoman pada Trilogi Pembangunan dan Delapan jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil. Isi Trilogi Pembangunan adalah:{{fact}}
# Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
# Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
# Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
 
Dan Delapan Jalur Pemerataan yang dicanangkan pemerintah Orde Baru adalah:{{fact}}
# Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan, sandang dan perumahan.
# Pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan
# Pemerataan pembagian pendapatan.
# Pemerataan kesempatan kerja
# Pemerataan kesempatan berusaha
# Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita.
# Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Tanah Air
# Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
 
==== Pelaksanaan Pembangunan Nasional ====
Seperti telah disebutkan di muka bahwa Pembangunan nasional direalisasikan melalui Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Dan Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui program Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Selama masa Orde Baru, pemerintah telah melaksanakan enam Pelita yaitu:{{fact}}
 
==== Pelita I ====
Pelita I dilaksanakan mulai [[1 April]] [[1969]] sampai [[31 Maret]] [[1974]], dan menjadi landasan awal pembangunan masa Orde Baru. Tujuan Pelita I adalah meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan tahap berikutnya. Sasarannya adalah pangan, sandang, perbaikan prasarana perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Titik beratnya adalah pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.{{fact}}
 
==== Pelita II ====
Pelita II mulai berjalan sejak tanggal 1 April [[1974]] sampai 31 Maret [[1979]]. Sasaran utama Pelita II ini adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II dipandang cukup berhasil. Pada awal pemerintahan Orde Baru inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I inflasi berhasil ditekan menjadi 47%. Dan pada tahun keempat Pelita II inflasi turun menjadi 9,5%.{{fact}}
 
==== Pelita III ====
Pelita III dilaksanakan pada tanggal 1 April [[1979]] sampai 31 Maret [[1984]].<ref>{{Cite book|last=Sudirman|first=Adi|date=2019|url=https://www.google.co.id/books/edition/Ensiklopedia_Sejarah_Lengkap_Indonesia_d/oBc5EAAAQBAJ?hl=en&gbpv=1|title=Ensiklopedia Sejarah Lengkap Indonesia dari Era Klasik Sampai Kontemporer|location=Yogyakarta|publisher=Diva Press|isbn=9786023916573|pages=329|url-status=live}}</ref> Pelaksanaan Pelita III masih berpedoman pada Trilogi Pembangunan, dengan titik berat pembangunan adalah pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan.
 
==== Pelita IV ====
Pelita IV dilaksanakan tanggal 1 April [[1984]] sampai 31 Maret [[1989]]. Titik berat Pelita IV ini adalah sektor pertanian untuk menuju [[swasembada]] pangan, dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan [[mesin]] [[industri]] sendiri. Dan di tengah berlangsung pembangunan pada Pelita IV ini yaitu awal tahun [[1980]] terjadi [[resesi]].{{fact}} Untuk mempertahankan kelangsungan pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal. Dan pembangunan nasional dapat berlangsung terus.
 
==== Pelita V ====
Pelita V dimulai 1 April [[1989]] sampai 31 Maret [[1994]]. Pada Pelita ini pembangunan ditekankan pada sector pertanian dan industri. Pada masa itu kondisi ekonomi Indonesia berada pada posisi yang baik, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6,8% per tahun.{{fact}} Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.
 
==== Pelita VI ====
Periode Pelita VI dimulai 1 April [[1994]] sampai 31 Maret [[1999]]. Program pembangunan pada Pelita VI ini ditekankan pada sektor ekonomi karena dipandang sebagai penggerak pembangunan. Program pada sektor ekonomi dipusatkan pada bidang industri dan pertanian. Pelita VI juga mengadakan program peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukung sektor ekonomi. Pada periode ini, pemerintahan Orde Baru berakhir akibat [[krisis moneter]] dan peristiwa politik dalam negeri yang melanda negara-negara [[Asia Tenggara]] termasuk [[Indonesia]]. Krisis ini menyebabkan gangguan terhadap pembangunan ekonomi.<ref>{{Cite book|last=Nufus, H., dan Ishmatiika, E. N.|date=2017|url=http://elearning.fkkumj.ac.id/pluginfile.php?file=%2F8728%2Fcourse%2Foverviewfiles%2FPancasila.pdf&forcedownload=1|title=Pancasila dalam Praktik Kebidanan|publisher=Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta|isbn=978-602-6708-16-8|pages=83-84|url-status=live}}</ref>
 
== Warga Tionghoa ==
Warga keturunan [[Tionghoa]] juga dilarang berekspresi. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan mengganti nama Tionghoa menjadi nama Indonesia agar terkesan sebagai "pribumi asli" Indonesia. Penggunaan aksara dan bahasa Tionghoa juga dilarang untuk penggunaan nama media massa dan perusahaan.
 
Satu-satunya media massa berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah [[Harian Indonesia]] yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia.<ref>{{cite web|url=https://tirto.id/hilangnya-identitas-orang-tionghoa-akibat-asimilasi-paksa-el92|title=Hilangnya Identitas Orang Tionghoa Akibat Asimilasi Paksa}}</ref> Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah [[ABRI]] meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya [[agama Konghucu]] kehilangan pengakuan pemerintah.
 
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh [[komunisme]] di Tanah Air. {{fact}} Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan. {{fact}}
 
Selain itu, warga keturunan Tionghoa juga harus memiliki [[Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia|SBKRI]] sebagai bukti kewarganegaraan Indonesia. Hal ini ditentang oleh banyak pihak karena dianggap diskriminatif. Pada akhirnya penggunaan SBKRI dihapus pada tahun 1996 dan diselesaikan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.<ref>{{cite web|url=https://historia.id/politik/articles/warga-tanpa-negara-vYbOa|title=Warga Tanpa Negara}}</ref>
 
== Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru ==
Pada masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti [[radio]] dan [[televisi]] mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan [[transmigrasi]] dari daerah yang padat penduduknya seperti [[Jawa]], [[Bali]] dan [[Madura]] ke luar Jawa, terutama ke [[Kalimantan]], [[Sulawesi]], [[Timor Timur]], dan [[Irian Jaya]]. {{fact}} Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan [[jawanisasi]] yang sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
 
Pada awal [[Indonesia: Era Reformasi|Era Reformasi]] konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk [[konflik Ambon]] dan [[konflik Madura-Dayak]] di Kalimantan.<ref>[http://www.kompas.com/kompas-cetak/0104/12/daerah/konf30.htm Konflik Antar-etnis Kalimantan:Mencegah Lebih Baik daripada Menindak], diakses 24 Mei 2007</ref> Sementara itu gejolak di [[Papua]] yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.
 
== Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru ==
* Perkembangan [[GDP]] per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya [[dolar AS|AS$]]70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.565{{fact}}
* Sukses [[transmigrasi]]
* Sukses [[Keluarga Berencana|KB]]
Baris 51 ⟶ 256:
* Sukses keamanan dalam negeri
* Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
* Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri{{fact}}
 
== Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru ==
{{fact}}
* Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
# Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
* Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
# Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
* Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
# Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
* Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
# Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
* Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
# Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
* Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
# Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
* Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
# Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
* Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
# Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel.
* Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius"
# Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "[[Penembakan Misterius]]" (atau disingkat sebagai "''petrus''")
* Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
# Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
* Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur.
# Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur. {{fact}}
* Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.
# Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.
* Pelaku ekonomi yang dominan adalah lebih dari 70% aset kekayaaan negara dipegang oleh swasta
# Pelaku ekonomi yang dominan adalah lebih dari 70% aset kekayaaan negara dipegang oleh swasta
 
== Krisis finansial Asia ==
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: [[Krisis finansial Asia]]), disertai [[kemarau]] terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh.{{fact}} [[Rupiah]] jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada [[21 Mei]] [[1998]], tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa [[bakti]] ketujuh.{{fact}} Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, [[B. J. Habibie]], untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.
 
== Pasca-Orde Baru ==
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun [[1998]] dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "[[Indonesia: Era Reformasi|Era Reformasi]]".<ref>{{Cite news|last=Andryanto|first=S. Dian|date=2021-05-21|title=Kronologi Era Reformasi Ditandai dengan Presiden Soeharto Lengser|url=https://nasional.tempo.co/read/1464477/kronologi-era-reformasi-ditandai-dengan-presiden-soeharto-lengser|work=[[Tempo.co]]|language=id|access-date=2021-05-24|editor-last=Andryanto|editor-first=S. Dian}}</ref> Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".
 
Transformasi pemerrintahan dari Orde Baru ke Era Reformasi berjalan relatif lancar meskipun disertai dengan kerusuhan [[kelompok etnik]] dan berpisahnya [[Timor Timur]]. Kelancaran transformasi pemerintahan ini lebih baik bila dibandingkan dengan negara [[Uni Soviet]] atau [[Yugoslavia]]. [[B. J. Habibie]] berperan sebagai tokoh yang mendirikan landasan pemerintahan yang baru ini.<ref>{{Cite book|last=Subkhan, A., dan Tim Litbang EMC|date=2016|url=https://books.google.co.id/books?id=zxpQDwAAQBAJ&pg=PA327&lpg=PA327&dq=lepasnya+Timor+Timur,+transformasi+dari+Orde+Baru+ke+Era+Reformasi+berjalan+relatif+lancar+dibandingkan+negara+lain+seperti+Uni+Soviet+dan+Yugoslavia.&source=bl&ots=NIkOppeyiD&sig=ACfU3U1HwT5HlWy2jQd3oJnQqPR_oDA6hg&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwidrqGo6LL1AhURSGwGHV5pA7oQ6AF6BAgCEAM#v=onepage&q=lepasnya%20Timor%20Timur%2C%20transformasi%20dari%20Orde%20Baru%20ke%20Era%20Reformasi%20berjalan%20relatif%20lancar%20dibandingkan%20negara%20lain%20seperti%20Uni%20Soviet%20dan%20Yugoslavia.&f=false|title=Top Sukses TKD Kampus Ikatan Dinas|location=Bantul|publisher=EMC|isbn=978-602-60236-9-8|editor-last=Tim Pena Mulia|pages=327|url-status=live}}</ref>
Meski diliputi oleh kerusuhan etnis dan lepasnya [[Timor Timur]], transformasi dari Orde Baru ke Era Reformasi berjalan relatif lancar dibandingkan negara lain seperti [[Uni Soviet]] dan [[Yugoslavia]]. Hal ini tak lepas dari peran [[Habibie]] yang berhasil meletakkan pondasi baru yang terbukti lebih kokoh dan kuat menghadapi perubahan zaman.
 
== Lihat pula ==
Baris 80 ⟶ 286:
* [[Kerusuhan Mei 1998]]
* [[Tragedi Trisakti]]
* [[:kategori:Orde Baru|Jejak langkah Orde Baru]]
* [[:kategori:Tokoh Orde Baru|Tokoh Orde Baru]]
* [[Kasus dugaan korupsi Soeharto]]
 
== Referensi ==
{{reflistNotelist}}
{{refs|30em}}
 
== Daftar pustaka ==
{{refbegin|2}}
* {{Cite book |first1=E. |last1=Aspinall |first2=H. |last2=Feith |editor=and G. Van Klinken |title=The Last Days of President Suharto |publisher=Monash Asia Institute |year=1999 |location=Clayton, Victoria, Australia |isbn=0-7326-1175-X}}
* {{cite book |last=Conboy |first=Kenneth J. |date=2003 |title=Kopassus: Inside Indonesia's Special Forces |publisher=Equinox Publishing |isbn=9789799589880 |url=https://books.google.com/books?id=lf5TUoHfeM8C}}
* {{cite book |last=McDonald |first=H. |author-link=Hamish McDonald |date=1980 |title=Suharto's Indonesia |location=Blackburn AU |publisher=Fontana Books |isbn=0-00-635721-0}}
* {{cite book |last1=Pour |first1=Julius |title=Benny: tragedi seorang loyalis |date=2007 |publisher=Kata Hasta Pustaka |isbn=978-979-1056-10-6 |url=https://books.google.com/books?id=IjSBAAAAMAAJ |language=id}}
* {{cite book |last=Purdey |first=Jemma |date=2006 |title=Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996–1999 |location=Honolulu HI |publisher=University of Hawaii Press |isbn=9780824830571}}
* {{Cite book |last=Ricklefs |first=M. C. |title=A History of Modern Indonesia since c. 1300, Second Edition |publisher=MacMillan |year=1991 |isbn=0-333-57689-6}}
* {{cite book |last=Schwarz |first=A. |year=1994 |title=A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s |publisher=Westview Press |isbn=1-86373-635-2 |url=https://archive.org/details/nationinwaitingi00schw}}
* {{Cite book |last=Vickers |first=Adrian |date=2005 |title=A History of Modern Indonesia |publisher=Cambridge University Press |isbn=9780521542623 |url-access=registration |url=https://archive.org/details/historyofmoderni00adri}}
* {{cite book |last=Wanandi |first=Jusuf |author-link=Jusuf Wanandi |date=2012 |title=Shades of Grey: A Political Memoir of Modern Indonesia 1965–1998 |location=Singapore |publisher=Equinox Publishing |isbn=9789793780924}}
* {{cite book |last=Wiranto |author-link=Wiranto |date=2011 |title=7 Tahun Menggali Pemikiran dan Tindakan Pak Harto 1991–1997 |trans-title=7 Years Exploring the Thoughts and Actions of Pak Harto 1991–1997 |location=Jakarta |publisher=PT Citra Kharisma Bunda |isbn=9786028112123}}
{{refend}}
 
== Bacaan lanjut ==
* Booth, Anne and Peter McCawley (eds) 1981. ''The Indonesian economy during the Soeharto Era'', Oxford University Press, Kuala Lumpur. {{ISBN|0-19-580477-5}}
* ''[http://www.imf.org/external/np/sec/nb/1997/nb9722.htm Camdessus Commends Indonesian Actions]''. Press Release. [[International Monetary Fund]]. (31 October 1997)
* {{cite news |last=Colmey |first=John |title=The Family Firm |date=24 May 1999 |publisher=TIME Asia |url=http://www.time.com/time/asia/asia/magazine/1999/990524/cover1.html |archive-url=https://web.archive.org/web/20010208155758/http://www.time.com/time/asia/asia/magazine/1999/990524/cover1.html |url-status=dead |archive-date=8 February 2001}}
* Hill, Hal (1994) in ''Indonesia's New Order: The Dynamics of Socio-economic Transformation'' (Ed, Hal Hill), Allen & Unwin, Australia, {{ISBN|1-86373-229-2}} pp56–57
* {{cite news |title=Indonesia: Arrests, torture and intimidation: The Government's response to its critics |date=27 November 1996 |publisher=Amnesty International |url=http://web.amnesty.org/library/eng-idn/index&start=391 |url-status=dead |archive-url=https://web.archive.org/web/20051109023133/http://web.amnesty.org/library/eng-idn/index |archive-date=9 November 2005}}
* {{cite web |title=Indonesia Economic |work=Commanding Heights |url=https://www.pbs.org/wgbh/commandingheights/lo/countries/id/id_economic.html |access-date=23 May 2005}}
* McGregor, Katharine E., ''History in Uniform. Military Ideology and the Construction of Indonesia’s Past'', Leiden 2007, [[KITLV]], {{ISBN|978-9971-69-360-2}}
* {{cite news |title=Public Expenditures, Prices and the Poor |year=1993 |publisher=World Bank |url=http://wbln0018.worldbank.org/dg/povertys.nsf/0/2f56edbf2ef22ff185256b2100754284?OpenDocument |url-status=dead |archive-url=https://web.archive.org/web/20070323210822/http://wbln0018.worldbank.org/dg/povertys.nsf/0/2f56edbf2ef22ff185256b2100754284?OpenDocument |archive-date=23 March 2007 |df=dmy-all}}
* {{cite news |last=Simpson |first=Brad |title=Indonesia's 1969 Takeover of West Papua Not by "Free Choice" |date=9 July 2004 |publisher=National Security Archive |url=http://www.gwu.edu/~nsarchiv/NSAEBB/NSAEBB128/index.htm}}`
* {{cite news |title=Tapol Troubles: When Will They End? |date=April–June 1999 |publisher=Inside Indonesia |url=http://www.insideindonesia.org/edit58/tapol.htm |url-status=dead |archive-url=https://web.archive.org/web/20000525133559/http://insideindonesia.org/edit58/tapol.htm |archive-date=25 May 2000 |df=dmy-all}}
* {{cite book |last=Toer |first=Pramoedya Ananta |title=The Mute's Soliloquy : A Memoir |publisher=Penguin |year=2000 |isbn=0-14-028904-6}}
* {{cite book |last=Wanadi |first=Jusuf |title=Shades of Grey: A Political Memoir of Modern Indonesia 1965-1998 |publisher=Equinox publishing, Singapore |year=2012 |isbn=978-979-378-092-4}}
* Watson, C.W. (Bill), ''Of Self and Injustice. Autobiography and Repression in Modern Indonesia'', Leiden 2006, [[KITLV]], {{ISBN|9971-69-369-0}}
 
{{soeharto}}
{{Sejarah Indonesia navbox}}
{{Topik Indonesia}}
'''Teks tebal'''
 
[[Kategori:Orde Baru| ]]
[[Kategori:Sejarah Indonesia]]
[[Kategori:Orde Baru| Rezim]]
 
[[de:Orde Baru]]
[[en:New Order (Indonesia)]]
[[fi:Uusi järjestys]]
[[jv:Orde Baru]]
[[ms:Order Baru]]
[[nds:Orde Baru]]