<!-- Halaman ini hanya untuk uji coba menyunting dan dikosongkan secara berkala -->
L.T. Tangdilintin. 1976. Sejarah Perjuangan Pahlawan Pong Tiku. Cetakan II. Ujung Pandang: Yayasan Lepongan Bulan (YALBU) Tana Toraja.
Sumber data:
1. Keterangan dan beberapa dokumen yang menjelaskan keterangan Pong Tiku dengan Belanda dari Bapak Y.S. Sarungoe’, bekas Kepala Distrik Pangala’ sebagai seorang yang masih merasakan hidup dalam benteng Buntu Batu pada waktu benteng tersebut dikepung tiga bulan lamanya oleh tentara Belanda,
2. Keterangan dan beberapa dokumen dari Saudara Brs. Y. Sampe, wakil ketua pemindahan jenazah Pong Tiku dari kuburan pusaka Liang Talengo’ ke dalam makam pahlawan yang dibuatkan oleh pemerintah dan rakyat Tana Toraja pada tahun 1960 di Pangala’,
3. Salinan catatan-catatan dari opsir Belanda Engelbert van Bevervoorde, seorang opsir wakil komandan pertempuran Belanda waktu menyerang benteng Lali’ Londong tanggal 26 Juni 1906, dan salah seorang opsir yang turut menyerang benteng-benteng Buntu Asu tanggal 16 Juli 1906, dalam pertempuran di benteng Tondok, dan Ka’do tanggal 17-18 Juli 1906,
4. Salinan dari memori Asisten Residen Luwu D. Breedveldt Boer Juli 1913,
5. Catatan wawancara Ma’dika Bombing tahun 1959, dalam usia 85 tahun, sala seorang seperjuagan Pong Tiku, dll.
[[Testing]]
PONG TIKU
Almarhum pahlawan Pong Tiku alias Ne’ Baso (nama yang diberikan oleh orang-orang Bugis) dilahirkan pada tahun 1846 di kampung Tondong negeri Pangala’ Kecamatan Rinding Allo Kabupaten Tana Toraja Provinsi Sulawesi Selatan.
Beliau adalah putera bungsu dari 6 (enam) bersaudara dari penguasa adat Pangala’ dan sekitarnya bernama Siambo’ Karaèng denga ibunya bernama Le’bok, dan saudara-saudaranya yang laki-laki bernama; Palulun, Ampang Allo, Toding, dan Tendeng serta seorang perempuan bernama Banaa.
Pong Tiku adalah satu-satunya putera Siambe’ Karaèng yang mewarisi sifat-sifat kepemimpinan dan kepatriotan Karaèng sebagai penguasa adat, maka kemudian setelah beliau dewasa selalu diserahi tanggung jawab sebagai pendahuluan akan menggantikan ayahandanya kalau Siambe’ Karaèng meninggal dunia sebagai penguasa adat Pangala’ sebagai suatu negeri yang aman dan sentosa untuk kemajuan dalam segala hal.
Pong Tiku pada masa mudanya sangat gemar dan sangat menonjol dalam permainan-permainan sisemba’ (baku sepak) dan sisambak (permainan pedang sapu lidi) yang biasa diadakan pada waktu selesai panen atau upacara panen serta upacara-upacara adat lainnya, dan dari kedua permainan ini merupakan tempat latihan dan tempat membina ketangkasan dan keuletannya dalam menghadapi setiap tantangan, di samping beliau sangat gemar bersolek yang mendorong beliau bertekun pada setiap cita-citanya.
Juga Pong Tiku setelah menjelang dewsa selalu bergaul dan berguru kepada setiap orang-orang yang masuk di daerahnya terutama kepada pedagang-pedagang kopi dan pedagang-pedagang emas karena dari selatan banyak pedagang-pedagang Bugis Sidenreng dan Sawitto serta dari utara banyak pedagang-pedagang Bugis Luwu dan Bone, yang di samping membawa barang dagangan lainnya juga membawa senjata-senjata api yang ditukarkan dengan hasil-hasil bumi di Tana Toraja.
Bahwa daerah Pangala’ sampai ke Bittuang adalah sebagai pusat perdagangan kopi dan perdagangan biji-biji emas, maka hubungan Pong Tiku dengan pedagang-pedagang berjalan dengan lancar.
Pada tahun 1880, negeri Pangala’ terlibat dalam perang saudara yaitu perang penguasa adat Baruppu’ bernama Pasusu melawan penguasa adat Pangala’, Siambe Karaèng ayahanda dari Pong Tiku, di mana pada mulanya pasukan Karaèng selalu terpukul mundur, suatu kesempatan bagi Pong Tiku akan menguji kemampuannya dalam berperang, yang dalam pada itu mengambil alih pimpinan pasukan dan pimpinan peperangan dari tangan ayahandanya. Dan dalam pertempuran yang beberapa kali terjadi, Pong Tiku berhasil berhasil mengalahkan negeri Baruppu’ dan sekaligus menjadikan negeri Baruppu’ sebagai daerah kekuasaannya sebagai salah satu potensi yang sangat menentukan dalam pembinaan kekuasaan Pong Tiku seterusnya karena daerah itu adalah pusat penghasil kopi yang utama dalam daerah perdagangan kopi.
Dari kemenangan yang dicapai oleh Pong Tiku tersebut menjadikan Pong Tiku mengambil alih pimpinan pemerintahan dari ayahandanya Karaèng. Dan sejak saat itu, Pong Tiku mulai dikenal sebagai seorang pemimpin dan penguasa adat yang kuat dan disegani dari penguasa adat sezamannya, terutama penguasa Kesu’ dan sekitarnya, Siambe’ Pong Maramba’.
Di samping Pong Tiku sebagai penguasa adat pun beliau memperkuat ekonomi rakyatnya dalam bidang produksi kopi yang makin hari makin mendapat perhatian pedagang-pedagang Bugis, terutama Sidenreng dan Sawitto karena hasil kopi dari Toraja sudah mulai menjadi perebutan di luar Sulawesi Selatan, maka umumnya kopi-kopi Toraja yang sekarang dikenal dengan kopi Arabica diekspor melalui muara sungai Sa’dang di Bungin Pinrang.
Dengan makin banyaknya pedagang-pedagang yang masuk ke Tana Toraja baik dari utara dan dari selatan, maka mendesak kepada masing-masing penguasa adat untuk memperkuat pertahanan daerahnya untuk menjaga kemungkinan adanya penguasa dari pendatang-pendatang yang makin hari makin bertambah banyak. Di samping itu adanya persaingan yang mulai timbul di kalangan pedagang dari utara (Luwu dan Bone) dan dari selatan (Sidenreng dan Sawitto), yang kemudian disusul dengan masing-masing pedagang itu membawa pasukan untuk menekan perdagangan serta untuk menghadapi persaingan antara sesamanya pedagang.
Di samping itu, Pong Tiku dengan semua penguasa adat lainnya mulai membuat perjanjian-perjanjian serta hubungan-hubungan dengan pedagang-pedagang yang kuat karena sejak itu mulai pula membawa tentaranya dengan persenjataan yang lengkap untuk menguasai daerah penghasil kopi untuk bertujuan memonopoli semua hasil-hasil itu.
Demikianlah, karena meningkatnya persaingan di antara pedagang-pedagang kopi tersebut di atas, maka makin bertambah banyak tentara-tentara dan pedagang-pedagang itu masuk ke Tana Toraja. Tana Toraja terancam dengan pendudukan tentara-tentara pedagang yang dalam sejarah Toraja sangat terkenal dengan masuknya To Bugi’ dan mulai menduduki tempat-tempat pada bahagian selatan, seperti Duri, Mengkendek, Sangalla’, Rembon dll serta dari utara mulai pula memasuki daerah utaram, dan inilah yang memaksa Tana Toraja lebih memperkuat persenjataan pasukannya termasuk dalam hal ini Pong Tiku penguasa Pangala’ dan sekitarnya sebagai penguasa daerah sumber kopi yang terpenting di Tana Toraja.
Dari pemimpin-pemimpin Bugis yang terkenal yang pernah menduduki sebagai dari daerah Tana Toraja, antara lain:
1. Andi Bonga dari Sidenreng,
2. Wa’ Situru’ yang dikenal di Tana Toraja dengan Andi Guru dan Sidenreng,
3. Kila’ Wali dari Wajo’,
4. Petta Manyorro dari Sidenreng,
5. Puang Syaije’ dari Luwu’ Palopo.
Sementara pemimpin-pemimpin Bugis yang tersebut di atas telah menguasai seluruh daerah bahagian selatan di mana ada di antaranya mengadakan perjanjian-perjanjian dengan penguasa-penguasa adat di bahagian selatan untuk menundukkan penguasa-penguasa adat lainnya, sementara itu sebahagian mulai menguasai seluruh perdagangan kopi, maka pedagang dari sebelah utara yaitu orang-orang Luwu’ dan Bone menjadi kehilangan pasaran, maka mulai pula mengadakan penyerangan pada tempat-tempat perkampungan pedagang-pedagang kopi orang Bugis Sidenreng, dan akibat ini terjadilah peperangan resmi antara pedagang-pedagang kopi Bugis Sidenreng dan Sawitto antara pedagang-pedagang antara pedagang-pedagang kopi dari Luwu dan Bone, yang terkenal dengan nama Perang Kopi pada tahun 1889-1890, dimana sebagian orang Toraja membantu perdagangan dan tentara dari Bugis Sidenreng serta sebahagian pula membantu tentara dan pedagang Bugis Luwu dan Bone.
Pada kesempatan ini Pong Tiku yang sudah sejak lama telah membuat kerjasama pedagang-pedagang Bugis Sidenrang dan Sawitto, lebih memperkuat perjanjian kerja sama akan melawan tentara atau orang-orang dari Bugis Luwu dan Bone, di samping itu musuh-musuh Pong Tiku tidak tinggal diam terus mengadakan persekutuan dan kerjasama dengan tentara dan pedagang-pedagang dari Luwu dan Bone untuk melawan pedagang-pedagang dan tentara dari Bugis Sidenreng dan Sawitto, yang dalam hal ini adalah Siambe Pong Maramba’.
Karena kekuatan tentara Bugis Sidenreng dalam Perang Kopi tersebut di atas, terus-terus mendesak pada tentara pedagang Luwu dan Bone, maka dalam tahun Perang Kopi itu datang ke Tana Toraja seorang Panglima Perang Bone bernama Petta Panggawaè untuk membantu pedagang-pedagangnya dan tentaranya yang sudah mendapat tekanan dari Bugis Sidenreng dengan melalui Palopo terus ke Rantepao bahagian utara dan sekaligus bersekutu dengan Pong Maramba’ sebagai lawan pula dari Pong Tiku yang sudah bekerjasama dengan pasukan-pasukan Andi Guru dkk dari Bugis Sidenreng.
Kedatangan pasukan Patta Panggawaè ke Tana Toraja itu terkenal dalam sejarah Toraja dengan masuknya Songko’ Borrong (topi merah) karena semuanya memakai topi merah, dan dari Rante Pao terus melanjutkan perjalanannya ke Madandan dimana pasukan Andi Guru dkk telah mengadakan pertahanan, maka berkecamuklah peperangan di daerah bahagian produksi kopi yaitu Pangala’ selatan sampai ke Bittuang.
Bahwa kesempatan Perang Kopi dipergunakan pula oleh lawan-lawan dari Pong Tiku untuk melumpuhkan kekuatan Pong Tiku di Pangala’. Sementara berlangsungnya Perang Kopi ini, Pong Tiku di Pangala’ diserang pula oleh pasukan-pasukan Songko’ Borrong yang dalam penyerangan yang kedua kalinya sempat memukul mundur pasukan Pong Tiku dan menduduki negeri Tondon/Pangala’ pusat kekuatan Pong Tiku, semua penduduk Tondon-Pangala’ terpaksa meninggalkan Pangala’ dan semua rumah di Pangala’ dibakar habis oleh pasukan Patta Punggawaè, tetapi pada malam harinya dikepung kembali oleh pasukan Pong Tiku bersama dengan pasukan Andi Guru, maka terpaksalah pasukan Patta Panggawaè meninggalkan Pangala’ dengan hanya sempat menduduki Pangala’ satu hari. Di sinilah Pong Tiku matang dalam menggunakan taktik perang gerilya, dan sebagai suatu keadaan memaksa Pong Tiku lebih mempertinggi ketahanan pasukan dengan membangun benteng-benteng pertahanan di mana-mana, serta mempersiapkan cadangan peralatan dalam pertahanan wilayah kekuasaannya.
Perang Kopi berakhir tanpa suatu pernyataan ada di antara kedua pedagang kopi tersebut, karena setelah Patta Panggawaè meninggalkan Pangala’, tidak lama kemudian berangkat kembali ke Bone karena Kearungan Bone mulai mendapat intipan dari gempuran tentara kolonial Belanda. Begitu pula sebagian tentara dari Bugis Sidenreng dan Sawitto kembali dan hanya seorang pemimpin Bugis di Sidenreng yang masih tetap tinggal di Tana Toraja ialah Wa’ Situnru’ alias Andi Guru, sebagai teman pula dari Pong Tiku.
Sepeninggal tentara dari Bone dan Bugis Sidenreng merupakan pula kesempatan kepada sekutu-sekutunya mengoper senjata-senjata mereka itu, yaitu tentara Patta Panggwaè banyak meninggalkan senjata pada sekutunya Pong Maramba’. Dan tentara Bugis Sidenreng dan Sawitto banyak pula meninggalkan senjata pada Pong Tiku. Sehingga dengan demikian itu, mulailah kembali perang saudara antara satu penguasa dengan penguasa lainnya karena adanya senjata yang sudah dimiliki oleh mereka itu masing-masing. Sementara itu, juga berjalan dengan lancar perdagangan senjata dari Bugis kepada bangsawan-bangsawan Toraja karena mereka itu sudah ketahui bahwa penguasa-penguasa adat di Tana Toraja sangat membutuhkan senjata-senjata api tersebut. Pada awalnya senjata-senjata api ditukarkan dengan harta berupa emas dan perhiasan serta hasil-hasil bumi, tetapi kemudian pedagang-pedagang senjata itu hanya mau menukar barangnya dengan manusia, terutama laki-laki. Hal ini terjadi karena tenaga manusia sangat tinggi nilainya di daerah Bugis dalam menghadapai tanah pertanian. Situasi ini mengharuskan para bangsawan mencari manusia-manusia yang akan ditukarkan dengan senjata-senjata api. Karena ketatnya persaingan untuk mendapatkan manusia-manusia yang dimaksud, maka terjadilah perang antara para penguasa adat. Dan orang-orang yang menjadi tawanan perang di antara kedua belah pihak dipertukarkan dengan senjata kepada para pedagang Bugis. Maraknya perdagangan budak dan tawanan semakin memperparah terjadinya perang saudara di Tana Toraja. Kondisi ini berlangsung dari tahun 1895-1904.
Dalam perang saudara ini, Pong Tiku berhasil memperkuat tentara dan benteng-benteng pertahanannya dengan mengirim pasukan terbaiknya belajar ke luar daerah, terutama ke daerah Bugis Sidenreng dan Sawitto.
Di samping itu, Pong Tiku mengirim pula utusan-utusan untuk membuat hubungan ke daerah Bugis pada raja-raja Bugis, antara lain:
1. Hubungan dan kerjasama dengan Puang Ua’misa dari Sawitto Teteaji,
2. Hubungan dan kerjasama dengan Karaèng Tinggi Maè di Pare-pare,
3. Hubungan dan kerjasama dengan Uwa Situru’ dari Sidenreng,
4. Hubungan dan kerjasama dengan Datu Suppa, dll.
Yang dengan kerjasama itu, maka perdagangan dari Pangala’ ke selatan bertambah ramai, serta persenjataan Pong Tiku tetap bertambah dari pengiriman sekutu-sekutu Pong Tiku tersebut dari Bugis. Begitu pula semua ketegangan dan keadaan yang timbul di antara mereka itu saling membantu dan saling memberi tahu untuk membuat persiapan dan pertahanan-pertahanan seperlunya.
Demi menjaminnya hubungan dagang dengan daerah-daerah penghasil kopi yaitu daerah sebelah barat sepanjang sungai Sa’dan sampai di Pangala’, serta pedagang-pedagang dari Bugis Sidenreng terjamin pula gangguan-gangguan, dengan lalulintas pulang-pergi Pangala’-Bugis, maka Pong Tiku menguasai seluruh daerah bahagian barat dengan menaklukkan penguasa adat di masing-masing daerah itu, antara lain; Dende’ Kurra, Awan, Ulu Salu sampai di Bittuang dll dan daerah ini dijaga oleh pasukan-pasukan Pong Tiku untuk menghindari gangguan-gangguan dari penguasa adat lainnya atau dari gangguan lain dari luar daerah Tana Toraja.
Karena pengalaman Pong Tiku pada penyerbuan tentara Patta Panggawaè serta peperangan dengan Pong Maramba’ telah mendorong bahwa untuk menghadapi setiap serangan dari luar sangat perlu membangun benteng-benteng pertahanan di mana-mana tempat yang dianggap penting, maka dengan demikian dibangunlah 7 (tujuh) buah benteng sekitar negeri Pangala’, masing-masing:
1. Pada bahagian barat dibangun benteng-benteng sebagai berikut;
a. Benteng Lali’ Londong,
b. Benteng Buntu Batu, sebagai benteng yang paling kuat dan besar,
c. Benteng Rinding Allo,
2. Pada bagian timur dibangun benteng-benteng sebagai berikut;
a. Benteng Buntu Asu, letaknya paling dekat dengan Pangala’,
b. Benteng Tondok,
c. Benteng Ka’do,
d. Benteng Mamullu.
Di samping benteng-benteng pertahanan tersebut, juga dibuat kubu-kubu pertahanan dan pengintipan mulai dari Bittuang, sepanjang daerah Bittuang-Pangala’ masing-masing di Le’tek Bittuang, Awan, Kurra, Ledan, dan Rangri’.
Tiap-tiap benteng dihuni pasukan-pasukan yang telah mendapat latihan dari pemimpin-pemimpin orang Bugis yang khusus mendapat kesempatan latihan dari Pong Tiku.
PERANG BONE, GOWA DAN SAWITTO MELAWAN BELANDA
Perang Bone melawan Belanda pada bulan Juli 1905, getarannya sampai pula di pedalaman Sulawesi Selatan termasuk Tana Toraja, yang tidak cukup sebulan Belanda menguasai seluruh Bone dan Arung Bone mengadakan pengembaraan bersama panglima perangnya yaitu Patta Panggawaè yang pernah terkenal di Tana Toraja dalam Perang Kopi tahun 1890 beritanya sampai pula pada pemimpin-pemimpin Toraja termasuk Pong Tiku. Berita tersebut tersiar di seluruh Toraja setelah ada tiga orang utusan Sombaya ri Gowa menyampaikan kepada semua pemimpin dan raja-raja di Sulawesi Selatan agar serentak mengadakan perlawanan terhadap penjajah Belanda.
Utusan tersebut diterima oleh seorang penguasa adat bahagian selatan sekali dari daerah Tana Toraja, namanya Ma’dika Bombing. Sesuai dengan keterangan Ma’dika Bombing bahwa sewaktu saya menerima utusan dari Somba ri Gowa, saya terus berjalan menyampaikan amanat ini terutama kepada kedua penguasa yang terbesar dan terkuat di Toraja yaitu Siambe’ Pong Maramba’ dan Siambo’ Pong Tiku serta kepada Puang Batu, Puang Randanan, Puang Tarongko dll, bahwa pesan dari Somba ri Gowa katanya Kearungan Bone telah jatuh, dan Gowa sisa menunggu saat digempurnya Belanda, tetapi kami dengan seluruh rakyat Gowa akan mengadakan perlawanan sampai titik darah yang penghabisan, dan kiranya raja-raja dan semua pemimpin-pemimpin memperkuat pertahanan-pertahanannya masing-masing, karena Belanda bertekad akan menyerang seluruh daerah Sulawesi Selatan.
Menurut keterangan Ma’dika Bombing, semua pemimpin yang beliau datangi mengatakan akan memperhatikan amanat dari Sombaya ri Gowa tersebut. Tetapi memang dari Siambe’ Pong Tiku telah menegaskan bahwa setiap orang yang akan datang menjajah kita, terutama Belanda orang kulit putih itu kita harus hancurkan dengan segala kekuatan yang ada pada kita.
Utusan Sombaya ri Gowa tersebut menurut keterangan dari mereka itu, katanya mereka itu melalui Pare-Pare, Sidenreng dan Sawitto kemudian terus ke Tana Toraja yang oleh Ma’dika Bombing mengatakan bahwa utusan itu bermalam satu malam di rumah beliau di Bua Kayu dan terus mereka itu menuju ke Enrekang.
Dengan adanya berita serta pesanan dari Sombaya ri Gowa tersebut masing-masing penguasa adat di Tana Toraja mengutus utusan mereka masing-masing kepada sekutunya di daerah Bugis untuk mendapatkan kenyataan serta melihat dari dekat bagaimana tentara Belanda itu mengadakan penyerangan. Dan oleh Pong Tiku diutuslah orang kepercayaannya masing-masing; Tandibunna’, Taruk Bua’, Bua’, Busa’ dan Senggo’ sebagai pemimpin rombongan dan beberapa puluh pasukan pengiringnya. Para utusan tersebut juga bertugas untuk membeli senjata-senjata baru dan perlengkapan mesiu.
Setelah kurang lebih sebulan kembalinya utusan Sombaya ri Gowa dari Tana Toraja menemui Ma’dika Bombing, Ma’dika Bombing dengan saudaranya yang bernama Uwa’ Saruran telah mengunjungi seluruh penguasa adat di Tana Toraja. Kemudian mereka mengadakan pertemuan besar di Rante Pao Buntu Pune di mana sebahagian penguasa adat hanya mengirim utusannya guna membicarakan apa yang telah diterimanya dari Sombaya ri Gowa dan hasil perkunjungan utusan mereka itu masing-masing ke daerah Bugis. Dalam pertemuan itu disepakati keputusan sebagai berikut:
1. Kita harus mempersatukan kekuatan untuk melawan tentara Belanda tersebut, karena tanpa persatuan pasti kita dihancurkan seperti Kearungan Bone yang begitu kuatnya hanya beberapa hari saja dapat diduduki atau dikuasai oleh Belanda.
2. Melepaskan semua pertentangan dan mengakhiri perang saudara dan semua pemimpin sebagai saudara menghadapi musuh dari luar itu.
3. Supaya masing-masing penguasa adat memperkuat angkatan perangnya dan memperkuat benteng-benteng pertahanan di tiap-tiap tempat.
4. Agar semua benteng disediakan bahan makanan agar supaya tidak menyulitkan dalam mengadakan perlawanan kerena Belanda harus dilawan lama sampai mereka itu kehabisan makanan.
5. Maka ditetapkan pemimpin dan pasukan-pasukan penyerang, dan pemimpin dan pasukan penghancuran, dan ditetapkan dua penguasa terkuat di Tana Toraja yaitu Pong Tiku sebagai pemimpin penyerang dan Pong Maramba’ sebagai pemimpin penghancuran terhadap tentara Belanda, yang dinamakan dalam bahasa Toraja Pong Tiku Mangrakan anna Pong Maramba’ Mepare Sola Sang Torayaan..
Setelah selesai pertemuan tersebut, maka semua pemimpin-pemimpin atau penguasa adat itu kembali ke daerahnya untuk mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapi datangnya tentara Belanda sesuai dengan hasil atau keputusan pertemuan tersebut di atas, dimana sudah tersiar kabar bahwa Belanda sudah menduduki Enrekang dan sudah bergerak memasuki Palopo-Luwu.
Di samping mempersiapkan segala sesuatu yang telah diputuskan di atas, masih mengambil pula kesempatan tiap-tiap bangsawan atau pemimpin-pemimpin mengirim utusan mereka itu ke Bugis dari Pong Tiku dkk dan Pong Maramba’ mengutus pula utusannya ke Palopo untuk melihat dari dekat bagaimana cara Belanda menggempur setiap musuh-musuhnya. Utusan dari Pong Tiku kembali dari Sidenreng pada bulan Januari 1906, dimana berkecamuk peperangan antara Belanda dengan raja-raja di Sidenreng, Sawitto, dan Pare-Pare. Utusan tersebut menyampaikan kepada Pong Tiku bagaimana kekuatan dan taktik perang Belanda yang selalu memukul mundur pasukan Bugis. Tetapi Pong Tiku tidak ada tanda-tanda melemahkan, malahan sejak itu pertahanan beliau di semua benteng-benteng diperkuat serta memerintahkan mengumpulkan semua padi dan makanan ke dalam benteng-benteng pertahanannya, untuk dipersiapkan melawan Belanda jikalau toh Belanda akan menyerang Tana Toraja.
Bulan January 1906, datang berita tersiar lagi dari di Tana Toraja bahwa Datu Luwu di Palopo telah dikalahkan oleh Belanda dan Datu Luwu sudah mengakui Raja Belanda sebagai rajanya suatu hal yang sangat mengagetkan kepada Pong Tiku serta menjadikan pula Pong Tiku lebih mempertebal pendiriannya akan menyerang dan melawan Belanda itu kalau datang akan menjajah atau memerintah daerahnya.
Hubungan dengan daerah Sidenreng terputus beberapa lama akibat dari adanya peperangan yang berkecamuk, maka Pong Tiku dalam bulan February 1906, mengirim orang-orangnya untuk membantu serta untuk membeli senjata dan bahan-bahan mesiu yang sangat diperlukan dalam menghadapi Belanda tersebut. Di antara pasukan yang dikirim adalah: Tandi Bunna, Taruk Bua’ dan beberapa orang Bugis yang sedang berada di Pangala’ pada waktu itu, yaitu; Dalle’, Mangeppo, dan Bacoya Matumayappang serta sejumlah pasukan, tetapi utusan itu tak dapat menggabungkan diri karena dari pasukan-pasukan dari Karaèng Tinggi Maè dan Datu Suppa sudah terpecah belah, dipukul mundur oleh pasukan-pasukan Belanda, maka mereka itu segera kembali dan melaporkan kepada Pong Tiku apa yang dirasakan dan dilihatnya selama dalam perjalanan itu. Juga dalam perjalanan itu tidak berhasil membawa senjata karena semua orang bersiap-siap menghadapi tentara Belanda. Namun laporan yang sangat hebat dari utusan-utusannya itu, bukan melemahkan hati Pong Tiku, tetapi malahan beliau lebih mempertinggi kewaspadaan dan menambah latihan bagi angkatan perangnya dengan pimpinan dan latihan dari orang-orang Bugis yang dapat bayaran dari Pong Tiku. Para pelatih tersebut dikenal dengan gelar Ande Guru.
Pong Tiku Siap Berperang Dengan Belanda
Berita dari utusan-utusan Pong Tiku telah meyakinkan hati Pong Tiku bahwa Tana Toraja pasti akan mendapat gempuran dari Belanda dan sejalan pula dengan keputasan seluruh pemimpin Toraja di Buntu Pune yang lalu meyakinkan pada Pong Tiku bahwa jikalau Belanda menyerang Tana Toraja semua pemimpin mengadakan penyerangan, maka Pong Tiku mengorganisir dan memantapkan ankatan perangnya dengan susunan sebagai berikut:
1. Pong Tiku : Penguasa dan tampuk pimpinan pertahanan dan pertempuran,
2. Kombo’ : Wakil pimpinan pertahanan dan pertempuran,
3. Posse’ : Panglima pertempuran,
4. Tappangan : Wakil panglima pertempuran,
5. Tambila’ : Komandan Bantuan/ Humas,
6. Senggo’ : Ajudan Pong Tiku,
7. Ne’ Bombang : Panglima pasukan tombak,
8. Sarira : Panglima perang gerilya,
9. Pong Banne Padang : Penunjuk jalan.
Di samping tugas-tugas yang sudah tertentu tersebut di atas itu, masih setiap pimpinan ini mempertanggung jawabkan satu benteng tersebut di atas, kecuali Pong Tiku dan Kombo sebagai pimpinan umum.
Pada bulan February tahun 1906, seluruh daerah sekitar Tana Toraja sudah dikuasai atau diduduki oleh tentara Belanda dan sisa Tana Toraja yang tengah sibuk dengan persiapan-persiapan untuk menghadapi serbuan sebentar. Dengan jatuhnya Kekaraengan Gowa, Pare-Pare, Sawitto dan Sidenreng serta terakhir Luwu, maka pada bulan Maret 1906, tentara Belanda dengan kekuatan Batalion menuju ke Tana Toraja melalui Palopo dan masuknya dari sebelah utara dan langsung datang bermarkas di Rante Pao.
Kedatangan tentara Belanda pada saat itu tidak mendapat perlawanan dari para penguasa di sekitar Rante Pao, sedang Pong Tiku sendiri sedang berada di Bitttuang Le’tek dalam rangka inspeksi pasukannya untuk peningkatan ketahanan daerah keseluruhannya. Tentara Belanda di bawah pimpinan Kapten Kilian mengumumkan kepada semua pemimpin Toraja agar memberi pernyataan menerima kedatangan tentara Belanda yang merupakan pukulan halus kepada Tana Toraja.
Pong Tiku sebagai salah seorang penguasa yang kuat di Tana Toraja juga mendapat surat panggilan dari Kapten Kilian tetapi tegas-tegas menolak dengan utusan yang tiba pada Pong Tiku di Bittuang dimana surat tersebut ditulis dalam tulisan huruf Bugis yang bunyinya sebagai berikut:
Supaya Pong Tiku segera datang ke Rante Pao kerena semua pemimpin-pemimpin Toraja sudah datang, juga Pong Maramba’ sudah menerima kedatangan kami, dan hanya Pong Tiku sendirian yang tidak datang, supaya Pong Tiku sependirian dengan Pong Maramba’.
Pong Tiku yang sedang berada di Le’tek Bittuang setelah membaca surat pimpinan Belanda tersebut, terus mengatakan kepada utusan Belanda itu bahwa saya telah mengatakan siapa saja yang hendak datang menjajah kami, kami lawan dengan segala kekuatan yang ada pada kami, dan surat Belanda itu terus dibalas dengan tulisan Bugis dengan isinya:
Pucuk pimpinan tentara kerajaan Belanda Rante Pao, membalas surat tentara kerajaan Belanda, bahwa saya bersama rakyat kami hanya satu kali lahir dan satu kali mati. Sebelum tuan-tuan tiba, telah beribu-ribu penduduk dikerahkan pada pertahanan negeri guna menghadapi sekian musuh yang berani datang menginjakkan kakinya dengan maksud merebut kemerdekaan kami, dan kami sangat sayangkan karena tuan-tuan masuk ke Rante Pao tanpa perlawanan dari penduduk di sana, tapi kami di Pangala’ siap akan berkenalan dengan tuan-tuan kerajaan Belanda, dan kami tak gentar serta kami tidak mau berunding atau penyerahan apapun jua, silahkan datang, Pong Tiku di Pangala’.
Utusan tentara Belanda segera kembali dan Pong Tiku segera pula berangkat ke Pangala’. Dalam perjalanan dari Bittuang sampai Pangala’ telah memberikan perintah perhatian dan kesiapsiagaan karena pasti Belanda akan menyerang pertahanan kita.
Dengan sikap dari Pong Tiku yang begitu tegas itu maka Belanda bertekad akan menyerang kepada Pong Tiku. Sementara itu, sebagian kekuatan Belanda sedang mengepung pertahanan-pertahanan dari pemimpin-pemimpin Toraja bahagian selatan yaitu pada benteng pertahanan sekitar Bamba Puang dan Benteng Alla’ dan Ambeso pemimpin-pemimpin Ua’ Saruran, Ma’dika Bombing, Bakko, Payung, Puanna Matarru’, Daeng Mala’bi Paung Alla’, Puanna Mattalitti’, Ambe Daini yang sudah beberapa lama mendapat gempuran dari pasukan-pasukan Belanda yang bermarkas di Kalosi dan Enrekang.
Pengepungan terhadap pertahanan pada bahagian selatan dari Belanda ini dihentikan dahulu dengan maksud akan mengadakan penggempuran terhadap pertahanan-pertahanan Pong Tiku di bahagian utara. Belanda telah mengetahui bahwa pasukan yang ada itu rupanya tidak dapat mengalahkan Pong Tiku yang sangat kuat dengan benteng-benteng pertahanannya sekeliling negeri Pangala’.
Itulah sebabnya maka pada waktu itu bulan Maret Belanda tidak terus mengadakan penyerangan terhadap pertahanan Pong Tiku karena memperhitungkan kekuatan angkatan perang Pong Tiku yang sangat banyak serta memiliki benteng-benteng pertahanan yang sangat kuat yang dibangun dengan tembok yang tebal dari tanah liat campur batu disusun berlapis-lapis.
Demikianlah maka pada bulan April 1906, dimulailah pengiriman pasukan ekspedisi dengan kekuatan satu kompi besar menuju Pangala’ dengan melalui Lolai selatan dari Benteng Mamullu dan terus tiba di Pangala’ pada sore harinya tanpa adanya gangguan dari pihak rakyat atau dari pasukan Pong Tiku maka tentara Belanda terus membuat kemah di Tondon Pangala’ dengan tenang-tenang, anmun di sana sini telah diadakan pos-pos penjagaan terhadap perkemahan itu dari tentara Belanda.
Sampai malam tak ada gangguan apa-apa dan rupanya dianggap oleh Belanda bahwa Pong Tiku akan mau berunding dengan tidak diadakannya penyerangan terhadap mereka itu. Belanda tidak menduga bahwa Pong Tiku sementara mempersiapkan penyerangan secara gerilya seperti mengadakan penyerangan terhadap tentara Patta Panggawaè waktu menduduki Pangala’ Tondon satu hari. Pada malam kira-kira mulai pukul 09.00, dengan tiba-tiba perkemaham pasukan Belanda di Tondon Pangala’ diserang dengan pasukan gerilya Pong Tiku yang dipimpin oleh panglima pasukan gerilya Sarira. Dalam beberapa jam saja pasukan Belanda segera meninggalkan Pangala’ dengan berjalan di tengah malam gelap, dan terpaksa berjalan menuju ke selatan dari Pangala’ karena pada jalan yang dilalui datang itu telah dijaga keras oleh pasukan Pong Tiku dari benteng Mamullu, dan menghindari penghadangan dari pasukan Pong Tiku. Dengan susah payah pasukan Belanda yang terus diburu oleh pasukan Pong Tiku, bergerak mundur. Pasukan Pong Tiku mengejar sampai di perbatasan Pangala’. Di Leden, setelah tentara Belanda tersebut sudah melewati jembatan darurat yang dibuatkan secara paksa oleh rakyat Dende’ dapat meneruskan perjalanan. Tidak diketahui berapa korban dari pihak tentara Belanda, dan mereka berhasil menangkap seorang pasukan Pong Tiku. Tetapi akhirnya setelah Belanda dalam keadaan kepayahan berjalan, tawanan yang dikenal dengan nama Darru’ tersebut itu lari dari tangan mereka.
Jikalau perjalanan pasukan Belanda menuju ke Pangala’ kemarinnya itu hanya memakan perjalanan 1 hari setelah meninggalkan Pangala’ pada tengah malam melalui jalan panjang sudah memakan dua hari perjalanan dan di sinilah Belanda mulai mengukur kekuatan dari tentara Pong Tiku.
Tentara Pong Tiku yang memburunya sampai di Dende’ Kurra terpaksa harus kembali ke benteng masing-masing untuk menunggu saat menyerangan dari tentara Belanda tersebut yang tetap mendapat dorongan dan gemblengan dari penguasa atau pemimpinnya, Pong Tiku. Dari perjalanan tentara Belanda tersebut, kesempatan mengatur strategi penyerangan terhadap pertahanan Pong Tiku, maka dengan sekembalinya expeditie tersebut maka perang secara resmi dimaklumkan oleh Pong Tiku terhadap Belanda dan seluruh wilayah kekuasaan Pong Tiku sebagai medan pertempuran.
PERANG PONG TIKU MELAWAN BELANDA BERKOBAR
Bahwa sudah diperkirakan oleh tentara Belanda bahwa untuk menggempur pertahanan Pong Tiku dengan pembangungan benteng-benteng pertahanan sekeliling negeri Pangala’ tidak dapat jikalau dilakukan dengan melalui jalan dari bahagian sebelah timur, karena di bahagian timur terpancang benteng-benteng yang dijaga keras oleh pasukan-pasukan yang sudah terlatih, masing-masing; Benteng Tondok, Benteng Kado, dan paling selatan dengan Benteng Mamullu.
Dari pihak Pong Tiku tidak terduga pula jikalau Belanda dalam rangka penyerangannya ke Pangala’ akan melalui bahagian selatan dari Pangala’ karena sudah dialaminya sangat sulit perjalanan yang terdiri dari jurang-jurang dan hutan-hutan berbatu-batu dan sangat membahayakan, tetapi bagi Belanda perjalanan itu bukan merupakan halangan tetapi dapatnya menghampiri setiap benteng pertahanan Pong Tiku, sekalipun ditempuh berhari-hari atau berminggu-minggu.
Sejak kembalinya expeditie Belanda yang pertama dari Pangala’ pada bulan April 1906, maka sejak itu berganti-ganti mata-mata Pong Tiku datang di Rante Pao untuk mengetahui dari dekat apa yang diperkuat oleh tentara Belanda dalam menghadapi Pong Tiku yang agak lama ditunggu-tunggu oleh Pong Tiku yang mungkin dengan kekuatan Belanda yang ada diperkirakan belum mampu menghadapi pertahanan Pong Tiku dalam jumlah tentara yang ribuan jumlahnya, dan mungkin pula masih menunggu bala bantuan dari luar, maka pada tanggal 22 Juni 1906, datang utusan dari mata-mata Pong Tiku dari Rante Pao menyatakan bahwa kemarin, jadi dalam hal ini tanggal 21 Juni 1906, telah bergerak sejumlah pasukan tentara Belanda menuju ke selatan Rante Pao yaitu Madandan dalam jumlah yang agak besar (kurang lebih 250 tentara Belanda dan kuli sewaan kurang lebih 500 orang), yang diperkirakan mereka itu adalah pasukan yang akan menggempur Pong Tiku.
Hal ini sangat diyakini oleh Pong Tiku bahwa tentara Belanda tersebut rupanya akan menyerang pasukan Pong Tiku di Pangala’ mengikuti jalan yang telah dilaluinya waktu kembali dari Pangala’ pada satu bulan yang lalu (April 1906).
Dengan jalan demikian, maka Pong Tiku mengerahkan pasukan-pasukannya membuat rintangan-rintangan dengan ranjau-ranjau dan tebangan pohon-pohon kayu yang besar untuk merintangi perjalanan tentara Belanda tersebut, tetapi ternyata setelah berada di Kurra melanjutkan perjalanan ke Awan, maka dengan demikian diperkirakan lagi bahwa pasukan tentara Belanda dengan perlengkapan yang cukup besar akan menuju benteng Buntu Batu dan benteng Lali’ Londong sebagai pusat pertahanan angkatan perang Pong Tiku, maka dibuat rintangan-rintangan pada jalan yang memperhubungkan Awan dengan Buntu Batu - Lali’ Londong. Sebagai diketahui, jalan yang ditempuh ini adalah jalan yang lebih berbahaya dan sangat sulit daripada jalanan melalui Ledan dan Dede’ dahulu, namun demikian bagi pasukan Belanda susahnya perjalanan adalah masalah biasa demi mencapai tujuannya untuk menjajah seluruh daerah yang didatanginya.
Dengan melewati ranjau dan rintangan-rintangan serta penghadangan dari pasukan Pong Tiku yang sudah siap bergerilya di bawah pimpinan panglima perang gerilyanya Sarira, maka tentara Belanda tiba di muka benteng Lali’ Londong sebagai benteng yang kedua dari pertahanan Pong Tiku, yang memakan 5 hari perjalanan yang jikalau berjalan biasa hanya dapat ditempuh dengan 1 hari, tetapi karena mendapat gangguan-gangguan di perjalanan, maka nanti tanggal 26 Juni 1906 sore harinya tiba dan menduduki gunung Panglimuman serta puncak gunung Bimba bahagian sebelah barat dari benteng Lali’ Londong.
Pada sore harinya, tentara Belanda membuat perkemahan sekitar daerah benteng Lali’ Londong dengan menempatkan pasukan Atleri dengan meriam pada gunung Panglimuman dan gunung Bimba.
Pada malam harinya, mulai pukul 09.00, serangan dilakukan oleh pasukan gerilya oleh panglima Sarira dengan kekuatan tentara 200 orang dan menyerang kedua pusat pertahanan meriam Belanda serta kemah-kemah tentara Belanda di sekitar benteng Lali’ Londong. Tentara Belanda sudah memperkirakan serangan itu sebelumnya, maka setibanya di tempat tersebut mereka langsung membuat lubang-lubang perlindungan dengan tenaga kuli sewaan yang dipaksa bekerja sejak sore hari sampai malam.
Pertempuran malam itu sangat hebatnya dengan segala daya tentara Belanda bersifat mengelakkan pukulan karena tenaga akan dipersiapkan menghadapi pertempuran yang sebenarnya nanti. Bunyi senapan mulai berhenti setelah menjelang subuh karena pasukan Pong Tiku mengundurkan diri ke benteng Lali’ Londong.
Pada pertempuan malam tanggal 26 Juni 1906, 6 orang tentara Pong Tiku terluka, dari pihak Belanda hanya beberapa orang kuli sewaan yang juga luka-luka, tidak ada korban tewas di kedua belah pihak.
PERTEMPURAN BENTENG LALI’ LONDONG TANGGAL 27 JUNI 1906
Bahwa setelah pertempuran pada malam tanggal 26 Juni 1906, penyerangan dilakukan atau didahului oleh pasukan-pasukan Pong Tiku, maka pada pagi-pagi sekitar pukul 07.00, tentara Belanda mulai mengadakan serangan balasan dengan fokus penyerangan ialah ke arah benteng Lali’ Londong dengan kekuatan dan formasi sebagai berikut:
1. Kompi ke 4 dari Batalion 5 Infantarie dipimpin oleh Letnant I Einthoven dan Letnant II Engelbert van Bevervoorde dan ajudan opsir rendah Sailer dengan kekuatan 78 bayonet dan 1 tukang Slompret,
2. Kompi 3 dari Batalion 6 Infantrie dipimpin oleh Letnant rendah Schaijbelar, dengan kekuatan 45 bayonet dan 1 orang tukang Slompret,
3. Mobile Colone dari Garnisun Batalion Celebes, Manado dan Timor dipimpin oleh seorang Sersan Mayor dengan 38 Bayonet dan 1 orang tukang Slompret,
4. Pasukan Genie terdiri dari 2 serdadu Belanda dan 1 orang bumi putera,
5. Marine Artelerie, dengan 2 meriam kecil ukuran 3,7 cm dan 254 granat tangan, dipimpin oleh Letnant Laut II van der Wyck dengan seorang Palang Merah laut dan Palang Merah Infantarie, dan
6. Kuli-kuli sewaan kurang lebih 500 orang.
Sebaliknya benteng Lali’ Londong diperkuat dan dikawal oleh 130 pasukan senapan, 50 pasukan tombak dan beberapa orang penjaga tangga dan batu gulingan serta pasukan air lombok (tirrik lada) dipimpin oleh Biu dan Tumonglo dibantu oleh Ngali dan ahli tombak Ne’ Bombang, pimpinan senapan oleh Sambia’ dan penjaga pintu bernama Patoding.
Dengan Lali’ Londong mendapat perlindungan dari benteng Buntu Batu pada bahagian selatan dan dari kubuh pertahanan Rangri pada sebelah utara dari benteng Lali’ Londong, dan di hutan-hutan belukar berkeliaran pasukan gerilya dipimpin oleh Sarira yang sejak malam sudah memulai operasinya.
Pada tanggal 27 Juni 1906, sebagai tanggal kenangan bagi setiap pasukan Pong Tiku dalam mempertahankan kedaulatannya pukul 07.00 dari dua puncak gunung pertahanan pasukan Belanda sebagai pangkalan dari pasukan meriam yaitu gunung Panglimuman dan gunung Bimba dipecahkan dengan bunyi slompret yang menandakan serangan dimulai serempak pada benteng Lali’ Londong dimana telah siap pula musuh-musuhnya sejak semalam suntuk berjaga-jaga dari ancaman keganasan tentara Belanda.
Dengan menyemut pasukan tentara Belanda menghampiri benteng Lali’ Londong dengan peralatan-peralatan tangan dan tandu yang dibawa oleh kuli-kuli sewaan, tetapi dari benteng Lali’ Londong pun tidak kurang siraman peluru ke arah pasukan Belanda dan dari benteng Buntu Batu turun pula untuk membantu, tetapi mendapat penjagaan dari mulut meriam yang siap-siap memuntahkan peluru-peluru yang untuk pertama kali ini mau dikenal oleh pasukan Pong Tiku.
Karena halangan dari rintangan yang begitu hebat, maka tentara Pong Tiku dari benteng Buntu Batu tak dapat memberi bantuan apa-apa, dan demikianlah adanya benteng Lali’ Londong adalah terletak di tangan pasukan-pasukan pengawalnya yang juga sangat gigih bertahan dengan sekuat tenaga sejak dari pagi, dengan semua alat yang ada padanya seperti petokan (penolak tangga), tirrik lada (air lombok yang disemprotkan pada mata pasukan Belanda agar tak dapat melihat dan kesempatan oleh pasukan tombak), batu gulingan (batu yang diatur sekeliling benteng dimana dilepaskan jikalau tentara Belanda mulai memanjat naik ke atas benteng.
Namun pasukan Pong Tiku dalam benteng Lali’ Londong telah mengerahkan segala tenaga yang ada tetapi akhrinya dengan tembakan meriam dari dua penjuru bertubi-tubi serta lemparan granat tangan yang baru kali ini dirasakan oleh tentara Pong Tiku akan daya bongkarnya, telah menghujani benteng Lali’ Londong yang sementara pula mengawal maju gerakan pasukan Belanda, maka semua tembok-tembok benteng hancur dibongkar oleh tembakan meriam dan lemparan granat tangan mengakibatkan pasukan Belanda dengan gambapang menyerbu masuk ke dalam benteng, dan terjadi pergulatan satu demi satu dalam benteng sementara tembakan meriam dan letusan granat ditujukan kepada pasukan Pong Tiku.
Pertempuran sengit sejak dari pagi sampai sore harinya tanpa adanya istirahat bagi tentara benteng Lali’ Londong, maka setelah kehabisan kekuatan dan sudah banyak anggota pasukan benteng yang jatuh karena lemparan granat, maka terpaksalah penjaga pintu benteng, Patoding membuka membuka pintu belakang dari benteng Lali’ Londong dan pasukan Pong Tiku mengundurkan diri sementara dalam pukulan mundur oleh tentara Belanda dan semua pasukan mengundurkan diri ke benteng Buntu Batu dan Rangri’. Pada pukul 03.30 sore hari, dengan resmi benteng Lali’ Londong jatuh ke tangan tentara Belanda, sebagai suatu pukulan terhadap pertahanan Pong Tiku di sebelah barat dari negeri Pangala’.
Sejak dari pertempuran mulai pagi sampai sore hari tanggal 27 Juni 1906, telah berjatuhan korban dari kedua belah pihak sebagai berikut:
1. Pihak Pong Tiku gugur 9 orang di antaranya pimpinan pasukan tombak dan Sambila’ pimpinan pasukan senapan, dan 40 orang luka-luka berata dan ringan, dan
2. Pihak tentara Belanda, 6 orang tewas karena batu gulingan dan 8 orang tewas dalam benteng pada saat pergulatan-pergulatan dalam benteng jumlahnya 13 orang di antaranya 3 orang kulit putih, dan luka-luka tak diketahui banyaknya karena terus diangkat melalui Awan, Kurra dimana di Awan yang luka itu mati lagi seorang yang lainnya diangkat terus ke Rante Pao.
Pasukan-pasukan Belanda yang m ati pada pertempuran benteng Lali’ Londong tanggal 27 Juni 1906, sebanyak 13 orang dikuburkan di Karongian dekat perkemahan Belanda pada saat itu.
Dengan jatuhnya benteng Lali’ Londong sebagai benteng pertahanan Pong Tiku yang kedua kuatnya oleh Pong Tiku merupakan kerugian besar. Tetapi kejatuhan benteng Lali’ Londong mempertebal keyakinannya akan melawan terus dengan mengatakan bahwa Pong Tiku hanya sekali dilahirkan dan hanya satu kali pula akan mati, tetapi saya tidak mau dijajah atau diperintah oleh bangsa Belanda mulai dari ujung rambut sampai ujung kakiku. Pihak Belanda menduga bahwa dengan jatuhnya benteng Lali’ Londong akan menyebabkan Pong Tiku menyerah dan ingin berunding dengan Belanda. Pada tanggal 30 Juni 1906, pimpinan tentara Belanda yang masih berada di sekitar benteng Lali’ Londong mengirim utusan bernama Tandibuna’ kepada Pong Tiku yang berada di benteng Buntu Batu untuk meminta Pong Tiku suka berdamai dengan Belanda.
Setelah mengadakan perundingan pendek dengan seluruh staf angkatan perangnya dalam benteng Buntu Batu, mereka sepakat akan tetap taat pada setiap perintah Pong Tiku. Kepada utusan Belanda tersebut diberikan jawaban bahwa Pong Tiku tidak mau berunding dan kerja sama dengan tentara penjajah Belanda. Utusan Belanda itupun kembali.
Seminggu kemudian dari jatuhnya benteng Lali’ Londong tentara Belanda tak dapat lagi menggempur benteng Buntu Batu yang diketahuinya bahwa benteng ini sangat kuatnya, maka setelah menerima jawaban dari Pong Tiku, maka tentara Belanda tiba-tiba meninggalkan Karongian kembali ke Rante Pao melalui jalan yang telah dilalui mereka itu datang yaitu menuju ke Awan terus ke Kurra dan ke Madandan langsung ke Rante Pao. Sedang mayat tentara Belanda tetap terkubur di Karongian sebagai saksi atas pertahanan benteng Lali’ Londong dari pasukan Pong Tiku.
Perang benteng Lali’ Londong tanggal 27 Juni 1906, sebagai gambaran umum bagi tentara Belanda bagaimana pendirian dan kekuatan dari pasukan Pong Tiku menyebabkan tentara Belanda harus menambah kekuatan dalam menggempur benteng-benteng Pong Tiku yang masih siap untuk bertempur yang utama benteng Buntu Batu dan benteng-benteng yang berjejer di sebelah timur dan negeri Pangala’ daerah kekuasaan Pong Tiku.
Itulah sebabnya penggempuran tidak disusul terus-menerus seperti cara tentara Belanda menggempur benteng pertahanan pemimpin-pemimpin di daerah Bamba Puang yaitu benteng-benteng pertahanan Ratu Patcaitana, Puanna Sapu, Ma’dika Bintang yang memang Belanda telah menguasai benteng-benteng itu dalam pertempuran satu hari semua benteng-benten Bamba Puang dan Kotu jatuh ke tangan Belanda pada 17 Oktober 1906.
Demikianlah setelah selesai pertempuran di benteng Lali’ Londong dan tentara Belanda sudah kembali ke Rante Pao, maka Pong Tiku mengeluarkan perintah kepada semua pasukan-pasukan benteng yang masih 6 buah supaya semua pasukan tetap berjaga-jaga dalam benteng sementara seterusnya memasang pengintipan yang dinamakan To Mapetani’ agar setiap saat dapat menghadapi serangan tentara Belanda karena pasti Belanda akan segera menggempur tiap-tiap benteng yang masih bertahan.
Juga senjata batu gulingan lebih diperbanyak karena telah berhasil baik dalam perang benteng Lali’ Londong lebih banyak memberi keuntungan dan lebih banyak menghancurkan tentara Belanda yang mendaki atau memanjat benteng.
PERTEMPURAN BENTENG-BENTENG BUNTU ASU, BENTENG KA’DO DAN TONDOK (TANGGAL 16-18 JULI 1906)
Setelah Belanda merebut benteng Lali’ Londong di sebelah barat dari negeri Pangala’, maka Belanda akan mengarahkan lagi perhatian pada benteng-benteng yang mengawali negeri Pangala’ dari bahagian timur masing-masing benteng Buntu Asu, Ka’do, Tondok dan Mamullu.
Untuk menggempur benteng-benteng tersebut maka oleh Belanda mendirikan suatu markas sebagai pusat komando di sebelah timur dari benteng-benteng tersebut di Tondok Litak kerena hubungan dari markas induk di Rante Pao agak jauh.
Semua kekuatan yang akan dikerahkan pada penyerangan benteng-benteng tersebut di atas dikumpulkan di Tondok Litak, terutama peralatan berat seperti meriam-meriam dan perlengkapan bahan makanan.
Pertempuran Buntu Asu tanggal 16 Juli 1906
Bahwa benteng pertahanan Pong Tiku di bahagian timur sebagai diketahui merupakan rangkaian kekuatan Pong Tiku menghadapi musuh-musuhnya dari luar, karena untuk leluasa masuk ke Pangala’ harus lebih dahulu membuka jalan karena jalan yang telah ditempuh dahulu itu sangat banyak memberikan resiko seperti tentara yang luka-luka karena jauhnya perjalanan mengakibatkan tewas di tengah jalan.
Benteng yang paling dekat dengan Pangala’ dari benteng-benteng timur itu ialah benteng Buntu Asu, maka oleh tentara Belanda akan lebih dahulu merebut benteng itu, yang kekuatannya tidak seberapa karena memudahkan terbukanya jalan menuju Pangala’ serta tidak banyak memberikan kerugian. Untuk itu persiapan di Tondok Litak harus dimatangkan.
Dari Tondok Litak pada tanggal 16 Juli 1906, berangkat serombongan pasukan tentara Belanda dengan maksud akan menyerbu benteng Buntu Asu yang terletak paling utara dan agak dekat dengan Tondong Pangala’ ibu negeri Pangala’ yang dalam penyerangan ini tidak mempergunakan meriam dan granat-granat tangan seperti di benteng Lali’ Londong yang sudah dikalahkan bulan yang lalu.
Rupanya tentara Belanda pada waktu ini akan mengalami suatu tekanan, karena pada saat pasukan tentara Belanda mendekati benteng terus mendapat tembakan-tembakan dengan hebatnya dari pasukan benteng, namun tentara Belanda dengan perlindungan senjata dapat merayap ke kaki benteng dan mulai memasang tenaga-tenaga untuk memasuki benteng, tetapi dengan gigih mendapat tantanga dari benteng dan pada benteng ini terdapat batu gulingan banyak memberikan keuntungan karena pasukan Belanda itu bergerak dengan sangat cepatnya, tetapi pimpinan pasukan benteng nama Pongkalua dengan pembantunya bernama Ne’ Kuku tidak melewatkan kesempatan ini begitu saja, namun tidak mendapat bantuan dari benteng-benteng lainnya karena masing-masing benteng selalu siap siaga dari gempuran tentara Belanda.
Dalam penyerangan itu, tentara Belanda tidak dapat menahan batu gulingan yang ternyata seorang tentara Belanda yang memanjat benteng dengan mempergunakan tangga tetapi sayang sekali batu gulingan terus menghantam tentara tersebut, maka terpaksalah jatuh dihimpit batu yang sangat besar menjadikan Tyzen di saat itu juga tewas, sebagai sebab tentara Belanda harus meninggalkan benteng Buntu Asu kembali ke markas Tondok Litak yang bagi pasukan Pong Tiku di benteng-benteng lebih mendorong dan menambah ketekunan mereka melawan Belanda.
Bahwa pada saat itu Belanda tidak berhasil merebut benteng Buntu Asu karena tidak mempergunakan meriam dan granat tangan, dan terpukulnya Belanda dari benteng Buntu Asu tersebut menambah amarah daripada pemimpin tentara Belanda di Rante Pao, dan sejak itu dipersiapkanlah kekuatan yang cukup besar serta persenjataan yang lebih berat.
Pertempuran benteng Buntu Asu pada tanggal 16 Juli 1906, mengadakan korban pasukan Pong Tiku tidak ada, tetapi pada pihak Belanda 2 orang tentara.
Pertempuran Benteng Ka’do dan Tondok Tanggal 18 Juli 1906
Satu hari sesudah tentara Belanda tak dapat menembus benteng Buntu Asu yang agak dekat dengan Tondon Pangala’ dan benteng Rinding Allo, maka kini giliran benteng Ka’do dan Tondok akan mendapat giliran, yang persiapannya dimulai pada tanggal 17 Juli 1906, dengan kekuatan tentara Belanda yang luar biasa karena bantuan yang ditunggu dari Kalosi dan Palopo tepat kedatangannya, maka direncanakanlah oleh orang Belanda akan menyerang kedua benteng tersebut sebagai benteng yang terkuat di sebelah timur di sampinig benteng Mamullu dan benteng Buntu Asu yang tak dapat direbut oleh Belanda pada tanggal 16 Juli 1906 tersebut di atas.
Untuk menggempur kedua benteng tersebut di atas oleh pihak Belanda telah mempersiapkan angkatan perangnya dalam kekuatan sebagai berikut yang pada tanggal 17 Juli 1906 disatukan di Tondok Litak masing-masing:
1. Kompi ke 4 dari batalyon 15 infanterie terdiri atas barisan compagnie dan satu barisan istimewa dengan kekuatan 152 bayonet dipimpin oleh Kapten Michielsen,
2. Kompi ke 3 dari batalyon 6 infanterie dengan kekuatan 131 bayonet dipimpin oleh Kapten Reidens,
3. 2 meriam kecil dengan ukuran 3,7 cm, dan 1 meriam besar 7,5 cm dipimpin oleh Letnan II van der Wyik dan 1 pasukan Genie.
Kesemuanya dinamakan Colone (barisan pasukan) di Tana Toraja di bawah pimpinan Kaptein Infanterie Kapels, yang diwakili oleh Kaptein van Ginkel sebagai adj. staf tentara Celebes, Manado dan Timor.
Kompanie ke 3 batalyon 6 infanteris dari Kalosi di bawah pimpinan Kapten Reindes tiba di Tondok Litak pada tanggal 16 Juli 1906, yang mengdakan perjalanan 4 hari segera menggabung kepada pasukan dari Letnent Egelbert van der Vervoorde yang sudah berada beberapa bulan di Tana Toraja.
Jadi kekuatan yang dipersiapkan untuk menggempur benteng Ka’do dan benteng Tondok sejumlah kurang lebih 500 tentara dengan tiga buah meriam dan beberapa ratus butir granat tangan.
Perintah penyerangan pada tanggal 18 Juli 1906.
Sebaliknya pasukan Pong Tiku pada benteng-benteng tersebut makin diperkuat dengan bantuan pasukan dari benteng Buntu Batu dan benteng Rinding Allo. Benteng Buntu Asu masih termasuk dalam garis serbuan diperkuat dengan pimpinan masing-masing:
1. Benteng Buntu Asu diperkuat dengan kekuatan tentara 200 orang dipimpin oleh Pong Kalua’ dan Ne’ Kuku,
2. Benteng Tondok diperkuat dengan kekuatan tentara 300 orang dengan dipimpin oleh Pong Banne Bulaan, Tandibala dan Runggang,
3. Benteng Ka’do sebagai benteng terkuat di bahagian timur diperkuat dengan kekuatan 5.000 orang pasukan dipimpin oleh Sampe, Tapangan,
4. Benteng Mamullu paling selatan dari pada benteng-benteng pada sebelah timur negeri Pangala’ yang diperkuat pasukan 200 orang yang dipimpin oleh Pong Sitammu.
Dari kekuatan-kekuatan benteng yang sudah ada seperti yang tersebut di atas, juga dari benteng Buntu Batu dan Rinding Allo mendapat bantuan yang datang di Ka’do dan Tondok pada tanggal 17 Juli 1906 malam di bawa pimpinan Posse’, Sampe dan Tappangan dengan pasukan sebanyak 400 pucuk senapan.
Pada kesempatan ini, Pong Tiku akan diuji ketahannya menghadapi serangan yang paling besar dengan perlindungan 3 buah meriam, di antaranya 1 meriam keliber besar yang baru saja tiba dari Palopo, dan oleh Pong Tiku hanya dengan persenjataan yang sama dengan yang dipergunakan mempertahankan benteng Lali’ Londong dahulu.
Tanggal 18 Juli 1906, pagi-pagi sekali tentara Belanda mulai bergerak dari Tondok Litak yang sudah beberapa hari bermarkas di sana diikuti oleh ratusan kuli sewaan membawa peralatan-peralatan perang dan makanan dan tidak beberapa lama tiba di Pempan, suatu tempat persinggahan dalam perjalanan ke Pangala’, dari sana sangat jelas benteng Buntu Asu yang baru saja digempur dua hari yang lalu, dan dari sana tidak terus ke benteng Buntu Asu tetapi membelok ke kanan dan menuju ke benteng Tondok dan tidak lama kemudian pasukan tentara Belanda tidak di depan dari benteng Tondok dan segera diadakan penyerangan.
Serangan dimulai dengan penyebaran tentara Belanda merayap mendekat benteng di bawah lindungan dentuman meriam yang sangat membisingkan anak telinga. Namun dari benteng Tondok tidak pula ketinggalan balasan tembakan senapan-senapan berbagai jenis, dan juga telah siap-siap ditunggu oleh batu gulingan yang sudah dipasang sekitar benteng, demikian pula Tirrik Lada sudah pula dipersiap-siapkan diiringi oleh tempik sorak jikalau tembakan-tembakan mereka itu mengena lagi, tetapi kenyataannya tentara Belanda maju terus hingga sampai di kaki benteng dan mulai mencari jalan masuk ke dalam benteng dengan memakai tangga-tangga, tetapi selalu mendapat tantangan dari pasukan-pasukan benteng, yang nanti setelah granat tangan mulai beraksi menghujani benteng barulah pasukan benteng mulai kebingungan karena lemparan granat tangan dari luar benteng ke dalam benteng bertubi-tubi yang banyak memberi korban dair pihak pasukan benteng.
Penyerangan dilakukan terus pada benteng Ka’do yang terletak di sebelah selatan yang tekanan-tekanannya pun sama dengan penyerangan di benteng Tondok yaitu pasukan Pong Tiku terdesak karena adanya hantaman-hantaman dari granat tangan yang banyak merusak dinding benteng serta menghancurkan tentara atau pasukan dalam benteng. Namun ketinggian morel dan keuletan berjuang dari pasukan-pasukan Pong Tiku, maka kedua benteng tersebut yaitu Ka’do dan Tondok dapat dipertahankan satu hari, yang kemudian pada sore harinya harus mengakui kekuatan tentara Belanda dengan persenjataan yang serba modern, dan hanya dilawan dengan alat-alat senjata yang sudah tua dan dengan tombak tetapi telah memberikan bukti keberanian berjuang dan tanggung jawab sebagai prajurit Pong Tiku seluruh pasukan melawan dengan seluruh kemampuan yang ada.
Pada saat matahari mulai turun, maka dengan resmi benteng Tondok dan Ka’do jatuh ke tangan tentara Belanda dan semua tentara Pong Tiku mengundurkan diri dengan pukulan terus-menerus jauh keluar dari benteng-benteng untuk selanjutnya mereka itu menggabungkan diri pada induk pasukan pada benteng Rinding Allo serta benteng Buntu Batu dan kubuh pertahanan Rangri, dan dengan resmi kekuatan pada sebelah timur negeri Pangala’ jatuh ke tangan tentara Belanda. Juga pasukan-pasukan pada dua benteng lainnya yaitu benteng Mamullu dan Buntu Asu ditarik ke benteng Rinding Allo dan Buntu Batu serta Rangri’ kerena sudah diyakini oleh Pong Tiku bahwa tentara Belanda pasti melakukan serangan terus-menerus pada pertahanan yang masih ada.
Dengan jatuhnya benteng-benteng pada bahagian timur oleh Belanda mengira pastilah Pong Tiku akan menyerah atau meminta berunding, tetapi sebaliknya Pong Tiku lebih keras pendiriannya untuk melawan sekalipun hanya dapat bertahan dengan beteng Buntu Batu.
Pintu jalan ke Pangala’ dan seterusnya ke Buntu Batu sekarang sudah terbuka tanpa halangan dan tekanan bagi pasukan Pong Tiku sudah sangat terasa, maka untuk mengetahui dari dekat kekuatan dan pendirian dari pasukannya, maka Pong Tiku mengadakan rapat dengan semua pucuk pimpinan pasukannya untuk membahasa bagaimana menghadapi tentara Belanda dengan hanya mempergunakan benteng-benteng yang ada, serta perlengkapan yang sudah sangat terbatas, maka dalam rapat tersebut diputuskan dua masalah pokok yaitu:
1. Segera mengadakan hubungan dengan pasukan pada benteng Ambeso dan benteng Alla’ untuk meminta bantuan tentara dan peralatan perang antara lain mesiu, karena hubungan ke daerah Bugis agak sukar dalam pembelian senjata dan mesiu, dan
2. Menghubungi semua pemimpin-pemimpin Toraj lainnya agar sudih turut membantu perlawanan ini, sebab adalah masalah yang menyangkut kehidupan seluruh masyarakat Toraja, dan sekurang-kurangnya jangan memberi bantuan kepada tentara Belanda dalam bentuk apapun.
Di samping itu, diputuskan pula mengirim utusan ke daerah Bugis untuk mendapat meriam seperti yang dipunyai Belanda, karena semua benteng-benteng lainnya itu jatuh karena dipukul mundur dari serangan meriam-meriam itu dan granat tangan.
Semua hasil rapat itu segera saat itu juga dilaksanakan dengan segera mengirim utusan kepada pemimpin-pemimpin benteng Ambeso dan Alla’ serta kepada sekutu-sekutu Pong Tiku di Sidenreng dan Sawitto yaitu pada Karaèng Tinggi Maè dan Puang Wa’ Misa serta pada Datu Suppa.
Demikian pula pada semua pemimpin-pemimpin Toraja seperti yang diputuskan tadi.
Perang benteng-benteng pada sebelah timur yang sudah jatuh ke tangan tentara Belanda tersebut telah menimbulkan korban-korban sebagai berikut:
1. Pada pihak pasukan Pong Tiku 13 orang dan luka-luka 56 orang, dan
2. Pada pihak tentara Belanda gugur 2 orang kulit putih dan 6 orang tentara bumi putra, sedang yang luka kurang jelas tetapi jumlah usungan menuju ke Tondok Litak tempat markas tentara Belanda ada kurang lebih 60 usungan.
Sejak jatuhnya benteng-benteng sebelah timur dan s ejak selesainya pertemuan seluruh pemimpin pasukan Pong Tiku di Tondon Pangala’, maka Pong Tiku memindahkan seluruh persiapan perangnya ke dalam benteng Buntu Batu sebagai benteng yang terkuat dari pada Pong Tiku terutama bahan makanan, karena Pong Tiku bertekad akan mempertahankan benteng Buntu Batu sampai titik darah yang penghabisan.
Kurang lebih satu bulan lamanya tentara Belanda tidak mengadakan penyerangan pada benteng-benteng Pong Tiku, sebagai kesempatan pula kepada Pong Tiku mengirim utusan kepada pemimpin benteng Alla’, Ambeso dan daerah Bugis, namun kesemuanya itu tidak banyak memberi keuntungan bagi pertahanan Pong Tiku seterusnya.
Pertempuran Benteng Rinding Allo Akhir Agustus 1906
Utusan Pong Tiku ke Bugis belum juga memberi kabar, sedang utusan kepada pemimpin-pemimpin benteng Alla’ dan Ambeso sudah kembali dengan hampa karena benteng Alla’ dan Ambeso sedang pula dikepung oleh pasukan-pasukan tentara Belanda, yang juga sependirian dengan Pong Tiku akan melawan dengan segala kekuatan yang ada pada mereka itu.
Demikianlah maka Pong Tiku harus menghadapi musuhnya namun sudah diketahuinya bahwa kekuatan mereka itu tidak seimbang lagi dengan kekuatan musuh, tetapi karena cita-citanya, maka apapun yang akan terjadi kesemuanya harus dihadapi dengan dada terbuka.
Apapun yang terjadi dibayangkan atau di pikirkan oleh Pong Tiku terjadi dalam waktu yang singkat, yaitu pada menjelang akhir bulan Agustus, seluruh tentara Belanda yang menduduki semua benteng-benteng yang telah direbut bergerak ke daerah Pangala’ untuk seterusnya akan mengadakan serangan pada dua benteng Pong Tiku yang masih utuh tetap dipertahankan oleh pasukan Pong Tiku yaitu benteng Rinding Allo dan benteng Buntu Batu dimana Pong Tiku sendiri mengatur penyerangan-penyerangan.
Demikianlah, maka bulan Agustus 1906 itu dengan kekuatan tentara yang kurang lebih 400 serdadu belanda yang bermarkas di daerah Karonginan Baruppu mendekati benteng Rinding Allo yang agak terletak di sebelah timur, dengan bantuan dari beberapa orang bekas pengikut dari Pong Tiku, sebagai suatu hal yang sangat melemahkan pula bagi pertahanan Pong Tiku yang sudah mengetahui posisi dari benteng Rinding Allo, jadi tidak mengherankan jikalau benteng Rinding Allo yang tidak begitu kuat itu tidak dapat bertahan lama, yang jalan pertempuran itu ialah sebagai berikut:
Karena tembok bahagian timur dari benteng Rinding Allo itu adalah terdiri dari tembok tanah dan batu yang agak tinggi, maka untuk menghancurkan dinding itu digerakkan meriam kaliber besar 7,5 cm.
Serangan dari pihak tentara Belanda dilakukan pada waktu subuh sangat berbeda dengan pertempuran yang sudah-sudah semuanya dilakukan pada pagi hari, hal ini tidak disangka-sangka oleh pasukan penjaga benteng yang didahului dengan tembakan meriam bertubi-tubi pada tempat-tempat yang memudahkan penyerangan masuk.
Dari benteng Buntu Batu tak dapat memberikan bantuan lagi karena sudah beberapa hari mulai diincer oleh pasukan Belanda dengan petunjuk dari orang-orang yang sudah memihak kepada Belanda.
Karena dinding tembok dari benteng sudah terbuka lebar-lebar, maka dengan sangat mudah tentara Belanda menyerang masuk benteng dengan didahului oleh lemparan-lemparan granat tangan yang sangat besar bahayanya dan kekuatannya sangat besar, menyebabkan bagaikan air mengalir pasukan-pasukan Belanda memasuki benteng Rinding Allo, namun dengan sekuat tenaga dari pasukan benteng mengadakan perlawanan hebatnya yang mengakibatkan benteng Rinding Allo jatuh ke tangan tentara Belanda pada siang hari bolong, dengan semua pasukan Pong Tiku dalam benteng mengundurkan diri ke hutan-hutan dan seterusnya menuju ke benteng Buntu Batu.
Dalam pertempuran tanggal 26 Agustus 1906 ini tidak banyak memberikan kerugian korban karena hanya berjalan setengah hari, dimana seorang pasukan Pong Tiku gugur nama Toto’ dan pada pihak Belanda 2 orang korban.
Dengan jatuhnya benteng Rinding Allo, maka pada pihak Pong Tiku hanyalah tinggal satu benteng yaitu benteng Buntu Batu, namun demikian pendirian Pong Tiku tetap tidak mau tunduk kepada penjajah Belanda.
Bagi Belanda sisa satu benteng yang menjadi sasaran ialah benteng Buntu Batu, maka untuk menghadapi kekuatan benteng yang sangat susah ditembus karena hanya mempunyai satu pintu masuk benteng, sedang keliling benteng itu terdiri atas dinding yang tebal dan pintu dibuat berlapis tiga, yang dengan meriam pun tak dapat menembusnya.
Oleh pihak Belanda yang sudah menduduki benteng Riding Allo dan benteng Lali’ Londong tetap saja berada di tempat itu untuk maksud mengurung kepada semua penghuni benteng termasuk Pong Tiku sampai mereka itu kehabisan bahan makanan kerana sekitar benteng sudah dijaga dengan sangat ketatnya.
Gerakan Gerilya Malam Pasukan Pong Tiku
Oleh karena pasukan benteng dan penghuni benteng Buntu Batu tak dapat lagi keluar dan tetap saja bertahan di dalam benteng, maka oleh pasukan Pong Tiku yang bermarkas di kubuh Rangri dan di dalam hutan-hutan memulai gerakannya setiap malam dengan gerilya malam yang sangat membahayakan kepada kedudukan tentara Belanda yang sedang bermarkas di sekitar benteng Buntu Batu yang menyebabkan putusnya hubungan benteng dengan luar benteng beberapa lamanya.
Pada akhir bulan Agustus 1906, maka tiba-tiba tentara Belanda diserang secara besar-besaran dari pasukan gerilya tersebut dengan kekuatan senjata sekitar 400 buah, dimana Belanda sangat kebingungan karena disergap dari tiga jurusan, masing-masing:
1. Dari sebelah utara serangan dilakukan oleh pasukan Pong Tiku dipimpin oleh Barereng,
2. Dari sebelah timur serangan dilakukan oleh pasukan Pong Tiku dipimpin oleh Rapa’, dan
3. Dari sebelah selatan serangan dilakukan oleh pasukan Pong Tiku dipimpin oleh Balla.
Serangan besar-besaran secara gerilya ini dilakuka pada tengah malam pada saat tentara Belanda dalam markas sebahagian tengah tidur dengan nyenyaknya.
Pasukan Belanda segera mengadakan serangan balasan sampai-sampai induk pasukan Belanda di Karongian dapat disusupi oleh pasukan gerilya Pong Tiku, suatu hal yang tak diduga-duga oleh Belanda.
Pertempuran berlangsung sampai subuh dan pasukan gerilya mengundurkan diri dengan mengalami korban 5 orang tewas 20 orang luka-luka, dan yang tewas ialah Tasaè, Samban, Toban, Kati, dan Taraè. Sedang pihak tentara Belanda kurang diketahui, namun dengan bukti yang berbicara di dekat tangsi Karongian terdapat korban tentara Belanda sebanyak 150 kubur, dan dengan penyerangan di malam itu tentara Belanda makin marah dan akan nekad sekali merebut benteng Buntu Batu, tetapi pertahanan benteng sangat kuatnya, makanya dibuatlah bermacam cara untuk dapat menembus masuk ke dalam benteng.
Setiap hari selama tentara Belanda bermarkas di sekitar benteng Buntu Batu selalu mengadakan tembakan meriam-meriamnya ke arah benteng dari Karongian, Kayuangin, dan gunung Bimba.
Pos penjagaan makin diperketat, karena rupanya benteng Buntu Batu tidak pernah berubah pendiriannya, namun bagi Pong Tiku suatu hal yang sangat menyulitkan karena satu saat makanan di dalam benteng itu akan habis, maka dari dalam benteng diusahakan membuat jalan rahasia keluar untuk tempat memasukkan makanan dan bahan-bahan perlengkapan lainnya.
Sebaliknya Belanda juga selalu mencari jalan untuk masuk ke dalam benteng, maka karena nekatnya dibuatlah suatu terowongan yang dapat dilalui tembus ke dalam benteng di bawah tanah sepanjang 70 m di bawah kaki sebuah bukit namanya Talodik dengan baris menengah lubang tersebut adalah 1 meter persegi dan baru di gali sepanjang 60 m masuk dapat diketahui oleh pasukan Pong Tiku lalu segera kuli-kuli yang sedang menggali lubang tersebut, akhirnya karena ketahuan maka pembuatan lubang tersebut dihentikan.
Lubang tersebut masih ada sampa sekarang dimana dalam lubang tersebut masih dapat dibaca tulisan-tulisan nama Sailer nama tentara Belanda yang mengepalai pembuatan lubang tersebut.
Oleh pihak Pong Tiku juga sama halnya mencari jalan untuk membuat hubungan keluar dan dengan demikian terkenallah dalam sejarah benteng Buntu Batu keranjang rahasia yaitu keranjan yang diulurkan dari atas pinggir benteng dengan mengisi orang ke dalamnya dan mengadakan hubungan keluar benteng serta mengambil makanan dan air.
Penyelundupan Meriam ke Dalam Benteng
Bahwa pada bulan Juli 1906, setelah selesai Pong Tiku mengadakan rapat dengan seluruh pemimpin pasukannya di Pangala’ pada saat terpukulnya dari pertempuran benteng Tondok dan Ka’do untuk mengirim utusan ke Bugis mendapatkan senjata dan mesiu, dalam bulan permulaan Oktober 1906, rupanya utusan kembali dengan membawa 2 buah meriam yaitu kiriman dari sekutu Pong Tiku di Pare-Pare, Karaèng Tinggi Maè yang sedang pula mengadakan perlawanan dengan Belanda.
Sebuah dari meriam itu sudah tiba di benteng Buntu Batu pada permulaan bulan Oktober 1906, dan sebuah lagi masih dalam perjalanan dari Bittuang, yang segera pula meriam itu diselundupkan masuk ke dalam benteng Buntu Batu, yang hampir saja disergap oleh pasukan patroli dari tentara Belanda, nanti lolos setelah mengadakan pertarungan di tempat yang namanya Karerok, dan segera meriam itu dimasukkan ke dalam benteng sebagai suatu kekuatan baru bagi pertahanan benteng, yang sesaat setibanya dalam benteng segera pula memuntahkan peluru-peluru ke arah markas tentara Belanda, dan sangat menakjubkan kepada tentara Belanda, karena justru dalam keadaan terkepung itu Pong Tiku berhasil memiliki meriam yang sudah dapat mengimbangi serangan meriam dari Belanda.
Karena tentara Belanda sudah mengetahui bahwa meriam yang masuk ke dalam benteng berasal dari Bugis melalui Bittuang, maka segera mengadakan penjagaan ke arah jurusan selatan, sehingga meriam yang satu lagi tak dapat lagi berhasil dimasukkan ke dalam benteng karena mulai dari Bittuang dijaga ketat sehingga meriam yang satu itu tetap tinggal di Bittuang (Le’tek), meriam mana pada waktu pendudukan tentara Jepang yang lalu meriam itu diangkut ke Palopo.
Sayang sekali perlawanan hanya beberapa minggu saja meriam dapat dipergunakan oleh pasukan Pong Tiku dan kehabisan peluru, sedang dari luar sudah sangat diperketat penjagaan, apalagi pada waktu keranjang rahasia ini diketahui oleh tentara Belanda atas bantuan bekas pasukan Pong Tiku yang sudah memihak kepada Belanda karena bujukan, yaitu pada waktu seorang anggota pasukan benteng akan mengambil air dengan melalui keranjang rahasia tiba-tiba disergap oleh pasuka Belanda kemudian terus membunuhnya dan pada saat itu lelaki Batto Dassi harus menerima ganjaran karena tanggung jawabnya sebagai petugas mengambil air minum melalui keranjang rahasia.
Sejak itu, jalan melalui keranjang rahasia tidak dapat dilakukan karena semua tempat yang tersembunyi dijaga keras lagi oleh pasukan Belanda dan sejak itu keadaan dalam benteng makin sulit terutama air minum dan bahan makanan.
JATUHNYA BENTENG BUNTU BATU TANGGAL 26 OKTOBER 1906
Dalam keadaan serba kekurangan dalam benteng Buntu Batu seperti air minum dan bahan makanan sedang meriam yang diharapkan akan menghancurkan perkemahan musuh sudah tidak bermanfaat lagi karena peluru-pelurunya telah habis, maka kehidupan dalam benteng makin terancam, dan lebih terasa pada waktu ibu dari Pong Tiku meninggal dunia.
Bagi Pong Tiku sendiri bukan menjadi soal karena cita-citanya yang luhur bagi bangsanya dan tanah airnya tak sudih dijajah oleh Belanda.
Kurang lebih 3 bulan lamanya tidak ada hubungan baik masuk ke dalam benteng sedang tentara Belanda sudah berbulan-bulan pula mengepung benteng Buntu Batu tidak pernah ada uluran tangan dari Pong Tiku terhadap tentara Belanda.
Karena dengan menghantam benteng Buntu Batu dari pihak Belanda adalah tipis, maka Belanda memperlunak tekanan terhadap benteng dan mulai memikat hati kepada rakyat, dengan menyebut Pong Tiku sebagai pemimpin yang baik karena ingin memasang perangkapnya yaitu pada tanggal 26 Oktober 1906, Belanda mengirim utusan kepada Pong Tiku untuk meminta Pong Tiku suka berunding dan akan mendapatkan kemerdekaan dan perlakuan yang sewajarnya.
Utusan Alat Tipu Muslihat Belanda
Setelah tidak berhasil menangkap Pong Tiku dengan gempuran yang tetap bertahan dalam bentengnya, maka Belanda memutuskan akan mengirim utusan kepada Pong Tiku di dalam benteng Buntu Batu dengan mempergunakan bekas anak buah Pong Tiku bernama Tandi Bunna’ dan juga keponakan Pong Tiku dan seorang teman Pong Tiku orang Bugis bernama Andi Guru untuk menyampaikan usul perdamaian oleh Belanda antara Pong Tiku, maka untuk tanda usul ini diterima oleh Pong Tiku supaya menyerahkan 40 pucuk senjata di muka pintu gerbang masuk benteng sebagai bukti persahabatan.
Mula-mula usul ini ditolak oleh Pong Tiku tetapi atas desakan dan permintaan dari perempuan-perempuan karena adanya mayat dari ibu Pong Tiku yang perlu dikuburkan, serta permintaan dari sahabat karib Pong Tiku yaitu Andi Guru.
Pong Tiku dalam hal ini kurang sependapat akan menyerahkan 40 pucuk senjata berarti Belanda akan melucuti sebahagian senjata kita, tetapi akhirnya Pong Tiku terima tawaran ini, maka segera hari itu juga utusan kembali menyampaikan kepada pimpinan tentara Belanda yang sudah menjalani 3 bulan bermarkas di sekitar benteng Buntu Batu.
Penyerahan senjata yang 40 dimaksudkan itu segera dilakukan di muka pintu gerbang masuk benteng dimana Pong Tiku dan perwira-perwira Belanda bersalaman dan minum-minum bersama sebagai tanda terjadi perdamaian di antara kedua belah pihak.
Penyerahan ini merupakan kemenangan besar dari Belanda karena kesempatan untuk menangkap atau menawan Pong Tiku secara halus dan bagi Pong Tiku tidak disangka akan ada perbuatan khianat dari Belanda karena usul perdamaian ini adalah merupakan tipu muslihat dari Belanda semata-mata.
Pada hari perdamaian itu oleh pihak Belanda memberi hadiah-hadiah perdamaian kepada semua perempuan dan anak-anak dan kepada beberapa tentara Pong Tiku dalam benteng Buntu Batu, dan dengan jalan demikian tentara Belanda mulai leluasa masuk ke dalam berkenalan dan bicara-bicara dengan semua penghuni benteng sebagai kesempatan memperhatikan tempat-tempat dari persenjataan Pong Tiku yang kesemuanya dilakukan dengan secara rahasia, dan sejak ada perdamaian tadi sejak itu pula pintu benteng yang terdiri atas tiga pintu dibuka terus-menerus siang dan malam, namun masih ada penjagaan yang tidak begitu keras dari pasukan benteng.
Tiga hari perdamaian dilakukan, maka maksud tipu muslihat tentara Belanda dilaksanakan, yaitu pada malam ke 4 yaitu malam tanggal 30 Oktober 1906, maka tiba-tiba benteng yang sedang terbuka itu diserbu oleh pasukan Belanda dimana pada saat tengah malam semua penghuni benteng tidur dengan nyenyaknya, dengan menawan lebih dahulu penjaga pintu benteng dan semua orang yang ribuan jumlahnya dalam benteng itu dibangunkan setelah semua senjata sudah dikumpul oleh tentara Belanda, termasuk Pong Tiku ditawan pada hari itu, kemudian setelah siang, semua orang diusir keluar dari benteng termasuk Pong Tiku dan diperintahkan kembali ke Tondon Pangala’ dan semua senjata jatuh ke dalam tangan Belanda.
Pong Tiku dalam membisu seribu bahasa tak dapat membuat apa-apa karena semua senjatanya sudah dikumpulkan di markas tentara Belanda, yang kemudian senjata yang jumlahnya kurang lebih 800 pucuk itu dibawa ke Rante Pao di markas besar tentara Belanda kemudian dimasukkan ke dalam kolam hidup yang terletak di sebelah dari markas Belanda tersebut, yang sampai sekarang masih dapat disaksikan bekas-bekas pembuangannya.
Pong Tiku dengan seluruh pasukan dan seluruh pengikutnya kurang lebih 2.000 orang pada hari penawanan itu disuruh kembali ke Tondon Pangala’ dengan membawa pula mayat dari ibu Pong Tiku yang sejak beberapa waktu yang lalu meninggal dalam benteng, begitu pula berakhirnya markas tentara Belanda di Korongian yang pada hari itu terus berangkat ke Tondon Pangala’ dan perkemahan dipusatkan lagi di Tondon Pangala’ dimana Pong Tiku pada waktu itu tinggal untuk mengikuti gerak dari pada Pong Tiku, yang pada waktu itu mulai mengadakan persiapan upacara pemakaman ibundanya menurut adat pemakaman bangsawan Tana Toraja, sementara mayat-mayat tentara Belanda di Karongian masih tetap terkubur yang jumlahnya 170 orang.
Dengan tipu muslihat tentara Belanda terhadap Pong Tiku tersebut, maka berakhirlah gerakan pertempuran Pong Tiku dengan Belanda yang berlangsung dari bulan April-Oktober 1906, dan perlawanan Pong Tiku akan dilanjutkan dalam perlawanan yang kedua yang dimulai pada akhir bulan januari 1907.
PERLWANAN PONG TIKU YANG KEDUA TERHADAP TENTARA BELANDA
Sementara Pong Tiku mempersiapkan segala sesuatunya untuk pemakaman ibu Pong Tiku yang persiapannya harus memakan beberapa bulan, juga Pong Tiku mulai mengumpulkan senjata untuk dipakainya melawan sebentar yang hanya dilakukan oleh seorang kepercayaannya bernama Posse’, yang dilakukan secara sangat rahasia pada siapapun saja terutama terhadap Belanda yang masih tetap mengadakan penjagaan di Tondon Pangala’.
Upacara pemakaman ibu Pong Tiku dilaksanakan dalam bulan Januari 1907, di bawah penjagaan keras dari tentara Belanda, pura-pura tidak diberi perhatian oleh Pong Tiku malahan beliau telah siap-siap untuk mengadakan perlawanan kembali terhadap tentara Belanda.
Sementara dalam menghadapi upacara pemakaman ibunda Pong Tiku dengan sangat rahasia Pong Tiku mengutus seorang kepercayaannya kepada pemimpin benteng Alla’, Ambeso kepada Bombing, Uwa’ Saruran, Bakko’, Payung, Puanna Matarru’ dll untuk menyampaikan rencana Pong Tiku setelah selesai pemakaman ibunya, yang sudah seja tiga bulan lalu Pong Tiku pernah meminta bantuan pada waktu perang benteng Rinding Allo kemudian tidak pernah lagi mengadakan hubungan karena 3 bulan dikepung terus ke dalam benteng Buntu Batu, dan pesan yang dibawa oleh Tambila’ dan Senggo’ diterima oleh pemimpin-pemimpin benteng Ambeso, Alla’ yang ditulis dalam huruf Bugis yang bunyinya sebagai berikut:
1. Bahwa utusan Pong Tiku kami telah terima dan mendengar semua apa-apa yang dipesankan Pong Tiku, dimana kami sangat heran jikalau Pong Tiku dengan seluruh pasukan yang besar itu dapat masuk perangkap, tetapi di sinilah kita nilai bahwa tentara Belanda itu tidak mempunyai perikemanusiaan dan munafik maka jikalau Pong Tiku mau melawan terus dengan kami, seluruh pasukan benteng Alla’ dan Ambeso sangat bergembira karena Pong Tiku satu-satunya yang sangat mahir dalam pertempuran dengan pertahanan benteng-benteng,
2. Kami merasa kagum mendengar pertempuran yang telah dihadapi oleh Pong Tiku bersama dengan pemimpin pasukan-pasukannya yang sangat perkasa, dan jikalau semua pemimpin di Tana Toraja bersama-sama melawan Belanda tidak dapat menghadapi pertahanan kita di mana-mana,
3. Kini kami tak dapat meninggalkan benteng Alla’ dan Ambeso karena sedang dalam pengepungan tentara Belanda pada bahagian-bahagian selatan dan sudah bermarkas di Kalosi,
4. Selekasnya Pong Tiku datang ke benteng Alla’ dan Ambeso makin baik, karena cepat mengatur persiapan perlawanan seperti yang dilakukan pada benteng Buntu Batu sampai tak dapat dimasuki oleh tentara Belanda dengan kekuatan tentaranya yang makin ditambah,
5. Sekian, Tapada Salama’ (sama-sama selamat).
Utusan segera kembali membawa kesan-kesan yang diterimanya dari pemimpin-pemimpin benteng Alla’ dan Ambeso, dan disampaikan kepada Pong Tiku, maka Pong Tiku mempercepat penyelesaian upacara pemakaman ibundanya untuk segera memenuhi pesan dari rekan-rekan seperjuangannya dari benteng Ambeso dan Alla’. Demikianlah, maka pada bulan January 1907, Pong Tiku harus meninggalkan Pangala’ untuk mengadakan perlawanan terhadap tentara Belanda setelah merasakan 3 bulan dibawah tekanan bayonet tentara Belanda.
Demikianlah, maka Pong Tiku sebagai seorang yang berjiwa besar dapat melaksanakan upacara pemakaman ibundanya dengan selalu mendapat pengawasan dari tentara Belanda dan pada waktu hari pembantaian kerbau-kerbau dan babi untuk memenuhi tuntutan adat seorang manusia Toraja, sempat menyampaikan kata-kata penghabisan kepada seluruh rakyat Pangala’ dan rekan-rekannya sehubungan dengan selesainya upacara pemakaman ibundanya yang hanya memerlukan satu hari lagi harus dimasukkan ke dalam liang kuburan adat.
Dari atas menara daging yang dinamakan Bala’kayan, Pong Tiku telah membentangkan sedikit apa yang dialaminya serta ibundanya sampai menghembuskan nafas yang penghabisan dalam benteng Buntu Batu, dan telah menyatakan rasa terima kasihnya karena beliau masih dapat mengupacarakan ibundanya dengan baik namun sudah dalam keadaan yang berkekurangan, hal itu terjadi karena bantuan dari seluruh rakyat Pangala’.
Dalam kata-kata pesannya dari atas Bala’kayan itu tidak disangka-sangka beliau telah memaklumkan pula kepada seluruh rakyat dalam bahasa Toraja katanya:
“Lako mintu’na to Limbong lan te Rante Kalua, makalima’na lako angganna to nalili’ Tondok Pangala’ sia lako sakka’ saeanna to nasamboi darindingna Buntu Karua, lamuissan sia lamusa’ding sola nasang, kamua yanna den barang apanmu la uma, la bulaan anna senga’-senga’na kuala to pura lendu’kulla’mangka di boko’ anna tang tamai ra’ta’ku ba’tu barang apangku lasule punala lako kalemu randuk teallo to temo, apa yanna tambenni barang apangku lamantunuko nasule nasang lakokalemu totemo ba’tu dako’”.
Artinya: “Kepada seluruh rakyat seluruh rakyat Pangala’ dan sekitarnya jikalau ada harta bendamu saya ambil pada waktu yang lalu dengan begitu saja mulai sekarang akan kembali kepadamu sekarang juga, tetapi jikalau harta bendamu yang saya ambil karena gadai, maka potonglah kerbau sekarang dan nanti maka jatuh ke tanganmu kembali sebagai jalan menebus karena memotong hewan.”
Kata-kata ini menjadi tanda tanya kepada semua orang yang juga kepada kaki tangan tentara Belanda kenapa Pong Tiku berkata demikian bagaikan dia sudah mau mati, tetapi bagi pengikut-pengikutnya yang setia maklum benar-benar apa tujuan dari pada Pong Tiku karena sudah diperkirakan tak ada perdamaian lagi baginya dengan Belanda karena dengan cara apapun dia akan melawan sampai tetesan darah yang penghabisan.
Bahwa apa yang dikatakan oleh Pong Tiku pada hari itu harus berjalan, kemudian beberapa bulan setelah Belanda menangkap Pong Tiku mengeluarkan peraturan agar semua milik rakyat yang diambil oleh Pong Tiku kembali ke tangannya begitu saja, dan bahwa pendirian Pong Tiku juga membuat demikian rupa pada pemakaman ibundanya karena baginya sudah sangat tipis harapan untuk mempergunakan harta rakyat itu melawan Belanda, karena dia akan mencari jalan untuk melawan sendiri, yang dipikirnya pula bahwa harta rakyat dahulu diambilnya itu untuk perjuangan, sedang tak ada harapan baginya untuk bertahan lama di Pangala’.
Pada hari mengucapkan kata penghabisannya kepada rakyat Pangala’, yang besok paginya baru dilakukan pemakaman ibunya, tidak disangka-sangka pada tengah malam Pong Tiku meninggalkan Pangala’ dan masuk bersembunyi ke dalam hutan Karua dengan pengikut kurang lebih 300 orang laki-laki dan perempuan, yang menjadi rahasia kepada tentara Belanda serta kepada beberapa orang keluarganya, sementara mayat ibunya masih berada di atas Lakkian yaitu menara mayat yang ditinggalkan saja dengan terpaksa untuk melanjutkan cita-citanya, yang pada besok harinya dikuburkan oleh keluarga Pong Tiku yang masih tinggal serta yang sudah memihak kepada tentara Belanda.
Segera setelah siang diketahui oleh Belanda bahwa Pong Tiku dengan pengikut kurang lebih 300 orang telah melarikan diri ke dalam hutan Karua untuk mengadakan perlawanan kembali, terus oleh tentara Belanda yang berada di Pangala’ segera memburunya dengan terpencar-pencar, tetapi hal ini sudah diperhitungkan oleh Pong Tiku bahwa pasti Belanda akan mengikutinya dari belakang, lalu membuat perjalan yang berkelok-kelok di dalam hutan Karua kemudian menuju ke Awan dan terus ke Bittuang, karena rencana Pong Tiku akan terus ke selatan sekali untuk menggabungkan diri pada pasukan-pasukan benteng Ambeso dan benteng Alla’ yang sedang pula ditunggu-tunggu oleh pemimpin benteng-benteng tersebut.
Beberapa hari dalam perjalanan, maka Pong Tiku dengan rombongannya tiba di Bittuang dan beristirahat di sana, tetapi tiba-tiba datang berita bahwa pasukan Belanda dalam kekuatan lengkap telah mengikutinya, dan sebahagian sudah berada di Awan dan sebahagian berjalan dari Rembon akan menuju Bittuang karena rombongan Pong Tiku diketahui bahwa sudah berada di Bittuang.
Untuk menghindari penggerebekan dari pihak tentara Belanda, maka Pong Tiku menyuruh semua orang-orang kembali saja ke Pangala’ dan hanya beberapa orang saja yang akan terus ke selatan yaitu ke benteng Ambeso dan Alla’ melalui Buakayu.
Sebahagian orang kembali dan Pong Tiku bersama dengan pengikutnya 15 orang terus bersama-sama di antaranya dua istri dari Pong Tiku dan 3 wanita lainnya sedang lebih 200 orang segera kembali ke Pangala’ melalui hutan-hutan untuk menghindari sergapan dari pasukan Belanda yang sudah menjelajah seluruh daerah bahagian barat, dimana diduga Pong Tiku akan berada.
Pong Tiku Menggabung Pada Pertahanan Benteng Alla’ dan Ambeso
Benteng Ambeso dan Alla’ adalah keduanya benteng yang terletak di bahagian selatan sekali dari Tana Toraja yaitu sekarang ini sebagai perbatasan Kab. Tana Toraja dan Kabupaten Enrekang.
Kedua benteng ini dipertahankan oleh pemimpin-pemimpin adat Toraja selatan yang terkenal ialah: Ma’dika Bombing, Uwa Saruran, Bakko’, Payung, Massi Mau’, Puang Matarru’, Puanna Mattalitti, Puang Alla’, Puang Sossok, Ambe Daini (Pa’bisara Baroko) yaitu suatu benteng yang terkuat di sebelah selatan karena benteng-benteng daerah Bamba Puang sudah jatuh ke tangan tentara Belanda, serta sudah bermarkas pula di Kalosi tidak jauh dari kedua benteng tersebut.
Kedua benteng ini sudah beberapa kali mendapat gempuran dari pihak Belanda tetapi tetap bertahan karena benteng tersebut di atas gunung batu yang sangat sukar dimasuki oleh tentara Belanda, serta tentara Belanda dahulunya dipusatkan ke bahagian utara yaitu mematahkan sampai habis sisa-sisa dari kekutan Pong Tiku, kemudian keduat benteng tersebut mendapat giliran penggempuran.
Pesan Sombaya Ri Gowa Kepada Pemimpin-Pemimpin Toraja
Sementara Pong Tiku sudah dilucuti oleh Belanda dalam bulan Oktober 1906, juga Gowa digempur oleh Belanda dan Sombaya ri Gowa Sultan Husain Makkulau dalam bulan itu juga meninggalkan Gowa dan menuju Pare-Pare yang terus-terus diburu oleh tentara Belanda, demikian pula Pong Tiku sudah jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 26 Oktober 1906, yaitu direbutnya Belanda benteng Buntu Batu dengan cara tipu muslihat, Sombaya ri Gowa yang pernah mengirim utusan kepada semua pemimpin di seluruh Sulawesi Selatan pada bulan Oktober 1906 itu menjadi buruan pihak Belanda sampai beliau bergabung dengan Lasinrang melawan Belanda, yang dalam perjalanan itu pada akhir bulan November 1906, menurut keterangan Ma’dika Bombing bahwa Sombaya ri Gowa datang di Buakayu dari perjalanannya dari Sawitto dan Sidenreng dan tinggal di rumah ma’dika Bombing salah seorang pemimpin benteng Ambeso Alla’, yang menurut beliau Sombaya ri Gowa datang dengan mempergunakan 2 ekor kuda serta pengikutnya sebanyak 60 orang yang bersenjata lengkap.
Bahwa kedatangan Sombaya ri Gowa di Toraja selatan atau Buakayu itu ialah untuk memberi amanat perlawanan yang telah disampaikan oleh utusannya tahun yang lalu sejak pecahnya perang Bone, dan menurut Ma’dika Bombing, oleh Sombaya ri Gowa sangat mengharapkan pertahanan dari pemimpin-pemimpin Toraja karena hampir seluruh daerah pantai sudah dikuasai atau diserang oleh Belanda dan hanya tinggallah daerah Toraja, yang oleh beliau mengira bahwa Pong Tiku belum jatuh di bahagian utara Tana Toraja, dimana Ma’dika Bombing menyampaikan bahwa sudah 3 bulan tidak mendapat hubungan dari Pong Tiku karena di sana sedang diserang oleh Belanda, namun demikian Sombaya ri Gowa masih mengharapkan agar tetap mengadakan perlawanan, dan setelah dijamu semalam oleh Ma’dika Bombing, Sombaya ri Gowa kembali melalui selatan terus ke Simbuang, Pinrang.
Inilah yang menyebabkan pertahanan di benteng Alla’ dan Ambeso diperkuat oleh pemimpin-pemimpin selatan di antaranya Ma’dika Bombing dengan saudaranya Uwa’ Saruran.
Pada waktu Pong Tiku tiba di Buakayu dan terus menyeberang ke Rano dimana Bombing dan Uwa’ Saruran sedang mempersiapkan peralatan untuk mempertahankan benteng dari serangan tentara Belanda yang sudah mulai mengepung benteng-benteng tersebut, dan kedatangan Pong Tiku dengan rombongannya suatu hal yang sangat menggembirakan hati pemimpin-pemimpin benteng, dan sekaligus Bombing menceritakan pesan Sombaya ri Gowa itu kepada Pong Tiku juga lebih mendorong Pong Tiku mempertebal keyakinannya untuk tidak mengalah begitu saja kepada tentara Belanda.
Pong Tiku sementara di benteng Alla’ dan Ambeso diserahi pimpinan pertempuran dari rekan-rekannya karena diketahui sudah mengalami pertempuran dengan tentara hampir satu tahun lamanya, dan disanalah Pong Tiku lebih mengutamakan batu gulingan disiapkan pada semua pinggir benteng karena sangat berhasil dalam pertempuran-pertempuran di semua benteng-benteng Pong Tiku dan banyak memakan korban tentara Belanda.
Hanya beberapa hari saja Pong Tiku berada di benteng Ambeso terus benteng Ambeso digempur oleh tentara Belanda yang hanya dapat bertahan beberapa hari terus benteng Ambeso jatuh ke tangan tentara Belanda, dan semua benteng Ambeso mengundurkan diri ke benteng Alla’ dengan jalan dari sebelah barat dan kini benteng Alla’ satu-satunya benteng yang masih bertahan dari semua benteng yang berdiri di Tana Toraja mengingat benteng-benten di bahagian selatan di sekitar Bamba Puang sudah lebih dahulu jatuh ke tangan Belanda.
Pertempuran di benteng Alla’ sangat membahayakan sekali karena jikalau dikalahkan salah-salah jalan dapat disergap oleh tentara Belanda yang sudah sangat banyak mengepung benteng tersebut.
Pertempuran di benteng Alla’ tidak lama jatuh setelah tentara Belanda memusatkan kekuatan pada gempuran benteng itu dimana terjadi perkelahian yang sangat hebatnya, yang dalam sejarah pertempuran ini baik wanita-wanita turut pual bertempur dan demikianlah, maka korbannya tidak sedikit, dan pada akhir Maret 1907, benteng Ambeso dan Alla’ jatuh, sebagai suatu tamparan pada seluruh pencinta kemerdekaan di Sulawesi Selatan khususnya, dan semua pemimpin benteng Alla’ dan Ambeso meninggalkan benteng dengan masing-masing mencari jalan tidak berketentuan perginya yang terus menerus dibuntuti oleh pasukan tentara Belanda.
Pong Tiku Dari Benteng Alla’ Kembali ke Pangala’
Baiik Uwa’ Saruran dan Bombing sebagai pemimpin Toraja bahagian selatan kembali ke daerahnya di Buakayu dalam mengejaran tentara Belanda, begitu pula Pong Tiku dengan beberapa pengikutnya yang masih hidup kembali ke Pangala’ dengan melalui hutan-hutan dan jalanan yang diduga tidak dilalui oleh tentara Belanda, dan setelah kedua benteng Alla’ dan Ambeso jatuh, maka Belanda menyebarkan pasukannya di seluruh bahagian selatan Tana Toraja serta bahagian barat Tana Toraja untuk mengejar pemimpin Toraja yang tidak mau bekerjasama dengan mengakui pemerintah Belanda, termasuk Bombing, Uwa’ Saruran, dan Pong Tiku, tetapi yang dianggap paling berbahaya ialah Pong Tiku, karena dimana Pong Tiku datang selalui mengadakan pemberontakan terhadap Belanda, maka siapa-siapa saja yang dicurigai menyembunyikan atau berhubungan dengan Pong Tiku pasti mendapat ganjaran dari tentara Belanda.
Dalam perjalanan kembali ke Pangala’ itu, Pong Tiku mengadakan pengembaraan dalam hutan-hutan yang selalu berpindah-pindah untuk menghindari penyergapan oleh tentara Belanda dan sejak dari akhir bulan Maret 1097 itu Pong Tiku disertai oleh beberapa orang pengikutnya berpindah-pindah di sepanjang hutan Karua bahagian utara dan barat dari Pangala’ yang terus-terus pula menjadi pengejaran oleh pihak Belanda dengan bantuan dari penduduk-penduduk tertentu sebagai mata-mata tentara Belanda.
Pembuangan Uwa’ Saruran, Bombing dkk
Pong Tiku sudah berada di daerah Pangala’ sedang dalam pengejaran, demikian pula Bombing dan Uwa’ Saruran dikejar oleh pasukan Belanda, dimana Belanda telah membuat tindakan yang kejam terhadap semua orang yang dianggap menyembunyikan Bombing dan Uwa’ Saruran, yaitu semua orang yang dicurigai digantung digantung agar supaya menyebut di mana Bombing dan Uwa’ Saruran berada, serta ada pula di antaranya yang dipanggang di atas api sampai terkupas-kupas, karena tidak mengatakan di mana pemimpin-pemimpin itu bersembunyi dan oleh Bombing mengatakan bahwa waktu mereka tiba di Buakayu, Belanda baru meninggalkan Buakayu dan mereka itu datang dari daerah selatan dalam persembunyian mereka, didapatkan 3 orang mati bekas dipanggang oleh tentara Belanda yang hangus seluruh badannya.
Adanya tindakan Belanda yang tersebut di atas telah menyiksa orang-orang dengan dipanggangnya di atas api di mana-mana seperti juga di Sillanan, Candang Batu dll kemudian seorang Ande Guru orang Bugis mengajak kepada Bombing dan Uwa’ Saruran supaya berdamai saja karena kalau didapat oleh tentara Belanda juga dipanggang demikian, serta menyampaikan bahwa akan mendapat pengampunan dari Belanda jika mereka itu bersedia berunding dan berdamai, dimana Ande Guru itu bersedia akan menjadi perantara kepada Belanda.
Anjuran ini Wa’ Saruran dan Bombing terima lalu Ande Guru itu pergi menemui tentara Belanda di Karappa’ Palesan, dan Ande Guru kembali dengan pesan agar Bombing dan Uwa’ Saruran dengan lain-lainnya datang di Pasa’ Buntu dengan menyerahkan semua senjata yang ada dalam daerah kekuasaannya (Pasa’ Buntu dekat Kalosi), dan pada pertemuan di Pasa’ Buntu itu kami menyerahkan 80 pucuk. Juga senjata orang-orang Sillanan dan Gandang Buntu dibawa ke Pasa’ Buntu dan diserahkan kepada tentara Belanda, dan semua dikumpulkan di Kalosi begitu juga senjata-senjata di sekitar Kalosi dikumpulkan di sana yang terusnya dibawa ke Pare-Pare.
Pemimpin-pemimpin Toraja yang dipanggil datang untuk berdamai, bukan akan berdamai tetapi ditangkap dan dibawa ke Pare-Pare, dan Bombing degan beberapa pemimpin lainnya masing-masing: Bombing, Uwa’ Saruran, Nene’ Bawa, So’ Kombong, Nene’ Damun, Paka’, Bandangan, Ambe’ Bo’bo’, Nene’na So Asa.
Dua bulan lamanya mereka itu di Pare-Pare kemudian menjalani hukuman di Makassar dimana sementara dalam tahanan di Makassar, Pong Tiku juga tertangkap di Pangala’.
Bomding dengan saudaranya Uwa’ Saruran yang ditawan itu atau dibuang dalam terungku di Makassar menjalani hukuman itu 3 tahun lamnya, yaitu dari tahun 1907-1910, sedang 2 temannya masing-masing So’ Kombong dan Bandangan yang dibuang ke Buton mata dalam pembuangan ke Buton.
Demikianlah mengenai perlawanan dari Uwa’ Saruran dan Bombing dkk sebagai seperjuangan dengan Pong Tiku melawan tentara Belanda di bahagian selatan Tana Toraja, yang setalah menjalani hukuman 3 tahun di Makassar, dipulangkan ke Tana Toraja kemudian Bombing diangkat menjadi Kepala Distrik Buakayu di Tana Toraja pada tahun 1917.
Bahwa pembuangan Bombing dan Uwa’ Saruran ini adalah penangkapan dengan tipu muslihat pula oleh Belanda seperti pada waktu penangkapan Pong Tiku pada bulan Oktober 1906 di Pangala’, kini diperbuatnya pula Bombing dan Uwa’ Saruran sebagai tanda tentara Belanda tidak mengenal perikemanusiaan dan lebih nyata pula dengan penyiksaan orang-orang di Buakayu, Rano, dan Sillanan yaitu dipanggang seperti ikan.
Perang Perlawanan Pong Tiku Terhadap Belanda Berakhir
Setelah Bombing dan Uwa’ Saruran dkk mendapat ganjaran dari tentara Belanda dengan menjalani hukuman selama 3 tahun di Makassar, dan sebahagian pula dibuang di pulau Buton, berarti kelegahan dari Belanda sudah ada, dan kesempatan untuk memusatkan perhatian kepada penguberan Pong Tiku yang sedang berada di sekitar Pangala’ di hutan Karua, dan di sinilah ternyata bahwa Pong Tiku namun dalam keadaan serba kekurangan dan penderitaan yang berat tetapi tetap tidak mau dijajah oleh penjajah Belanda, maka demikianlah Pong Tiku dari gua ke gua dan dari hutan ke hutan berpindah-pindah karena Belanda dengan segala alat yang ada dipergunakan untuk menangkap hidup atau mati pejuang rakyat yang mengetahui nilai cita-citanya dan perjuangannya.
Namun demikian, bagaimanapun juga satu waktu Pong Tiku pasti tertangkap, maka demikianlah sejrahnya dengan bantuan seorang mata-mata Belanda bersama Tappa bekas pengikut juga dari Pong Tiku beliau disergap oleh pasukan Belanda dalam persembunyiannya di suatu tempat nama Lalikan, dimana Pong Tiku tak dapat lagi melepaskan diri dari pengepungan itu, dan pada saat itu juga Pong Tiku ditangkap bersama dengan 2 orang pengikutnya bernama Posse’ dan Tambila’ pada tanggal 30 Juni 1907.
Pong Tiku bersama dengan pengikutnya terus dibawa ke Tondon Pangala’ dan seterusnya ke Rante Pao dimana pusat markas tentara Belanda di Tana Toraja sebagai tawanan perang tentara Belanda.
Dengan tertangkapnya Pong Tiku tersebut, maka secara resmi Belanda telah menjajah sepenuhnya seluruh daerah Tana Toraja dan seluruh Sulawesi Selatan, karena rangkaian perlawanan rakyat di seluruh daerah Sulawesi Selatan mulai dari tahun d1906-1907 yang nada dan tujuannya adalah satu yaitu tidak ingin dijajah oleh Belanda.
Setelah Pong Tiku di dalam tawanan tentara Belanda di markas besar Belanda di Rante Pao, maka pada tanggal 10 Juli 1907 Pong Tiku harus menjalani hukuman tembak di pinggir sungai Sa’dan pada waktu sedang naiknya matahari sebagai patriot bangsa yang tidak mau dijajah oleh Belanda, sebagai kemenagan cita-cita bangsa Indonesia pada umumnya. Penembakan Pong Tiku tersebut beberapa hari sebelumnya sudah diketahui oleh pemimpin adat Tana Toraja lainnya, maka Puang Randanan menghadap Komandan tentara Belanda memohon agar Pong Tiku tidak ditembak mati tetapi tidak diperdulikan oleh Belanda.
Pada hari tanggal 10 Jui 1907 itu, mayat Pong Tiku diangkut oleh keluarganya ke Tondon Pangala’ yang kemudian jenazah beliau diupucarakan menurut adat kebesaran bangsawan Toraja dengan upacara pemakaman Rapasan dan dikuburkan di kuburan pusaka keluarga Pong Tiku di Liang Talengo’ Pangala’ untuk beristirahat selama-lamanya.
Sepeningal Pong Tiku, daerah Pangala’ dalam penjajahan Belanda menjadikan Pangala’ sebagai satu Distrik Pangala’ yang diperintah oleh seorang kepala distrik menggantikan penguasa adat sebelum pemerintahan Belanda, sebagai jabatan turun-temurun dari keluarga Pong Tiku dan dari bapaknya Karaèng, maka penguasa yang menggantikan Pong Tiku ialah Tandibua’ keponakan Pong Tiku sendiri yaitu anak dari Banaa yang memerintah dari tahun 1097-1917, yang kemudian mengadakan pemberontakan dengan beberapa penguasa adat lainnya pada tahun 1917, akhirnya beliau ditangkap dan dibuang ke Sawah Luntoh dan ke Bogor dan beliau mati dalam pembuangan. Seorang temannya bernama Karangan dapat kembali dari pembuangan di Sawahluntoh setelah menjalani hukumannya dan meninggal di Pangala’ pada tahun 1962.
API PERJUANGAN PONG TIKU MENYALA KEMBALI
Tekanan dan hambatan yang tidak henti-hentinya dari penjajah Belanda terhadap seluruh bangsawan-bangsawan Toraja, merupakan pukulan yang sangat dirasakan oleh mereka itu, maka kembali mengenangkan cita-cita Pong Tiku pada waktu yang lalu, maka sebahagian besar di antara bangsawan-bangsawan itu mengadakan rencana untuk melakukan pemberontakan antara lain Pong Passangka, Pong Maramba’, Ne’ Matandung, Sitto, Tandi Bua’ (keponaka n Pong Tiku) dan beberapa orang bangsawan lainnya, maka setelah mengadakan kontak kepada semua pihak direncakanlah membunuh controleur Belanda yang pada waktu itu masih berkedudukan di Rante Pao.
Pong Maramba’ pada tahun 1912 mengirim utusan kepada beberapa penguasa adat di Bugis antara lain kepada Arung Bone dan Wajo, untuk meminta pendapat serta cara untuk mengadakan perlawnan kepada Belanda pesan mana disampaikan oleh Puang Andi Lolo dan Bunga’ Allo, tetapi utusan tak dapat terus karena mendapat halangan dari tentara Belanda di daerah Sidenreng dan surat tersebut jatuh ke tangan Belanda karena surat itu dikirim melalui orang tertentu dan Andi Lolo kembai ke Tana Toraja.
Hal ini akan menjadi dasar bagi Belanda untuk mengawasi setiap gerak-gerak dari semua pemimpin Toraja, karena sudah diketahui bahwa telah mulai mengadakan hubungan dengan luar dari daerah Tana Toraja, dan apa yang diduga oleh Belanda tersebut benar-benar terjadi pada tahun 1914, beberapa orang mengdakan pergerakan gelap untuk membunuh semua orang-orang Belanda di Tana Toraja dan terutama controleur Belanda yang berada di Rante Pao dan akan mengadakan pertahanan di beberapa tempat tertentu di Tana Toraja, yang dipimpin oleh Tandi Bua’, Pong Massangka, dan Ne’ Matandung.
Bahwa pada tanggal 15 Juli 1917, serombongan pasukan dikerahkan oleh pemimpin-pemimpin tersebut di atas untuk mengadakan pembunuhan terhadap controleur Belanda di Rante Pao dengan cara akan menghadangnya di luar pekarangannya, atau di tempat yang biasanya beliau itu keluar, yang ditunggu-tunggu sejak dari pagi sampai sore rupanya controleur itu tidak keluar dari rumahnya di Rante Pao, serta ada pula yang ingin menyerobot masuk ke dalam rumahnya tetapi dihalangi oleh Tandi Bua’ sendiri setelah dilihatnya bahwa istri daripada controleur itu sedang hamil berat, dan sangat terlarang menurut adat membunuh orang yang hamil atau suami dari pada perempuan yang hamil terutama jikalau dilakukan di dalam rumahnya atau di dalam negerinya.
Mungkin pula controleur itu tidak mau keluar rumahnya hari itu setelah dilihatnya ada tanda-tanda yang membahayakan dirinya sedang jikalau tetap di dalam rumahnya tidak membahayakan karena dijaga oleh penjaga yang bersenjata lengkap.
Karena sehari itu tidak juga controleur itu keluar dari dalam rumahnya, maka semua pemberontak itu gelisah dan kembali untuk menunggu kesempatan lain. Demikianlah, maka Pong Massangka yang kembali ke tempatnya di Bori terus mendapati seorang pendeta belanda dengan hati yang masih kesal dan benci asal melihat orang berkulit putih, maka terus menyerang pendeta itu dengan tombak yang sekaligus menembus sampai keluar di belakang dari pendeta itu, dan pendeta van de Loosdrecht tewas seketika itu juga tanggal 16 Juli 1917. Dengan terbunuhnya pendeta itu, terbukalah rahasia pemberontakan yang sudah dimatangkannya tidak dilanjutkan, karena segera Belanda mengerahkan pasukan untuk menguber pemberontak-pemberontak sehingga semua pemimpin-pemimpin pemberontak itu ditangkap utamanya Tandi Bua’—kepala distrik Pangala’, Ne’ Matandung—kepala distrik Balusu, dan Pong Massangka dan beberapa orang pengikutnya di antaranya Karangan dan Buyung serta beberapa orang temannya.
Karena jelas rencana pemberontakan ini, maka mereka itu diasingkan atau dibuang ke Ambon dan sebahagian dibuang ke Sumatera (Sawalunto), yaitu Ne’ Matandung dan Tandi Bua’ mati dalam pembuangan di Ambon dimana jenazah Ne’ Matandung dapat dibawa oleh keluarganya ke Tana Toraja untuk dimakamkan dengan upacara pemakaman bangsawan Toraja, sedang Tandi Bua’ tidak sempat dibawa ke Pangala’ dan Pong Massangka dapat menjalani hukumannya sampai selesai yaitu 20 tahun dan kembali ke Tana Toraja pada tahun 1937 dari Nusa Kambangan—Cilacap.
Pong Maramba’ yang sudah sejak tahun 1912 menjadi pengawasan Belanda ditangkap pada tahun 1914 dengan mendalihkan bahwa Pong Maramba’ menyuruh membunuh seorang gila, yang sebenarnya sudah dicarikan kesalahan sehubungan dengan pernyataannya kepada Arung Bone dan Matoa Wajo pada tahun 1912 yang jatuh ke tangan Belanda, maka dengan tuduhan mempelopori pembunuhan orang gila, maka Pong Maramba’ dibuang ke Batavia, kemudian ke Surabaya dan tahun 1920 dibuang ke Ambon, dan di sana beliau mati dalam pembuangan, kemudian jenazahnaya diangkut oleh keluarganya ke Tana Toraja untuk dimakamkan dengan upacara pemakaman bangsawan Toraja sama dengan pemakaman Ne’ Matandung.
Di samping pemberontak dari beberapa bangsawan Toraja yang gagal itu, juga pemberontakan dilakukan pula oleh Pong Simpin dari Toraja bahagian timur beberapa lamanya yang sudah merambat sampai ke Buntao’ dan Bokin, tetapi kemudian menghentikan perlawanannya dan harus berdamai dengan Belanda dengan bantuan pemerintah dai Luwu’—Palopo.
Sejak itu tidak terdapat lagi pemberontakan di kalangan bangsawan-bangsawan Toraja, dan sejak itu daerah Toraja merupakan daerah yang tentram dan aman sampai datangnya pemerintahan tentara pendudukan Jepang.
Demikianlah sejarah perjuangan Pong Tiku yang namun sudah beberapa tahun di dalam liang lahat tetapi apinya masih tetap membakar jiwa pemimpin-pemimpin Toraja yang sejamannya sampai tahun 1918 dengan tertangkapnya beberapa orang bangsawan Toraja yang mendapat ganjaran dengan hukuman pembuangan Belanda sebagai kemenangan dari cita-cita Pong Tiku sejak dari tahun 1905.
PONG TIKU DIKENAL SEBAGAI PAHLAWAN PEMBELA TANAH AIR DAN PEMBELA KEMERDEKAAN BANGSA
Sejak penjajah Belanda nama Pong Tiku tetap tertutup, tetapi setelah fajar di seluruh Asia mulai perlahan-lahan terbit, yang didobrak dengan keganasan tentara Jepang sebagai palu godam yang membangunkan manusia-manusia di kawasan Asia Tenggara ini, maka Indonesia dengan pahlawan-pahlawannya yang sempat mempergunakan keadaan ini membuka tirai besi dari belenggu kegelapan, maka demikian pula pahlawan-pahlawan Indonesia yang jauh di muka telah mengambil bagian mulai dikenal termasuk Pong Tiku di Pangala’ jauh di tengah-tengah pegunungan Sulawesi, maka:
1. Di zaman penjajahan/pendudukan tentara Jepang, tentara Jepang sering mengadakan ziarah ke Liang Pong Tiku di Talengo’ Pangala’,
2. Sejak kemerdekaan Indonesia, setiap tanggal 17 Agustus selalu dikunjungi oleh TNI yang bertugas di sekitar daerah Pangala’ untuk meletakkan karangan bunga bersama pemerintah setempat,
3. Pada bulan Desember 1960, oleh pemerintah dan rakyat Tana Toraja memindahkan jenazah Pong Tiku tersebut dari kuburan adat keluarga di Talengo’ ke dalam makam yang dibuatkan pemerintah daerah Tana Toraja, dengan satu upacara kebesaran militer dan adat Tana Toraja yang dihadiri pula oleh Panglima Kodam VII Hasanuddin Kolonel M. Yusuf beserta pembesar militer dan sipil dari daerah Tingkat Provinsi Sulawesi Selatan,
4. Pada tahun 1970, dengan bantuan Dirjen Bencana Alam Departemen Sosial RI, maka oleh Kodim 1414 Tana Toraja dan pemerintah daerah Kabupaten Tana Toraja telah dibangun suatu tugu peringatan pahlawan Pong Tiku di sebelah jembatan sungai Singki’ di Rante Pao, pada tepi sungai Sa’dan tempat Pong Tiku ditembak mati oleh Belanda pada waktu matahari naik tanggal 10 Juli 1907,
5. Dalam sidang II DPRD Dati II Tana Toraja yang berlangsung pada tanggal 16 September 1964 secara aklamasi sidang memutuskan untuk mengusulkan kepada pemerintah pusat agar almarhum Pong Tiku diakui atau diangkat menjadi pahlawan nasional RI,
6. Pada tanggal 29 Desember 1972, Bapak Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam perkunjungannya ke Tana Toraja telah mengadakan perletakan karangan bunga pada tugu peringatan pahlawan Pong Tiku di Rante Pao, dan
7. Hari Pahlawan Pong Tiku setiap tahunnya diperingati di Ujung Pandang, yang diusahakan oleh keluarga suku Toraja yang bertepatan dengan tanggal 10 Juli.
NB:
- Lampiran A peta kabupaten Tana Toraja dengan daerah pertahanan dan perlawanan Pong Tiku (1905-1907), dan
- Lampiran B Panorama Sehets.
|