Wikipedia:Pengantar: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Ekojuga (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
k Mengubah tingkat pelindungan "Wikipedia:Pengantar": Halaman dengan lalu lintas tinggi ([Sunting=Hanya untuk pengurus] (selamanya) [Pindahkan=Hanya untuk pengurus] (selamanya))
 
(151 revisi perantara oleh 87 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{berkenalan dengan Wikipedia}}
{{jangan hapus baris ini}}
<!--Silakanmembuat menyunting setelah tanda +++++biografi di bawahwikipedia-->
<!-- +++++ -->
--[[Pengguna:Ekojuga|Ekojuga]] ([[Pembicaraan Pengguna:Ekojuga|bicara]]) 28 Februari 2012 02.59 (UTC)
'''[[EKONOMI KOMPARATIF UNTUK INDONESIA]]'''
 
Usul Guru Besar IPB '''Prof Eriyatno''' [http://web.ipb.ac.id/~dgb/index.php/id/organisasi/anggota-dgb-ipb/fakultas-teknologi-pertanian/165-prof-dr-ir-eriyatno-msae] agar Indonesia mengubah haluan dari pengembangan ekonomi kompetitif ke ekonomi komparatif menarik dicermati lebih jauh. Meskipun substansi ekonomi komparatif ini dapat ditemukan di dalam istilah lain, seperti pembangunan otosentris, pembangunan berbasis lokal (localization) dan lain-lain, pemikiran akademisi yang mencuat di tengah ketidakpastian ekonomi global membuat usul itu layak dikaji lebih jauh.
 
Argumen yang dikemukakan Prof Eriyatno cukup sederhana. Dikatakan, ekonomi komparatif yang lebih mengedepankan pengembangan potensi yang dimiliki akan dapat membantu Indonesia membangun perekonomian yang bertumpu kepada kekuatan sendiri. Menurut dia, ekonomi kompetitif yang selama ini diaplikasikan tidak akan memberikan banyak nilai tambah bagi perkembangan ekonomi nasional. Yang terjadi malah sebaliknya. Indonesia semakin terpuruk di tengah persaingan global yang sangat ketat, kata Prof Eriyatno. Oleh sebab itu, harusnya kita proteksi dan kembangkan potensi-potensi yang kita miliki baik di bidang pertanian maupun bidang-bidang lainnya. Lebih lanjut dikatakan, ekonomi komparatif memberikan proteksi ke dalam. Ini sekaligus sebagai upaya untuk membangun kedaulatan bangsa di bidang ekonomi. Sedangkan ekonomi kompetitif cenderung pro pasar dan terbuka, yang membuat ketahanan dan daya saing ekonomi Indonesia justru semakin rapuh dan melemah, katanya (www.antaranews.com, 28/9/2011).
 
Dalam praktik, ekonomi Indonesia sebetulnya menganut sistem ekonomi kompetitif dan komparatif sekaligus. Ini ditandai dengan penekanan pengem­bangan sejumlah komoditas yang memiliki keunggulan komparatif. Ekonomi kompetitif tidak terhindarkan sebab Indonesia sendiri telah menjadi bagian dari sistem pasar global yang diliberalisasi lewat WTO. Oleh sebab itu, persaingan antarnegara di pasar dunia tidak terhindarkan. Inilah yang menjadikan daya saing sebagai sebuah keharusan untuk terus-menerus digenjot. Akan tetapi, perlombaan serupa yang dilakukan negara-negara pesaing membuat daya saing produk Indonesia mengalami pasang dan surut.
 
Tetapi, persoalannya sebetulnya tidak sesederhana itu. Hampir tidak mungkin lagi menemukan negara yang menarik diri dari ekonomi kompetitif lalu menerapkan ekonomi komparatif secara sempurna. China yang seringkali dijadikan referensi kemajuan ekonomi menggabungkan dua model ekonomi itu. Di satu sisi, pemerintah China terus mendorong produknya agar menembus persaingan di pasar dunia. Di lain sisi, negara dengan kekuatan ekonomi kedua terbesar di dunia itu juga terus-menerus meningkatkan potensi dalam negeri.
Maka, barangkali yang paling penting saat ini adalah mengevaluasi pendulum strategi ekonomi antara ekonomi kompetitif dengan ekonomi komparatif. Kalau selama ini pendulum strategi memang lebih condong kepada ekonomi kompetitif, mungkin sudah tiba waktunya untuk menyondongkan pendulum ke ekonomi komparatif. Langkah ini memang sejalan ­dengan realitas perekonomian global yang terus-menerus dirundung masalah. Kian nyata bahwa globalisasi ekonomi bukannya menciptakan kemakmuran secara merata, tetapi justru menjadi transformator tercepat malapetaka ekonomi yang terjadi di sebuah negara. Ambil satu contoh, krisis utang yang melanda zona Eropa dan AS akhirnya berdampak kepada ne­gara-negara lain, tidak terkecuali Indonesia.
 
Bagaimanapun, usul dan pemikiran Prof Eriyatno muncul pada saat yang tepat untuk sebuah situasi yang tepat pula. Tetapi sekali lagi ingin ditekankan di sini bahwa usul tersebut tidak dapat disebut sebagai sebuah perubahan yang bersifat ekstrem, melainkan sebuah sumbangan pemikiran yang terlahir dari kemampuan menangkap tanda-tanda zaman yang terus berproses sejak krisis moneter menerjang Asia Timur 14 tahun silam. Krisis itu sendiri mengajarkan kepada kita dua hal penting. Pertama, betapa pentingnya setiap negara membangun fondasi ekonomi yang tahan guncangan. Kedua, fondasi ekonomi dimaksud hanya dapat diwujudkan jika ditopang oleh kekuatan sendiri. Kita memiliki segalanya: SDM yang besar, SDA yang melimpah, dan warisan ideologi ekonomi yang disuntikkan ke dalam tubuh konstitusi, yakni koperasi. Itu semua mestinya dikelola secara benar agar menjadi pilar tangguh untuk menopang perekonomian nasional.