Khalifah: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Perubahan referensi (DOI:10.2307/1523262). |
|||
(252 revisi antara oleh lebih dari 100 100 pengguna tak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Ensiklopedia Islam|Muhammad}}
'''Khalifah''' ({{lang-ar|خَليفة}}; ''khalīfah'') merupakan suatu istilah yang memiliki dua pengertian, yaitu pengertian pertama berarti gelar makhluk yang akan diciptakan Allah di bumi, yaitu Manusia, untuk menggantikan makhluk yang ada sebelumnya. Pengertian kedua adalah gelar yang diberikan untuk penerus Muhammad dalam kepemimpinan umat Islam. Wilayah kewenangan khalifah disebut '''kekhalifahan''' atau '''[[Khilafah]]''' ({{lang-ar|خِلافة}}; ''khilāfah''). Gelar lain yang juga melekat dengan khalifah adalah ''amīr al-mu'minīn'' (أمير المؤمنين) [[Amirul Mukminin]] atau "pemimpin orang-orang yang beriman yang telah di[[baiat]] dengan hukum Kitabillah wa Sunnah", meski pada keberjalanannya, gelar ini juga disandang oleh pemimpin Muslim selain khalifah.
Sepanjang sejarahnya, peran khalifah dan bentuk kekhalifahan memiliki beragam corak yang sangat dipengaruhi keadaan politik dan keagamaan pada masa tersebut. Dilihat dari latar belakang khalifah, kekhalifahan dibagi ke dalam empat periode: [[Kekhalifahan Rasyidin]] (632–661), [[Kekhalifahan Umayyah]] (661–750), [[Kekhalifahan Abbasiyah]] (750–1258 dan 1261–1517), dan [[Kekhalifahan Utsmaniyah]] (1517–1924).
Kekhalifahan dimulai seiring di[[baiat]]nya [[Abu Bakar Ash-Shiddiq|Abu Bakar]] sebagai pemimpin umat Islam tepat setelah meninggalnya Muhammad pada tahun 632. Abu Bakar dan tiga penerusnya, semuanya sahabat Nabi dan memiliki hubungan kekerabatan dengan Muhammad, dikelompokkan sebagai ''Khulafaur Rasyidin'' atau Kekhalifahan Rasyidin. Pemilihan keempat khalifah pertama ini didasarkan melalui musyawarah dan kepantasan pribadi calon sehingga Kekhalifahan Rasyidin kerap dipandang sebagai bentuk awal [[demokrasi Islam]].
Setelah [[Perang saudara Islam pertama|perang saudara pertama]] di penghujung masa Kekhalifahan Rasyidin, Hasan bin 'Ali menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Mu'awiyah yang kemudian mengubah bentuk kekhalifahan menjadi monarki-dinasti, menandai dimulainya masa Kekhalifahan Umayyah. Berpusat di Damaskus, Bani Umayyah memegang tampuk kekhalifahan selama hampir seabad sebelum akhirnya digulingkan kelompok Abbasiyah yang mendirikan kekhalifahan-dinasti mereka sendiri mulai tahun 750. Berbeda dengan masa Khulafaur Rasyidin atau Umayyah, khalifah pada masa Abbasiyah tidak lagi memimpin secara langsung seluruh wilayah dunia Islam dan wilayah kekuasaannya hanya berkisar di kawasan [[Mesopotamia]]. Beberapa kepala negara Muslim (bergelar amir atau sultan) memimpin wilayah kekuasaan mereka secara mandiri tanpa campur tangan khalifah. Meski begitu, khalifah tetap dipandang sebagai pemimpin dunia Islam secara keseluruhan dan kepala negara Muslim yang lain memberikan ketundukkan mereka secara simbolis kepada khalifah. Berbeda dengan Umayyah yang sangat bercorak Arab, Abbasiyah yang berpusat di kawasan Mesopotamia memberikan corak Persia yang kental pada kekhalifahan.
Fungsi khalifah sebagai kepala negara lenyap seiring jatuhnya Baghdad oleh Mongol pada 1258. Keturunan Abbasiyah yang tersisa melanjutkan tampuk kekhalifahan di Mesir yang saat itu di bawah kekuasaan [[Kesultanan Mamluk (Kairo)|Kesultanan Mamluk]]. Tanpa wilayah kekuasaan dan kekuatan politik yang memadai, khalifah hanya berperan sebagai pemersatu umat Islam secara simbolis sehingga khalifah pada periode ini dikenal sebagai "khalifah bayangan."
Setelah Kesultanan Mamluk ditaklukkan oleh Kesultanan Utsmani pada 1517, pemimpin Utsmani mengambil gelar khalifah untuk mereka sendiri. Gelar khalifah terbatas hanya sebagai pemimpin simbolis dunia Islam setelah 1258 dan hal itu tetap tidak berubah pada masa Utsmani. Para penguasa Utsmani memiliki kekuasaan karena kedudukan mereka sebagai sultan dan ''padisyah'' (kaisar), bukan karena status mereka sebagai khalifah. Pada praktiknya, para penguasa Utsmani terbilang sangat jarang menggunakan gelar khalifah (pemimpin umat Islam) mereka dalam perpolitikan dalam dan luar negeri dan lebih sering menggunakan status mereka sebagai sultan dan ''padisyah'' (kepala negara Utsmani). Gelar khalifah mulai digunakan penguasa Utsmani pada saat [[Perjanjian Küçük Kaynarca]], untuk menegaskan kedudukannya sebagai pelindung umat Islam di Rusia. Sultan Abdul Hamid II merupakan penguasa Utsmani yang paling sering menggunakan gelar khalifah dalam upayanya menggalang persatuan di dunia Islam untuk menghadapi imperialisme Barat.
Pada November 1922, Majelis Agung Nasional Turki membubarkan Kesultanan Utsmani dan sultan terakhirnya, Mehmed VI, diasingkan ke Malta. Meski begitu, [[Mustafa Kemal Atatürk|Mustafa Kemal (Atatürk)]] belum berani membubarkan kekhalifahan demi menjaga dukungan masyarakat, juga karena kekhalifahan adalah lambang pemersatu umat Islam Sunni seluruh dunia, berbeda dengan Kesultanan Utsmani yang merupakan sebatas negara. [[Majelis Agung Nasional Turki]] kemudian mengangkat sepupu Mehmed VI sebagai Khalifah Abdul Mejid II pada 19 November 1922. Abdul Mejid II merupakan satu-satunya khalifah dari Wangsa Utsmani yang tidak merangkap sebagai sultan. Namun karena khawatir Abdul Mejid II akan menggunakan statusnya sebagai khalifah untuk campur tangan dalam urusan dalam dan luar negeri Turki sebagaimana yang dilakukan para Sultan Utsmani terdahulu, Majelis Agung Nasional Turki akhirnya membubarkan kekhalifahan pada 3 Maret 1924, menjadikan Abdul Mejid II sebagai khalifah terakhir. Negara-negara Muslim mempertanyakan keabsahan pembubaran kekhalifahan oleh pihak Turki dan terdapat beberapa pertemuan para tokoh Muslim terkait keberlangsungan kekhalifahan, tetapi tidak ada kesepakatan bersama yang dapat dicapai.
Khalifah berbeda dengan [[sultan]]. Bila khalifah merupakan pemimpin seluruh umat Islam (baik secara hierarkis atau hanya sekadar simbolis), sultan merupakan kepala dari suatu negara Muslim tertentu dan bukan pemimpin umat Muslim secara keseluruhan. Kedua gelar ini kerap disamakan pada masa-masa sekarang, sangat mungkin lantaran penguasa Utsmani (negara adidaya Muslim terakhir pada milenium kedua) memegang kedua gelar ini secara bersamaan. Penguasa Utsmani merupakan seorang sultan dalam kapasitasnya sebagai kepala negara Utsmaniyah dan sebagai khalifah dalam artian pemimpin simbolis seluruh umat Islam.
== Etimologi ==
Kata "khalifah" ({{lang-ar|خَليفة}}; ''khalīfah'') bermakna "penerus" atau "perwakilan." Dalam Al-Qur'an disebutkan,
{{quote|"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, 'Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi.'"|{{Cite quran|002|030}}||}}
{{quote|"Wahai [[Dawud]], sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah di bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah."|{{Cite quran|038|026}}||}}
Dalam konteks khusus, khalifah adalah pengganti atau penerus Muhammad sebagai pemimpin umat Islam. Kepemimpinan umat ini memiliki dimensi duniawi dan agama, sehingga pada dasarnya, khalifah adalah pemimpin dan pembimbing umat Islam dalam urusan administratif kenegaraan ataupun moral dan agama. Secara tradisi, khalifah sendiri merupakan kependekan dari ''Khalīfat Rasūl Allāh'' (penerus utusan Allah).
Khalifah juga dapat dimaknai sebagai kewenangan yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk mengelola alam untuk keperluan hidupnya. Kewenangan ini diberikan dengan adanya batasan atas tanggung-jawab yang baik dan tidak berlebihan. Bekal yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk memenuhi peran ini adalah akal. Keberadaan akal membuat manusia dapat melakukan pengamatan terhadap alam semesta. Dengan perannya ini, manusia diberi tanggung jawab untuk memakmurkan alam sehingga tercipta keseimbangan antara alam dan kehidupan manusia. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur'an pada [[Surah Luqman]] ayat 20. Ayat ini menjelaskan bahwa Allah telah mengatur langit dan Bumi agar sesuai dengan kebutuhan hidup manusia secara sempurna. Ini dijadikan olehNya sebagai tanda-tanda kekuasaanNya. Sedangkan peran manusia sebagai pemakmur Bumi ditetapkan oleh Allah pada [[Surah Hud]] ayat 61. Ayat ini juga mengaitkan peran manusia sebagai pemakmur Bumi dan penciptaan manusia dari tanah.<ref>{{Cite book|last=Hambali|first=Muhammad|date=2017|url=https://www.google.co.id/books/edition/Panduan_Muslim_Kaffah_Sehari_hari_dari_K/b1FHEAAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=panduan+muslim+kaffah&pg=PA31&printsec=frontcover|title=Panduan Muslim Kaffah Sehari-Hari: Dari Kandungan hingga Kematian|location=Yogyakarta|publisher=Laksana|isbn=978-602-407-185-1|editor-last=Rusdianto|pages=23|url-status=live}}</ref>
=== Khulafaur Rasyidin ===
{{artikel|Kekhalifahan Rasyidin}}
[[Berkas:Rashidun Caliph Abu Bakr as-Șiddīq (Abdullah ibn Abi Quhafa) - أبو بكر الصديق عبد الله بن عثمان التيمي القرشي أول الخلفاء الراشدين.svg|jmpl|150px|Kaligrafi [[Abu Bakar Ash-Shiddiq]] ''radhiallahu 'anhu'', khalifah pertama]]
Segera setelah kematian Muhammad pada 632, Abu Bakar di[[baiat]] sebagai pemimpin umat Islam di [[Masjid Nabawi]]. Dikenal dengan sebutan ''Ash-Shiddiq'' ({{lang-ar|اَلـصِّـدِّيْـق}}, "Tepercaya"), Abu Bakar termasuk salah satu pemeluk Islam awal dan melalui putrinya, '[[Aisyah]]. Masa kekuasaannya yang singkat dikerahkan untuk menumpas pemberontakan dari berbagai suku Arab yang merasa tidak punya tanggung jawab kesetiaan lagi pada pihak [[Madinah]] sepeninggal Muhammad.<ref name="Parolin52">Gianluca Paolo Parolin, ''Citizenship in the Arab World: Kin, Religion and Nation-state'' (Amsterdam University Press, 2009), 52.</ref> Abu Bakar sangat menjaga agar kebijakan yang dia ambil tidak berbeda dengan Muhammad.
Setelah Abu Bakar meninggal dunia pada 634 dengan meninggalkan keadaan kekhalifahan yang mulai stabil, '[[Umar bin Khattab]] di[[baiat]] sebagai khalifah kedua. Sebagaimana Abu Bakar, 'Umar juga merupakan mertua Muhammad melalui [[Hafshah binti Umar|Hafshah]]. Di masanya, 'Umar melakukan berbagai pembaharuan dan perluasan. Tapal batas kekhalifahan meluas keluar dari semenanjung Arabia, mengakhiri riwayat [[Kekaisaran Sasaniyah]] dan mengambil alih dua pertiga wilayah [[Kekaisaran Romawi Timur]].<ref>Hourani, p. 23.</ref> Segala capaiannya menjadikan 'Umar sebagai salah satu khalifah paling berpengaruh sepanjang sejarah.<ref>Ahmed, Nazeer, ''Islam in Global History: From the Death of Prophet Muhammad to the First World War'', American Institute of Islamic History and Cul, 2001, p. 34. {{ISBN|0-7388-5963-X}}.</ref>
[[Berkas:Mohammad adil-Rashidun-empire-at-its-peak-close.PNG|jmpl|kiri|Wilayah Kekhalifahan Rasyidin pada masa kekuasaan 'Utsman bin 'Affan]]
'[[Utsman bin 'Affan]] meneruskan tampuk kekhalifahan sepeninggal 'Umar dan berbeda dengan pendahulunya, 'Utsman lebih memberikan kekuasaan [[otonomi]] yang lebih longgar pada bawahannya. Hal ini menjadikan perluasan wilayah kekhalifahan dapat dilangsungkan secara lebih mandiri, sehingga dapat mencapai wilayah yang lebih jauh. Pada masanya, kekhalifahan sudah mencapai sebagian wilayah [[Khorasan Raya]] (kawasan Asia Tengah) di batas timur.<ref name="middle east">{{cite book|last1=Ochsenweld|first1=William|last2=Fisher|first2=Sydney Nettleton |authorlink2=Sydney Nettleton Fisher|title=The Middle East: A History|url=https://archive.org/details/middleeasthistor0000fish_u9b8|edition=6th |year=2004 |publisher=McGraw Hill|location=New York|isbn=978-0-07-244233-5}}</ref> Di masanya, masyarakat menjadi lebih makmur dalam masalah ekonomi dan menikmati kebebasan yang lebih besar di bidang politik. Namun 'Utsman juga dikritik dengan dalih [[Nepotisme]], karena lebih mendahulukan [[Bani Umayyah|keluarga besarnya]] untuk mengisi berbagai kedudukan penting, menjadikan munculnya gelombang demonstrasi besar-besaran yang berujung pada pengepungan rumahnya pada tahun 656. 'Utsman yang tidak ingin menjadi penyebab perang saudara menolak bantuan militer dari kerabat dan pihak lain, menjadikannya terbunuh di akhir pengepungan.<ref name="CHI">''The Cambridge History of Islam'', ed. P.M. Holt, Ann K.S. Lambton, and [[Bernard Lewis]], Cambridge, 1970</ref>
'Ali mewarisi kedudukan khalifah setelahnya. Masa kekuasaannya merupakan salah satu masa-masa tersulit dalam sejarah Islam lantaran pada masa kekuasaannya terjadi perang saudara Islam pertama yang berawal dari terbunuhnya 'Utsman. 'Ali dibunuh kelompok Khawarij<ref>{{Harvnb|Lapidus|2002|p=47}}.</ref><ref>{{Harvnb|Holt|Lambton|Lewis|1970|pp=70–72}}.</ref><ref>{{Harvnb|Tabatabaei|1979|pp=50–75 and 192}}.</ref> dan putranya, [[Hasan bin Ali|Hasan]], diangkat menjadi khalifah oleh sekelompok Muslim pada 661. Namun beberapa bulan setelahnya, Hasan menyerahkan tampuk kekhalifahan kepada Mu'awiyah<ref name="Donaldson">{{cite book|last=Donaldson|first=Dwight M.|title=The Shi'ite Religion: A History of Islam in Persia and Irak|year=1933|pp=66–78|publisher=Burleigh Press| url=https://ia800403.us.archive.org/34/items/DonaldsonDwightM.1933TheShiiteReligion/Donaldson%2C%20Dwight%20M.%201933%20-%20The%20Shi%27ite%20Religion.pdf}}</ref><ref name="Jafri">{{cite book|last1=Jafri|first1=Syed Husain Mohammad|title=The Origins and Early Development of Shi’a Islam; Chapter 6|date=2002|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0195793871}}</ref> demi menghindari perang saudara lebih lanjut.<ref>{{cite web |last1=Ayati |first1=Dr. Ibrahim |title=A Probe into the History of Ashura' |url=https://www.al-islam.org/probe-history-ashura-dr-ibrahim-ayati |website=Al-Islam.org |publisher=Ahlul Bayt Digital Islamic Library Project}}</ref>
Di wilayah yang dulu dikuasai Kekaisaran Sasaniyah dan Romawi, khalifah menurunkan pajak dan memberikan kelonggaran otonomi melalui gubernur pilihan mereka. Berkebalikan dengan Romawi, khalifah memberikan kebebasan beragama yang lebih luas dan memberikan masyarakat non-Muslim hak otonomi untuk mengatur urusan mereka sendiri. Segala kebijakan ini mengangkat moral dan kepercayaan masyarakat yang selama ini terbebani dengan pajak tinggi dan segala kekacauan yang diakibatkan [[Perang Romawi-Persia]] yang berturut-turut.<ref>[[John Esposito]] (1992)</ref>
Kerap dipandang sebagai bentuk ideal kekhalifahan oleh banyak umat Islam, khalifah pada masa ini memegang peran sebagai pemimpin umat Islam dalam urusan dunia dan agama. Tidak hanya dalam urusan kenegaraan, para khalifah juga merupakan pengambil keputusan dalam berbagai urusan yang berkaitan dengan ibadah. Kekhalifahan sendiri cenderung berwujud negara kesatuan pada masa ini dan para gubernur secara hierarkis berada di bawah khalifah.
=== Wangsa Umayyah ===
{{artikel|Bani Umayyah}}
Setelah Hasan bin 'Ali turun takhta pada 661, [[Mu'awiyah bin Abu Sufyan|Mu'awiyah]] berkuasa sebagai khalifah. Penetapan [[Yazid bin Muawiyah|putranya]] sebagai putra mahkota membuat bentuk kekhalifahan berubah menjadi monarki dinasti yang kedudukan kepala negaranya diwariskan hanya di antara keluarga besar penguasa sebelumnya, dan dari sinilah Wangsa Umayyah lahir.<ref>{{cite book | url=https://books.google.com/books?id=H_m14NlQQMYC&pg=PA129| last=Cavendish | first=Marshall |title=Islamic Beliefs, Practices, and Cultures| chapter=6| page=129|year=2010 | isbn=978-0-7614-7926-0 }}</ref> Secara silsilah, khalifah dari Wangsa Umayyah terbagi menjadi dua:
* Kelompok Sufyani, yakni yang merupakan keturunan dari [[Abu Sufyan bin Harb]]. Ada tiga orang khalifah yang berasal dari garis Sufyani.
* Kelompok Marwani, merujuk kepada [[Marwan bin al-Hakam]] dan keturunannya. Ada sebelas orang khalifah yang berasal dari garis Marwani.
Abu Sufyan dan Al-Hakam (ayah Marwan) adalah cucu dari [[Umayyah bin 'Abd asy-Syams]] dan dari sini nama Bani Umayyah ditetapkan.
[[Berkas:Umayyad750ADloc.png|jmpl|kiri|Wilayah kekhalifahan pada masa Bani Umayyah, 750]]
Wangsa Umayyah melanjutkan perluasan wilayah kekhalifahan, meliputi kawasan [[Transoxiana]], [[Sindh]], [[Arab Maghrib]], dan [[Al-Andalus]]ia, menjadikan kekhalifahan saat itu sebagai salah satu [[Daftar imperium terbesar|kekaisaran terbesar di dunia yang pernah ada]], baik dari segi luas wilayah maupun populasi, dengan luas mencakup 11,100,000 km<sup>2</sup> dengan penduduk sekitar 33 juta jiwa.<ref name=Blankinship>{{citation|title=The End of the Jihad State, the Reign of Hisham Ibn 'Abd-al Malik and the collapse of the Umayyads|first=Khalid Yahya|last=Blankinship|publisher=[[State University of New York Press]]|year=1994|isbn=0-7914-1827-8|page=37}}</ref>
Pada masa Umayyah, bahasa Arab ditetapkan sebagai bahasa resmi dari kekhalifahan yang terdiri dari penduduk multi-etnis tersebut. Perpindahan agama besar-besaran menjadi mualaf juga terjadi pada masa Umayyah. Pembangunan banyak bangunan Muslim bersejarah juga dibangun pada masa ini, seperti [[Kubah Shakhrah]] di kompleks [[Masjid Al-Aqsha|Masjid Al Aqsha]] dan [[Masjid Agung Umayyah]].<ref name=Previte-Orton236>Previté-Orton (1971), pg 236</ref> Umayyah juga memberikan kebebasan beragama pada umat non-Muslim dan meskipun mereka tidak bisa menempati hierarki teratas lembaga-lembaga penting, banyak yang menjadi pejabat tinggi di pemerintahan, menjadikan sebagian kalangan Muslim menilai bahwa Wangsa Umayyah terlalu sekuler.<ref>{{Cite news|url=https://www.britannica.com/topic/Umayyad-dynasty-Islamic-history|title=Umayyad dynasty {{!}} Islamic history|work=Encyclopedia Britannica|access-date=2017-03-26|language=en}}</ref> Umayyah juga mampu menyerap dan menghidupkan berbagai kebudayaan asli dari bangsa-bangsa yang telah tergabung dalam naungan kekhalifahan, salah satunya tercermin dari arsitektur.<ref>{{harvnb|Menocal|2015|p=19}}</ref> [[Masjid Agung Umayyah]] sebelumnya merupakan [[katedral]] Kristen yang dipersembahkan untuk [[Yohanes Pembaptis]] ([[Yahya]] dalam Islam) yang awalnya merupakan kuil Romawi untuk pemujaan [[Yupiter (mitologi)|Dewa Yupiter]].<ref>Burns, 2005, p.88.</ref><ref>Grafman and Rosen-Ayalon, 1999, p.7.</ref>
Terlepas dari segala capaiannya, Umayyah dikritik karena sangat menganakemaskan Muslim Arab dibandingkan Muslim dari etnis lain yang jumlahnya semakin besar. Pembunuhan [[Husain bin Ali|Husain]] dalam [[Pertempuran Karbala]] pada 680 oleh pihak Umayyah menjadikan perpecahan antara Sunni dan Syiah semakin nyata.<ref name=econ1>{{cite news| url=https://www.economist.com/blogs/economist-explains/2013/05/economist-explains-19 | work=The Economist | title=What is the difference between Sunni and Shia Muslims? | date=28 May 2013}}</ref> [[Perang saudara Islam ketiga|Perang saudara]] juga melanda kekhalifahan mulai tahun 744, menjadikan kendali Wangsa Umayyah atas negara melemah. Gelombang non-Arab yang menjadi mualaf juga mengubah keadaan dalam negeri kekhalifahan karena banyak dari mereka yang lebih terdidik dari bangsa Arab sendiri, sehingga mengubah keadaan politik dalam kekhalifahan.<ref>Previté-Orton (1971), vol. 1, pg. 239</ref> Pada akhirnya, pendukung [[Banu Hasyim|Bani Hasyim]] dan garis keturunan 'Ali berhasil meruntuhkan kekuasaan Umayyah pada 750. Banyak anggota Wangsa Umayyah yang dibunuh setelahnya, di antaranya adalah [[Marwan bin Muhammad]] yang merupakan khalifah terakhir dari Wangsa Umayyah di Syam. Di antara anggota Wangsa Umayyah yang selamat adalah [[Abdurrahman Ad Dakhil|'Abdurrahman ad-Dakhil]] yang mengungsi ke Al-Andalus dan berkuasa di sana.
Pada masa Umayyah, dimensi keagamaan dalam gelar khalifah memudar seiring menurunnya akhlak dan keagamaan dari sebagian khalifah. Ibnu Katsir menyebutkan kepribadian Khalifah Yazid yang suka mabuk-mabukan.<ref>{{cite book |last1=Ibn Kathir |title=Al-Bidāya wa-n-Nihāya, Volume 8 |pages=235-236}}</ref> Dari semua khalifah dari Wangsa Umayyah, [[Umar bin Abdul-Aziz|'Umar bin 'Abdul 'Aziz]] dikenal yang paling saleh dan kerap dipandang sebagai ''khulafaur rasyidin'' kelima. Meski begitu, peran khalifah sebagai kepala negara dari seluruh dunia Islam masih terjaga.
=== Wangsa Abbasyiah ===
{{artikel|Bani Abbasiyah}}
[[Berkas:Abbasid Caliphate 891-892.png|jmpl|kiri|Wilayah kekhalifahan pada masa Bani Abbasiyah, sekitar 892. Warna hijau gelap merupakan wilayah yang secara langsung dikuasai khalifah.]]
Wangsa Abbasiyah memegang tampuk kekhalifahan setelah kekuasaan Umayyah di [[Syam]] runtuh pada 750. Keluarga besar ini merupakan keturunan dari [[Abbas bin Abdul Muthalib]], paman Nabi Muhammad. Berpusat di kawasan [[Mesopotamia]], Abbasiyah mengadopsi secara besar-besaran kebudayaan Persia ke dalam tubuh kekhalifahan.<ref>{{cite book|last1=Canfield|first1=Robert L.|title=Turko-Persia in Historical Perspective|date=2002|publisher=Cambridge University Press|isbn=9780521522915|page=5}}</ref>
Pada keberjalanannya, wilayah kekuasaan khalifah pada masa Abbasiyah perlahan semakin menyusut hingga hanya di sekitar Mesopotamia. Banyak pihak mendirikan dinasti mereka sendiri dan menguasai suatu bagian dari dunia Islam seperti [[Idrisiyyah|Wangsa Idrisiyyah]] yang menguasai [[Maroko]], [[Aghlabiyyah]] yang memerintah di [[Ifriqiya]], [[Dinasti Thuluniyah]] di Mesir dan Palestina, [[Dinasti Buwayhiyah|Bani Buwaih]] di Iran, [[Dinasti Samaniyah]] di Transoxiana, dan [[Kesultanan Seljuk Raya|Seljuk]] yang menguasai wilayah yang sangat luas di kawasan Timur Tengah, Kaukasus, dan Asia Tengah. Sebagian dari penguasa dinasti ini menggunakan gelar [[amir]] atau bahkan ''[[Syah (gelar)|syahansyah]]'' (raja diraja), gelar penguasa Persia pra-Islam. Pada masa ini mulai muncul gelar sultan yang mulai digunakan untuk kepala negara Muslim dan mulai menggeser penggunaan gelar amir. Meski banyak dari dinasti baru ini menguasai wilayah yang jauh lebih luas dari khalifah sendiri dan memerintah secara mandiri tanpa campur tangan khalifah, tetapi para amir dan sultan ini tetap mengakui kedaulatan khalifah atas mereka secara simbolis dan khalifah tetap dipandang sebagai pemimpin dunia Islam secara keseluruhan.
[[Berkas:Maqamat hariri.jpg|jmpl|250px|Pelajar di perpustakaan Abbasiyah [[Baghdad]]. Ilustrasi oleh Yahyá al-Wasiti, 1237.]]
Salah satu hal paling menonjol pada masa kekuasaan Abbasiyah adalah dukungan besar mereka pada ilmu pengetahuan, salah satunya adalah pembangunan [[Baitul Hikmah]], tempat penerjemahan, pengumpulan, penggabungan, dan pengembangan ilmu dari kebudayaan Romawi kuno, Tiongkok, Persia, India, Mesir, Afrika Utara, Yunani, dan Romawi Timur. Tidak hanya menjadi jantung kekuasaan dan pemerintahan, [[Bagdad|Baghdad]], dan dunia Islam secara umum, juga menjelma menjadi pusat ilmu pengetahuan, filsafat, pendidikan, dan kesehatan pada masa yang dikenal dengan [[Zaman Keemasan Islam|zaman keemasan Islam]].<ref name="Vartan">{{harvnb|Gregorian|2003}}</ref> Pada berbagai bidang - [[Matematika Islam abad pertengahan|matematika]], [[Astronomi di dunia Islam pada Abad Pertengahan|astronomi]], [[Alkimia dan kimia pada zaman Islam pertengahan|alkimia]], kedokteran, optik, dan sebagainya - ilmuwan kekhalifahan berada pada garda terdepan dalam kemajuan ilmu pengetahuan pada masa itu.<ref>{{harvnb|Huff|2003|p=48}}</ref> Tidak hanya Muslim, ilmuwan dari kalangan non-Muslim juga turut memberi sumbangsih besar pada perkembangan ini.
Sastra dan literatur juga menjadi salah satu perhatian pada masa ini. Salah satu fiksi dari dunia Islam yang terkenal hingga saat ini, [[Seribu Satu Malam]], yang merupakan kumpulan hikayat dan legenda, utamanya dikumpulkan pada masa Abbasiyah. Epik ini diyakini mulai terbentuk pada abad kesepuluh dan mencapai bentuk akhirnya pada abad keempat belas, jumlah dan jenis ceritanya berbeda-beda antara satu manuskrip dengan yang lain.<ref name="arabianNights">{{Harvnb | Grant | Clute | 1999 | p = 51}}.</ref> Syair Arab juga mencapai puncaknya pada masa ini. Salah satu syair terkenal dalam masalah percintaan adalah Layla dan Majnun.<ref>{{harvnb|Clinton|2000|pp=15–16}}</ref> Berbeda pada masa kekhalifahan sebelumnya, peran perempuan dalam ranah publik memudar di zaman Abbasiyah.{{sfn|Ahmed|1992|pp=112–15}} Budaya Persia pra-Islam, utamanya di kalangan atas, sangat ketat dalam melakukan pemisahan dunia laki-laki dan perempuan. Perempuan kalangan atas hidup dipingit dalam [[harem]] sebagai lambang kesucian dan tingginya status sosial keluarga yang bersangkutan.<ref name=seclusion-patel>{{cite encyclopedia|author=Youshaa Patel|title=Seclusion|encyclopedia=The Oxford Encyclopedia of Islam and Women|publisher=Oxford University Press|location=Oxford|year=2013|url=http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t355/e0184|subscription=yes}}</ref><ref name=seclusion-doumato>{{cite encyclopedia|author=Eleanor Abdella Doumato|title=Seclusion|encyclopedia=The Oxford Encyclopedia of the Islamic World|editor=John L. Esposito|publisher=Oxford University Press|location=Oxford|year=2009|url=http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t236/e0713|subscription=yes}}</ref> Norma tersebut kemudian diadopsi Abbasiyah dan diikuti banyak umat Muslim pada masa-masa berikutnya.<ref name=seclusion-doumato/>
Berbeda pada masa sebelumnya, kekhalifahan sudah tidak bisa dikatakan sebagai negara kesatuan lagi. Banyak dinasti baru bermunculan dan pemimpin mereka berkuasa secara berdaulat tanpa campur tangan khalifah. Meski begitu, mereka masih memberikan ketundukkan mereka kepada khalifah meski hanya sebatas formalitas. Khalifah sendiri masih memiliki peran sebagai kepala negara sebagai penguasa di kawasan Mesopotamia. Peran khalifah sebagai kepala negara baru benar-benar lenyap setelah [[Hulagu Khan]] menduduki Baghdad pada 1258 dan membunuh Khalifah [[Al-Musta'shim|'Abdullah Al-Musta'shim]]. Setelah peristiwa tersebut, dunia Islam mengalami kekosongan dari kepemimpinan khalifah selama sekitar tiga tahun. Dari naiknya Wangsa Abbasiyah setelah penggulingan Umayyah sampai jatuhnya Baghdad, terdapat 37 khalifah.
==== Bani Abbasiyah di Kairo ====
Setelah jatuhnya Baghdad, anggota Wangsa Abbasiyah yang selamat melarikan diri ke Mesir yang saat itu dikuasai [[Kesultanan Mamluk (Kairo)|Kesultanan Mamluk]] dan melanjutkan tampuk kekhalifahan di sana mulai tahun 1261. Namun berbeda saat masih di Baghdad, khalifah pada masa ini sama sekali tidak memiliki wilayah kekuasaan. Khalifah hanya mengurus permasalahan upacara dan keagamaan, sementara kekuatan politiknya sangat terbatas. Peran khalifah sebagai pemimpin umat Islam yang tadinya memiliki kekuatan politik sebagai kepala negara bergeser menjadi sepenuhnya hanya sekadar simbol. Hal ini mejadikan khalifah sering terombang-ambing saat terjadi guncangan di pemerintahan Mesir. Tidak hanya mampu menunjuk khalifah baru yang dikehendaki, Sultan Mamluk bahkan mampu menggulingkan khalifah yang masih bertakhta saat terjadi perselisihan. Keadaan tersebut membuat khalifah pada periode ini sering disebut sebagai "khalifah bayangan".
Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1517 saat [[Kesultanan Utsmaniyah|Kesultanan Utsmani]] yang berpusat di Konstantinopel menduduki Mesir, mengakhiri riwayat Mamluk. Khalifah saat itu, Muhammad Al-Mutawakkil, kemudian menyerahkan gelar khalifah kepada Sultan Utsmani, [[Selim I]], menandai berakhirnya peran Wangsa Abbasiyah dan [[Suku Quraisy|Quraisy]] sebagai khalifah. Dari tahun 1261 sampai penaklukkan Mesir oleh Utsmani, terdapat 17 khalifah. Di antara mereka, tiga khalifah menjabat sebanyak dua kali dan seorang khalifah menjabat sebanyak tiga kali. Secara keseluruhan, Wangsa Abbasiyah menyandang gelar khalifah selama hampir tujuh setengah abad, menjadikannya sebagai dinasti terlama yang memegang peran sebagai pemimpin dunia Islam ini sepanjang sejarah kekhalifahan.
===
{{artikel|Kekhalifahan Utsmaniyah}}
Sebelum menjadi sebuah kekaisaran lintas benua, Utsmani awalnya adalah sebuah kadipaten kecil di kawasan [[Anatolia]] yang merupakan bawahan Kesultanan Seljuk. Saat Seljuk di ambang keruntuhan, kadipaten-kadipaten di Anatolia memerdekakan diri, termasuk kadipaten yang berada di bawah pimpinan [[Osman I|Osman]]. Perlahan kadipaten yang dipimpin Osman dan keturunannya meluaskan wilayah dan menyatukan kadipaten yang lain, juga mulai meluaskan wilayahnya ke kawasan Balkan. Anak keturunannya menggunakan nama Osman untuk nama dinasti dan negara mereka yang semakin berkembang ini, yang kemudian dieja menjadi Utsman atau Utsmaniyah di Indonesia dan Ottoman di Barat.
Seiring menguatnya Kesultanan Utsmaniyah, para pemimpin mereka mulai mengklaim gelar khalifah untuk diri mereka sendiri, meski saat itu Wangsa Abbasiyah yang berada di Mesir masih memegang gelar ini dari generasi ke generasi. Klaim Utsmani atas kepemimpinan dunia Islam semakin menguat saat di bawah kepemimpinan Selim I, mereka menaklukkan Kesultanan Mamluk yang menguasai [[Mesir pada Abad Pertengahan|Mesir]], [[Syam]], dan [[Hijaz]] pada 1517. Wangsa Abbasiyah yang sejak tahun 1261 hidup dalam perlindungan Mamluk kemudian menyerahkan kedudukan mereka sebagai khalifah kepada pihak Utsmani, menjadikan Selim secara resmi sebagai khalifah pertama dari Wangsa Utsmani dan non-Arab.
[[Berkas:Yavuz Mısır Seferi.jpg|jmpl|kiri|Lukisan Sultan [[Selim I]] di Mesir. Selim I secara resmi menjadi khalifah setelah penaklukkan Mesir.]]
Semenjak jatuhnya Baghdad, khalifah kehilangan fungsinya sebagai kepala negara dan hanya berperan sebagai pemimpin dunia Islam secara simbolis. Keadaan itu sebenarnya tetap tidak berubah pada masa Utsmani. Para penguasa Utsmani memiliki kekuatan politik atas kedudukan mereka sebagai sultan dan ''padisyah'', bukan karena status mereka sebagai khalifah. Pada praktiknya, penguasa Utsmani sangat jarang menggunakan gelar khalifah pada percaturan politik di dalam dan luar negeri.
Di masa-masa selanjutnya, status penguasa Utsmani sebagai sultan melemah seiring bergesernya kendali pemerintahan di tangan wazir agung (perdana menteri) dan tokoh-tokoh terkemuka lain, tetapi fungsi khalifah justru makin berkembang. Gelar khalifah mulai digunakan saat [[Perjanjian Küçük Kaynarca]] (1774) yang dilakukan antara pihak Kesultanan Utsmani yang saat itu dipimpin [[Abdul Hamid I|Sultan Abdul Hamid I]] (berkuasa 1773 – 1789) dan [[Kekaisaran Rusia]] yang dipimpin [[Yekaterina II dari Rusia|Maharani Yekaterina II]]. Atas kemenangan Rusia atas Utsmani pada Perang Kozludzha, Utsmani dipaksa mengakui kedaulatan [[Kekhanan Krimea]] yang awalnya merupakan bawahan Utsmani dalam Perjanjian Küçük Kaynarca. Meski secara politik kehilangan Krimea, Abdul Hamid I menggunakan statusnya sebagai khalifah untuk menegaskan kepemimpinan keagamaannya atas Muslim Krimea. Yekaterina sendiri juga mengklaim sebagai pelindung umat Kristen Ortodoks di wilayah Utsmani pada perjanjian ini.<ref name="Cambridge">{{cite book |title=The Cambridge History of Islam I: The Central Islamic Lands |year=1970 |publisher=Cambridge University Press |language=tr}}</ref> Dari perjanjian ini, status khalifah yang merupakan pemimpin dunia Islam mulai berkembang dari yang hanya sekadar simbol menjadi sebuah gelar yang memiliki kekuatan politik.
Di antara semua penguasa Utsmani, [[Sultan Abdul Hamid II]] (berkuasa 1876 – 1909) adalah yang paling sering menggunakan kedudukannya sebagai khalifah. Melalui statusnya sebagai khalifah, Abdul Hamid II berusaha menyatukan masyarakatnya yang multi-etnis atas dasar agama sebagai reaksi atas keadaan Utsmani yang semakin melemah dan terpecah,<ref>M.Sükrü Hanioglu, A Brief History of the Late Ottoman Empire, 130.</ref> juga menghimpun kekuatan dari seluruh dunia Islam untuk bersatu dalam melawan imperialisme Barat. Upayanya ini mengancam negara-negara Eropa, yakni Austria melalui Muslim Albania, Rusia melalui Tatar dan Kurdi, Prancis melalui Muslim Maroko, dan Britania Raya melalui Muslim India.<ref name="Takkush, Mohammed Suhail pp.489,490">Takkush, Mohammed Suhail, "The Ottoman's History" pp.489,490</ref> Upaya ini membuahkan hasil dalam beberapa hal. Setelah kemenangan Utsmani pada [[Perang Yunani-Turki (1897)|Perang Yunani-Turki]], banyak umat Muslim memandang ini sebagai kemenangan Muslim. Pemberontakan dan penolakan penjajahan bangsa Eropa dilaporkan di surat kabar di berbagai wilayah Muslim.<ref name="Takkush, Mohammed Suhail pp.489,490"/><ref>Lewis.B, "The Emergence of Modern Turkey" Oxford, 1962, p.337</ref>
Meski berupaya menyatukan dunia Islam, atas permintaan duta Amerika untuk Utsmani Oscar Straus, Abdul Hamid II sepakat untuk menulis surat kepada [[Suku Suluk]] di [[Kesultanan Sulu]] agar mereka tidak melakukan perlawanan kepada Amerika. Hal ini menjadikan Muslim Sulu mengakui kedaulatan Amerika atas mereka.<ref name="Karpat2001">{{cite book|author=Kemal H. Karpat|title=The Politicization of Islam: Reconstructing Identity, State, Faith, and Community in the Late Ottoman State|url=https://books.google.com/books?id=PvVlS3ljx20C&pg=PA235|year=2001|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-513618-0|page=235}}</ref><ref name="Karpat2001"/><ref name="Yegar2002">{{cite book|author=Moshe Yegar|title=Between Integration and Secession: The Muslim Communities of the Southern Philippines, Southern Thailand, and Western Burma/Myanmar|url=https://books.google.com/books?id=S5q7qxi5LBgC&pg=PA397|date=1 January 2002|publisher=Lexington Books|isbn=978-0-7391-0356-2|page=397}}</ref>
Terlepas dari segala hasil yang dicapai, upaya Abdul Hamid II dalam menyatukan masyarakat dengan identitas Islam tidak sepenuhnya berhasil. Hal ini karena besarnya jumlah populasi non-Muslim dan pengaruh Eropa atas Utsmani.<ref name="ReferenceC">Dr. Bayram Kodaman, The Hamidiye Light Cavalry Regiments (Abdullmacid II and Eastern Anatolian Tribes)</ref> Setelah Abdul Hamid II digulingkan pada 1909, baik status Sultan Utsmani maupun khalifah kehilangan kekuatan politiknya.
Sebagai posisi pemimpin dunia Islam, idealnya hanya ada satu khalifah dalam satu masa. Namun sejarah menyaksikan bahwa dalam beberapa kurun waktu, terdapat beberapa pihak yang mengklaim gelar khalifah selain khalifah utama. Beberapa alasan yang mendasarinya adalah reaksi penolakan atas kebijakan tertentu dari khalifah, kekuatan khalifah utama yang semakin memudar, atau pihak-pihak terkait merasa telah memiliki pengaruh yang cukup besar sehingga dipandang sebagai pemimpin dunia Islam. Mereka ini tidak dimasukkan ke dalam daftar khalifah utama atas dasar mereka klaim mereka sebagai khalifah tidak tersambung dengan khalifah sebelumnya.
Pernyataan pihak-pihak lain ini sebagai khalifah tidak berarti bahwa mereka menyatakan diri sejajar dengan khalifah utama. Khalifah adalah posisi untuk pemimpin dunia Islam dan harusnya hanya ada satu khalifah pada satu masa. Saat pihak ini menyatakan dirinya sebagai khalifah, mereka menyatakan kepemimpinan atas seluruh umat Islam (terlepas wilayah kekuasaan mereka secara ''[[de facto]]'') dan sekaligus memandang pihak lain sebagai khalifah yang tidak sah.<ref name="Wasserstein">{{cite book |last=Wasserstein |first=David |title=The Caliphate in the West: An Islamic Political Institution in the Iberian Peninsula |url=https://books.google.com/books?id=N2SKAAAAMAAJ&q=text+letter |format=snippet view |accessdate=5 September 2010 |year=1993 |publisher=Clarendon Press |location=Oxford |isbn=978-0-19-820301-8 |page=11}}</ref>
=== 'Abdullah bin Zubair ===
'[[Abdullah bin Zubair]] adalah salah satu pihak awal yang melakukan pernyataan diri sebagai khalifah dan menjadi khalifah paralel saat Wangsa Umayyah di Damaskus juga masih menyandang gelar ini. Ayahnya adalah [[Zubair bin Awwam]], keponakan [[Khadijah binti Khuwailid]] dari jalur ayah dan sepupu [[Muhammad]] dari jalur ibu. Ibunya adalah [[Asma' binti Abu Bakar|Asma']], putri [[Abu Bakar Ash-Shiddiq|Khalifah Abu Bakar]] dan kakak ipar Muhammad.
'Abdullah bin Zubair pada awalnya menolak kesetiaan kepada khalifah setelah Mu'awiyah bin Abu Sufyan melantik putranya sendiri, Yazid, sebagai putra mahkota. Setelah Yazid mangkat setelah tiga tahun berkuasa dan kekuasaan diwariskan kepada putranya, Mu'awiyah II, 'Abdullah bin Zubair menyatakan dirinya sebagai ''amirul-mu'minin'', salah satu gelar lain untuk khalifah.<ref name="Gibb55">Gibb 1960, p. 55.</ref><ref name="Hawting47">Hawting 1986, p. 47.</ref> Kedudukannya sebagai khalifah diakui oleh masyarakat Hijaz, Yaman, Mesir, dan Iraq. Kekuasaan 'Abdullah bin Zubair berakhir saat Khalifah '[[Abdul Malik bin Marwan]] mengutus [[Al-Hajjaj bin Yusuf]] untuk menundukkannya. Al-Hajjaj mengepung Makkah selama sekitar enam bulan dan banyak dari para pengikut 'Abdullah bin Zubair menyerah pada masa ini. 'Abdullah bin Zubair tetap menolak untuk menyerah dan melanjutkan perlawanan sampai dia terbunuh pada Oktober atau November 692.<ref name="Gibb55"/><ref name="Gibb54">Gibb 1960, p. 54.</ref>
===
[[Berkas:Fatimid Caliphate.PNG|jmpl|kiri|Wilayah kekuasaan Fatimiyah]]
Wangsa Fatimiyah adalah dinasti beraliran [[Ismailiyah|Syi'ah Ismailiyah]] yang menyatakan diri sebagai keturunan putri bungsu Muhammad, [[Fatimah az-Zahra]]. Mereka mengklaim gelar khalifah mulai tahun 909 dan menjadi khalifah pesaing dari Wangsa Abbasiyah yang bertakhta di Mesopotamia. Pada masa puncaknya, Fatimiyah menguasai kawasan [[Afrika Utara]], [[Sisilia]], [[Syam]], dan [[Hijaz]]. Fatimiyah awalnya berkuasa di kawasan Tunisia dan kemudian memindahkan ibu kotanya di Kairo setelah Mesir ditaklukkan pada 969.<ref name="AshtianyJohnstone1990">''[https://books.google.com/books?id=4sFzGGqA6uoC&pg=PA13 Abbasid Belles Lettres]''. Cambridge University Press; 30 March 1990. {{ISBN|978-0-521-24016-1}}. p. 13.</ref>
Fatimiyah membentuk tentara berlandas etnis yang terbukti membawa keberhasilan di medan perang, tetapi tidak dalam ranah politik dalam negeri. Perselisihan antar kelompok militer menjadikan kekuasaan dinasti ini merosot dengan cepat pada akhir abad kesebelas dan abad kedua belas. [[Shalahuddin Al-Ayyubi|Shalahuddin]] mengakhiri kekuasaan dinasti ini pada 1171, mendirikan dinasti Al-Ayyubi yang menyatakan kesetiaan pada Wangsa Abbasiyah.<ref>{{cite book|last=Baer|first=Eva|title=Metalwork in Medieval Islamic Art|year=1983|publisher=[[SUNY Press]]|isbn=9780791495575|page=xxiii|url=https://books.google.com/books?id=s__yi4pD-VEC}}</ref> Terdapat empat belas khalifah dari Wangsa Fatimiyah dan mereka berkuasa dalam rentang waktu lebih dari dua setengah abad.
=== Khalifah di Kordoba ===
[[Berkas:Califato de Córdoba - 1000-en.svg|jmpl|kiri|Wilayah kekuasaan Umayyah di Kordoba, sekitar tahun 1000]]
[[Semenanjung Iberia]], juga dikenal dengan [[Al-Andalus]]ia, telah menjadi bagian dari kekhalifahan pada masa Umayyah. Setelah kekuasaan Umayyah di Syam runtuh pada 750, '[[Abdurrahman Ad Dakhil|Abdurrahman ad-Dakhil]] pergi ke semenanjung Iberia dan menjadi penguasa di sana setelah menggulingkan penguasa sebelumnya, memerintah kawasan Iberia dari kota Kordoba. Meski moyangnya telah menyandang gelar khalifah selama hampir seabad saat berkuasa di Syam, anggota Wangsa Umayyah yang berkuasa di Iberia awalnya hanya menyandang gelar "amir" (setara dengan 'adipati') dan mengakui klaim pihak Abbasiyah sebagai pemimpin seluruh umat Islam,<ref name=":0">{{Cite book|title=A History of Medieval Spain|url=https://archive.org/details/historyofmedieva0000ocal|last=O'Callaghan|first=J. F.|publisher=Cornell University Press|year=1983|isbn=|location=Ithaca|pages=[https://archive.org/details/historyofmedieva0000ocal/page/119 119]}}</ref> meski perselisihan di antara kedua belah pihak masih berlanjut.
Namun setelah Fatimiyah yang mengklaim gelar khalifah mulai mengancam kekuasaan Umayyah di Al-Andalus, keturunan 'Abdurrahman ad-Dakhil, '[[Abdurrahman III]], menyatakan dirinya sebagai khalifah pada 16 Januari 929.<ref>Barton, 38.</ref> Hal ini menjadikan terdapat tiga pihak yang mengklaim gelar khalifah: Abbasiyah di Baghdad, Fatimiyah yang berpusat di Mesir, dan penguasa di Kordoba. Tak hanya dalam masalah kekuasaan, Kordoba juga menjadi pesaing Baghdad terkait perannya sebagai pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya.<ref name=b40>Barton, 40–41.</ref><ref>Barton, 42.</ref> Pada masa Al-Hakam II, perpustakaan istana memiliki 500.000 volume buku. Sebagai perbandingan, Biara Santo Gallen di Swiss hanya memiliki 100 volume.<ref name=":2">Catlos, Brain A. (2014). ''Infidel Kings and Unholy Wars: Faith, Power, and Violence in the Age of Crusades and Jihad''. New York: Farrar, Straus, and Giroux. p. 30.</ref> Universitas di Kordoba juga menjadi yang paling terkenal di dunia kala itu, didatangi murid Muslim ataupun Kristen dari segala penjuru Eropa Barat. Universitas ini melahirkan seratus lima puluh penulis. Universitas dan perpustakaan lain juga tersebar di kawasan Iberia pada masa ini.<ref>Francis Preston Venable, ''A Short History of Chemistry'' (1894) [https://books.google.com/books?id=fN9YAAAAYAAJ&pg=PA21 p. 21.]</ref>
Pada keberjalanannya, kekuasaan Wangsa Umayyah di Andalusia semakin melemah, menjadikan Wangsa Hammud, sebuah dinasti Muslim Arab-[[Orang Berber|Berber]], mampu merebut tampuk kekhalifahan selama beberapa waktu.<ref name=":2" /> Umayyah dapat mengambil kembali status khalifah, tetapi negara tersebut sudah sangat melemah dengan beberapa wilayah telah lepas dari kendali khalifah. Penggulingan [[Hisyam III dari Kordoba|Hisyam III]] pada 1031 menjadi akhir dari riwayat khalifah di Kordoba. Setelahnya, wilayah yang dulu dikuasai khalifah terpecah menjadi negara-negara kecil yang disebut ''[[taifa]]''.<ref>{{cite book |first=Anwar G. |last=Chejne |title=Muslim Spain: Its History and Culture |url=https://archive.org/details/muslimspainitshi0000chej |location=Minneapolis |publisher=The University of Minnesota Press |year=1974 |pages=[https://archive.org/details/muslimspainitshi0000chej/page/43 43]–49 |isbn=0816606889 }}</ref> Meski khalifah di Kordoba hanya bertahan selama sekitar satu abad, kekuasaan umat Muslim di Andalusia masih berlanjut sampai Wangsa Nasrid penguasa Granada dikalahkan pihak Katolik Spanyol pada 1492.
== Keruntuhan kekhalifahan ==
Setelah [[Abdul Hamid II]] digulingkan pada 1909, dua sultan penerusnya hampir kehilangan kekuatan politik sepenuhnya dan hanya berperan sebagai lambang kepala negara semata tanpa kekuasaan yang nyata. [[Kesultanan Utsmaniyah]] kehilangan sebagian besar wilayahnya setelah kalah dalam [[Perang Dunia I]], menjadikan hanya menguasai kawasan Anatolia dan ujung tenggara Balkan. [[Istanbul]] (Konstantinopel) dikuasai [[Britania Raya]] setelahnya, menciptakan sebuah kevakuman politik dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor pemerintahan dengan paksa.
Kekalahan Utsmani menimbulkan reaksi yang disebut [[Gerakan Khilafat]] sebagai bentuk kekhawatiran akan kesatuan umat Islam. Meski gerakan ini didengungkan di berbagai belahan dunia Islam, kegiatannya paling banyak dilangsungkan di India sehingga juga disebut Gerakan Muslim India. Sebagai pemenang perang, pihak Eropa menjanjikan untuk melindungi status penguasa Utsmani sebagai khalifah, tetapi [[Perjanjian Sèvres]] yang ditandatangani pada 1920 menjadikan kawasan Iraq, [[Syam]], dan Mesir diserahkan pada negara-negara Eropa.
Pada 1 November 1922, [[Majelis Agung Nasional Turki]] secara resmi membubarkan Kesultanan Utsmani. Sultan terakhirnya, [[Mehmed VI]], diasingkan ke Malta. Setelah pembubaran Utsmani, [[Republik Turki]] yang berasaskan sekuler didirikan dengan Mustafa Kemal sebagai presiden pertamanya.
[[Berkas:Abdulmecid efendi.jpg|jmpl|[[Abdul Mejid II]], khalifah terakhir]]
Meski demikian, Mustafa Kemal tidak berani membubarkan kekhalifahan demi menjaga dukungan rakyat. Meski sudah kehilangan peran politiknya sejak lama, khalifah tetap dipandang sebagai lambang pemersatu umat Islam Sunni seluruh dunia. Pembubaran kesultanan juga lebih mudah lantaran keberlangsungan kekhalifahan saat itu menyenangkan para pendukung kesultanan. Pada 17 November 1922, Majelis Agung Nasional Turki mengangkat sepupu Mehmed VI sebagai [[Abdul Mejid II|Khalifah Abdul Mejid II]]. Hal ini menjadikan Abdul Mejid II sebagai satu-satunya khalifah dari Wangsa Utsmani yang tidak merangkap sebagai sultan.
Hal tersebut menjadikan keadaan di Turki terbelah dengan pemerintahan republik yang baru di satu sisi dan pemerintahan Islam yang dikepalai khalifah di sisi lain. Khalifah memiliki perbendaharaan pribadi dan pelayanan pribadi, termasuk personel militer. Abdul Mejid II juga menerima duta asing, juga turut serta dalam upacara dan perayaan resmi.<ref name="Mango, Atatürk, 401">Mango, ''Atatürk'', 401</ref> Mustafa Kemal mengkhawatirkan bahwa Abdul Mejid II nantinya akan memegang kendali urusan negara selayaknya seorang sultan.<ref>Mango, ''Atatürk'', 403</ref>
Dalam keadaan seperti ini, Maulana Mohammad Ali dan Maulana Syaukat Ali yang merupakan pemimpin Gerakan Khilafat menyebarkan pamflet yang menyerukan rakyat Turki untuk mendukung kekhalifahan demi kepentingan Islam. Oleh pihak republik, hal ini dipandang sebagai campur tangan pihak asing yang dapat membahayakan keamanan negara. Hal ini menjadi pembenaran Mustafa Kemal untuk mengakhiri kekhalifahan. Pada 3 Maret 1924, Majelis Agung Nasional Turki membubarkan kekhalifahan dan mengasingkan Abdul Mejid II beserta para pangeran dan putri Wangsa Utsmaniyah dari Republik Turki.<ref>{{cite web|url= https://books.google.com/books?id=9cTHyUQoTyUC&pg=PA546&lpg=PA642&focus=viewpor&output=html_text|title= Osman's Dream: The History of the Ottoman Empire|first= Caroline|last= Finkel|authorlink= Caroline Finkel|publisher= [[Basic Books]]|year= 2007|isbn= 9780465008506|page= 546}}</ref><ref>{{Cite book|url=https://books.google.tn/books?id=cAhcJj-ij28C&pg=PA6&dq=Abdul+Medjid+II+last+caliph&hl=fr&sa=X&ved=0ahUKEwjSuOqH2bHXAhXHXBoKHQH8CpAQ6AEIIzAA#v=onepage&q=Abdul%20Medjid%20II%20last%20caliph&f=false|title=From Caliphate to Secular State: Power Struggle in the Early Turkish Republic|last=Özoğlu|first=Hakan|date=2011|publisher=ABC-CLIO|isbn=9780313379567|language=en}}</ref>
=== Pasca pembubaran kekhalifahan ===
Banyak pihak mempertanyakan keabsahan pembubaran kekhalifahan oleh pihak Turki secara sepihak.<ref name="Calipinternational">Majid Khadduri (2006) War and peace in the law of Islam, The Lawbook Exchange, Ltd., {{ISBN|1-58477-695-1}}-page 290-291</ref> Syarif Makkah, [[Husain bin Ali]], mengklaim gelar khalifah untuk dirinya sendiri. Mantan Sultan Mehmed VI memberi dukungan melalui telegram kepada Husain,<ref name="Teitelbaum">{{cite book|last1=Teitelbaum|first1=Joshua|title=The Rise and Fall of the Hashimite Kingdom of Arabia|date=2001|publisher=C. Hurst & Co. Publishers|isbn=9781850654605|url=https://books.google.com/books/about/The_Rise_and_Fall_of_the_Hashimite_Kingd.html?id=Y1A48DWZ2gIC}}</ref> tetapi pengakuannya tidak diterima oleh semua umat Muslim. Setelah Husain turun takhta, putranya tidak melanjutkan klaim ayahnya sebagai khalifah.<ref>[[#Bos04|Bosworth 2004]], [https://books.google.com/books?id=mKpz_2CkoWEC&pg=PA118 p. 118]</ref>
Pada Mei 1926, diselenggarakan pertemuan di Kairo terkait upaya untuk kembali menegakkan kekhalifahan, tetapi banyak negara Muslim yang tidak hadir dan tidak ada tindakan nyata setelah pertemuan tersebut.<ref name="Calipinternational"/> Dua konferensi Islam juga diselenggarakan di Makkah (1926) dan Yerusalem (1927), tetapi tidak mencapai kesepakatan.<ref name="Calipinternational"/>
Pada perkembangan selanjutnya, gelar ''Amir al-Mukmin'' disandang oleh [[Raja Maroko]] dan [[Mohammed Omar|Mullah Mohammed Omar]], pemimpin rezim [[Taliban]] di [[Afganistan]], tetapi kebanyakan Muslim di luar daerah kekuasaan mereka menolak untuk mengakuinya. Saat ini banyak pecahan negara-negara muslim yang membentuk [[Organisasi Konferensi Islam]] atau [[OKI]], sebuah organisasi internasional dengan pengaruh yang terbatas yang didirikan pada tahun 1969 beranggotakan negara-negara mayoritas Muslim.
== Peran dan kedudukan khalifah ==
[[Berkas:Age of Caliphs.png|225px|jmpl|ka|Kekhalifahan Islam, 622-750]]
Kebanyakan akademisi menyetujui bahwa Muhammad tidak secara langsung menyarankan atau memerintahkan pembentukan kekhalifahan Islam setelah kematiannya. Permasalahan yang dihadapi ketika itu adalah mengenai pihak yang paling berhak menggantikan Muhammad sebagai pemimpin umat Islam dan batasan kekuasaan yang dimilikinya.
=== Pengganti Muhammad ===
Fred M. Donner dalam bukunya ''The Early Islamic Conquests'' (1981) berpendapat bahwa kebiasaan [[bangsa Arab]] ketika itu adalah untuk mengumpulkan para tokoh masyarakat dari suatu keluarga (''bani'' dalam bahasa arab), atau suku, untuk bermusyawarah dan memilih pemimpin dari salah satu di antara mereka. Tidak ada prosedur spesifik dalam [[syuro]] atau musyawarah ini. Para kandidat biasanya memiliki keterkaitan silsilah dari pemimpin sebelumnya, walaupun hanya merupakan keluarga jauh.
Hingga pada tiba saatnya Muhammad meninggal, kaum Muslim berdebat tentang siapa yang berhak untuk menjadi penerus kepemimpinan umat Islam hingga saat ini apa yang dibicarakan di dalam masa tenggang itu masih menjadi kontroversi di kalangan kaum Muslim. Namun dapat dipastikan bahwa mayoritas kaum Muslim yang hadir dalam musyawarah saat itu meyakini bahwa [[Abu Bakar Ash-Shiddiq]] adalah penerus kepemimpinan umat Islam karena sebelum Muhammad meninggal, ia dipercaya untuk menggantikan posisi sebagai imam shalat. Pada akhirnya, Abu Bakar pun terpilih menjadi khalifah pertama dalam sejarah Islam.
Namun beberapa kalangan dari kaum Muslim Makkah dan Madinah saat itu meyakini bahwa Muhammad telah memberikan banyak tanda yang menunjukan bahwa [[Ali bin Abi Thalib]], sepupu sekaligus menantunya, sebagai pengganti dirinya dan semua khalifah yang diangkat sebelum 'Ali dipandang sebagai khalifah yang tidak sah. Hal inilah yang memicu munculnya kaum [[Syiah]] belakangan pada masa kekhalifahan [[Muawiyah]], lebih tepatnya setelah masa kekuasaan Ali bin Abi Thalib berakhir.
=== Kekuasaan ===
"Siapa yang akan menggantikan [[Muhammad]]" bukanlah satu-satunya masalah yang dihadapi umat [[Islam]] saat itu; tetapi juga menetapkan seberapa besar kekuasaan pengganti sang nabi. Berbeda dengan Muhammad, tidak satu pun dari para khalifah yang mendapatkan wahyu dari [[Allah]]. Untuk mengatasinya, wahyu Allah yang disampaikan oleh Muhammad kemudian ditulis dan dikumpulkan menjadi [[Al-quran|Al-Quran]], dijadikan patokan dan sumber utama hukum Islam, dan menjadi batas kekuasaan khalifah Islam. Artinya, Khalifah adalah seseorang pemimpin yang tunduk pada Al-Qur'an dan Hadits dan kekuasaannya pun dibatasi keduanya.
Bagaimanapun, ada beberapa bukti yang menunjukan bahwa khalifah mempercayai bahwa mereka mempunyai otoritas untuk memutuskan beberapa hal yang tidak tercantum dalam [[Al-Quran]]. Mereka juga mempercayai bahwa mereka adalah pempimpin spiritual umat islam, dan mengharapkan "kepatuhan kepada khalifah" sebagai ciri seorang muslim sejati. Sarjana modern Patricia Crone dan Martin Hinds, dalam bukunya ''God's Caliph'', menggarisbawahi bahwa fakta tersebut membuat khalifah menjadi begitu penting dalam pandangan dunia Islam ketika itu. Mereka berpendapat bahwa pandangan tersebut kemudian hilang secara perlahan-lahan seiring dengan bertambah kuatnya pengaruh [[ulama]] di kalangan umat [[Islam]]. Kaum Muslim beranggapan bahwa ulama sama berhaknya menentukan apa yang dianggap legal dan baik di kalangan umat, sesuai dengan hadis yang menyebutkan bahwa suatu kaum akan ditinggalkan oleh Allah ketika mereka meninggalkan para ulama. Pemimpin umat Islam yang paling tepat, menurut pendapat para ulama, adalah pemimpin yang menjalankan saran-saran spiritual dari para ulama, sementara para khilafah hanya mengurusi hal-hal yang bersifat [[dunia]]wi sehingga mengakibatkan perdebatan di antara keduanya. Perselisihan pendapat antara Khalifah dan para ulama tersebut menjadi konflik yang berlarut-larut dalam beberapa bagian sejarah kekhalifahan Islam. Namun akhirnya, konflik ini berakhir dengan kemenangan para ulama.{{citation needed}} Kekuasaan Khalifah selanjutnya menjadi terbatas pada hal yang bersifat keduniawian. Khalifah hanya dapat dianggap menjadi "Khalifah yang benar" apabila ia menjalankan saran [[spiritual]] para ulama.{{citation needed}} Patricia Crone dan Martin Hinds juga berpendapat bahwa [[Syiah|muslim Syiah]], dengan pandangan yang berlebihan kepada para [[imam]], tetap menjaga kepercayaan murni umat islam, namun tidak semua [[ilmuwan]] setuju akan hal ini.
Kebanyakan [[Sunni|Muslim Sunni]] saat ini mempercayai bahwa para khalifah tidak selamanya hanya menjadi pemimpin masalah duniawi, dan ulama sepenuhnya bertanggung jawab atas arah spiritual umat islam dan hukum syariah umat islam. Mereka menyebut empat khalifah pertama sebagai [[Khulafaur Rasyidin]], Khalifah yang diberi petunjuk, karena mereka menjalankan dan berpegang pada hukum yang terdapat pada [[Al-Quran]] dan [[sunnah]] Muhammad dalam segala hal. Mereka juga mempercayai bahwa sekali khalifah dipilih untuk memimpin, maka sepanjang hidupnya ia akan memerintah kecuali jika ia keluar dari aturan [[syariat]].
=== Karakter kepemimpinan ===
Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa karakter pemimpin Islam ialah menganggap bahwa otoritas dan kekuasaan yang dimilikinya adalah sebuah kepercayaan (''amanah'') dari [[Islam|umat Islam]] dan bukan kekuasaan yang mutlak dan absolut. Hal ini didasarkan pada hadis yang berbunyi:
<blockquote>"''It (sovereignty) is a trust, and on the Day of Judgment it will be a thing of sorrow and humiliation except for those who were deserving of it and did well.''"</blockquote>
Hal ini sangat kontras dengan keadaan [[Eropa]] saat itu di mana kekuasaan raja sangat absolut dan mutlak.<ref>Omar Hossino. ''Classical Islamic Views on Human Nature, Political Authority, and International Relations'', 2006.</ref>
Peranan seorang kalifah telah ditulis dalam banyak sekali literatur oleh teolog islam. Imam Najm al-Din al-Nasafi menggambarkan khalifah sebagai berikut:
<blockquote>"Umat Islam tidak berdaya tanpa seorang pemimpin (''imam'', dalam hal ini khalifah) yang dapat memimpin mereka untuk menentukan keputusan, memelihara dan menjaga daerah perbatasan, memperkuat [[angkatan bersenjata]] (untuk pertahanan negara), menerima [[zakat]] mereka (untuk kemudian dibagikan), menurunkan tingkat [[rampok|perampokan]] dan pencurian, menjaga ibadah pada hari [[jumat]] ([[salat jumat]]) dan [[hari raya]], menghilangkan perselisihan di antara [[Manusia|sesama]], menghakimi dengan adil, [[pernikahan|menikahkan wanita]] yang tak memiliki [[wali]]. Sebuah keharusan bagi pemimpin untuk terbuka dan berbicara di depan orang yang dipimpinnya, tidak bersembunyi dan jauh dari [[rakyat]]nya.{{br}}Ia sebaiknya berasal dari kaum [[Quraish]] dan bukan kaum lainnya, tetapi tidak harus dikhususkan untuk [[Bani Hasyim]] atau anak-anak [[Ali bin Abi Thalib|Ali]]. Pemimpin bukanlah seseorang yang suci dari [[dosa]], dan bukan pula seorang yang paling jenius pada masanya, tetapi ia adalah seorang yang memiliki kemampuan [[administratif]] dan memerintah, mampu dan tegas dalam mengeluarkan keputusan dan mampu menjaga [[hukum Islam|hukum-hukum Islam]] untuk melindungi orang-orang yang terzalimi. Dan mampu memimpin dengan arif dan [[demokrasi|demokratif]].</blockquote>
[[Ibnu Khaldun]] kemudian menegaskan hal ini dan menjelaskan lebih jauh tentang kepemimpinan kekhahalifah secara lebih singkat:{{br}}
<blockquote>''"Kekhalifahan harus mampu menggerakan umat untuk bertindak sesuai dengan ajaran Islam dan menyeimbangkan kewajiban di dunia dan [[akhirat]]. (Kewajiban di dunia) harus seimbang (dengan kewajiban untuk akhirat), seperti yang diperintahkan oleh Muhammad, semua kepentingan dunia harus mempertimbangkan keuntungan untuk kepentingan akhirat. Singkatnya, (Kekhalifahan) pada kenyataannya menggantikan [[Muhammad]], beserta sebagian tugasnya, untuk melindungi [[Islam|agama]] dan menjalankan kekuasaan politik di [[dunia]]."''</blockquote>
== Landasan agama ==
===
{{quote|"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik."|{{Cite quran|024|055}}||}}
{{quote|"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pengatur perkara agama) di antara kamu (orang-orang yang beriman). Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."|{{Cite quran|004|059}}||}}
=== Hadits ===
Muhammad bersabda,<blockquote>"[[Bani Israil]], kehidupan mereka selalu didampingi oleh para Nabi, bila satu Nabi meninggal dunia, akan dibangkitkan Nabi setelahnya. Dan sungguh tidak ada Nabi sepeninggal aku. Yang ada adalah para khalifah yang banyak jumlahnya". Para sahabat bertanya; "Apa yang Anda perintahkan kepada kami?". Muhammad menjawab: "Penuihilah [[baiat]] kepada khalifah yang pertama (lebih dahulu diangkat), berikanlah hak mereka karena Allah akan bertanya kepada mereka tentang kepemimpinan mereka". (H.R. Bukhari) <ref>{{Cite web|last=|first=|date=|title=Hadits Bukhari tentang Para khalifah di Bani Israil|url=https://www.hadits.id/hadits/bukhari/3196|website=|access-date=}}</ref></blockquote><blockquote>"Apabila ada dua khalifah yang di[[baiat]], maka bunuhlah yang paling terakhir dari keduanya ." (H.R. Muslim) <ref>{{Cite web|last=|first=|date=|title=Hadits tentang dua khalifah dalam satu waktu|url=https://www.hadits.id/hadits/muslim/3444|website=|access-date=}}</ref></blockquote><blockquote>"Kekhalifahan di ummatku selama tiga puluh tahun kemudian setelah itu kerajaan." (H.R. Tirmidzi) <ref>{{Cite web|last=|first=|date=|title=Teks arab hadits 30 tahun khalifah Muhammad saw|url=https://dorar.net/h/9937f896dcbab9521c05fa85de90c2cb|website=|access-date=}}</ref><ref>{{Cite web|last=|first=|date=|title=Terjemah Hadits 30 tahun masa kekhalifahan Muhammad saw|url=https://khalifah.cinta-islam.web.id/p/hadits-02.html|website=|access-date=|archive-date=2021-05-13|archive-url=https://web.archive.org/web/20210513112201/https://khalifah.cinta-islam.web.id/p/hadits-02.html|dead-url=yes}}</ref></blockquote><blockquote>“Akan ada masa kenabian pada kalian selama yg Allah kehendaki Allah mengangkat atau menghilangkan kalau Allah menghendaki. Lalu akan ada masa khilafah di atas manhaj nubuwwah selama Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat jika Allah menghendaki. Lalu ada masa kerajaan yg sangat kuat selama yg Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat bila Allah menghendaki. Lalu akan ada masa kerajaan [kejam] selama yg Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat bila Allah menghendaki. Lalu akan ada lagi masa kekhilafahan di atas manhaj nubuwwah.“ Kemudian beliau diam.” (H.R. Ahmad) <ref>{{Cite web|last=|first=|date=|title=Teks Arab Hadits tentang Masa-masa Kekhalifahan|url=https://dorar.net/h/dd93934dfbd2b40e6b7bf5be0df13039|website=|access-date=}}</ref><ref>{{Cite web|last=|first=|date=|title=Terjemah Hadits tentang masa-masa Kekhalifahan|url=https://khalifah.cinta-islam.web.id/p/hadits-01.html|website=|access-date=|archive-date=2021-05-13|archive-url=https://web.archive.org/web/20210513125133/https://khalifah.cinta-islam.web.id/p/hadits-01.html|dead-url=yes}}</ref></blockquote>
=== Ijma’ Sahabat ===
Ijma’ Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan dan pem[[baiat]]an pemimpin tampak jelas dalam kejadian bahwa mereka menunda kewajiban menguburkan jenazah Muhammad dan mendahulukan pengangkatan dan pem[[baiat]]an seorang pemimpin. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu kewajiban dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Muhammad ternyata sebagian di antaranya justru lebih mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat dan mem[[baiat]] Khalifah daripada menguburkan jenazah Muhammad. Sedangkan sebagian Sahabat lain mendiamkan kesibukan mengangkat dan pem[[baiat]]an Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajiban menguburkan jenazah Muhammad sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’) mereka untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat dan mem[[baiat]] pemimpin daripada menguburkan jenazah.
[[Abu Bakar Ash-Shiddiq]] pernah menyampaikan bahwa dia tidak mau dipanggil sebagai ''khalifatullah'' dan lebih memilih jika dipanggil sebagai ''khalifatur-rasul''.<ref>{{Cite web|title=حديث عبدالله بن أبي مليكة - مجمع الزوائد|url=https://dorar.net/h/bcdd8f06108e1c7443f5b842ab05a36b|website=dorar.net|language=ar|access-date=2021-01-28}}</ref><ref name=":1">{{Cite web|last=link|first=Dapatkan|last2=Facebook|title=Memahami Arti Khalifah|url=https://khalifah.cinta-islam.web.id/2021/01/konsep-khalifah.html|language=id|access-date=2021-01-28|last3=Twitter|last4=Pinterest|last5=Email|last6=Lainnya|first6=Aplikasi|archive-date=2021-02-07|archive-url=https://web.archive.org/web/20210207132143/https://khalifah.cinta-islam.web.id/2021/01/konsep-khalifah.html|dead-url=yes}}</ref>
Ada satu riwayat dari [[Umar bin Khattab]] pernah menanyakan kepada Salman, “Saya ini seorang Raja atau Khalifah?” Salman manjawab, “Jika engkau mengambil (hasil) dari bumi kaum Muslimin satu dirham atau lebih, lalu engkau pergunakan tidak pada tempatnya (berbuat zalim), maka sesungguhnya engkau adalah raja bukan Khalifah”. Mendengar jawaban itu Umar bin Khattab menangis.<ref name=":1" />
=== Dalil Dari Kaidah Syar’iyah ===
Dalam usul fikih dikenal kaidah syar’iyah yang disepakati para ulama:
"''Sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula keberadaannya.''"<ref>{{Cite web|title=Tanggapan Atas Artikel: Khilafah Ala Minhājin Nubuwah dan Khilafah Ala Minhāji Dāisy|url=https://news.visimuslim.org/2014/07/tanggapan-atas-artikel-khilafah-ala-minhajin-nubuwah-dan-khilafah-ala-minhaji-daisy.html|language=id|access-date=2022-06-05}}</ref> Menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah dalam segala aspeknya adalah wajib. Sementara hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa adanya kekuasaan Islam.
=== Pendapat Para Ulama ===
Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menyatakan, {{quote |"Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) --''rahimahumullah''-- telah sepakat bahwa Imamah yang di[[baiat]] (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahwa umat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah,) dalam [[jamaah]] yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya."<ref>Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hlm 416</ref>}}
Imam [[Asy-Syaukani]] menuliskan, {{quote |"Menurut golongan Syiah, minoritas Mu’tazilah, dan Asy A’riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’."<ref>[[Nailul Authar]], jilid VIII, hlm 265</ref>}}
[[Ibnu Hazm]] mengatakan, {{quote |"Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji`ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)."<ref>Al Fashl fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal, jilid IV, hlm 87</ref>}}
Beberapa tulisan ulama yang menilai wajibnya keberadaan khilafah di antaranya Imam Al Mawardi dalam ''Al Ahkamush Shulthaniyah'', hlm. 5; Abu Ya’la Al Farraa’ dalam ''Al Ahkamush Shulthaniyah'', hlm.19; Ibnu Taimiyah dalam ''As Siyasah Asy Syar’iyah'', hlm.161; Ibnu Taimiyah dalam ''Majmu’ul Fatawa'', jilid 28, hlm. 62; Imam Al Ghazali dalam ''Al Iqtishaad fil I’tiqad'', hlm. 97; Ibnu Khaldun dalam ''Al Muqaddimah'', hlm. 167; Imam Al Qurthubi dalam ''Tafsir Al Qurthubi'', juz 1, hlm.264; Ibnu Hajar Al Haitsami dalam ''Ash Shawa’iqul Muhriqah'', hlm. 17; Ibnu Hajar A1 Asqallany dalam ''Fathul Bari'', juz 13, hlm. 176; Imam An Nawawi dalam ''Syarah Muslim'', juz 12, hlm. 205; Dr. Dhiya’uddin Ar Rais dalam ''Al Islam Wal Khilafah'', hlm.99; Abdurrahman Abdul Khaliq dalam ''Asy Syura'', hlm.26; Abdul Qadir Audah dalam ''Al Islam Wa Audla’una As Siyasiyah'', hlm. 124; Dr. Mahmud Al Khalidi dalam ''Qawaid Nizham Al Hukum fil Islam'', hlm. 248; dan Sulaiman Ad Diji dalam ''Al Imamah Al ‘Uzhma'', hlm. 75; Muhammad Abduh dalam ''Al Islam Wan Nashraniyah'', hlm. 61.
Sedangkan beberapa karya ulama dan tokoh Islam yang menyatakan ketidakwajiban khalifah di antaranya adalah ''Al Islam Wa Usululul Hukm'' oleh Ali Abdur Raziq, ''Mabadi` Nizham Al Hukmi fil Islam'' oleh Abdul Hamid Mutawalli, dan ''Tidak Ada Negara Islam'' oleh [[Nurcholish Madjid]].
== Daftar Khalifah ==
{{Main|Daftar khalifah}}
== Lihat pula ==
* [[Negara Islam Irak dan Syam]]
* [[Kekhalifahan dunia]]
* [[Kekhanan]]
* [[Keamiran]]
* [[Syah (gelar)|Syah]]
* [[Padisyah]]
* [[Shaykh al-Islām]]
== Rujukan ==
{{reflist}}
=== Daftar pustaka ===
* {{cite book|last=Ahmed |first=Leila |title=Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate |url=https://books.google.com/books?id=U0Grq2BzaUgC |year=1992 |publisher=Yale University Press |isbn=978-0-300-05583-2 |ref=harv}}
* {{cite book|last=Arnold|first=T. W.|editor-last=Houtsma|editor-first=M. Th|title=[[Encyclopaedia of Islam|E.J. Brill's First Encyclopaedia of Islam, 1913–1936]]|accessdate=2010-07-23|volume=Volume IV|year=1993|publisher=BRILL|location=Leiden|isbn=978-90-04-09790-2|pages=881–885|chapter=Khalīfa|chapterurl=http://books.google.com/books?id=7CP7fYghBFQC&pg=PA881}}
* Barton, Simon (2004). A History of Spain. New York: Palgrave MacMillan. {{ISBN|0333632575}}.
* {{Citation|title=Damascus: A History|first1=Ross|last1=Burns|publisher=Routledge|year=2005|url=https://books.google.com/?id=1_bQTrpf62cC&dq=damascus|isbn=0-415-27105-3|location=London}}.
* {{cite book | last = Clinton | first = Jerome W. | editor-last1 = Talattof | editor-first1 = Kamran | editor-last2 = Clinton | editor-first2 = Jerome W. | title = The Poetry of Nizami Ganjavi: Knowledge, Love, and Rhetoric | url = https://archive.org/details/poetryofnizamiga0000unse | publisher = Palgrave Macmillan | year = 2000 | lccn = 99056710 | location = Houndmills, UK | isbn = 0-3122-2810-4 | ref = harv }}
* Crone, Patricia, and Martin Hinds. ''God's Caliph: Religious Authority in the First Centuries of Islam''. Cambridge: Cambridge University Press, 1986. ISBN 0-521-32185-9.
* Donner, Fred. ''The Early Islamic Conquests''. Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1981. ISBN 0-691-05327-8.
* {{EI2|article=ʿAbd Allāh ibn al-Zubayr|last=Gibb|first=H. A. R.|volume=1|pages=54–55}}
* {{cite journal|last1=Grafman|first1=Rafi |first2=Myriam|last2=Rosen-Ayalon|year=1999|title=The Two Great Syrian Umayyad Mosques: Jerusalem and Damascus|journal=Muqarnas|publisher=BRILL|volume=16|pages=1–15|location=Boston|doi=10.2307/1523262 | issn = 0732-2992 }}
* {{cite book | last1 = Grant | first1 = John | last2 = Clute | first2 = John | chapter = The Encyclopedia of Fantasy | title = Arabian fantasy | year = 1999 | isbn = 0-312-19869-8 | lccn = 96037472 | publisher = St. Martin's Press | location = New York, NY | ref = harv }}
* {{cite book | last = Gregorian | first = Vartan | title = Islam: A Mosaic, Not a Monolith | url = https://archive.org/details/islam00vart | publisher = Brookings Institution Press | year = 2003 | pages = [https://archive.org/details/islam00vart/page/26 26]–38 | isbn = 0-8157-3282-1 | lccn = 2003006189 | location = Washington, DC | ref = harv }}
* {{cite book |last1=Hawting |first1=G. R. |title=The First Dynasty of Islam: The Umayyad Caliphate AD 661-750 |date=2000 |origyear=1986 |publisher=Routledge |location=London and New York |isbn=0-415-24073-5 |edition=2nd |url=https://books.google.com/books?id=9J2CAgAAQBAJ&printsec=frontcover&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false}}
* {{cite book|editor1-last = Holt |editor1-first = P.M. |editor2-last = Lambton |editor2-first = Ann K.S. |editor3-last = Lewis |editor3-first = Bernard |editor3-link = Bernard Lewis |title = Cambridge History of Islam |year = 1970 |publisher = Cambridge University Press |isbn = 978-0-521-29135-4|ref = harv}}
* Hourani, Albert. ''A History of the Arab Peoples'', Faber and Faber, 1991.
* {{cite book | last = Huff | first = Toby E. | title = The Rise of Early Modern Science: Islam, China, and the West | publisher = Cambridge University Press | location = Cambridge, UK | isbn = 0-5218-2302-1 | lccn = 2002035017 | year = 2003 | edition = 2nd | ref = harv }}
* {{cite book| last = Lapidus| first = Ira| title = A History of Islamic Societies| url = https://archive.org/details/historyofislamic0000lapi_t2d2| publisher = Cambridge University Press| year = 2002| edition = 2nd|isbn = 978-0-521-77933-3|ref = harv}}
* {{cite book| last = Menocal| first = Maria Rosa| title = Surga di Andalusia: Ketika Muslim, Yahudi, dan Nasrani Hidup dalam Harmoni| publisher = Penerbit Noura Books (PT Mizan Publika)| year = 2015| edition = 1st|isbn = 978-602-0989-82-2|ref = harv}}
* Previté-Orton, C. W (1971). ''The Shorter Cambridge Medieval History''. Cambridge: Cambridge University Press.
* {{Cite book |last = Mango |first = Andrew |title = Atatürk: The Biography of the Founder of Modern Turkey |url = https://archive.org/details/ataturk00andr |origyear = 1999 |edition = Paperback |year = 2002 |publisher = Overlook Press, Peter Mayer Publishers, Inc |location = Woodstock, NY |isbn = 978-1-58567-334-6 }}
* {{cite book| last = Tabatabaei | first = Sayyid Mohammad Hosayn | title = Shi'ite Islam | url = https://archive.org/details/shiiteislam0000taba | publisher=Suny press | year = 1979 |isbn = 978-0-87395-272-9|ref = harv}}| Diterjemahkan oleh Seyyed Hossein Nasr.
{{Authority control}}
[[Kategori:Khalifah| ]]
[[Kategori:Gelar Islam]]
[[Kategori:Sejarah Islam]]
|