Wikipedia:Bak pasir: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Fajar Faraday (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
←Mengganti halaman dengan '<!-- Halaman ini hanya untuk uji coba menyunting dan dikosongkan secara berkala -->'
Tag: Penggantian Pengembalian manual
 
Baris 1:
<!-- Halaman ini hanya untuk uji coba menyunting dan dikosongkan secara berkala -->
BAB I
 
Hampir serupa dengan sub suku local lainnya, masyarakat Tambe’e juga memiliki rentang sejarah panjang dengan berbagai dimensi termaktub dan tersirat di dalamnya, meskipun Peta histories masyarakat Ethnis (Suku) Tambe’e ini belum tersurat secara jelas. Mengupas serta membahas secara ilmiah tentang latarbelakang masyarakat Tambe’e merupakan sebuah pekerjaan sulit yang dapat dimetaforakan bagai mencari jarum dalam sekam atau mencari jarum di tengah-tengah samudera yang maha luas. Opini Ini dilatarbelakangi oleh terbatasnya informasi yang diperlukan untuk memperlengkapi sebuah karya ilmiah berkaitan dengan eksistensi masyarakat Ethnis Tambe’e. Informasi tertulis tentang masyarakat ini sama sekali tidak pernah ditemukan, padahal materi tersebut sangat dibutuhkan sebagai factor pendukung akurasi sebuah Kajian Ilmiah tentang sebuah peristiwa sejarah perkumpulan satu masyarakat yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan realitas historis sebagaimana pernah terjadi. Bilamana masyarakat Tambe’e membentuk satu komunitas, bagaimana peranan masyarakat Tambe’e dalam perjalanan histories, Bilamana masyarakat ini telah berkiprah pada berbagai dimensi kehidupan Historis, termasuk peristiwa-peristiwa Heroik (Kepahlawanan) yang konon pernah mereka lakukan, waktu dan saatnya begitu sulit untuk ditentukan sehingga Peristiwa-peristiwa sejarah yang dapat diperoleh melalui kisah dari mulut ke mulut sangat sulit untuk dipertanggungjawabkan jika itu tidak dianalisa secara baik. Setiap kali mendengar sebuah kisah dari seorang Tambe’e tentang Orang Tambe’e pada masa lampau, kita akan selalu mendapati bahwa kisah itu dimulai dengan kosa kata “ARANIMPIHE” (Secara Harafiah Kosa Kata Tambe’e ini dapat diartikan dengan : “DAHULU KALA….”), atau kita juga akan sering mendapati satu kosa kata yang lain yaitu : “ASOMPIHE” (Secara Harafiah dapat diartikan : “PADA SUATU WAKTU…). Kedua kosa kata ini memberikan gambaran tentang betapa tidak jelasnya waktu dan saat terjadinya sebuah peristiwa sejarah dalam kehidupan masyarakat Tambe”e.
Meskipun demikian, Penulisan Sejarah Masyarakat suku Tambe’e tidak dapat diabaikan begitu saja, sebab upaya menulis dan mengkaji secara Ilmiah tentang Sejarah kehidupan masyarakat Tambe’e merupakan “URGENT NEED” (Kebutuhan Mendesak) demi masa depan komunitas suku Tambe’e sehingga tidak menjadi suatu masyarakat yang “Punah” dalam ketidakjelasan oleh Niirnya status Historis yang di miliki oleh masyarakat Pribumi ini. Kemudian dengan memiliki sejarah secara tertulis, maka Posisi Masyarakat ini diharapkan memperoleh tempat yang benar dan layak diatas landasan Yuridis (hukum) yang kuat, sehingga eksistensi masyarakat Ethnis Tambe’e beserta semua Asset dan Perangkat budaya Tambe’e dapat diterima, dihormati dan diakui dan terproteksi atau terlindung dalam bingkai hukum yang berlaku di Indonesia dan Daerah Luwu Timur dalam konteks yang lebih terbatas. Kepemilikan status yang jelas serta mendapat konfesi secara hukum merupakan jaminan bahwa komunitas masyarakat ini dapat terpelihara, tidak terusik oleh berbagai kepentingan yang Nota Bene tidak memberi keuntungan - merugikan, bahkan membuat masyarakat ini dapat menjadi bagaikan “Kambing-kambing yang di bawa ke Pesakitan, disembelih lalu menjadi makanan lezat dari orang-orang yang lebih berani berpikir cerdik ketimbang masyarakat yang hanya Tidur Pulas dengan tetap berada pada posisi tidur dan tidak nyana atau sadar meskipun Badai dan Guntur telah mengusik Tidur Pulasnya.
Dalam Rangka menghindarkan masyarakat Ethnis Tambe’e dari “Keadaan sesat dan Lengah” serta merugikan diri sendiri ini, maka kertas putih ini terpaksa harus ternoda oleh coretan tinta yang berisikan sebuah Risalah Singkat-Edukatif (Mengajar)-Pedagogis (Mendidik) masyarakat yang lagi tertidur pulas tanpa sadar, bahwa bahaya telah mengancam bahkan siap menerkam serta menghabisi semua asset berharga yang ada disampingnya dan mungkin menjadi mimpi-mimpi indah yang bakal tak kunjung terwujud. Risalah ini ditulis dalam pikiran kemuskhylan tanpa Informasi yang memadai. Tetapi Risalah ini juga sekaligus berupaya untuk memperkecil bahaya keniir-Historisan Masyarakat Ethnis Tambee. Melalui studi Literatur seadanya dan juga melalui Informasi lisan Via Key Informan (Informan Kunci) yang berkompetensi dalam membantu Kajian singkat ini, penulis akan berupaya untuk merepresentasikan secara obyektif tentang sejarah hidup masyarakat Ethnis Tambe’e . Risalah ini juga baru mengupas sekelumit tentang Komunitas suku Tambe’e dan lebih banyak memfokuskan pokok masalah yang berkaitan dengan asset berupa tanah Ulayat adat ethnis tersebut. Asumsi ini dilatarbelakangi oleh satu pemikiran bahwa Komunitas Ethnis Tambe’e mulai mengalami ancaman Marginalisasi sebagaimana nasib yang dialami oleh Ethnis Lokal lain seperti Karunsi’e dan Padoe di tengah-tengah konteks Modernisasi dan Informatika, di tengah lajunya intensitas Kompetisi Ekonomi Global di mana sering kali dalam Kompetisi tersebut ekses-ekses sosial yang dapat terjadi tidak terhitung banyaknya. Dalam kompetisi ekonomi global yang sering kontra concern, Masyarakat Pribumi juga sering menjadi “korban” keganasan kaum KAPITALIS yang disebabkan oleh ketidakberdayaan pada satu sisi, posisi sebagai korban seperti ini sering juga sangat dipengaruhi lebih dan kurangnya oleh “Kebodohan Sendiri” pada sisi lain.
A. Sangaji dalam bukunya yang berjudul Rahmat atau Malapetaka menjelaskan bahwa Kompetisi Ekonomi Global yang dipromotori oleh kaum KAPITALIS acap kali tidak memperhitungkan kerugian bahkan penderitaan orang lain baik Person, Komunitas Ethnis bahkan satu bangsa sekalipun dalam mencapai target Laba. Kompetisi model ini merupakan bentuk-bentuk Imperialisme Modern.
Realitas ini menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat Ethnis Tambe’e untuk menghindar dari sergapan keganasan Imperialisme modern yang setiap saat dapat saja merampas dan mengeksploitasi semua asset yang dimiliki dan diakui secara turun-temurun. Penulisan Buku Sejarah Tambe’e ini juga dilakukan dalam rangka Proteksi terhadap nilai-nilai Historis, Cultural beserta semua perangkat budaya yang terdapat dalam Totalitas masyarakat Ethnis Tambe’e. Dengan memiliki Bingkai Historis yang jelas, maka Eksistensi Ethnis Tambe’e dapat diterima dan diakui sebagai satu masyarakat yang kuat serta memiliki identitas serta kekuatan dalam memberikan kontribusi di tengah-tengah kerangka memperkaya Cultur daerah dan bangsa Indonesia pada konteks multi Ethnis, multi cultural, multi religi yang biasa dikenal juga dengan pluralitas.
Meskipun tujuan penulisan Buku sejarah ini berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan proteksi dan pengakuan secara Yuridis tentang Eksistensi orang Tambe’e, tetapi tujuan yang paling essensial dari kajian dan penulisan buku sejarah tentang kehidupan orang-orang Tambe’e ini adalah untuk menemukan, melukiskan dan menerangkan aspek sosial dan akibat yang ditimbulkan oleh kiprah orang-orang Tambe’e yang ditemukan, dilukiskan dan diterangkan dalam sejarah tersebut sampai dengan hari ini. Ketiga proses yakni menemukan, melukiskan dan menerangkan sebuah realitas sejarah orang Tambe’e sekali lagi bukan satu perkara mudah. Pada tahap pertama yang harus dilakukan adalah melibatkan diri pada usaha penemuan elemen-elemen sejarah yang terkait dengan kehidupan orang Tambe’e. Pada tahapan ini menuntut adanya kepastian factual tentang “Apa”, “Siapa”, “Bila” dan di mana. Pada tahap kedua, ketika elemen-elemen sejarah tersebut harus dirangkai menjadi suatu kisah, dan pertanyaan “Bagaimana” harus dijawab, maka bukan saja keutuhan logika harus terjaga, tetapi Imajinasi kesejarahan juga harus memainkan peranan penting di dalamnya. Sebab elemen-elemen sejarah tersebut sangat berkarakter Fragmentaris, serba terpenggal-penggal. Oleh karena itu peranan bahasa dalam merangkai dan dalam upaya mengisahkan peristiwa sejarah juga sangat penting, bahkan interpretasi atau penafsiran terhadap sejarah tidak dapat diabaikan sebab segment ini sangat memegang peranan besar di dalamnya. Sepertinya memang tidak ada garansi tentang adanya satu garis lurus antara realitas sejarah dengan bahasa yang dipakai untuk menggambarkan peristiwa masa lampau kini bahkan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa akan datang (Future History). Juga tidak ada kepastian akan adanya kesesuaian yang utuh antara teks, yang berusaha dan berupaya untuk mewakili realitas sejarah tersebut dengan pembacanya. Realitas ini juga menjadi persoalan yang harus diakui dan diterima tentang bagaimana menyesuaikan antara realitas sejarah dalam teks dengan bahasa yang dipakai dalam menjelaskan sejarah tentang kehidupan orang-orang Tambe’e. Untuk mencapai dan menemukan kesesuaian tersebut dapat pula dimetaforakan bagai upaya membenahi “segulung besar” benang-benang kusut dengan struktur yang tidak teratur. Dari segi tugas secara Historikal, maka Tugas dari analisis dan kajian dalam buku “BINGKAI SEJARAH TO TAMBE’E” ini sekali lagi sebetulnya adalah sebuah upaya Rekonstruksi Sejarah yang mencoba “Menghadirkan Kembali” tentang kelampauan, sedikit tentang okeee....masa kini dan bagaimana Future Prospec atau prospek masa depan persekutuan Komunalitas suku Tambe’e dalam perjalanan sejarah. Upaya ini disadari sangat diwarnai oleh berbagai keterbatasan : Kompetensi Penulis berkaitan dengan disiplin Ilmu, Informasi, Referensi serta keterbatasan Dana yang dibutuhkan dalam proses penulisan.
Proses penulisan buku ini sudah pasti dilakukan oleh insan biasa yang penuh dengan keterbatasan. Oleh karena itu, mungkin bukan “dosa” di atas “dosa” jika ketika membaca buku ini akan ditemukan kekurangan-kekurangan yang tidak terhitung banyaknya. Juga bukan “dosa” jika buku ini menjadi alat Inklusivitas atau keterbukaan penulis dalam menerima saran, usul dan kritik membangun sehingga dapat dilakukan revisi-revisi seperlunya demi memperoleh potret sebuah karya yang lebih baik, menyenangkan serta memberikan setetes kelegaan dalam rangka menjawab kebutuhan akan buku yang berkaitan dengan Sejarah dan Element-element yang terdapat didalamnya termasuk Pranata-pranata.
 
BAB II
LATAR BELAKANG ETHNIS TAMBE’E
 
A. VERSI 1
 
Ditilik dari sudut pandang sosio-Antropologi, Komunitas Ethnis Tambe’e dapat digolongkan sebagai masyarakat Semi-Nomaden. Semula Komunitas Ethnis Tambe’e tinggal di Ulu Uwoi, Mori atas wilayah Provinsi Sulawesi Tengah sekarang.
Sekelompok masyarakat Ulu Uwoi ini disamping hidup sebagai masyarakat Agraris, binatang seperti kerbau dan binatang lain yang berhubungan dengan kehidupan Pertanian juga dipelihara. Sampailah pada satu ketika seekor binatang (Kerbau) milik masyarakat lepas dari tambatan dan mengembara sampai ke wilayah kekuasaan Tadulako Matano yang cukup masyhur saat itu. Anggota atau mungkin sekelompok masyarakat ini segera berikhtiar untuk mencari binatang peliharaan mereka yang lepas. Sementara itu di wilayah kekuasaan Tadulako Matano terdengar kabar bahwa ada seekor kerbau telah merusak di wilayah serta mengacaukan kerbau milik masyarakat Matano (Kemudian disebut Raha Mpu’u) bahkan juga merusak tanaman masyarakat ini. Diketahuilah bahwa binatang kerbau tersebut adalah milik warga Ulu Uwoi yang kemudian disebut sebagai Ethnis Tambe’e. Maka menghadaplah pemilik binatang tersebut kepada Tadulako Matano untuk mempertanggungjawabkan semua kerusakan yang telah terjadi di wilayah Tadulako Matano.
Tadulako berikhtiar untuk memberikan sanksi kepada oknum pemilik binatang tersebut. Namun dalam proses tersebut terjadi tawar-menawar. To Ulu Uwoi mau menerima sanksi, dengan syarat bahwa semua tempat di mana binatang tersebut sempat berpijak di wilayah Tadulako Matano harus menjadi milik To Ulu Uwoi pemilik binatang tersebut. Sejauh kaki kerbau melangkah, sejauh dan seluas itu pula tanah atau wilayah Tadulako Matano harus menjadi milik To Ulu Uwoi. Dalam bahasa Tambee sejauh bekas tapak kaki kerbau melangkah disebut Landaki atau yang selanjutnya di sebut Landangi. Peristiwa tersebut melatarbelakangi sehingga wilayah pemukiman To Ulu Uwoi sampai saat ini disebut Landangi. Secara Geografis Landangi berada di wilayah Kabupaten Luwu Timur, Desa Matano, Kecamatan Nuha. Tawar-menawar ini disepakati bersama antara kedua belah pihak. Berkaitan dengan latarbelakang domisili masyarakat Ulu Uwoi di Tanah Nuha, ada sebuah versi lain yang mendukung peristiwa Presensi orang-orang Ulu Uwoi sehingga mereka eksist di Tanah Nuha, bahwa semua tanah yang ditempati oleh orang-orang Ulu Uwoi atau Tambe’e adalah tanah-tanah yang dibeli oleh orang-orang Tambe’e dengan bayaran Banampulawa dan Eno’Nsolou yang sangat mahal harganya. Sampai di sini cerita versi ini berakhir.
 
B. VERSI 2
 
Selain kisah asal-usul suku Tambe’e di atas, juga terdapat versi lain yang berkaitan dengan asal-usul Komunitas Ethnis Tambe’e. Pada satu ketika, sekelompok masyarakat di Ulu Uwoi mengalami krisis kepemimpinan. Terjadi konflik antara pemimpin dengan sekelompok anggota masyarakat. Konflik horizontal-Intern ini tidak diselesaikan secara memadai mengakibatkan sebagian kelompok yang berselisih tersebut secara diam-diam pergi dan meninggalkan Ulu Uwoi dan dalam proses berpindah-pindah, selanjutnya kelompok ini tiba dan tinggal di wilayah kekuasaan Tadulako Matano. Berita tentang orang asing yang masuk ini terdengar oleh Tadulako Matano yang selanjutnya memerintahkan untuk melakukan penyelidikan terhadap orang-orang asing tersebut. Dari hasil penyelidikan, diketahuilah bahwa kelompok itu berasal dari Ulu Uwoi. Usaha Tadulako dilanjutkan dengan mengirimkan utusan ke Ulu Uwoi dengan pesan kepada Pemimpin masyarakat Ulu Uwoi bahwa sebagian anggota masyarakat Ulu Uwoi berada di wilayah Kekuasaan Tadulako Matano. Pimpinan Ulu Uwoi mengirim pesan balik meminta agar sekelompok masyarakat itu segera kembali ke Ulu Uwoi, yang pada akhirnya pesan tersebut gagal membawa pulang kelompok masyarakat yang sudah menjadi Separatis ini. Separatis Ulu Uwoi lebih memilih tetap tinggal di wilayah Tadulako Matano dengan satu komitment bahwa mereka siap melakukan apa saja untuk Tadulako Matano, asal mereka dibiarkan untuk tetap tinggal di wilayah Sang Tadulako.
Lambat laun Separatis Ulu Uwoi ini menjadi satu masyarakat yang kuat sehingga menjadi kepercayaan Tadulako Matano di lingkungan kekuasaan Matano. Kekuatan dan Unitas (kesatuan) ini mengangkat Posisi mereka yang semula hanya sebuah masyarakat asing kini telah berubah status sebagai orang-orang kepercayaan Tadulako. Selanjutnya Separatis Ulu Uwoi ini menjadi pasukan elite Tadulako. Karena persatuan yang kuat, maka setiap kali melakukan peperangan, mereka selalu memperoleh kemenangan dan menyenangkan hati Tadulako. jadilah mereka Pasukan Penyergap yang sangat Cekatan (Bahasa Tambe’e : Dahu Rako, harafiahnya dapat diartikan anjing Penyergap). Unitas Power Separatis Ulu Uwoi ini kemudian menjadikan mereka memiliki nama baru yang bukan lagi To Ulu Uwoi tetapi kini berubah menjadi Tambe’e (Bahasa Tambe’e harafiahnya berarti : Pangkal Paha Yang saling bersusun kuat antara Paha satu dengan yang lain sehingga menciptakan kesatuan serta kekuatan besar). Kemungkinan besar Nama Tambe’e juga dapat dikaitkan dengan An Tambe’e, yaitu nama tempat pemukiman kedua dari masyarakat ini setelah bermigrasi dari Ulu Uwoi.
 
C. SEJARAH PEMBENTUKAN KOMUNITAS SUKU.
 
Dalam kurun waktu yang belum dapat ditentukan secara pasti, Tiga Sub suku Mori (Migrasi) secara Permanent telah berada di Wilayah Nuha dengan membawa Latarbelakang kehadiran mereka masing-masing yang menyebabkan mengapa mereka hadir di Wilayah ini. Ethnis Matano berada di Tanah Nuha disebabkan oleh desakan dan serangan pasukan Poso yang melakukan ekspansi ke daerah mereka di Ngusu Mbatu, Mori Bawah, Sulawesi Tengah. Lemahnya kesanggupan untuk bertahan dalam menghadapi tekanan ini, maka sebagian orang-orang dari Ngusu Mbatu bermigrasi ke wilayah Nuha. Sub suku ini termasuk Migran perdana dari wilayah Mori Bawah. Selanjutnya disusul oleh Migran dari Ulu Uwoi (Tambe’e). Migrasi ini disebabkan karena adanya konflik social Intern dengan eksekutif di Ulu Uwoi dan sedikitnya juga dilatarbelakangi oleh kegemaran untuk mencari daerah baru untuk tempat bermukim sebagai layaknya Ethnis semi-Nomaden, kemudian menyusul sekelompok masyarakat dari Watu (Karunsi’e) yang bermigrasi karena tekanan dan serangan penguasa dari Sulawesi Tenggara yang termasuk salah satu Adi kuasa di wilayah Sulawesi pada Periode tersebut.
Merasa adanya Latarbelakang yang hampir sama sebagai masyarakat “Pendatang”, maka muncul satu kesadaran baru untuk membentuk persekutuan yang bersifat lintas Sub Ethnis. Pembentukan kolaborasi Ethnis ini dimaksudkan untuk menjalin ikatan yang didasari oleh kesamaan Latarbelakang yakni sebagai masyarakat Migrasi yang menempati satu daerah baru di antara masyarakat Luwu yang memang adalah satu masyarakat Permanent di daerah baru ini.
Pembentukan Ikatan Sub Ethnis ini disimbolkan dengan gambar lumbung, yang mana setiap bagian dari gambar lumbung tersebut melambangkan Posisi dari masing-masing Sub Ethnis tersebut. Kemudian pada saat pembentukan Kolaborasi ini dilakukan, Sub Ethnis Padoe belum bersama dengan 3 (Tiga) Sub Ethnis pendahulunya, sebab kehadiran Sub Ethnis Padoe baru terjadi agak jauh lebih kemudian setelah terjadi Kolaborasi ketiga Sub Ethnis tersebut. Ethnis Padoe sendiri melakukan Migrasi disebabkan oleh tekanan tentara Wotu ke Molio’a, wilayah Mori Atas. Realitas ini juga sangat dilatarbelakangi oleh karena lemahnya kekuatan kelompok ini dalam menghadapi Ekspansi Wotu, sehingga menyebabkan Ethnis ini meninggalkan tanah kelahirannya di Molio’a.
Bagian-bagian Lumbung sebagai Materai pembentukkan kolaborasi suku ini memiliki arti sesuai dengan peranan suku masing-masing pada saat itu. Bagian atap sampai dengan lantai lumbung melambangkan Posisi sub Ethnis Matano (Ihi Inia = Isi kampung). Selanjutnya Sub Ethnis ini bergelar : Raha Mpu’u, sebab pucuk pimpinan selalu berasal dari kalangan Ethnis Matano (Nuha) sekaligus sebagai penunggu Markas (Kampung). Garis Horizontal di bawah lantai lumbung melambangkan Posisi Sub Ethnis Tambe’e, selanjutnya bergelar Tandu Menseu (=Petugas pengusung), sebab Sub Ethnis ini selalu berada di barisan paling depan dalam medan peperangan.
Apabila panglima tewas di medan perang, maka yang bertugas mengusung panglima adalah orang Tambe’e. Kaki Lumbung melambangkan Posisi Sub suku Karunsi’e, sebab sub Ethnis ini selalu bertugas mempersiapkan bahan makanan dalam setiap dilakukan perang. Orang Karunsi’e termasuk setia dalam memberikan tenaga bahkan lebih banyak dari tenaga yang dibutuhkan.
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa Ketika terjadi pembentukkan kolaborasi Ikatan 3 Ethnis tersebut, Ethnis Padoe belum melakukan Migrasi ke Tanah Nuha. Tetapi ketika Ethnis ini Bermigrasi ke Tanah Nuha, langsung ditempatkan pada Posisi Bangkano Kalende untuk memperkuat Pongkiari-Pongkiari Tambe’e. Sedangkan Pongkiari-pongkiari yang dikenal dari kalangan Ethnis Padoe saat itu antara lain : Dansiope dan Saliwu. Sedangkan Lasemba dan Malotu termasuk bilangan Pongkiari yang hidup agak jauh dikemudian hari.
Demikianlah Informasi singkat yang dapat dikumpulkan sehubungan dengan pembentukkan Kolaborasi yang mengikat Sub-sub Ethnis ini. Informasi lain yang dibutuhkan sangat terbatas, terutama yang bersifat tertulis apalagi tulisan Ilmiah sama sekali Nihil.
Berikut Ringkasan yang diperoleh dari sumber lisan tentang Asal-usul Sub-sub Ethnis ini, sekaligus dengan Posisi masing-masing Sub Ethnis dalam Ikatan Persekutuan Sub Ethnis Nuha/Matano, Tambe’e, Karunsi’e dan Padoe. Posisi yang digambarkan pada tabel bukan posisi yang berhubungan dengan strata, tetapi posisi-posisi tersebut lebih diletakkan pada pemahaman tanggung jawab dari masing-masing suku. Saat itu strata tidak menjadi persoalan pokok sebab sub-sub ethnis ini memiliki latarbelakang yang hampir sama.
 
D. ANALISIS HISTORIS.
 
Ketika Migran Ulu Uwoi perdana tiba di tanah Nuha, Migran ini tanpa sepengetahuan Tadulako Matano telah menempati satu pemukiman yang adalah wilayah kekuasaan Tadulako Matano. Pada akhirnya kehadiran Migran ini diketahui juga oleh Tadulako Matano. Selanjutnya Migran Ulu Uwoi menyampaikan permintaan kepada Tadulako Matano agar Komunitas migran ini diizinkan untuk tinggal menetap menjadi penduduk di tanah Nuha. Dengan segala senang hati Tadulako Matano menerima orang-orang dari Ulu Uwoi tersebut menjadi penduduk tetap di tanah Nuha. Untuk maksud itu, Tadulako Matano menempatkan Migran Ulu Uwoi pada satu tempat yang disebut Waworangka ( Dalam Bahasa tambe’e harafiahnya berarti : di atas dahan pohon ). Tempat ini berada di atas Desa Matano sekarang, di sekitar Danau Matano. Sebetulnya tidak jelas pula tentang sistem pemerintahan atau kepemimpinan suku atau kelompok masyarakat Matano pada saat itu. Apakah di Matano sudah berlaku dan dikenal sistem Kerajaan secara luas atau belum (?) atau masyarakat Matano hanya mengenal, mengakui dan menerima sistem kepemimpinan yang disebut Tadulako sebagai pemimpin patent di mana Otoritas serta kewibawaan seorang Tadulako diakui sebagai Otoritas Absolut. Informasi yang diperoleh berkaitan dengan sistem kepemimpinan di Matano adalah bahwa : Terdapat suatu rentang sejarah yang mana dikalangan Masyarakat Matano belum dikenal sistem Kerajaan dalam pemerintahan. Pada rentang sejarah tersebut, tampuk kepemimpinan suku berada di tangan Tadulako (Semacam Kepala Suku). Semua hal yang berkaitan dengan kepemimpinan, kepemerintahan, Pengadilan dan sebagainya dipercayakan dan diserahkan secara penuh oleh Rakyat/Masyarakat kepada Tadulako sebagai penguasa yang bersifat Absolut. Di kemudian hari model dan sistem ini berubah bentuk menjadi sistem Kerajaan di mana Raja yang memerintah di beri Titel atau gelar sebagai MOKOLE. Sistem kepemimpinan dan pemerintahan Kerajaan yang dianut oleh masyarakat Matano juga tidak dapat dipisahkan dari upaya mencari informasi tentang Kerajaan Luwu yang sangat kuat dan termasyhur di sulawesi pada masa itu.
Dalam Naskah La Galigo disebutkan bahwa Pajung Luwu sebagai Raja dari Kerajaan yang paling berkuasa dan paling berpengaruh luas saat itu di Sulawesi khususnya, ternyata memiliki hubungan kekerabatan dengan berbagai Raja atau penguasa di seluruh Nusantara. Bahkan dalam Kitab La Galigo yang terdiri dari + 7000 halaman itu juga disebutkan secara jelas bahwa SAWERIGADING memiliki kurang lebih 40 0rang sepupu satu kali (Sappo Siseng Cera’ Lebbi’na) yang menjadi penguasa diberbagai daerah di Sulawesi bahkan Nusantara. Salah satu Saudara sepupu Sawerigading yang disebutkan itu adalah LAMATTULIA yang menjadi Raja atau bergelar Mokole pertama di Matano. Dari sekelumit Informasi ini diperkirakan bahwa sistem Kerajaan yang dianut di Matano berasal dari sistem Kerajaan yang diperkenalkan dari Kerajaan Luwu yakni sejak LAMATTULIA menjadi penguasa perdana dengan sistem Kerajaan di Matano. Selanjutnya menurut tradisi masyarakat Matano bahwa Mokole pertama di Matano ini adalah seorang Mokole Nti’I yaitu seorang Raja atau penguasa yang turun dari langit dengan bersinggasanakan sebungkah batu, Kemudian memerintah sebagai Raja Matano. Sampai hari ini batu yang diyakini sebagai singgasana Mokole Nti’I tersebut masih dijaga dan dipelihara oleh masyarakat Matano.
Kisah-kisah seperti ini banyak juga kita jumpai pada daerah-daerah tertentu seperti halnya di kalangan Masyarakat Luwu terdapat cerita-cerita tentang Raja yang turun dari langit yang dikenal dengan istilah Tomanurung. Kisah-kisah seperti ini sedemikian rupa dibungkus dengan Mythis yang bersifat Magis dengan tujuan untuk memberi Legitimasi bahwa Raja atau Datu atau Mokole yang memerintah satu lingkungan komunitas Masyarakat bukanlah sosok manusia biasa. Ia adalah sosok yang dianggap memiliki kekuatan Supranatural sesuai apresiasi masyarakat local, ia dianggap memiliki kharisma dan oleh karena itu otoritasnya patut dihormati, dihargai dan diakui. Realitas ini juga dapat mendorong masyarakat yang dipimpinnya untuk taat dan setia kepada Sang Raja. Lebih penting lagi bahwa dalam rangka mencari Latarbelakang yang mendekati saat mana orang-orang Ulu Uwoi melakukan Migrasi perdana ke Tanah Nuha, kita juga patut meneliti dan menganalisa Informasi-informasi dari Sulawesi Tenggara yang berkaitan dengan eksistensi masyarakat Konawe-Tolaki yang sampai hari ini memiliki Bingkai Historis tentang kehadiran serta keberadaan masyarakat ini di Sulawesi Tenggara.
Menurut Tradisi Masyarakat Konawe-Tolaki, bahwa ethnis tersebut pada mulanya berdomisili di daerah sekitar Danau Matano dan Mahalona. Sebagian Komunitas Matano pada satu masa tertentu melakukan Migrasi ke bagian Tenggara Pulau Sulawesi di bawah pimpinan Larombese yang dalam kitab La Galigo disebut Laurumpessi.
Sejarah masyarakat Ethnis Konawe-Tolaki juga sangat erat kaitannya dengan Kerajaan Luwu. Mokole Konawe Ke-XIV yang memerintah pada abad ke-X bernama Ramanda Langik, dalam kitab La Galigo disebut Remang Ri Langik kawin dengan Yabe (Menurut Versi Konawe-Tolaki), dalam kitab La Galigo disebut We Tenriabeng, saudara kembar Sawerigading dari Luwu. Ketika suaminya mangkat (Meninggal), We Tenriabeng menjadi Mokole ke-XI/XV(?) menggantikan kedudukan sang suami. Pada masa pemerintahan We Tenriabeng sebagai Mokole, semua Mokole-mokole lain menyatakan takluk di bawah pemerintahan We Tenriabeng yang juga bernama We Koila. Selain itu juga diberitakan, bahwa Kerajaan Luwu adalah Kerajaan yang paling berkuasa di Sulawesi sejak abad ke-X sampai abad ke-XIV. Bahkan menurut “Lontara Sukku’na Wajo”, bahwa : Pada masa pemerintahan Letenri Sukki Mappajungge (Raja Bone) serta Latadamparek Puang Ri Manggalatung (Raja Wajo antara tahun 1491-1521), Kerajaan Luwu masih memiliki daerah taklukan di Babauwae (Bone Utara), Wajo Sengkang, Tempe di Wajo, Sidenreng Rappang dan Tana Toraja, Kolaka di Sulawesi Tenggara, Poso-Kolonedale serta Luwuk Banggai yang konon Raja-rajanya adalah sanak saudara dari Raja-raja Luwu. Ini berarti bahwa masa kejayaan Kerajaan Luwu bahkan berlangsung hampir sampai dengan pertengahan Abad ke-XVI.
Informasi tentang kejayaan Kerajaan Luwu ini menggambarkan bahwa Mokole Matano adalah termasuk zona Sub-Ordinansi Kerajaan Luwu, sekaligus atas dasar hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan Kerajaan Luwu, maka Mokole Matano harus tunduk dan menyatakan kesetiaannya kepada Luwu, meskipun demikian, Mokole Matano tetap memerintah secara Otonom di Matano wilayah kekuasannya.
Dengan menganalisa semua sumber Informasi Historis ini, maka kita menemukan satu gambaran, meskipun hanya sebuah gambaran yang samar-samar tentang Migrasi perdana yang dilakukan oleh orang-orang dari Ulu Uwoi ( Ethnis Tambe’e). Jika sampai pada abad ke-X di Konawe-Tolaki sudah pernah memerintah sebanyak 14 orang Mokole ditambah We Tenriabeng menjadi 15 Mokole, itu berarti bahwa eksistensi komunitas Konawe-Tolaki di Sulawesi Tenggara sampai dengan abad ke-X sudah mencapai berkisar + 100 tahun sejak melakukan Migrasi perdana dari sekitar Danau Matano. Selang waktu + 100 tahun tersebut masyarakat ini telah berkembang menjadi sebuah komunitas yang cukup besar bahkan membentuk dan menjadi sebuah Kerajaan di mana tampuk kepemimpinan berada di tangan para Mokole. Sementara itu sebagian Komunitas yang tetap eksist di Matano (Raha Mpu’u) diperkirakan juga sejak akhir abad ke-IX atau awal abad ke-X telah mengganti sistem Pemerintahan/Kepemimpinan dari Tadulako menjadi Kerajaan yang dipimpin oleh Mokole. Seperti diberitakan bahwa LAMATTULIA, saudara sepupu Sawerigading dari Kerajaan Luwu dinobatkan sebagai Mokole yang pertama di Matano. Sedangkan asal-usul semula masyarakat Matano berasal dari Ngusu Mbatu, Mori Bawah, Sulawesi Tengah.
Selanjutnya sesudah 50-100 Tahun kemudian, menyusul Migran-migran lain dari Sulawesi Tengah yakni Migran dari Ulu Uwoi (Tambe’e), kemudian menyusul Migran dari Watu (Karunsi’e) selanjutnya Migran dari Molio’a (Padoe). Secara ringkas kilasan sejarah Migrasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Akhir abad ke-VIII/awal abad ke-IX masyarakat Ngusu Mbatu melakukan Migrasi ke Tanah Nuha selanjutnya menempati daerah di sekitar Danau Matano.
2. Akhir abad ke-IX/Awal abad ke-X sebagian komunitas Matano melakukan Migrasi ke Sulawesi Tenggara di bawah pimpinan Larombesse (La Galigo : Laurumpessi). Selanjutnya membentuk Kerajaan Konawe-Tolaki yang dipimpin oleh Mokole-mokole sampai dengan Ramanda Langik dan We Tenriabeng.
3. Pertengahan abad ke-IX sampai Akhir abad ke-IX Migrasi dari Ulu Uwoi (Tambe’e) menempati Epe Metiu (Antambe) selanjutnya diterima oleh Tadulako Matano dan ditempatkan di Waworangka. Sebagai masyarakat semi-Nomaden, selanjutnya mereka hidup berpindah-pindah dengan menempati tempat-tempat yang dianggap strategis secara ekonomis dan protektif.
4. Awal abad ke-X Matano mulai dipimpin oleh Mokole-mokole, LAMATTULIA, saudara sepupu Sawerigading dari Kerajaan Luwu adalah Mokole Perdana yang dipercaya dan diyakini oleh masyarakat Matano sebagai Mokole Nti’I, selanjutnya sistem Tadulako berubah menjadi Sistem Kerajaan dengan pimpinan yang bergelar Mokole.
Gambaran singkat tentang asal-usul orang-orang Ulu Uwoi (Ethnis Tambe’e) ini bersifat analisis berdasarkan sumber-sumber eksternal yang dapat dikumpulkan melalui studi penelitian kepustakaan yang sangat terbatas. Tetapi hasil analisa ini merupakan satu upaya keras dalam melacak asal-usul komunitas Ethnis Tambe’e sekaligus diharapkan dapat menjadi patokan dalam penentuan waktu dalam menelusuri Latarbelakang tentang bagaimana mulai terbentuknya Sub Ethnis Tambe’e dan bagaimana Komunitas Ethnis ini berada di Tanah Nuha.
Dalam menganalisa tentang Asal-usul komunitas Ethnis Tambe’e ini berlaku hukum Relativitas di mana akurasi data dapat saja berubah sesuai dengan sumber-sumber baru yang dapat diperoleh. Sebab bukan tidak mungkin bahwa pada masa mendatang akan dilakukan penulisan sebuah karya Ilmiah berkaitan dengan Komunitas Ethnis Tambe’e di mana dalam karya Ilmiah tersebut dapat dikemukakan bukti-bukti yang lebih Otentik serta dapat dipertanggungjawabkan secara Ilmiah. Maka saat itulah kebenaran-kebenaran yang dikemukakan dalam karya ini menjadi berubah. Dengan berbesar hati dan dengan tangan terbuka lebar, Analisis dan kebenaran yang dikemukakan dalam totalitas karya ini siap dilengserkan dan digantikan dengan menerima karya dan kebenaran baru yang mungkin lebih baik. Sebab sekali lagi, tugas dan pekerjaan menganalisa tentang Asal-usul serta sejarah Komunitas Ethnis Tambe’e adalah upaya pelacakan yang sangat sulit bagaikan “Mencari Jarum dalam Lautan Yang Maha Luas” sekali lagi ini tidak mudah.
E. MASA-MASA KEGELAPAN.
 
Masa-masa kegelapan dalam sub-Judul ini berkaitan dengan masa-masa di mana masyarakat Ethnis Tambe’e masih hidup dalam konteks saling menguasai dan penaklukkan terhadap Ethnis lain. Disamping itu, masa-masa kegelapan ini juga termasuk bagian dari konteks di mana masyarakat Ethnis ini memproteksi diri sebagai satu komunitas dari serangan dan percobaan ekspansi serta penguasaan dari Ethnis lain pada era perang suku. Sesuai Informasi yang diperoleh, Ada beberapa perang penting yang dapat disebutkan berkaitan dengan masa-masa kegelapan orang Tambe’e yaitu :
 
1. Perang Sinambi.
 
Perang Sinambi adalah termasuk perang besar dengan musuh yang sangat kuat. Pada satu masa terjadi krisis besar antara Matano dengan Tambe’e yang mengakibatkan pengepungan terhadap orang-orang Tambe’e. Sinambi merupakan tempat yang paling penting dalam perjalanan Historis komunitas Ethnis Tambe’e. Statement “Penting” ini secara histories bukan sekedar isapan jempol belaka. Karena ditempat ini terjadi peristiwa Historik sebagai penentu kontinuitas eksistensi Tambe’e sebagai satu komunitas paguyuban. Sinambi adalah tempat pemukiman Komunitas Tambe’e yang berlangsung dalam rentang waktu panjang.
Pada era perang antar suku-suku local, Komunitas Tambe’e adalah salah satu suku yang cukup diperhitungkan karena memiliki taktis dan strategi perang cukup baik. Tetapi pada satu masa, masyarakat ini mengalami tekanan yang begitu kuat dari pihak musuh, sehingga membutuhkan taktis untuk memproteksi paguyuban dari kehancuran bahkan ancaman kepunahan. Situasi genting ini membawa Inspirasi bahwa Sinambi menjadi satu-satunya alternative perlindungan. Bagi Orang-orang Tambe’e, Alternatif ini sangat beralasan, sebab secara Geologis, tempat ini merupakan sebuah bukit batu terjal yang sangat sulit untuk dijangkau musuh, sementara bagi Ethnis Tambe’e, tempat ini merupakan tempat yang sangat dikenal bahkan semua kesulitan untuk mencapai bukit terjal ini telah ditaklukkan. Sementara bagi musuh, tempat ini adalah tempat yang tidak mungkin untuk dijangkau.
Selama mengalami desakan kuat dari pihak musuh, Ethnis Tambe’e berada dalam posisi aman di Sinambi. Disamping itu, Sinambi juga berperan ganda bagi masyarakat yakni sebagai pemukiman pada satu pihak sementara pada pihak lain Sinambi juga berfungsi sebagai Benteng pertahanan dari serangan musuh. Yang menarik dari peristiwa Historis-Heroik ini adalah : Bahwa dengan bermodalkan Sinambi sebagai Benteng, Ethnis Tambe’e sewaktu-waktu dapat meluncurkan batu-batu besar sebagai senjata untuk menyerang musuh yang terus menanti di bagian bawah benteng batu tersebut.
Sepintas terlihat bahwa Ethnis Tambe’e berada dalam keadaan aman, atau paling tidak untuk beberapa saat rasa aman itu dapat dinikmati. Apalagi pada masa itu terdapat seorang Imam Magis perempuan yang memiliki kekuatan Supra Natural. Imam ini selalu berdoa kepada Dewa orang Tambe’e meminta makanan. Doa Imam ini sangat ampuh sebab dewa selalu memberikan makanan kepada masyarakat ini secara instant. Lambat laun doa sang Imam kehilangan keampuhannya sehingga orang-orang Tambe’e tidak lagi memperoleh makanan. persoalan barupun muncul, di mana masyarakat yang cukup banyak ini mulai kekurangan Logistik bahan makanan. Untuk turun ke lembah mencari persediaan makanan berarti sama dengan menyerahkan diri kepada musuh dan ini merupakan tanda awal dari sebuah kehancuran. Satu kesulitan teratasi, tetapi kesulitan lain perlu mendapatkan solusi. Dalam Posisi ini ternyata strategi bertahan sambil menyerang dari atas gunung kurang efektif. Masyarakat mengalami kelaparan. Ethnis Tambe’e saat itu tinggal mengisi perut lapar dengan mengkonsumsi semua dedaunan yang ada disekitar benteng Sinambi, bahkan ada yang harus mengisi perut dengan makan daun “Solato” (Dalam bahasa Tambe’e daun ini sejenis daun pohon yang dapat mengakibatkan gatal-gatal luar biasa). Keadaan ini sangat kontras dengan pihak musuh yang tetap bertahan di lembah dengan terus mendapatkan pasokan Logistik berupa bahan makanan yang cukup. Bahkan sejak menunggu Ethnis Tambe’e, mereka juga sempat menanam tanaman Palawija (Jagung) sampai mereka menikmati hasil panen tanaman mereka.
Konteks sulit ini mengakibatkan semakin melemahnya pertahanan Ethnis Tambe’e sekaligus menjadi moment besar bagi pihak lawan dalam memenangkan perang dan mengakhiri kekuatan militer Masyarakat Ethnis Tambe,e. Melihat situasi sulit dan terjepit, akhirnya Langgato, Pongkiari orang Tambe’e masa itu sujud menyembah kepada Panglima Perang Matano menyerahkan Bongkusi (Bungkusan) yang berisikan Pinang lengkap dengan Sirih dan ayam Jantan putih sebagai tanda menyerah dan mau menerima kekuatan musuh secara damai. Tindakan ini menjadi jaminan bahwa populasi Komunitas Tambe’e tidak dimusnahkan sama sekali.
Kekalahan ini menempatkan orang Tambe’e pada posisi sebagai “To Kinadu.” Selama bermukim dan menduduki Sinambi, Ethnis Tambe’e juga menanam kayu-kayu Cendana local yang sekarang masih banyak ditemukan di Sinambi. Cendana local ini telah mencapai diameter + 2.M. dan sangat bermanfaat sebagai bahan dasar untuk pembuatan perabot-perabot Rumah Tangga. Asset tanah Including kekayaan lain di dalamnya dikuasai oleh Ulayat Ethnis Tambe’e dan sampai sekarang asset-asset tersebut diakui sebagai milik bersama, diambil dan dikelola bersama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Tambe’e pada umumnya.
Kemudian bukti lain yang sangat menguatkan Klaim masyarakat Tambe’e atas Sinambi adalah adanya gua-gua pekuburan Purbakala para leluhur dengan bukti bahwa sampai hari ini masih dapat ditemukan tengkorak-tengkorak manusia yang berserakan. Bahkan sampai dengan tahun 1980-an, masih ditemukan sangat banyak perangkat-perangkat perang Putera-putera terbaik ( pahlawan ) Tambe’e berupa Ponai (Pedang), Tombak dan Kanta (Perisai) yang tersusun rapi disamping tengkorak-tengkorak mereka. Saat itu juga masih banyak ditemukan peninggalan-peninggalan Purbakala berupa gelang tangan dan kaki, Gong dan benda-benda lain yang bernilai Historis. Tetapi sebagian besar benda-benda tersebut telah musnah dan dicuri oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab tetapi sebagian sempat diamankan oleh masyarakat Ethnis Tambe’e tetapi dalam jumlah yang tidak berarti. Oknum-oknum tersebut disinyalir adalah orang-orang Tambe’e sendiri yang tidak Concern (prihatin) terhadap peninggalan-peninggalan budaya para leluhurnya.
 
2. Perang Ta’oea, Kondara, Wawolomea.
 
Peperangan lain yang juga menggambarkan tentang peristiwa Heroik orang-orang Tambe’e dapat kita peroleh melalui tentang Perang pada 3 ( tiga ) tempat yang disebutkan di atas. Musuh orang Tambe’e pada perang ini adalah orang-orang Tokonde, Bugis, Watu dan Pamona. Pada setiap peperangan , orang-orang Tambe’e selalu menuai kemenangan. Kekuatan Militer ini memungkinkan orang-orang Tambe’e dapat terus bertahan dengan tanpa dikuasai oleh suku-suku lain yang berkuasa ketika itu. Panglima Perang yang sangat masyhur dikalangan orang Tambe’e pada masa tersebut adalah Kadoena yang disebut-sebut sebagai orang penting di bidang Militer dikalangan orang-orang Tambe’e pada masa-masaperang Suku.
 
3. Perang Tambunga.
 
Perang Tambunga sebetulnya adalah peperangan yang seharusnya terjadi antara Tokonde (Asli Parumpanai sekarang) dengan orang-orang Pamona yang juga termasuk suku yang cukup kuat dengan kekuasaan yang cukup besar pula. Orang-orang Tokonde meminta Bala bantuan tentara Tambe’e yang dipimpin oleh Kadoena untuk melawan tentara orang-orang Pamona. Dalam perang ini Kadoena dan pasukan berhasil mengusir orang-orang Pamona dari Tambunga. Peristiwa Heroik ini dilanjutkan dengan Perjanjian Tambunga, antara orang Tambe’e dengan orang-orang Tokonde. Isi Perjanjian tersebut antara lain :
 
1. Kedua Ethnis menjalin persahabatan dengan membangun hubungan Bilateral.
2. Sagu-sagu yang ada di Bengko yang adalah milik orang-orang Tokonde menjadi milik bersama antara orang Tambe’e dan Tokonde. Perjanjian ini tanpa batas waktu dan tanpa pembatasan hak-hak dari kedua belah pihak.
 
4. Peperangan-Peperangan Tombe (Lembo Ngapa)
 
Wilayah Tombe merupakan bagian dari Situs sejarah masyarakat Ethnis Tambe’e sejak zaman perang antar suku local di wilayah ini pada masa lampau. Daerah ini telah dikuasai sebagai asset Budaya yang Nota bene merupakan lahan “Suaka” Kultural berkaitan dengan peristiwa-peristiwa Heroik yang pernah dilakukan oleh Ethnis Tambe’e secara Historis. Tempat ini berhubungan dengan Ta’I Bonti sampai ke Sinambi (+ 5-13 KM arah Utara dari Perkampungan Landangi. Tidak jelas apa maksud esensi bagi masyarakat Tambe’e sehingga tempat ini diberi nama “Tombe”. Tetapi yang jelas bahwa disekitaran Tombe ini hidup sangat banyak jenis Flora (Tumbuhan) Jambu air Hutan yang dalam bahasa Tambe’e di sebut “Tombe”. Selain Flora ini, terdapat juga Flora lain yang sangat menguatkan bahwa Tanah ini adalah Tanah Ulayat Ethnis Tambe’e yaitu Kayu Cendana Lokal. Cendana ini tidak dapat tumbuh dengan sendirinya kecuali melalui “Plant Proces” (Proses Penanaman). Oleh sebab itu, kehadiran kayu-kayu Cendana Lokal ini juga karena pada masa lalu masyarakat Ethnis Tambe’e telah menanam Kayu-kayu cendana di tempat itu. Realitas ini menguatkan Klaim Masyarakat Ethnis Tambe’e menjadikan Tombe sebagai tanah Ulayat/Adat. Klaim tersebut masih berlaku dan diakui sampai saat ini.
 
B. Peperangan TA’I BONTI (Ta’ua)
 
Seperti halnya Tombe, Ta’I Bonti juga memiliki nilai Historis penting bagi masyarakat Ethnis Tambe’e. Pemberian nama terhadap tempat ini juga kurang begitu jelas secara histories. Karena dalam bahasa Tambe’e, Ta’i Bonti secara Harafiah berarti : Kotoran Babi Hutan, salah satu species Fauna yang banyak kita temukan di tempat ini. Menurut penuturan sesepuh Ethnis Tambe’e bahwa pada saat mereka menguasai kisaran Ta’I Bonti dahulu, di tempat itu selalu didapati begitu banyak kotoran Fauna (Binatang) jenis ini. Ta’I Bonti diklaim sebagai Tanah Ulayat Ethnis Tambe’e sebab sangat terkait peristiwa Heroik sekaligus juga merupakan wilayah berusaha masyarakat (ZEE) dalam pemahaman “Usaha Bersama” sebagai satu Paguyuban Komunitas Suku Tambe’e pada masa lampau. Latarbelakang ini juga menjadi alasan Primer Klaim Ethnis Tambe’e atas tanah ulayat tersebut.
Selain peperangan-peperangan yang disebutkan di atas, tidak diketahui dengan pasti peperangan lain yang pernah dilakukan oleh orang-orang Tambe’e. Tetapi yang jelas bahwa orang-orang Tambe’e pernah mengalami dan melakukan peristiwa-peristiwa Heroik yang mengangkat derajat Ethnis Tambe’e pada masa lampau.
 
F. MASA HIDUP BERPINDAH-PINDAH (SEMI-NOMADEN).
Sejak Migrasi Perdana sampai dengan perkembangan Komunitas Ethnis Tambe’e di Tanah Nuha bahkan sampai dengan Eksistensi Komunitas Ethnis Tambe’e saat ini merupakan satu Era Sejarah yang cukup panjang yakni berkisar 12 ½ Abad lamanya. Bahkan di Tanah Nuha masyarakat Ethnis ini telah berurat-akar dengan berbagai Transisi sistem Kepemimpinan atau Kepemerintahan. Dari Tadulako, Mokole, zaman Kolonial (Belanda, Jerman, Jepang). dan Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ) pada masa sekarang ini.
Sebagai Komunitas Semi Nomaden, masyarakat Ethnis Tambe’e telah menghabiskan begitu banyak waktu untuk hidup secara berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain di wilayah Tanah Nuha. Hidup tidak menetap ini sangat dipengaruhi oleh Latarbelakang kehidupan Agraris sebagai basis ekonomi Komunitas Ethnis Tambe’e yakni bertani, bercocok tanam dengan cara merambah hutan. Meskipun bidang peternakan juga mendapat perhatian yang cukup, tetapi bidang tersebut tidak menjadi alasan Primer dari kehidupan yang berpindah-pindah tersebut. Selain sebagai masyarakat Agraris, orang Tambe’e juga sangat gemar dalam mencari daerah-daerah baru yang dapat memberikan fasilitas secara alamiah untuk kemudahan menjalani kehidupan setiap hari secara praktis. Komunitas Ethnis ini sangat berorientasi bahkan berkolaborasi dengan alam. Orang-orang Tambe’e suka menempati daerah-daerah hutan yang mereka anggap subur. Komunitas Ethnis ini juga suka menempati daerah-daerah di mana pada sekitar tempat itu tersedia mata-mata air hidup yang memudahkan mereka dalam memenuhi kebutuhan air bersih baik untuk dikonsumsi maupun untuk aktivitas lain yang berhubungan dengan air. Realitas ini masih berpengaruh dikalangan masyarakat Tambe’e yang berdomisili di Landangi, Matano, di mana tempat pemukiman Komunitas Ethnis Tambe’e dikelilingi oleh mata-mata air hidup yang sangat baik.
Ketika melakukan Migrasi untuk yang pertama kalinya, tempat utama Komunitas Ethnis Tambe’e tinggal di Antambe, Epemetiu, dst, kemudian selanjutnya mereka memasuki wilayah Tadulako Matano. Tadulako Matano secara suka rela menempatkan komunitas ini di Waworangka. Sesuai informasi dan penelitian lapangan, ternyata setelah menempati semua tempat tersebut, Komunitas Ethnis Tambe’e masih melakukan perpindahan-perpindahan ke beberapa tempat disekitar Landangi antara lain di Pu’uwuku, Ta’ua, Lembongapa, Sinambi, Pansuawa, Koro Bokoto, Ta’oea, Wata Oloho, Kondara, Ropomenta’a, Ropodungku, Wasu Walu, Bosuki, Hulo-hulo, Lembo Bubi dan Pansu. Tempat-tempat yang disebutkan ini secara keseluruhan berada di sekitar Landangi sekarang kira-kira berjarak antara 2-13-25 KM kearah Timur, Barat, Utara dan Selatan Landangi. Asumsi ini dikuatkan dengan ditemukannya bekas-bekas perkampungan tua pada tempat-tempat tersebut berupa tanaman-tanaman tahunan dan dengan ditemukannya peninggalan-peninggalan bersejarah lain berupa alat-alat perang seperti Lepa (Tombak dengan berbagai jenis), Ponai (Pedang) dan perlengkapan-perlengkapan perang lainnya. Disamping itu, pada tempat-tempat yang disebutkan ini ditemukan juga perabot-perabot berupa piring-piring China orang Tambe’e menyebutnya Pingka, alat-alat dari batu pembuat kain yang dalam bahasa Tambe’e disebut Inike, alat-alat penumbuk dari batu yang unik diperkirakan sebagai alat untuk membuat Ramuan obat Tradisional oleh para Tabib Tambe’e pada masa lampau. Pada tempat-tempat ini juga ditemukan gelang-gelang perhiasan maupun kerap juga dipergunakan sebagai aksesoris dalam pementasan seni tari orang Tambe’e. Realitas ini membuktikan bahwa masyarakat komunalitas Tambe’e zaman dahulu memiliki minat yang cukup kuat dalam menggeluti dunia seni meskipun dalam konteks yang masih tradisional.
Pada tempat-tempat dan gua-gua kuburan ini juga benyak ditemukan benda-benda yang terbuat dari bahan kuningan baik gelang tangan maupun gelang kaki. Juga ditemukan gerabah-gerabah, Salapa (Tempat sirih atau alat yang dipakai untuk menyerahkan Mas Kawin pada zaman dahulu. Perangkat-perangkat seni seperti Gong juga banyak ditemukan ditempat-tempat ini. Alasan Yang paling kuat untuk mengasumsikan bahwa Komunitas ini adalah masyarakat yang suka berpindah-pindah adalah dengan ditemukannya kuburan-kuburan gua disekitar semua tempat-tempat yang disebutkan di atas. Kemudian tempat-tempat lain yang dapat disebutkan juga antara lain Tombe dan Ta’I Bonti merupakan tempat-tempat penting sebagai Zone Ekonomi Eksklusive (ZEE) komunitas Ethnis Tambe’e pada masa lampau.
Berkaitan dengan benda-benda purbakala Ethnis Tambe’e yang ditemukan pada gua-gua kuburan, banyak benda-benda tersebut telah dirampok dan dikomersilkan keluar daerah Landangi. Hanya sebagian kecil yang masih tertinggal sampai saat ini, dan benda-benda tersebut diamankan sebagai salah satu asset berharga dari budaya leluhur yang masih ada. Sebab yang masih kita temukan pada gua-gua kuburan saat ini tinggal asset berupa tengkorak-tengkorak para leluhur orang Tambe’e dan barang-barang dari keramik yang sudah rusak termakan oleh perjalanan waktu selain kurangnya sentuhan tangan-tangan yang berkompetensi dalam menata secara teratur benda-benda peninggalan bersejarah tersebut.
Setelah selang berapa lama saatnya menjalani kehidupan berpindah-pindah, Selanjutnya pada zaman pemerintahan Hindia-Belanda berkuasa di daerah ini, orang-orang Tambe’e diperintahkan untuk membuat perkampungan sebagai tempat pemukiman secara tertib. Upaya Pemerintah Hindia-Belanda ini dilakukan dengan membuka dan membuat perkampungan yang lebih modern dengan mengambil lokasi pada daerah lembah yang lebih mudah dijangkau dibandingkan dengan model perkampungan orang-orang Tambe’e sebelumnya. Pemerintah Hindia-Belanda memilih daerah Pansu + 2 KM arah Timur Landangi sekarang. Peristiwa ini terjadi berkisar abad ke-XIX. Bahkan menurut Informasi, orang-orang Belanda sempat tinggal bersama dengan orang-orang Tambe’e selama beberapa waktu di Pansu.
Bukti-bukti sejarah tentang perkampungan ini juga masih dapat dijumpai sampai sekarang. Di Pansu banyak ditemukan barang-barang orang Tambe’e ketika masih bermukim di tempat itu, yang oleh penduduk benda-benda tersebut disimpan sampai saat ini. Setelah bermukim di Pansu, orang-orang Tambe’e selanjutnya membuat pemukiman baru sebagai tempat perkampungan dengan memilih tempat yang dianggap cukup strategis yakni di perkampungan Landangi, Kecamatan Nuha sekarang.
Selama masa hidup berpindah-pindah, orang-orang Tambe’e masih menganut agama yang tergolong dalam agama-agama suku Murba yaitu agama yang mereka sebut Me Lahu Moa, Agama ini adalah salah satu agama yang bercirikan Sinkretis-Animisme. Dalam ciri agama-agama suku Murba, Agama Me Lahu Moa termasuk ke dalam agama yang bersifat Polytheis. Tetapi pada Tahun 1928 seorang Misionaris/Zendeling NZG (Badan Da’wah/Badan Penginjilan) Belanda, Rev. Ritzema datang ke Landangi memberitakan agama baru yang berisi ajaran tentang Injil. Ritzema sangat giat dan gigih dalam mengajar dan meletakkan dasar-dasar hidup serta kepercayaan kepada orang-orang Tambe’e sehingga Ritzema berhasil merubah agama kepercayaan lama yang bersifat Sinkretis-Animisme menjadi agama Nasrani yang Monotheis. Pada Periode berpindah-pindah tersebut, seluruh wilayah Landangi beserta tempat-tempat yang disebutkan sebagai tempat pemukiman Komunitas Tambe’e bahkan sejauh kaki melangkah merupakan daerah yang sangat luas dan belum ditempati oleh Komunitas lain, kecuali Komunitas Rahampu’u yang telah lebih dahulu menempati serta menguasai daerah - daerah pinggiran pantai Danau Matano. Kemudian sejak Periode 1928 sampai dengan era tahun-tahun setelah itu, Komunitas Tambe’e telah hidup sebagai satu masyarakat yang lebih tertib dan terarah, bahkan sebagian anggota Komunitas Tambe’e mulai memperoleh pendidikan dari badan Zending Belanda NZG (Nederland Zending Genooschap) yang eksist melaksanakan kegiatan Pendidikan bagi masyarakat Tambe’e. Ritzema, Zendeling NZG sendiri mengajar di Kalangan masyarakat Tambe’e sampai tahun 1939. Sebagian masyarakat juga telah memperoleh kesempatan belajar dan bersekolah pada pendidikan formal dari pemerintah Hindia Belanda dan sekolah-sekolah Gereja. Guru-guru yang sangat berdedikasi dalam mendidik orang-orang Tambe’e pada masa ketertiban itu antara lain : Guru Surito, Guru Hode, Guru Lakawa dan Guru Gansinale dari Mori Bawah, Sulawesi Tengah, selanjutnya seorang anak Tambe’e juga sampai menjadi guru, yaitu Guru T. Mowendu. Guru ini termasuk guru perdana dari kalangan komunitas orang-orang Tambe’e. Sedangkan Informasi tentang Komunitas Tambe’e pada zaman penjajahan Jepang tidak berbeda dengan masyarakat lain di Nusantara, bahwa masyarakat komunalitas ethnis Tambe’e mengalami penderitaan Intimidasi Imperialisme Jepang selama 3 1/5 tahun tanpa kesempatan belajar yang memadai. Orang Tambe’e menyebut zaman Imperialisme Jepang dengan ungkapan “Tempono Gopa” atau zaman Penjajahan Jepang.
 
 
G. MENELUSURI JEJAK MASA DIASPORA PERIODE
TAHUN 1954-1972.
 
Ethnis Tambe’e saat ini menempati 3 (Tiga) daerah secara sporadic-Diaspora (Terpencar) yakni Wilayah Sulawesi Selatan, Kabupaten Luwu Timur pada 2 (Dua) Kecamatan dan 2 (Dua) Desa yakni Koropansu Kecamatan Wasuponda dan dusun Landangi Kecamatan Nuha. Jarak kedua dusun ini + 05 KM arah Timur-Barat. Sedangkan di wilayah Sulawesi Tengah Masyarakat Ethnis Tambe’e menempati mayoritas desa Lanumor, Kecamatan Mori Atas, Kabupaten Morowali. Konteks Sporadic-Diaspora ini memiliki sejarah yang sangat memprihatinkan dan berkaitan erat dengan perjalanan sejarah bangsa pada masa-masa Revolusi.
Pada tahun 1952/1953 pemberontakkan DI/TII menguasai hampir sebagian besar wilayah Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Kahar Muzakar. Pemberontakkan ini sangat lekat dengan persoalan Politis sehubungan pembagian (Sharing) kekuasaan pada masa itu. Menyadari situasi intimidasi bahkan perampasan hak-hak religiositas (hidup beragama) oleh DI/TII yang sudah dianut secara kuat oleh masyarakat ini (Agama Nasrani), masyarakat Ethnis Tambe’e melakukan tindakan-tindakan proteksi yang tergolong High Risk atau beresiko tinggi. Untuk melakukan konfrontasi fisik, sudah dapat dipastikan bahwa itu tidak dapat dilakukan sebab DI/TII memiliki kekuatan yang sangat signifikan pada semua lini di wilayah kekuasaannya. Maka sikap netral yang diambil masyarakat suku Tambe’e adalah berdiaspora (Melakukan pengungsian secara masal) ke Malili. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Mei 1954 saat padi-padi masyarakat Tambe’e sedang menguning dan siap dipanen. Pada bulan September 1954, Pimpinan masyarakat Tambe’e Landangi, Laronta Koleba dan pimpinan masyarakat Tambe’e Koropansu, Dangari Poliwo menyampaikan permohonan kepada Andi Nyiwi, Kepala Pemerintahan Negeri Malili agar masyarakat Tambe’e Landangi dan Koropansu diizinkan untuk mencari zona yang lebih aman di Pakatan (Mangkutana). Andi Nyiwi mengabulkan permohonan kedua pimpinan Tambe’e ini sebagai upaya Proteksi Security terhadap masyarakat tersebut. Setelah 2 (Dua) 1/2 Tahun di Pakatan (1954-1957), selanjutnya masyarakat Tambe’e ini meneruskan upaya Diaspora sampai ke Sulawesi Tengah (Pendolo, Ensa) dan akhirnya masyarakat ini ditempatkan oleh Bupati Kolonedale saat itu di Lanumor. Nama Lanumor di Sulawesi Tengah sendiri sangat terkait erat dengan asal-usul mereka di Landangi (Lanumor adalah singkatan dari Landangi, Nuha, Mori). Semua proses diaspora ini di intervensi secara tidak langsung oleh pemerintah lintas Daerah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah. Disamping itu peranan penduduk setempat pada saat-saat masyarakat ini melakukan Transit selama perjalanan Diaspora juga sangat berperanan penting dalam memberikan kontribusi dan memfasilitasi perjalanan masyarakat Tambe’e.
Pada tahun 1968, Nggodi Tampara, Ntoni Mathara dan Andaria Kadoena diutus kembali ke Landangi melakukan survey jika ada kemungkinan bagi orang-orang Tambe’e untuk kembali ke Kampung halamannya. Ternyata pada tahun tersebut telah ada satu masyarakat baru telah menempati daerah Landangi. Selang beberapa saat ketika masyarakat Tambe’e meninggalkan Landangi, ternyata perkampungan Landangi telah ditempati oleh salah satu masyarakat suku Lokal yakni suku Taipa yang saat ini sebagian masih bermukim pada sebuah perkampungan kecil yakni kampung Bure, di pinggir Pantai Danau Matano. Sebagian besar tanah-tanah milik masyarakat suku Tambe’e ditempati oleh masyarakat suku Taipa yang bermigrasi ke Landangi sebab Wilayah Bure diasumsikan sebagai satu tempat pemukiman yang kurang menguntungkan secara ekonomis. Migrasi suku Taipa ke Landangi sangat dilatarbelakangi oleh kesalahan Persepsi masyarakat ini terhadap eksistensi masyarakat suku Tambe’e selama berada di Sulawesi Tengah. Sebagian masyarakat suku Taipa berasumsi bahwa masyarakat Suku Tambe’e tidak akan pernah kembali ke Landangi karena di Sulawesi Tengah mereka telah berdomisili secara Permanent dan tentu telah menjadi Penduduk Permanent di Sulawesi Tengah. Yang kemudian ternyata asumsi ini kurang tepat sebab kenyataannya masyarakat Ethnis Tambe’e melakukan mudik dan kembali ke kampung asalnya Landangi.
Selanjutnya setelah situasi Politis mulai mengalami saat-saat kondusif, Sebagian masyarakat Ethnis Tambe’e benar-benar kembali ke daerah kecamatan Nuha tempat semula di mana mereka berdomisili. Perjalanan Mudik ini tidak dilakukan secara serentak, tetapi berlangsung secara Periodik dan setiap periode yang kembali hanya terdiri dari beberapa keluarga beserta dengan anggota-anggota keluarga baik yang memang pernah berasal dari Landangi maupun anggota-anggota keluarga yang lahir selama periode Diaspora di Lanumor, Sulawesi Tengah.
Periode pertama perjalanan mudik terjadi pada tahun 1972. dengan tidak lagi melalui jalan lintas Pendolo-Mangkutana-Malili, tetapi masyarakat yang mudik pada periode ini telah mengambil jalan pintas melalui Beteleme-Nuha dan selanjutnya tiba di Landangi. Perjalanan Mudik Tambe’e melalui satu proses sangat sulit dengan berbagai aral melintang dalam perjalanan ditambah lagi dengan ditemukannya kesulitan baru ketika tiba di Landangi. Perjalanan mudik perdana komunitas Tambe,e ini dipimpin oleh Ratangko dan T. Ruru, sebab mereka termasuk sebagai perangkat-perangkat masyarakat Tambe’e sejak dari Lanumor pada saat itu.
Kekeliruan persepsi antara Komunitas Tambe’e dengan Taipa ini terjadi karena pada dekade itu pemerintah Cq. Kabupaten dan Kecamatan belum mengatur tentang status-status tanah masyarakat Tambe’e yang pernah ditinggalkan pada era tahun 1950-an. Oleh karena itu keadaan tumpang-tindih yang berakibat kekeliruan persepsi seperti ini tanpa dapat dihindari memang harus terjadi. Tetapi selanjutnya permasalahan ini dapat diselesaikan secara damai, di mana atas persetujuan kedua pihak yakni Ethnis Tambe’e dan Taipa, dikuatkan oleh Undang-undang RI bahwa tanah Ulayat termasuk perkampungan satu penganut Kultural-Ethnis sangat diakui, selama penganut-penganutnya masih kuat dan eksist. Dilandasi oleh Jaminan hukum ini, maka secara damai serta dalam ikatan Familiar (Kekeluargaan) difasilitasi oleh Bapak P. Tengkano, pimpinan Pemerintahan Kecamatan Nuha saat itu, juga dihadiri oleh Bapak S. Tengkano (Guru/PK Kecamatan Nuha saat itu) masyarakat suku Taipa ditempatkan pada satu pemukiman baru yang disebut Laronsengi dengan batas sungai Angkauno. Kesepakatan ini dilanjutkan dengan kesepakatan lain di antara kedua Ethnis yaitu : Bahwa berhubung beberapa tempat disekitar pemukiman Ethnis Taipa terdapat tempat-tempat yang bernilai Historis bagi masyarakat Tambe’e sejak zaman Purbakala, maka tempat itu tetap menjadi milik masyarakat Ethnis Tambe’e. Tempat-tempat yang dimaksud antara lain Tombe, Ta’I Bonti, Puuwuku, Sinambi, KoroNtembo dan tempat-tempat lain yang bernilai historis yang lokasinya berdekatan dengan perkampungan Bone Pute. Tetapi selanjutnya komunitas masyarakat ini berpindah tempat ke “One Pute”, sekarang “Bonepute” 2. KM sebelah Utara Perkampungan Landangi. Sebagian tempat ini, terutama lapangan Bone Pute adalah tanah persawahan milik Ntowo (Tambe’e), yang diserahkan kepada Maduhura, Kepala Dusun Masyarakat Taipa saat itu. Penyerahan tanah oleh Ntowo tersebut dilakukan atas dasar perjanjian ganti rugi tanah sebagai pengganti tanah milik Ntowo yang diserahkan untuk pemukiman masyarakat Taipa. Sampai sekarang Realitas ini tidak menjadi persoalan antara masyarakat Bonepute dengan masyarakat Landangi, sebab sudah sekian tahun masyarakat ini hidup bersama saling menghormati dan hidup saling memperhatikan bahkan secara solid melakukan kerja sama yang baik dalam rangka pengembangan kehidupan bersama dengan hak-hak, tanggung jawab dan kedudukan komunalitas masing-masing.
Masa-masa diaspora yang dilakukan sampai dengan saat kembali ke Landangi, Tanah Nuha merupakan masa penuh dengan kesulitan serta ketegangan politis yang mengancam kehidupan komunitas Tambe’e khususnya dan masyarakat lain di tanah Nuha pada umumnya. Setelah melalui masa-masa penuh resiko ini, komunitas masyarakat Tambe’e kembali ke kampung halaman di Landangi untuk menata kembali kehidupan selaku masyarakat, membangun kembali pada Re-Atensi kehidupan Kultural, Religius ekonomi dan segment kehidupan lain. Re-building pada semua segment ini dilakukan di atas puing-puing kehancuran Instabilitas politik masa lalu di mana semua itu membawa ekses-ekses negative yang sangat luas dan ter-representasi dalam kehidupan orang Tambe’e yang penuh Ironi.
 
 
BAB III
INTERPRETASI DINAMIKA HISTORIS TO TAMBEE
 
1. Eksistensi Historik To Tambee
Presensi komunitas Ethnis Tambee di tanah Nuha yaitu pada sentra-sentra Landangi dan Koropansu, Luwu Timur, Sulawesi Selatan merupakan sebuah realitas historis yang telah berlangsung secara kontinu sejak berabad-abad. Realitas Historis sebagai dasar pengakuan terhadap presensi komunitas Tambee di tanah Nuha tidak lepas dari bukti-bukti historical yang berupa sumber-sumber tradisi lisan local yang dipelihara secara turun-temurun secara permanent. Kemudian sumber-sumber eksternal terkait dengan eksistensi komunitas Tambee di tanah Nuha pada periode Pra Kedatuan Luwu, masa kedatuan Luwu bahkan sampai dengan saat ini juga merupakan kontribusi yang sangat tidak ternilai harganya dalam rangka menelusuri tentang To Tambee secara Eksistensial, presensi bahkan dalam perjalanan Historis suku ini. Terakhir, bahkan yang paling penting dalam upaya menelusuri historis To Tambee adalah dengan tersedianya begitu banyak artefak-artefak atau benda-benda sebagai bukti arkheologi yang ditemukan baik melalui ekskavasi (Penggalian) yang secara sengaja dilakukan maupun artefak-artefak yang ditemukan dalam penggalian-penggalian yang secara tidak sengaja dilakukan tetapi dalam galian-galian itu juga ditemukan begitu banyak artefak yang bernilai Historis-Arkheologi yang dapat menjadi alat untuk mengungkap tabir gelap tentang kehidupan masa lampau To Tambee. Disamping melalui proses ekskavasi, benda-benda yang bernilai Historis ini juga banyak ditemukan pada gua-gua eks pemukiman To Tambee pada masa purbakala yang tersebar di sekitar Landangi dan Matano .
Dilandasi oleh sumber-sumber penting ini, maka dalam menganalisa sekaligus menginterpretasi sejarah komunitas To Tambee di tanah Nuha, akan digunakan 3 element penting sebagai sumber-sumber utama yaitu :
 
1. Tradisi-tradisi (Sumber) lokal.
2. Sumber-sumber Eksternal.
3. Artefak-artefak yang bernilai Historis-Arkheologis.
4. Konsep To Belae Terhadap To Tambee di Lingkungan Kedatuan Luwu.
 
Ketiga sumber ini merupakan kunci-kunci penting dalam menganalisa secara ilmiah dari mata rantai gelapnya sejarah To Tambee selama ini.
 
1.1. Tradisi-tradisi Lokal.
 
Tradisi lokal yang dianut secara kuat dan permanent bahkan dipelihara turun-temurun di lingkungan To Tambee menyebutkan bahwa masyarakat ini pada mulanya adalah masyarakat Migrasi dari Ulu Uwoi, sebuah pemukiman purbakala disekitar Gunung Pongko, Beteleme, Morowali, Sulawesi Tengah. Migrasi ini diawali oleh sebab konflik internal Clan yang berakhir pada separasi Clan tersebut meninggalkan Bands Induk selanjutnya melakukan Migrasi ke tanah Nuha. Tradisi-tradisi lokal juga menyebutkan bahwa aktivitas penting yang dilakukan oleh To Tambee adalah berburu, beternak, Industri besi juga bahan-bahan logam kuningan bahkan pada akhirnya tiba juga pada aktivitas bercocoktanam. Perkembangan populasi yang terjadi mengalihkan masyarakat Clan ini menjadi sebuah Bands yaitu masyarakat yang populasinya berkisar sampai 100 orang. Kontinuitas kehidupan populasi To Tambee sangat dicirikan oleh perpindahan-perpindahan yang terjadi dari musim ke musim untuk memperoleh sumber-sumber makanan baik berupa buruan juga stokc makanan bagi ternak. Keadaan ini mendukung pendapat Elman Service (1970-an) yang mengatakan bahwa cirri utama masyarakat Bands adalah menempati situs utama berupa gua-gua dan atau tenda-tenda sederhana yang dapat dijadikan sebagai tempat tinggal pada musim-musim tertentu. Oleh karena itu pada episode ini pengelompokan komunitas Tambee sebagai sebuah komunitas Bands sangat tepat, sebab disamping jumlah yang belum lebih dari 100 orang, ciri kehidupan To Tambee adalah berpindah-pindah sebagaimana ciri yang dimiliki oleh masyarakat bands lainnya. Bahkan ciri bands ini dapat dikatakan sebagai masyarakat semi nomaden.
Disamping berfungsi sebagai tempat-tempat pemukiman, bagi To Tambee gua-gua juga berfungsi penting sebagai kuburan. Dalam tradisi-tradisi lokal To Tambee, pada episode ini Kedatuan Luwu belum disebut-sebut sebagai sebuah kerajaan yang berpengaruh luas termasuk terhadap To Tambee sendiri. Tradisi lokal ini menjadi sebuah pertimbangan penting bagi para sejarawan maupun arkheolog untuk menganalisa dan menginterpretasi bahwa pada episode ketika To Tambee masih merupakan sebuah komunitas Bands, kedatuan Luwu belum memiliki pengaruh yang begitu besar bahkan mungkin belum terbentuk secara definitive sebagai sebuah kerajaan penting pada zona perdagangan, zona kekuasaan pada lintas daerah lokal, juga belum memiliki pengaruh yang berarti pada zona lintas kerajaan di wilayah nusantara bahkan Internasional.
Migrasi komunitas Bands Tambee dari Ulu Uwoi ini juga di sebut-sebut belum mengenal starata-strata pada lingkungan social. Belum pula dikenal apa yang disebut sebagai Penguasa dan yang dikuasai sehingga segala sesuatu menjadi keputusan bersama dalam perjalanan interaksi social. Sehingga dapat dikatakan bahwa To Tambee merupakan sebuah populasi bebas (Free Population).
Tadulako sebagai bentuk kepemimpinan tertinggi mulai dikenal kembali ketika terjadi Akulturasi dengan komunitas Matano-Nuha yang telah terlebih dahulu menempati pemukiman-pemukiman di sekitar Danau Matano.
Dalam kaitan To Tambee dengan Suku-suku yang ada di tanah Nuha seperti Nuha-Matano, Karunsi’e dan Padoe, tradisi-tradisi lokal menyebutkan bahwa terdapat ikatan yang sangat kuat secara emosional, kultur bahkan struktur bahasa pada keempat suku ini, sebab terdapat unsur kesamaan yang sangat besar bahkan sampai 95%. Sehingga dengan besarnya unsur kesamaan dalam struktur bahasa pada keempat suku ini memungkinkan To Tambee dapat melakukan komunikasi dan interaksi sosial secara baik dengan suku-suku tersebut. Disamping itu kesamaan latarbelakang asal-usul juga semakin kuat mengikat relasi sosial lintas suku-suku ini.
Selanjutnya tradisi-tradisi lokal juga menjelaskan bahwa fase-fase migrasi suku-suku di tanah Nuha terjadi secara bertahap pada kurun waktu yang juga sangat kabur untuk ditentukan dan dirumuskan. Fase-fase Migrasi komunitas bands-bands tersebut digambarkan bahwa komunitas bands Matano-Nuha adalah komunitas yang paling pertama menempati pemukiman-pemukiman di sekitar Danau Matano di mana sebelum menempati pemukiman Matano-Nuha, komunitas ini adalah sebuah bands yang berasal dari Ngusu Mbatu, Morowali, Sulawesi Tengah. Pada rentang waktu yang cukup panjang menyusul Clan dari Ulu Uwoi, Karunsi’e dari Watu kemudian terakhir Padoe dari Molio’a. Akulturasi migran-migran yang memiliki kesamaan besar ini melahirkan sebuah kesadaran baru yaitu dengan terbentuknya sebuah Tribes (Pandangan Evan Service), tetapi kebanyakan ahli lebih cenderung menyebutnya sebagai Segmentary Societies di mana komunitas-komunitas bands ini (Nuha-Matano, Tambee dan Karunsi’e yang kemudian disusul oleh Padoe) membentuk unit Ethnis yang lebih besar. Pembentukan Segmentary Societies ini terjadi disebabkan oleh adanya kesadaran bersama bahwa Bands-bands Ethnis sejenis ini merupakan komunitas-komunitas Ethnis yang memiliki kesamaan asal-usul negeri yaitu Sulawesi Tengah atau ketika itu lebih populer dikenal dengan tanah Mori.
Segmentary Societies berlambangkan “Lumbung Padi” ini masih tetap terpelihara sampai dengan tahun ke-8 abad XXI sebagai warisan Tradisional yang sejak tahun 1982 diberi warna sebagai sebuah Organisasi Modern dengan nama L.P.A.B PASITABE dengan mendapat pengukuhan sebagai sebuah Organisasi yang berbadan Hukum dengan AKTA NOTARIS NO : 10 TAHUN 2000.
Symbol Segmentary Societies ini tetap menggunakan Lumbung Padi sebagai symbol peran dari masing-masing Bands Ethnis sebagaimana terdapat pada bagian-bagian Lumbung. Pada episode ini Bentuk kepemimpinan Tadulako menempati posisi sentral sebagai pengambil keputusan, sebab system Monarki dengan bermacam-macam perangkatnya belum dikenal sama sekali di lingkungan masyarakat lokal. Sebagaimana representasi awal bahwa komunitas Tambee juga adalah masyarakat Industri yang banyak memproduksi kain Tradisional, Periuk serta peralatan-peralatan lain dari tembikar, yang terpenting bahwa sejak dahulu kala komunitas Tambee juga telah mengerjakan Industri berbagai peralatan dari besi bahkan membuat peralatan-peralatan yang menggunakan bahan dasar dari logam kuningan. Terkait dengan Industri logam kuningan, Tradisi lokal menyebutkan bahwa bahan-bahan kuningan tersebut pada zaman dahulu ditambang oleh To Tambee pada sebuah lokasi tambang kuningan yang disebut Wasu Mala disekitar Ulu Uwoi sebuah tempat yang sampai hari ini dianggap sakral oleh To Tambee.
Episode selanjutnya dalam sejarah To Tambee merupakan sebuah episode penting. Pada episode ini system kepemimpinan Tadulako tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya penentu kebijakan. Namun demikian, Jabatan Tadulako juga tidak begitu saja ditinggalkan sebab Tadulako masih memegang peranan penting dalam system kepemimpinan di kalangan komunitas Tambee. Perubahan bentuk ini sangat dilatarbelakangi oleh adanya perkembangan-perkembangan eksternal yang sekaligus memberikan dan membawa pengaruh dalam kehidupan komunitas Tambee secara internal.
Pada episode sejarah ini terjadi transformasi penting pada soal kepemimpinan terkait dengan kehadiran dan munculnya seorang pemimpin kharismatik di Matano. Pemimpin kaharismatis ini sekaligus dikukuhkan sebagai raja perdana atau dalam tradisi lokal Matano disebut Mokole. Munculnya pemimpin baru ini sangat Dramatis bahkan memiliki nilai sakralitas, sebab Mokole perdana ini dipercayai sebagai MOKOLE NTI’I raja yang turun dan berasal dari langit. Mitology Mokole Nti’I dianggap sakral sebagai cikal bakal leadership style di lingkungan komunitas Matano bahkan pada lingkungan Segmentary Societies yang terdiri atas Bands-bands Nuha-Matano, Tambee, Karunsi’e dan Padoe pada masa itu.
Dalam komunitas tertentu, Cerita Mitology Mokole Nti’I atau To Manurung memang diasumsikan sebagai sebuah element penting. Dalam menjelaskan pandangan ini, Prof. DR. A. Zainal Abidin menggunakan Thesis Noorduyn mengatakan bahwa Mitos merupakan legitimasi kedudukan sosial seorang raja sebagai pemerintah yang sah, yang karena sifat-sifatnya yang berstigma ilahi, maka ia akan dapat menjamin kesejahteraan, menjamin persatuan dan kesatuan keluarga raja sekaligus stigma keilahian ini juga dapat menjadi sebuah jaminan bagi kemajuan, persatuan dan kesejahteraan kerajaan. Sebetulnya Mitos-mitos seperti ini berperan penting sebagai alat pemersatu rakyat secara lebih spesifik yang berkelompok menjadi keluarga besar dalam sebuah kerajaan. Mitos-mitos seperti ini juga mau menjelaskan tentang batas-batas kekuasaan seorang raja, Datu atau bahkan Mokole. Bahkan yang terpenting dari mitos-mitos seperti ini adalah sebagai alat antisipatif atas perbuatan semena-mena yang cenderung dilakukan oleh seorang raja terhadap rakyat sebagai ekses dari besarnya kuasa serta jabatan yang dipegangnya.
Oleh karena itu, dalam perkembangan selanjutnya seorang bangsawan keturunan To Manurung atau Mokole Nti’I harus menjaga siri’ atau kehormatannya, martabatnya serta siri’ keluarganya.
Di dasari oleh pandangan di atas, dalam Pandangan umum sehubungan dengan hadirnya Mokole Nti’I di Matano sangat dipegang sebuah komitmen bahwa Mokole dan keturunannya bukanlah manusia biasa, bukan manusia sembarangan tetapi ia adalah manusia Dewa yang turun ke bumi untuk memberikan pencerahan kepada komunitas lokal. Kedatangan Mokole Nti’I di Matano juga sangat dipercaya telah diperlengkapi dengan perangkat-perangkat tertentu yang menjadi daya dukung bahwa ia adalah orang yang patut di terima eksistensinya sebagai seorang pemimpin. Menurut orang Matano, lambang kepemimpinan sang Mokole juga telah di bawa serta turun dari langit yaitu singgasana berupa sebungkah batu bercukilan menyerupai relief bulan sabit. Mokole Nti’I ketika turun dari langit dipercayai menggunakan singgasana batu tersebut dan duduk di atas singgasana sebagaimana layaknya seorang raja.
Sehubungan dengan Mokole Perdana di Matano ini, Dalam naskah Epos Lagaligo diketemukan informasi sebagai pendukung informasi pertama tentang Kerajaan di Matano. Epos Lagaligo menyebutkan bahwa SAWERIGADING Sang tokoh Legendaris dan Fenomenal memiliki kurang lebih 40 orang sepupu satu kali (Sapo’ sesang cera’ lebi’na) yang menjadi penguasa di berbagai daerah di Sulawesi bahkan Nusantara. Salah satu saudara sepupu Sawerigading yang diberitakan menjadi penguasa perdana di Matano adalah LAMATTULIA. Tidak dapat diketahui dengan jelas apakah penyebutan atau istilah sepupu satu kali dalam Epos Lagaligo ini adalah sebuah fakta sejarah murni atau hanya sebuah ungkapan dalam bahasa sastra, tetapi yang jelas bahwa Episode Mokole Nti’I telah membawa sebuah transformasi yang sangat besar dan berarti bagi system kepemimpinan di kalangan komunitas Matano.
Selanjutnya sebagai sebuah Segmentary Societies atau Tribes dalam Totalitas Nuha-Matano, Tambee, Karunsi’e dan Padoe, maka dapat dipastikan bahwa komunitas Tambee juga mengalami transformasi pada system sosial dan kepemimpinan. Episode Mokole Nti’I tentu secara sadar juga telah mengubah Segmentary Societies dan sekarang To Tambee memasuki Episode baru yaitu masuk pada kategori komunitas Chiefdom atau system kerajaan di mana Mokole dihormati sebagai pemimpin kharismatik. Elman Service menyebutkan bahwa Bentuk Chiefdom ini telah memiliki Raja atau Ratu yang jelas sebagai pemimpin yang menjalankan hukum, lebih dari itu bahwa pada umumnya sebuah Chiefdom terdiri dari populasi antara 5000-20.000 orang bahkan telah memiliki tentara. Tetapi sekali lagi bahwa peranan Tadulako di kalangan To Tambee tidak hilang begitu saja, sebab mereka juga masih memiliki kharisma tertentu di lingkungan komunitas ethnisnya masing-masing. Para Tadulako ini dalam kaitan dengan tentara kerajaan adalah berperan sebagai pimpinan-pimpinan angkatan perang dari suku masing-masing yang nota bene adalah anggota dari kerajaan Matano.
Tradisi-tradisi local yang dianut kuat dikalangan To Tambee menyebutkan bahwa dalam kaitan sebagai masyarakat Chiefdom ini, To Tambee memegang peranan yang cukup penting dalam angkatan perang, sebab selalu menempati posisi terdepan pada setiap peperangan yang terjadi. Peranan penting ini terbukti dengan gelar “Dahu Rako” yang diberikan kepada To Tambee.
 
1.2. Sumber-Sumber Eksternal.
 
Pada tahun 1988, Caldwel seorang Sejarawan dalam analisa tentang lahirnya Kedatuan Luwu menyebutkan bahwa sebelum periode Bathara Guru berkuasa di kawasan Geo-Politik Luwu, masih terdapat sebuah lubang kosong tentang lukisan historis yang sangat lebar. Meskipun ada keyakinan bahwa jauh sebelum mencapai bentuk Nation atau Negara, di sekitar Luwu telah berkembang masyarakat Bands yang terdiri atas beberapa Clan. Selanjutnya tentang Luwu, Pelras menentukan atau meletakan Fase sejarah Kedatuan Luwu dengan apa yang disebutnya sebagai Fase Proto sejarah Luwu, Deutero sejarah Luwu dan seterusnya. Fase Proto sejarah Luwu ditentukan oleh Pelras mulai dari kurun awal abad Masehi sampai dengan abad X Masehi. Dalam pandangan Pelras bahwa pada Periode Proto sejarah inipun sangat gelap sebab tidak didukung oleh teks klasik. Tetapi yang jelas bahwa pada periode Pra dinasti Luwu terbentuk, di beberapa titik telah terdapat sejumlah pemukiman komunitas Bands sejak periode Neolitik. Lebih jelas lagi disebutkan bahwa komunitas-komunitas Bands tersebut berada pada zona Matano, Wotu, Padoe, Bajo, Toraja, Rongkong dan beberapa titik pada zona Sulawesi Tengah dan Tenggara.
Analisis yang dikemukakan oleh Pelras dan Caldwel ini memberikan inspirasi bahwa betapa dekat dan sejajarnya pandangan mereka jika dikaitkan dengan tradisi-tradisi local To Tambee yang dipelihara sampai saat ini. Sebagaimana telah direpresentasikan pada bagian sebelumnya bahwa pada masa Pra Kedatuan Luwu dan Episode Pra Mokole Nti’I, di lingkungan Tambee belum dikenal system Monarki atau dinasti. Pada kurun waktu tersebut Clan Tambee Ulu Uwoi masih merupakan sebuah Free Community. Kemudian ketika menjadi Masyarakat bands, To Tambee mengenal Tadulako demikian seterusnya dalam Fase sejarah To Tambee sampai mereka mengenal Sistem Monarki sejak episode Mokole Nti’I dan selanjutnya lebih luas lagi pada masa kejayaan Kedatuan Luwu pada tahapan sejarah Kedinastian.
Pelras menyebut bahwa pada rentang Proto sejarah Luwu telah terdapat pemukiman pada zona Matano dan Padoe di sekitar wilayah Pra Kedatuan Luwu. Sementara dalam penuturan bahkan tradisi local Matano, Tambee dan Karunsi’e diperoleh informasi bahwa komunitas Padoe melakukan migrasi dari Molio’a ke tanah Nuha beberapa lama setelah migrasi Nuha-Matano dari Ngusu Mbatu, Tambee dari Ulu Uwoi dan Karunsi’e dari Watu (Ronta). Meskipun Bands To Tambee tidak masuk dalam catatan Pelras sebagai salah satu Bands yang bermukim di wilayah Pra Kedatuan Luwu pada Proto sejarah Luwu, tetapi sejarah dan tradisi local menyebutkan bahwa presensi bands Tambee di tanah Nuha telah eksist jauh sebelum Bands Padoe eksist di wilayah ini. Berlandas pada Tradisi local dan pandangan Pelras ini penting untuk dikatakan bahwa Presensi Bands To Tambee menempati beberapa titik pada zona Pra Kedatuan Luwu terjadi sebelum abad X bahkan menjelang abad IX Masehi.
Mengingat betapa gelapnya mata rantai sejarah To Tambee yang menyebabkan sulitnya untuk menentukan waktu bila mana secara tepat mereka eksist di Wilayah Pra Luwu tersebut, maka menurut hemat kami, waktu start eksistensi To Tambee di tanah Nuha-Luwu perlu di tarik sejauh atau sekurang-kurangnya 100 tahun ke belakang dari abad ke X yaitu akhir masa Proto sejarah yang ditetapkan oleh Pelras tersebut. Keputusan untuk menarik waktu sejauh 100 tahun ke belakang ini dilatarbelakangi oleh asumsi bahwa jika sampai dengan abad ke-X Clan Padoe telah menjadi Bands di wilayah Pra Kedatuan Luwu, itu berarti bahwa Clan Tambee, selanjutnya berubah menjadi Bands kemudian Segmentary Societies di mana pada fase atau episode ini menurut tradisi local telah dibentuk kolaborasi ethnis Nuha-Matano, Tambee dan Karunsie sedangkan Padoe menyusul kemudian, itu berarti bahwa Eksistensi tiga ethnis ini terjadi jauh sebelum Eksistensi Padoe. Pertumbuhan Clan menjadi Bands dan selanjutnya sampai pada titik Kesadaran untuk membentuk sebuah Segmentary Societies Tri Ethnis membutuhkan selang waktu yang sangat panjang dan tentunya berbelit-belit sebab masing-masing ethnis memiliki ciri khasnya meskipun pada titik-titik tertentu sebagaimana telah dijelaskan juga terdapat kesamaan-kesamaan yang cukup signifikan. Sekali lagi ini sangat membutuhkan sebuah proses panjang sampai masing-masing Bands menyadari bahwa sebuah Segmentary Societies sangat penting untuk dibentuk. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ini, maka untuk membingkai Sejarah To Tambee mulai eksist di wilayah Pra Kedatuan Luwu adalah dimulai sejak abad ke-IX Masehi.
 
1.3. Artefak-artefak.
 
Sejak sejak dahulu kala zona Matano, Nuha dan Katue (Cerekang) sudah dikenal sebagai sentra-sentra tambang besi dan Industri. Sebagai sentra tambang dan Industri besi, tempat-tempat ini bahkan sudah dikenal sejak sebelum Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit di Jawa Timur (1293). Hasil Research dan analisis Carbon Dating dari Laboratorium Australian National University menyebutkan bahwa kronologi sejarah tambang pada zona Matano, Nuha dan Katue sudah berlangsung pada kisaran abad ke-IX sampai dengan abad ke-X Masehi bahkan diperkirakan lebih jauh lagi sejak abad pertama. Analisis ini memberikan kontribusi sangat penting dalam menginterpretasi Eksistensi komunitas To Tambee di wilayah Pra Kedatuan Luwu. Penemuan artefak-artefak berupa kerak-kerak besi pada situs Matano mengindikasikan bahwa komunitas ini sudah eksist di wilayah Pra Kedatuan Luwu memang jauh sebelum abad ke-IX. Thesis ini mendukung kronologi perkembangan sejarah peradaban Clan-Bands-Segmentary Societies sampai pada tingkat Chiefdom yang dialami oleh ethnis-ethnis Nuha-Matano, Tambee, Karunsi’e dan Padoe. Fase-fase perkembangan sejarah peradaban komunitas ini menunjuk pada rentang waktu yang sangat panjang dari peradaban sangat sederhana seperti berburu, beternak dan bertani secara berpindah-pindah selanjutnya berkembang menjadi sebuah peradaban yang cukup tinggi yaitu bergerak di bidang Tambang bahkan sampai pada puncak evolusi menjadi masyarakat Industri. Sehubungan presensi Komunitas Tambee di wilayah Pra Kedatuan Luwu, Tradisi local menyebut bahwa sejak dahulu kala komunitas ini juga adalah sebuah komunitas industri yang memproduksi banyak peralatan-peralatan baik dari batu, besi dan logam kuningan. Tradisi local ini sangat didukung oleh banyaknya penemuan-penemuan artefak kepurbakalaan dalam ekskavasi yang dilakukan secara sengaja maupun ditemukan secara kebetulan dalam ekskavasi di sekitar pemukiman komunitas To Tambee pada zaman dahulu. Artefak kepurbakalaan berupa gelang, Pedang, Tombak yang terbuat dari bahan logam kuningan, alat-alat industri kain, barang-barang tembikar bahkan tempat-tempat Industri peleburan besi dan pembakaran tembikar begitu banyak ditemukan pada kedalaman 1-2 meter di bawah permukaan budaya modern. Disamping itu banyak juga artefak-artefak To Tambee purbakala yang ditemukan pada situs gua-gua di sekitar tempat-tempat pemukiman To Tambee. Pada umumnya artefak yang tersimpan pada situs gua kebanyakan masih dalam keadaan lebih utuh dibandingkan artefak yang ditemukan melalui proses ekskavasi.
Bahkan yang lebih spektakuler, masih hasil analisis Carbon Dating Australian National University menyebutkan bahwa jika diteliti lebih jauh, artefak-artefak berupa bahan tembikar dan besi yang ditemukan tersebut mengindikasikan bahwa kebudayaan Nuha-Matano justru lebih tua jauh ke belakang dari abad ke-IX dan abad Ke-X yakni berkisar antara tahun 410-660 Masehi. Fakta-fakta penemuan artefak-artefak ini menunjukan bahwa peradaban To Tambee adalah sebuah proses peradaban yang sangat tua hampir sejajar dengan peradaban Nuha-Matano yang sudah berkembang secara pesat jauh sebelum dinasty Luwu berdiri secara permanent. Thesis kesejajaran Peradaban Matano dan Tambee ini dilatarbelakangi oleh kesamaan-kesamaan yang sangat signifikan dari peradaban Industri yang dimiliki baik dari segi motif maupun fungsi dari peralatan-peralatan yang diproduksi oleh kedua suku tersebut.
Dalam Episode selanjutnya pada masa Dinasti Luwu, eksistensi To Tambee juga mengalami perkembangan-perkembangan yang lebih jauh. Sejarah Kedatuan Luwu sendiri dalam banyak pandangan dibagi atas 2 Episode yaitu :
1. Episode Pertama yaitu Zaman I La Galigo di mana kerajaan ini mencapai puncak keemasan. Periode ini sering dikaitkan dengan pemerintahan Para Dewa dalam sejarah Luwu. Episode pertama ini diperkirakan antara abad ke-X Masehi sampai dengan abad ke-XV Masehi. Pada Episode pertama Kedatuan Luwu ini sangat dipercayai bahwa Luwu dipimpin oleh para Dewa antara lain dengan tokoh sentral seperti Bathara Guru.
2. Episode Simpurusiang yang berdiri diperkirakan pada permulaan abad ke-XV atau paling awal pada paruh kedua abad ke-XIII.
Pada Episode pertama dari kedatuan Luwu, terjadi pengaruh yang sangat signifikan di kalangan Komunitas To Tambee yaitu transformasi kepemimpinan dari Tadulako beralih menjadi Mokole. Jika dipertimbangkan dengan Episode pertama dalam Sejarah Kedatuan Luwu terkait dengan presensi Bathara guru dan Sawerigading, sangat mungkin bahwa Transformasi bentuk Leadership di lingkungan To Tambee tersebut terjadi pada kisaran abad ke-X.
Realitas-realitas pengaruh Luwu ini memungkinkan adanya pengaruh peradaban di lingkungan To Tambee baik secara ekonomi perdagangan, pemerintahan maupun industri. Sehubungan dengan luasnya pengaruh Kedatuan Luwu di seantero wilayah Sulawesi dan Nusantara bahkan kawasan Internasional. Pada Episode Kedatuan Luwu yang berpengaruh ini banyak daerah-daerah menjadi kerajaan bawahan atau biasa disebut Kerajaan yang berstatus Palili. Palili-palili ini memandang Kedatuan Luwu sebagai Protektor bahkan menjadikan Luwu sebagai sumber legitimasi kebesaran kedudukan kerajaannya. Sebagian besar wilayah di Sulawesi Tengah seperti Poso, Bada, Mori dan kerajaan-kerajaan lain menyandang status Palili dari Kerajaan Luwu. Di Sulawesi Tenggara juga terdapat beberapa kerajaan yang menyandang status Palili demikian. Tetapi yang menarik dari kerajaan Luwu adalah bahwa semua kerajaan bawahan yang berstatus Palili tidak dipandang sebagai symbol status kedudukan kekuasaan dan kesejahteraan kerajaan Luwu. Yang terjadi justru sebuah kebebasan peradaban dari masing-masing wilayah tersebut untuk hidup sebagai sebuah komunitas tanpa dibebani oleh keterikatan penuh dari pusat. Para pemegang kendali politik di wilayah masing-masing hanya diharapkan berperan untuk menciptakan ketenteraman dan keamanan di wilayahnya masing-masing sebagai manifestasi keamanan dari seluruh wilayah Kedatuan Luwu.
Jika demikian luasnya pengaruh Kedatuan Luwu, maka secara otomatis Komunitas Tambee sebagai bagian dari Mokole Matano juga merupakan bagian dari Palili Luwu, sehingga aktifitas-aktifitas Kedatuan Luwu juga berpengaruh terhadap aktifitas To Tambee, demikian pula sebaliknya bahwa aktifitas-aktifitas penting seperti Industri besi, logam kuningan, tembikar dan sebagainya yang dilakukan To Tambee juga pasti berpengaruh di lingkungan Kedatuan Luwu dalam kaitan dengan pergaulan, perdagangan dalam taraf lintas Kerajaan di Nusantara maupun Internasional.
Kenneth R. Hall menyebutkan bahwa kepulauan Indonesia telah terbentuk menjadi sebuah zona perdagangan maritim sejak abad ke-XIII. Lebih penting lagi bahwa zona perdagangan tersebut berada pada hegemoni kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Dengan adanya hubungan perdagangan antara Majapahit dengan Kedatuan Luwu melalui jalur Maritim pada kisaran sejarah tersebut, ternyata membawa dampak relationship yang menghasilkan terjalinnya hubungan politik melalui perkawinan Anakaji putera Simpurusiang dengan We Tapacina seorang puteri Raja Majapahit. Dari relasi niaga ini para Mpu keris di Majapahit memperoleh bijih besi sebagai bahan baku untuk membuat keris dari Kedatuan Luwu. Diberitakan pula bahwa keris-keris yang dibuat oleh para Mpu dengan menggunakan besi dari Luwu adalah keris-keris yang sangat berkualitas tinggi sehingga sangat berpamor di kalangan produsen dan konsumen keris di lingkungan Majapahit.
Mengamati dan meneliti keris-keris produksi para Mpu di Majapahit yang dikatakan berpamor tersebut, bukankah sebagian besar keris-keris tersebut menggunakan bahan logam kuningan? Sementara Pada zona Kedatuan Luwu melalui penemuan-penemuan arkheologi diperoleh informasi bahwa konsentrasi sentrum peleburan besi banyak dilakukan pada situs Katue (Cerekang) bahkan aktifitas ini diperkirakan sudah berlangsung sejak abad pertama yaitu ketika terjadi okupasi manusia yang bermukim pada situs ini. Besi-besi yang dilebur tersebut diperkirakan di datangkan dari Nuha atau dari daerah sekitar Danau Matano, sebab okupasi manusia menurut pertanggalan Carbon Dating pada situs Matano diperkirakan juga sudah berlangsung sejak awal abad Masehi. Kerak-kerak besi yang ditemukan pada situs Matano juga mengindikasikan bahwa Masyarakat ini telah mengenal sistem dan technology peleburan besi seperti yang dilakukan oleh pemukiman manusia pada situs Katue. Jika Thesis ini benar, selanjutnya yang menjadi persoalan adalah : Dari Zona sekitar Danau Matano yang manakah besi-besi tersebut diperoleh? Sementara pada situs tersebut terutama ketika telah berlangsung relasi perdagangan bahkan relasi kekeluargaan dengan Majapahit pada abad ke-XIII, Suku Tambee telah secara permanent menempati situs-situs penting pada Zona Matano dan sekitarnya. Pada abad-abad tersebut perkembangan peradaban Tambee telah berada pada peradaban Tambang dan Industri yaitu Pertambangan besi dan logam kuningan yang dilakukan pada situs Wasu Mala. Hasil tambang tersebut secara mandiri juga telah diolah melalui proses peleburan dan selanjutnya dijadikan sebagai bahan baku industri peralatan terutama peralatan-peralatan yang menggunakan bahan baku logam kuningan. Sementara pada situs pemukiman Nuha-Matano sendiri tidak terdapat pertambangan serta peleburan logam kuningan seperti itu kecuali terbatas pada tambang-tambang besi dan Nickel. Eksklusivitas pertambangan logam kuningan ini sangat terkait dengan nilai sakralitas serta mistis yang yang dipercayai oleh To Tambee tentang situs Wasu Mala. Nilai Sakral serta Mistis telah membungkus Wasu Mala sedemikian rupa, sehingga menjadi sebuah situs yang sama sekali tertutup bagi orang lain untuk melakukan aktifitas pertambangan.
Jika pamor yang melekat pada keris-keris buatan para Mpu di Majapahit begitu luar biasa karena besi, nickel dan logam kuningan yang di datangkan dari Luwu, maka hampir dapat dipastikan bahwa kuningan tersebut berasal dari kantong pertambangan kuningan Wasu mala yang eksklusive dan fenomenal yang dikerjakan oleh tangan-tangan To Tambee, sebab pada situs lain pada zona kekuasaan Luwu tidak ditemukan sama sekali adanya situs tambang logam kuningan seperti situs Wasu Mala. Thesis ini mau menjelaskan bahwa Peranan serta kontribusi To Tambee terhadap Luwu dalam memberikan pasokan besi terutama logam kuningan dengan jalur perdagangan luar terutama Jawa dan khususnya Majapahit sangat besar. Sehingga secara Implisit dapat dikatakan bahwa dalam kebesaran dan kemashyuran Kedatuan Luwu sebagai pemasok besi dan kuningan terhadap dunia luar sangat di dukung oleh tangan-tangan terampil To Tambee, Nuha-Matano dan Katue jika kita memposisikan peran komunitas-komunitas ini secara sejajar.
Tampaknya aktivitas perdagangan dengan dunia luar, To Tambee juga dapat disejajarkan dengan Matano yang sudah aktif menggunakan barang-barang Import terutama keramik yang dilakukan melalui Wotu di mana aktifitas ini diperkirakan sudah berlangsung bahkan sejak abad ke-XII sampai dengan abad ke-XVII Masehi. Thesis ini dilatarbelakangi oleh adanya penemuan-penemuan benda-benda keramik yang bernuansa China pada situs-situs Tambee, yang kemungkinan benda-benda keramik tersebut masuk dalam golongan Dehua Whiteware, Ming Whiteware dan Ming Blue and White. Benda-benda keramik seperti itu umumnya banyak dipergunakan oleh komunitas-komunitas yang memiliki kontinuitas hubungan dengan dunia luar dalam kurun sejarah termasuk komunitas Tambee pada abad-abad tersebut. Fragmen-fragmen keramik seperti ini juga mengindikasikan bahwa To Tambee pada abad-abad tersebut telah memiliki atribut-atribut sebagai representasi dari status sosial yang lebih tingga ketimbang daerah hunian atau pemukiman lain yang ada di tempat-tempat lain di mana atribut-atribut seperti ini tidak ditemukan sama sekali.
Jalur perdagangan yang semakin luas juga memungkinkan adanya peluang bagi komunitas Tambee untuk secara aktif dan intensif terlibat dalam siklus ekonomi melalui perdagangan dengan dunia luar. Meskipun situs-situs pemukiman To Tambee demikian pula Nuha-Matano dapat dikatakan agak tertutup dari dunia luar, tetapi Industri-industri barang besi yang dihasilkan komunitas ini memungkinkan mereka untuk ditembusi bahkan dapat menembus serta berinteraksi dalam dunia perdagangan dengan dunia luar. Fakta historis ini tidak diragukan, sebab dalam aktifitas perdagangan tersebut disamping menggunakan sistem pertukaran barang, To Tambee juga menggunakan mata-mata uang sebagai alat tukar, jual-beli bahkan dalam banyak bentuk transaksi yang dilakukan dalam dunia perdagangan. Yang menarik dari aktifitas perdagangan ini adalah banyaknya beredar mata-mata uang China yang beredar di kalangan komunitas To Tambee. Penemuan-penemuan mata uang China yang berserakan pada situs-situs gua maupun melalui ekskavasi di tempat-tempat pemukiman To Tambee membuktikan bahwa aktifitas perdagangan yang dilakukan oleh To Tambee dengan dunia luar sudah cukup baik.
Sebuah fenomena historis yang masih menjadi pertanyaan dalam aktifitas perdagangan tersebut adalah mata-mata uang yang ditemukan sebagai alat jual-beli. Masih belum dapat diungkapkan secara jelas penanggalan bila mana tepatnya mata uang tersebut dipergunakan. Sebab pada kedua sisi mata uang yang banyak ditemukan tersebut terdapat tulisan dari dua kebudayaan besar dunia yaitu China dan Sansekerta. Tetapi meskipun demikian, kami hanya dapat menginterpretasi bahwa mata uang tersebut memang dipergunakan oleh To Tambee pada abad-abad saat perdagangan di Sulawesi dengan dunia luar mengalami perkembangannya secara pesat yakni pada abad ke-XII sampai dengan abad ke-XVII Masehi. Pada abad-abad tersebut To Tambee memang masih berada pada fase sejarah yang sangat diwarnai oleh Hinduisme, meskipun Pengaruh Islam telah memasuki zona Kedatuan
 
1.4. Konsep “To Belae” Terhadap To Tambee di lingkungan
Kedatuan Luwu.
 
Meskipun Kedatuan Luwu disebutkan sebagai sebuah Kerajaan yang sangat mengagungkan Perdamaian, tetapi dalam praktek pemerintahan, Eksistensi militer sebagai penyangga otoritas serta kewibawaan Negara tetap memegang peranan penting. Sebab bagaimanapun, Negara selalu berada dalam ancaman baik dari luar maupun dari kelompok-kelompok yang berasal dari dalam lingkungan Negara-Kerajaan terutama pihak-pihak yang melakukan gerakan separatis. Stigma sebagai sebuah Kerajaan Damai bagi Kedatuan Luwu bukanlah satu-satunya jaminan bahwa Kedatuan benar-benar bebas dari ancaman. Banyaknya status Palili yang disandang oleh kerajaan-kerajaan planet, menempatkan posisi Kedatuan Luwu harus siap dengan konsekwensi-konsekwensi logis di mana setiap saat kerajaan berada pada posisi terancam. Thesis ini dibuktikan dalam sepanjang sejarah perjalanan Kedatuan Luwu, di mana wilayah-wilayah tertentu melakukan pemberontakan terhadap Kedatuan sebagai reaksi atas ketidakpuasan wilayah-wilayah tersebut dalam menyandang status Palili dari Kedatuan Luwu atau juga disebabkan oleh masalah-masalah lain yang menyebabkan terjadinya pemberontakan. Dalam sejarah Luwu, aktifitas militer dalam menangkal ancaman bukan sebuah peristiwa langka dan baru. Peristiwa Togo (Tawaki?), Ontae Luwu dsb merupakan sebuah bukti historis bahwa sebagai satu Kerajaan Sentrum di Sulawesi, Kedatuan Luwu setiap saat tetap mengalami ancaman-ancaman yang memaksanya untuk melakukan perang dengan melibatkan militer sebagai angkatan perang yang menjaga otoritas dan kewibawaan kerajaan.
Dalam aktifitas Militer di lingkungan Kedatuan Luwu, beberapa suku menempati posisi-posisi penting sebagai penyangga Kerajaan. Ditempatkannya suku-suku ini pada posisi penting di bidang militer tentu sangat dilatarbelakangi oleh kemampuan-kemampuan strategi perang yang dimiliki oleh suku-suku tersebut, sehingga oleh Kedatuan Luwu mereka dipercayakan sebagai komunitas angkatan perang pada lingkungan Kedatuan. Dalam kaitan dengan militerisasi Kerajaan ini, To Tambee adalah salah satu suku yang menempati posisi penting sebagai angkatan perang (War Force?) di lingkungan Kedatuan Luwu. Posisi To Tambee sebagai “Dahu Rako” di lingkungan militer Matano, posisi tersebut ternyata juga masih disandang ketika To Tambee telah berada pada lingkungan yang lebih luas yaitu sebagai salah satu bagian dari Kedatuan Luwu. Sejarah tradisi local banyak memberikan informasi bahwa di lingkungan Kedatuan Luwu, To Tambee telah melakukan banyak pertempuran untuk Kedatuan Luwu dalam kurun Sejarah Luwu. Tradisi local juga menyebutkan bahwa dalam setiap perang, To Tambee memberikan andil yang besar bagi kemenangan perang Luwu. Oleh karena prestise ini, maka To Tambee telah dianggap sebagai anggota keluarga dekat di lingkungan Kedatuan Luwu oleh Datu Luwu. Selanjutnya prestise ini juga telah menghentar To Tambee menjadi salah satu suku yang mendapat kesempatan untuk duduk melakukan resepsi jamuan makan bersama bahkan diperkenankan untuk duduk sehidangan dengan Datu Luwu serta keluarga Kedatuan. Ketika To Tambee kembali dari pertempuran, dengan pedang terikat di pinggang, sesuai tata krama kerajaan, mereka berkenan diterima oleh Datu selanjutnya makan bersama dengan Datu.
Dilandasi oleh kedekatan sebagai kerabat Kedatuan, To Tambee juga diberi gelar sebagai “To Belae” (Bahasa Luwu berarti : Orang Dari Jauh) oleh Datu Luwu. Konsep To Belae ini menimbulkan cukup banyak pertanyaan yang juga sangat rumit untuk di jawab. Persoalan yang muncul adalah tentang Letak pusat kerajaan Luwu Ketika itu. Dalam kajian-kajian tentang sejarah Kedatuan Luwu di sebutkan bahwa pusat kerajaan ini mengalami perpindahan dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi yang ada pada saat perindahan pusat kerajaan dilakukan. Situasi-situasi yang sangat mempengaruhi antara lain Geografis, letak strategis sebagai jalur perdagangan dan interaksi kedatuan Luwu dengan dunia luar dan sebagainya. Dalam kajian-kajian yang telah dilakukan oleh sejarawan, ternyata ditemukan beberapa titik di mana pada titik-titik tersebut dianalisa pernah menjadi pusat Kedatuan Luwu seperti di Ussu, Cerekang, Baebunta dan terakhir yang sampai saat ini merupakan pusat Kedatuan Luwu adalah di Palopo.
Jika pusat Kedatuan Luwu Ketika itu berada pada situs Ussu, maka istilah To Belae bagi To Tambee oleh Kedatuan Luwu menurut hemat kami tidaklah begitu tepat jika dilihat dari jarak antara Ussu dengan pemukiman komunitas To Tambee yang ketika itu berada di sekitar Matano. Jarak sejauh berkisar 20 KM Ussu dari daerah sekitar Matano belum memungkinkan untuk menyebut To Tambee sebagai To Belae atau orang dari jauh. Demikian pula halnya Dengan situs Cerekang. Kemungkinan terbesar adalah terletak pada 2 alternatif yaitu Baebunta dan Palopo. Sebab secara Geografis jarak Palopo atau Baebunta dan konsentrasi pemukiman To Tambee cukup jauh (berkisar 150-175 KM), apalagi jika di ukur dengan konteks sejarah ketika itu tentu jarak ini cukup beralasan untuk mengatakan To Tambee sebagai To Belae. Selanjutnya jika Thesis ini benar, berarti Istilah To Belae yang ditujukan bagi To Tambee oleh Datu Luwu mulai populer bahkan mencapai puncaknya diperkirakan sejak abad ke-XII sampai abad XVII bahkan terus berlangsung sampai dengan abad ke-XIX. Mengingat bahwa pada abad-abad tersebut kedatuan Luwu telah berpusat pada dua Situs penting yaitu Baebunta dan Palopo. Selanjutnya jika gelar atau sebutan To Belae bagi To Tambee merupakan gelar kehormatan yang diberikan karena kesanggupan yang baik sebagai salah satu bagian dari angkatan perang Kedatuan Luwu, maka lebih spesifik bahwa gelar To Belae itu mencapai puncak paling popularitasnya pada masa pemerintahan Datu Setiaraja Matinroe Ri Tompotika yang bertahta sebagai Datu Luwu dari tahun 1667-1704. Ini sangat dilatarbelakangi oleh kegiatan ekspansi paling intens dari Kedatuan Luwu untuk menguasai daerah maupun kerajaan-kerajaan luar yang dilakukan sang penguasa dengan melibatkan kekuatan militer pada lingkungan Kerajaan.
Meskipun pada pihak lain juga terdapat beberapa alternatif terutama berkaitan dengan asal-usul To Tambee dari Ulu Uwoi dapat saja menjadi alasan untuk menyebut To Tambee sebagai To Belae meskipun pusat Kerajaan Luwu berada di Ussu dan Cerekang. Sebab jarak antara Ussu, Cerekang dan Ulu Uwoi cukup jauh. Tetapi Thesis pertama menjadi lebih kharismatik untuk diterima sebagai alasan dalam menerangkan Konsep To Belae di lingkungan Kedatuan Luwu terhadap To Tambee. Sebab situs ini lebih mengakomodir bahkan mendekati dalam rangka menjelaskan tentang konsep To Belae bagi To Tambee baik dari segi konsentrasi tempat pemukiman maupun secara asal-usul. Jika dikaji dengan menempatkan pusat Kedatuan di Baebunta dan Palopo, maka baik jarak Sekitar Matano maupun Ulu Uwoi memang cukup jauh sehingga sangat cocok untuk menyebut To Tambee sebagai To Belae atau orang dari jauh.
Penyebutan To Belae bagi To Tambee tetap merupakan sesuatu yang populer di kalangan Kedatuan luwu sampai dengan abad ini. Asumsi ini dibuktikan ketika Tokoh-tokoh Adat To Tambee melakukan Audensi kepada Datu Luwu di Palopo pada hari senin, 18 Februari 2008. Pada Audensi tersebut Sri Datu Luwu ke-XXXIX, ANDI IWAN ALAMSYAH BAU JEMMA BARUE, SH masih menyapa para tokoh adat To Tambee dengan sapaan hangat “To Belae”.
Pada Periode Imperialisme atau Kolonialisme, Sejarah To Tambee meredup secara drastis. Pada masa Hindia Belanda, pemukiman To Tambee tidak banyak mengalami sentuhan Imperialis sebab secara Geografis To Tambee menempati pemukiman yang tidak memberikan arti secara ekonomis dan signifikan bagi pihak Belanda. Demikian pula ketika masa pendudukan Jepang di wilayah Sulawesi Selatan. Informasi yang diperoleh pada kurun waktu ini bahwa pada tahun 1945 ada beberapa orang Jepang yang melintasi pemukiman To Tambee dari Kolonedale menuju ke Malili sebab Jepang telah mengalami kekalahan telak dari pihak sekutu. Pada saat sekutu menduduki Malili pada masa Post kemerdekaan, pemukiman To Tambee juga tidak mengalami imbas apa-apa dari situasi ini. Pada pemukiman To Tambee pada masa ini hanya ditemukan sebuah “Pesanggerahan” sebagai tempat persinggahan tentara sekutu yang melintasi tempat ini ketika mereka pergi atau kembali dari Malili ke Kolonedale, sebab pada masa tersebut Malili dan Kolonedale merupakan kota-kota penting bahkan Malili merupakan salah satu Onder Afdeling pada masa Kolonialisme Hindia Belanda.
Dengan menjelaskan sisi historik To Tambee dari semua evolusi kehidupan yang telah berlangsung berabad-abad dalam kurun sejarah, dengan evolusi peradaban, dengan kiprah-kiprah penting yang mewarnai sejarah To Tambee sampai dengan Episode ini, maka dapat dipastikan bahwa To Tambee merupakan sebuah komunitas yang memiliki kegemilangan sejarah masa lampau. Kegemilangan peradaban, kegemilangan dalam peristiwa-peristiwa Heroik sebagai War Force (Angkatan Perang) di lingkungan Kedatuan Luwu, sehingga setiap gelar, julukan, istilah atau yang sejenisnya yang merupakan stigma-stigma kejayaan dan prestise masa lalu layak diberikan dan disematkan ke dada busung To Tambee. Tetapi itu merupakan bagian dari sebuah perjalanan masa lalu. Persoalannya akankah Stigma kejayaan dan prestise masa lalu tersebut masih dapat dialami kembali dalam konteks modern seperti sekarang ini? Seberapa kuatkah komunitas To Tambee dapat bangkit atau paling tidak dapat bertahan dengan kejayaan dan prestise masa lalu Dalam konteks mutakhir yang sangat di warnai oleh Imperialisme modern dengan kendaraan kuda Kapitalismenya?
Dalam konteks ini mungkinkah telah ada tanda-tanda kemerosotan yang terjadi secara drastis dan signifikan di tengah-tengah lingkungan To Tambee? Dalam konteks modern ini Komunitas To Tambee sangat sepi dengan peradaban, sepi dengan budaya serta elemen-elemen budaya masa lampau yang begitu tinggi, sepi secara ekonomis bahkan nyaris tergilas oleh ganasnya kaum Kapitalis yang menyapu bersih setiap aral melintang demi mereguk kepuasan provit. Tak urung manusia yang dianggap sepi peradaban, sepi ekonomi, sepi integritas diri, sepi fanatisme dalam artian positip harus siap tergerus bahkan harus siap menerima nasib sebagai kaum marjinalis. Semua elemen-elemen To Tambee yang menstigmakan kejayaan dan prestise masa lalu seakan hilang begitu saja, raib entah ke mana. Bagai peradaban tinggi manusia Atlantik yang hilang dalam Lost Island , demikianlah nasib Ironis yang menimpa Peradaban Tinggi To Tambee pada konteks ini. Peradaban tinggi To Tambee di atas kejayaan dan prestise masa lalu sekarang tinggal puing-puing yang berserakan bahkan nyaris menjadi sesuatu yang musyhkil untuk direkonstruksi kecuali hanya dengan kerja keras, dengan pengorbanan, dedikasi, integritas serta “fanatisme” budaya dan peradaban dari populasi komunitas Tambee yang masih tersisa meskipun tinggal setengah nafas. Persoalannya Siapakah yang rela dan peduli untuk meretas asa di atas puing-puing Kejayaan Itu, jika ada, sejauh manakah itu sudah dan akan dilakukan?
 
2. Upaya Meretas Asa Di atas Puing – puing Kejayaan
sebagai Geliat Untuk keajegan Suku.
 
Geliat adalah sebuah gambaran usaha yang dilakukan untuk lepas dari kesulitan. Menggeliat juga tidak salah jika diartikan sebagai orang yang tersentak sadar dari tidur. Dalam perspektif kedua ini, geliat dapat menimbulkan bahaya yang skalanya tidak dapat diukur. Orang yang menggeliat bangun dari tidur dapat saja menabrak benda-benda yang ada disekitarnya dan ini dapat menimbulkan bahaya. Sedangkan bahaya yang ditimbulkan tergantung pada bobot benda yang ditabrak. Jika benda yang menjadi sasaran itu ringan, maka bahaya yang dialami oleh orang yang menabrak karena menggeliat tentu akan lebih kecil. Tetapi jika yang ditabrak adalah benda yang cukup keras dan besar, maka tidak dapat dibayangkan betapa besarnya bahaya yang akan ditimbulkan.
Senin, 18 Februari 2008 merupakan sebuah momentum penting bagi To Tambee untuk meretas asa di atas puing-puing kejayaan masa lalu. Memory indah dan manis yang pernah diukir bersama dalam ikatan kekeluargaan dengan Kedatuan Luwu nyaris terlupakan. Dalam hitungan abad, setelah pengaruh Kedatuan Luwu mulai mengalami masa surut, relasi To Tambee dengan Kedatuan Luwu mengalami situasi surut pula. Memory Heroik dalam data Historis To Tambee sehubungan dengan kejayaan Monarki Luwu mengalami banyak aral melintang. Aral melintang ini disebabkan oleh beberapa faktor penting antara lain :
1. Pengaruh Imperialisme yang sedikit demi sedikit mulai mengambilalih pengaruh dan kekuasaan Luwu yang selanjutnya melakukan Transformasi pemerintahan dengan gaya serta sistem yang dikehendaki oleh Imperium Hindia Belanda. Meskipun pengambilalihan kekuasaan ini mengalami banyak kesulitan, tetapi pada akhirnya cita-cita Imperium Hindia Belanda berhasil mewujudkan keinginannya dalam melakukan Eksploitasi terhadap wilayah-wilayah Kedatuan Luwu. Ekspedisi Militer Hindia Belanda untuk Sulawesi Selatan pada tahun 1905 merupakan salah satu puncak di mana Kedatuan Luwu harus menyerahkan kekuasaannya melalui penandatanganan pernyataan singkat dengan apa yang disebut Korte Verklaring pada tanggal 19 September 1905. Selanjutnya berturut-turut wilayah kekuasaan Kedatuan Luwu diambil oleh pemerintah Hindia Belanda seperti Poso diserahkan melalui penandatanganan akta penyerahan pada tanggal 25 Februari 1907, Bada pada tanggal 18 Oktober 1909. Selanjutnya pemerintah Hindia Belanda menjadikan wilayah Kedatuan Luwu sebagai sebuah Afdeling yang terbagi menjadi 6 (Enam) Onderafdeling yaitu : Palopo, Rantepao, Makale, Masamba, Malili dan Kolaka. Tetapi sejak tanggal 24 Februari 1940 berubah menjadi 5 (Lima) oderafdeling sebab Makale dan Rantepao dilebur menjadi 1 (Satu) onderafdeling dengan nama Onderafdeling Makale-Rantepao. Meskipun pada kenyataannya telah terjadi transformasi pemerintahan oleh pemerintah Hindia Belanda, tetapi sejarah membuktikan bahwa ketaatan Rakyat ternyata lebih besar ditujukan kepada Kedatuan dari pada terhadap Pemerintahan yang dibentuk oleh Pemerintah Hindia Belanda tersebut. Meskipun demikian, Situasi ini membawa konsekwensi yang cukup luas bahwa To Tambee harus kehilangan akses besar dalam melakukan komunikasi interaktif secara bebas dengan Kedatuan Luwu.
2. Pemberontakan DI/TII tahun 1950 oleh Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan juga merupakan salah satu peristiwa sejarah yang membawa pengaruh sangat besar terhadap kontinuitas hubungan antara To Tambee dengan Kedatuan Luwu terutama pada masa Post kemerdekaan. Pada Periode ini telah terjadi situasi yang cukup Chaos di wilayah Sulawesi Selatan pada umumnya dan pada lingkungan Kedatuan Luwu yang masih dilestarikan khususnya. Pemberontakan DII/TII Kahar Muzakar merupakan reaksi atas ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah tentang pengangkatan para pejuang menjadi tentara Nasional. Sebagian besar anggota pejuang di Sulawesi Selatan tidak diangkat menjadi tentara, sehingga atas dasar itu Kahar Muzakar memilih jalan bergerilya menentang kebijakan pemerintah yang dianggap telah menisbihkan perjuangan para pejuang di Sulawesi Selatan yang Nota bene adalah anggota pasukan Kahar Muzakar. Anhar Gonggong Sejarawan Sulawesi Selatan mengatakan bahwa : Kahar Muzakar tidak menghendaki anggota-anggotanya terbuang. Kahar Muzakar menghendaki agar pemerintah mengangkat seluruh pejuang Sulawesi Selatan untuk menjadi tentara Nasional sehingga semua keinginan para pejuang dapat terakomodir. Tetapi permintaan dan maksud tersebut ternyata tidak mendapat persetujuan pemerintah Jakarta. Oleh karena itu Kahar Muzakar memilih untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Pemberontakan ini membawa pengaruh yang sangat besar bagi Kedatuan Luwu, sebab konsentrasi Kahar Muzakar dalam melakukan perlawanan terhadap pemerintah berbasis di wilayah Palopo dan sekitarnya di mana pengaruh Kedatuan Luwu masih sangat dihormati. Konsentrasi aksi ini tentu tidak dapat dilepaskan dari latar belakang Kahar Muzakar yang memang lahir di desa Lanipa, Ponrang, Palopo, Sulawesi Selatan pada tanggal 24 Maret 1921. Periode pemberontakan ini mengakibatkan To Tambee juga mengalami ekses sosial dan psikologis yang sangat besar termasuk dalam kaitan kontinuitas hubungan dengan Kedatuan Luwu terutama pada era tahun 1950 sampai dengan tahun 1972 bahkan ini terus berlangsung sampai dengan awal abad ke-XXI.
Sebagaimana telah digambarkan bahwa Senin, 18 Februari 2008 merupakan momentum penting bagi To Tambee dalam meretas asa di atas puing-puing kejayaan masa lalu. Melalui Kepala Suku To Tambee, Yulianus Tampara dan Ketua Adat To Tambee, Usman Matara bersama tokoh-tokoh To Padoe dan Karunsi,e, dilakukan audensi di rumah kediaman Datu Luwu Ke-XXXIX, ANDI IWAN ALAMSYAH BAU JEMMA BARUE, SH. Di Kota Palopo tempat kediaman Datu Luwu sekaligus pusat Kedatuan ini dilakukan Audensi dengan tujuan untuk merekat kembali sejarah kekeluargaan yang sempat mengalami kerenggangan yang cukup signifikan, di mana keadaan ini bukan disebabkan oleh unsur kesengajaan, tetapi sangat disebabkan oleh konteks yang mengalami stagnasi baik pada masa Pemerintahan Hindia Belanda maupun ketika berlangsungnya pemberontakan DI/TII oleh Kahar Muzakar yang melanda sebagian besar wilayah kedatuan Luwu pada era Pra Kemerdekaan maupun post kemerdekaan. Akses relasi antara To Tambee dengan Kedatuan Luwu mengalami pembekuan selama selang waktu sekitar 1 (Satu) abad lebih.
Ketika dilakukan penandatangan Korte Verklaring pada tanggal 19 September 1905, maka dapat diperkirakan bahwa sejak peristiwa tersebut relasi To Tambee dengan Kedatuan Luwu yang berlangsung secara bebas sebelumnya, seketika harus mengalami perubahan, sebab sebagian besar wilayah Kedatuan Luwu berada di bawah bayang-bayang pemerintah Hindia Belanda termasuk To Tambee. Peristiwa-peristiwa tersebut mengakibatkan realitas hubungan To Tambee dengan Kedatuan Luwu sejak awal abad ke-XX sampai dengan awal abad ke-XXI menjadi satu abad gelap.
Dilandasi oleh kepentingan untuk merekat kembali hubungan yang telah renggang selama 1 abad lebih ini, maka Kepala suku To Tambee dan Ketua Adat To Tambee melakukan audensi kepada Sri Datu Luwu ke-XXXIX di Palopo.
Disamping dalam kerangka merajut dan memelihara kembali hubungan To Tambee dengan lingkungan Kedatuan Luwu, Audensi tersebut juga berisi muatan kepentingan yang begitu besar terkait dengan eksistensi suku-suku lokal ini. Sampai dengan abad ke-XXI ini suku-suku lokal “Merasa” telah banyak mengalami kerugian, terutama hak-hak Ulayat yang semakin menipis. Tanah-tanah Adat yang sejak berabad-abad menjadi bagian dari kearifan lokal tidak lagi terlihat menjadi asset dari suku-suku ini. Audensi ke Kedatuan Luwu tersebut dimaksudkan untuk mencari legitimasi penguasa Feodal untuk mendapatkan kembali tanah-tanah Adat yang telah beralih dan menjadi milik orang lain. Disamping itu, gempuran cakar Kapitalis yang telah lama bercokol di tanah Nuha juga menjadi alasan yang cukup besar mengapa audensi ini dilakukan. Presensi PT. INCO selama hampir 4 Dekade “Dirasakan” telah banyak membawa kerugian dan bencana bagi masyarakat pribumi. Dengan menisbihkan semua bentuk kearifan lokal masyarakat pribumi, Raksasa Kapital ini terus mengeruk keuntungan sambil meninggalkan penderitaan bagi masyarakat pribumi. Kaum Kapitalis bergelimang kekayaan, sementara masyarakat pribumi hidup pada sentra-sentra marginal yang begitu identik dengan kemiskinan, bahkan cenderung terus mengalami proses “Pembodohan”. Proses “Pembodohan” ini juga secara sadar berdampak pada proses “Pemiskinan”. Thesis ini sangat benar, sebab jika kita melakukan Cross Chek Field (Tinjauan lapangan), maka kita akan menjumpai realitas kemiskinan dan keterpinggiran yang teramat menyedihkan di lingkungan pribumi tersebut. Secara jujur penulis harus mempresentasikan kantong-kantong pribumi yang sangat memprihatinkan secara ekonomis, kesehatan dan pendidikan. Kantong-kantong pribumi yang penuh keprihatinan tersebut dapat diruntut sebagai berikut : Kampung Lioka, Kampung Tabarano, Kampung Matompi, Kampung Kawata, Kampung Koropansu, Kampung Togo, pemukiman Karunsi’e Dongi, kampung Landangi dan sebagainya. Kehidupan masyarakat pribumi pada kampong-kampung yang disebutkan ini sungguh tidak menggambarkan bahwa disekitar mereka terdapat Raksasa ekonomi yang seharusnya bertanggung jawab dalam meningkatkan kesejahteraan mereka. Realitas ini hampir menjadi sebuah “lingkaran setan” yang begitu sulit dan runyam untuk dikaji tentang siapa yang paling bertanggungjawab atas situasi yang memprihatinkan ini. Atau dengan kata lain “Siapakah yang paling berdosa” sehingga situasi buruk bak malapetaka ini harus terjadi dan dialami oleh masyarakat pribumi. Kapitaliskah? Pemerintahkah? Atau pribumi itu sendiri? Untuk menjawab masalah ini perlu pengkajian yang lebih mendalam, atau mungkin ketiga unsur tersebut perlu duduk bersama untuk mendiskusikan dan mencari siapakah penyebab dari semua malapetaka ini.
Selanjutnya dalam kaitan dengan audensi kepada Datu Luwu untuk memperoleh proteksi melalui legitimasi terhadap keadaan concern ini, seberapa besarkah Influence (Pengaruh) kekuatan Feodalisme dalam melindungi hak-hak hulayat yang kian terpuruk dan nyaris punah ini? Sanggupkah keadaan terproteksi itu diwujudkan melalui feodalisme masa lalu yang mengandalkan memory batas-batas kekuasaan serta masa-masa keemasan yang pernah dialami pada konteks masa lalu yang sungguh berbeda dengan konteks masa kini? Atau berhasilkah Feodalism Power melindungi bekas-bekas wilayah kekuasaannya dahulu, sementara pada pihak lain para Palili yang nota bene merupakan masyarakat pribumi itu sendiri tidak memiliki kekuatan secara Internal? Bukankah secara internal telah terjadi perpecahan, perbedaan persepsi, degadrasi bahkan mengarah pada kepunahan budaya lokal sedang terjadi? Lalu bagaimanakah kekuatan feodalisme sanggup melindungi para Palili yang telah mengalami situasi hancur-hancuran itu? Dengan mencermati masalah Internal suku-suku pribumi yang seperti ini, maka perjuangan untuk memperoleh hak-hak hulayat hampir dapat dikatakan mushkil dapat terjadi. Oleh karena itu menurut penulis ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh komunitas Tambee dan masyarakat pribumi lainnya jika ingin memperoleh sebuah Konfesi bahkan memperoleh hak-hak yang “Dirasakan” sudah terampas. Action penting yang harus dilakukan antara lain :
 
1. Tetap membuka, membangun relasi bahkan menjalin relasi dengan pihak Feodalisme yaitu kedatuan Luwu dalam rangka pelurusan-pelurusan sejarah serta batas-batas hak yang dimiliki pribumi sejak purbakala. Relasi ini tidak bersifat eksploitasi dari satu pihak kepada pihak yang lain, dalam pengertian bahwa relasi ini tidak lagi bersifat relasi antara penguasa dan yang dikuasai, antara induk dan Palili tetapi lebih bersifat relasi kekeluargaan yang bersifat saling menghidupkan sebagai bagian dari kebersamaan yang pernah terjadi pada masa lalu.
2. Melakukan Reorganisasi kehulayatan yang solid dengan mengutamakan serta berorientasi bukan pada kepentingan pribadi tetapi kepentingan bersama hulayat atau suku secara kolektif.
3. Membangun sikap dedikasi atau pengabdian yang tidak kenal menyerah, rela berkorban bahkan nyawa demi kepentingan hulayat. Ini harus berlaku pada semua tataran baik para pemimpin maupun seluruh hulayat. Bangunan sikap ini dimaksudkan untuk membuktikan fanatisme dalam artian positip terhadap status kepribumian sehingga kewibawaan dan otoritas serta eksistensi hulayat dapat dipertaruhkan kapan dan manapun.
4. Membangun sikap Peduli Budaya, yaitu melalui metode penggalian dan pengembangan nilai-nilai budaya : Seni, bangunan, adat-istiadat, kearifan-kearifan lokal dan bahasa pribumi yang sampai saat ini 99,9% telah mengalami kepunahan akibat ketidakpedulian hulayat sendiri pada semua tataran. Selanjutnya secara continu melakukan re-generasi nilai-nilai budaya. Ini dimaksudkan untuk memelihara ciri serta karakteristik hulayat dan budaya suku pribumi itu sendiri.
5. Berhenti melakukan perampokan artefak-artefak (Peninggalan-peninggalan) yang bernilai histories kepurbakalaan pada gua-gua, apalagi menjual artefak budaya sendiri kepada orang lain seperti yang telah dilakukan oleh hulayat itu sendiri beberapa waktu yang lalu. Artefak-artefak tersebut sebaiknya dikonsentrasikan pada satu tempat yang terproteksi atau lebih baik diupayakan pembuatan Museum mini. Artefak-artefak ini merupakan bukti-bukti original yang tidak dapat dibantah kebenarannya bahwa pribumi telah eksist di tanah ini sejak berabad-abad purbakala.
6. Melakukan Infentarisasi tanah-tanah hulayat yang masih ada, selanjutnya melakukan re-Tata Ruang terhadap tanah-tanah Adat atau tanah hulayat sehingga memiliki status yang jelas secara hukum. Sebab sampai saat ini tanah-tanah Adat tidak mendapat perhatian serius dari pihak hulayat itu sendiri, bahkan terkesan terjadi “pembiaran” sehingga siapapun dapat tergoda menguasai tanah-tanah tersebut. Upaya ini memiliki arti penting sebab dengan jelasnya status hukum tanah-tanah hulayat, maka usaha eksploitasi dari orang-orang bahkan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab dapat di minimalisir.
Point-point ini belum dilakukan secara signifikan selama ini, sehingga mengakibatkan situasi chaos di kalangan hulayat secara khusus di kalangan suku Tambee. Tidak ada kejelasan yang memberikan kepastian untuk melegitimasi sebuah perjuangan bahkan tuntutan memberi ruang berhasil. Menurut penulis, jika point-point tersebut di atas dilakukan secara intens, maka akan terjadi sebuah Transformasi yang cukup besar dan signifikan di lingkungan Internal Hulayat pribumi To Tambee. Transformasi ini pada gilirannya akan menjadi kekuatan besar secara eksternal dan dapat mengubah paradigma luar sekaligus kapitalis yang memandang To Tambee sebagai hulayat yang tidak memiliki power dan kemudian selanjutnya memandang To Tambee sebagai hulayat dan pribumi yang patut diperhitungkan untuk berhak mendapatkan hak-hak serta posisi yang semestinya.
Sebuah Thesis penting yang harus benar-benar perlu dipahami oleh hulayat pribumi suku Tambee adalah : “bahwa untuk membangun Power dalam melegitimasi sebuah konfesi atau pengakuan terhadap suku, pertama-tama yang harus dilakukan adalah membangun kekuatan hulayat secara internal. Sebab apabila kekuatan hulayat dibangun dengan bertitik tolak pada kekuatan eksternal, maka hulayat To Tambee akan rapuh, sebab di dalam dirinya sendiri tidak terdapat kekuatan apa-apa”. Kekuatan seperti ini bagaikan menembakan pelor kosong yang tidak membawa pengaruh pada sasaran tembak. Sebuah kekuatan yang hanya mengandalkan legitimasi eksternal maka itu akan menjadi bagaikan bom waktu, di mana pada satu saat kekuatan itu akan meledak dan hancur sama sekali dan pada gilirannya To Tambee dapat saja tidak berdaya sama sekali. Sangat realistis, bahwa kekuatan itu dalam keadaan rapuh, sebab semua kekuatan yang terletak pada cultur telah mengalami degadrasi bahkan yang tersisa hanya 0,1% dari totalitas nilai budaya yang seharusnya eksist.
Membangun kekuatan hulayat Tambee dengan hanya bersembunyi pada kekuatan kedatuan tentu tidak akan membawa pengaruh yang signifikan, sebab meskipun diakui bahwa kedatuan memiliki kekuatan dan legitimasi Feodalis, tetapi jika tidak didukung oleh kekuatan kontemporer masyarakat lokal secara internal, maka itu dapat diartikan sebagai sebuah tindakan pemaksaan terhadap kekuatan Feodalis untuk melindungi To Tambee, sementara To Tambee sendiri tidak pernah berupaya untuk memproteksi dirinya sendiri secara internal. Menurut hemat penulis, apapun yang dilakukan untuk memproteksi hulayat dengan mengandalkan kekuatan eksternal dalam rangka menjaga harkat dan martabat serta keajegan suku tetap akan berakhir pada kegagalan. Dengan rumus : 99% kekuatan secara internal ditambah 1% kekuatan eksternal, maka kemungkinan keajegan, harkat, kewibawaan dan otoritas Tambee dapat terpelihara dan tidak tergoyahkan meskipun oleh kekuatan Kapitalis. Dengan menggunakan rumus tersebut, maka dapat dipastikan pula bahwa ancaman marginalis dapat ditepis sehingga kaum pribumi tetap tidak bergeming menempati tanah-tanah yang telah dimilikinya sejak purbakala.
Pertanyaan sekarang adalah : “Siapa yang harus memulai membangun kekuatan internal seperti itu?” Jawabannya adalah generasi tua dan para tokoh-tokoh Adat. Golongan inilah yang harus melakukan start untuk menjadi contoh dan teladan dalam melakukan 6 point upaya membangun kekuatan internal ini. Jika 6 point tindakan ini dilakukan secara intens maka hukum keniscayaan tidak dapat terhindarkan, bahwa Niscaya Hulayat Pribumi To Tambee akan menemukan kembali 99,9% nilai-nilai cultural yang telah hilang. Artinya bahwa dengan ditemukannya kembali nilai-nilai cultural tersebut, maka To Tambee memiliki kekuatan yang tidak dapat digugat oleh siapapun, sebab kekuatan To Tambee tidak terletak pada angkatan perangnya, tetapi kekuatan itu terletak pada budayanya yang terpelihara. Keagungan suku terletak pada budayanya. Keajegan suku terletak pada seberapa besar fanatisme anggota suku tersebut dalam memelihara serta mempertahankan budayanya. Kehormatan suku terletak pada seberapa besar penganut suku tersebut menghormati budayanya sendiri. Kewibawaan suku terletak pada seberapa besar anggota suku tersebut peduli terhadap nilai-nilai budayanya. Jadi kesimpulannya adalah bahwa kekuatan To Tambee sebetulnya ada pada dirinya sendiri. Jika To Tambee mulai kehilangan percaya diri menghadapi gempuran modernisasi dan kapitalis, itu berarti To Tambee belum maksimal apalagi optimal dalam memanfaatkan potensi kekuatan budayanya sendiri. Tidak ada cara lain lakukan 6 Point di atas, maka Hulayat pribumi Tambee akan berkibar.
 
 
BAB III
NILAI-NILAI SOSIO-KULTURAL
 
 
A. KEHIDUPAN SOSIAL.
Kehidupan sosial yang dimaksudkan dalam sub topik ini adalah kehidupan masyarakat Kamunal Tambe’e dalam hubungan dengan orang lain secara intern yaitu kehidupan yang berkenaan dengan masyarakat Tambe’e itu sendiri. Sub Topik ini menguraikan tentang bagaimana komunitas Tambe’e menjalani serta melakonkan kehidupan berkaitan dengan orang lain, tentang persepsi-persepsi konseptual komunitas Tambe’e berkaitan dengan kehidupan bersama sebagai satu masyarakat Komunal.
1. Sistem Kekerabatan.
 
Sistem kekerabatan masyarakat Tambe’e menggunakan sistem kekerabatan Patrilinial yaitu garis keturunan diambil dari garis ayah atau garis keturunan ayah (Laki-laki). Sistem kekerabatan ini dapat dilihat dari penggunaan marga dikalangan masyarakat Tambe’e untuk semua keturunan. Ini menginspirasikan bahwa seorang anak Laki-laki dikalangan masyarakat suku Tambe’e sangat memegang peranan penting, karena dianggap sebagai penerus garis keturunan. Tetapi dalam praktek perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan di kalangan suku Tambe’e tidak terdapat perbedaan. Artinya, baik laki-laki maupun perempuan mendapat perlakuan yang sama tanpa diskriminasi. Dalam hal hak warisan, baik laki-laki dan perempuan mendapat bagian dan perlakuan yang sama.
Realitas ini mengindikasikan bahwa Garis Patrilinial yang dianut dikalangan masyarakat suku Tambe’e hanya menekankan pada penggunaan Marga di mana yang dipakai secara luas adalah nama Marga dari pihak laki-laki, sementara perlakuan dalam kehidupan praktis terhadap laki-laki dan perempuan pada realitasnya ternyata tidak bersifat diskriminatif.
 
2. Hukum Kemasyarakatan (Adat)
 
Hukum kemasyarakatan adalah alat control sosial atau alat control dalam hubungan inter dan antar manusia dalam satu komunitas. Kehidupan sosial adalah element dari kebudayaan yang memiliki ciri-ciri umum. Jika dilihat dari sudut persekutuan hidup berkaitan dengan orang lain sebagai makhluk sosial, ciri-ciri masyarakat sosial-budaya adalah :
 
 Anggota-anggota Persekutuan hidup atau komunitas itu, satu sama lainnya terikat oleh hubungan kekerabatan yang sangat luas.
 Persekutuan hidup bersama dipandang lebih penting dari pada Individu yang adalah anggota persekutuan yang biasa dikenal dengan istilah masyarakat Komunalistik.
 Semangat persekutuan dibangun oleh semacam kesetiaan yang berpangkal pada cikal-bakal, peletak dasar awal dari persekutuan tesebut.
Bagaimana ciri-ciri masyarakat sosial dan berbudaya ini harus terus terpelihara sehingga tercipta suatu keseimbangan dan ketertiban, maka hukum kemasyarakatan secara mutlak sangat dibutuhkan. Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa suatu kehidupan bersama sebagai makhluk sosial merupakan satu kehidupan yang mencakup semua hal. Sesuatu aspek dari kehidupan pribadi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang lain. Satu totalitas yang sedemikian terpadunya, sehingga setiap Individu harus larut, berasimilasi di dalam totalitas tersebut sebagai kodratnya. Dalam lingkungan sosial harus terus terjadi keseimbangan atau Euklibrium sehingga perjalanan dan perilaku sosial berjalan sebagaimana mesti dan hakekatnya. Untuk tiba pada tatanan kehidupan sosial yang berjalan secara substansial, maka sangat dibutuhkan hukum yang mengaturnya.
Hukum yang dimaksud kemungkinan tertulis dan ada juga kemungkinan bahwa hukum kemasyarakatan itu tidak berupa hukum tertulis namun diakui, diterima dan ditaati oleh persekutuan komunalitas dalam rangka mencapai ketertiban dunia Mikro.
Pada zaman dahulu, Di kalangan komunalitas Tambe’e, hukum kemasyarakatan tidak tertulis, tetapi berlaku secara turun temurun. Pemberlakuan hukum kemasyarakatan orang Tambe’e dapat dipresentasikan demikian : Seorang manusia lahir dalam keluarga, Pertama-tama momentum ini akan menjadi urusan keluarga besar, yakni dalam penerimaannya sebagai pendatang baru dalam persekutuan komunalitas suku Tambe’e. Berbagai upacara dilaksanakan untuk menerima dan menyambut presensinya. Upacara-upacara tersebut bagaikan pernyataan dari kaum kerabat yang luas itu tentang telah berlangsungnya sebuah kehidupan sesuai dengan tata tertib yang dikehendaki oleh aturan kehidupan yang diwarisi dari leluhur, cikal-bakal peletak awal persekutuan beserta dengan pranata-pranata yang terdapat di dalam kehidupan dan tata tertib komunitas Tambe’e. Dalam upacara-upacara yang dilakukan terhadap manusia baru dilingkungan komunitas Tambe’e tersirat sebuah pesan bahwa pelanjut keluarga besar telah hadir untuk menghidupi masa depan komunitas. Masa depan yang diharapkan adalah masa depan yang menggambarkan kesesuaian kehidupan mendatang seperti apa yang telah diletakkan oleh leluhur yaitu ketertiban, keseimbangan dan bukan kehidupan yang kaos. Sejak manusia baru lahir, ia dimasukkan ke dalam kehidupan yang menuntunnya melakukan segala sesuatu menurut pola yang sudah tersedia dan telah dilakukan sebelumnya. Setiap pendatang baru yaitu manusia yang lahir dari kalangan persekutuan komunalitas Tambe’e berkewajiban secara luhur mengikuti tata-kelakuan atau tata laksana kehidupan yang sudah ditentukan oleh leluhur dengan sebaik-baiknya dan secermat mungkin. Semakin cermat seseorang dalam melakukan hukum ini, maka semakin terpuji dan ia akan menjadi orang terpandang di tengah lingkungan persekutuan komunalitas. Ia akan diterima dan diakui sepenuhnya sebagai orang beradab di dalam lingkungannya.
Selanjutnya, penyimpangan-penyimpangan dari tata hukum kemasyarakatan yang telah berlaku dan berlangsung, itu dianggap sebagai satu pelanggaran yang harus dihukum dengan keras oleh segenap anggota persekutuan komunalitas Tambe’e. Karena itu substansinya dikalangan masyarakat Tambe’e, diakui sebuah kenyataan bahwa seseorang yang paling banyak pengetahuannya tentang tata-cara memperlakukan sesuatu yang baik dalam kehidupan, maka ia dipandang sebagai orang yang berilmu, orang bijaksana yang patut menjadi panutan dalam kehidupan bersama di tengah-tengah komunitas masyarakat Tambe’e. Terutama seorang pemimpin selalu dipandang sebagai Father atau bapak dari semua hukum kemasyarakatan yang berlaku. Sekali lagi hukum kemasyarakatan ini tidak tertulis, tetapi diterima, diakui dan dijalankan secara turun-temurun.
Dikalangan orang-orang Tambe’e terutama pada era modernisasi ini model dan bentuk hukum tidak tertulis ini telah mengalami sebagian perubahan, di mana sebagian hukum kemasyarakatan sudah merupakan ketentuan hukum tertulis. Di mana dalam hukum kemasyarakatan itu diatur berbagai ketentuan yang bertujuan menciptakan ketertiban di dalam masyarakat komunalitas Tambe’e. Sama seperti hukum kemasyarakatan yang tidak tertulis, maka pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut dianggap sebagai dosa atau sebuah pelanggaran yang harus diberikan hukuman secara keras.
Beberapa hal penting dalam kehidupan masyarakat komunalitas Tambe’e yang dianggap sebagai pelanggaran besar dan harus dikenakan sanksi antara lain :
1. Perzinahan.
2. Pencurian.
3. Salah berbicara dan tidak menggunakan etiket berbicara yang benar kepada orang yang lebih tua, salah bicara dengan orang-orang yang dihormati di tengah-tengah masyarakat. Salah menuduh orang dan sebagainya yang berkaitan dengan kata-kata lisan yang diucapkan.
4. Salah Tangan. Adalah pelanggaran yang disebabkan tidak mempergunakan tangan sesuai dengan substansi fungsinya misalnya memukul orang yang tidak bersalah, menjamah isteri orang lain dan sebagainya.
5. Salah kaki.
6. Salah Mendepa.
Dikalangan masyarakat Tambe’e, rumah merupakan tempat terhormat bahkan dianggap sebagai istana di mana anggota-anggota keluarga yang ada di dalamnya adalah penguasa yang harus dihormati dan dihargai. Siapapun yang datang berkunjung ke rumah orang lain, maka ia harus mempergunakan etiket yang benar sesuai dengan ketentuan hukum kemasyarakatan yang berlaku. Mendepakan tangan dipintu rumah orang yang dikunjungi adalah salah satu tindakan dan perbuatan yang sangat tabu. Tindakan ini sangat melanggar tata kesopanan bertamu, sebab dengan mendepakan tangan di depan pintu rumah orang yang dikunjungi mengandung konotasi yang sangat negative. Orang yang melakukan tindakan tersebut dapat diasumsikan sebagai orang yang mau mencari perkara dan juga dapat diasumsikan menantang orang yang dikunjungi. 6 (Enam) Item yang disebutkan di atas merupakan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum kemasyarakatan. Tindakan-tindakan yang melanggar ini dapat menimbulkan ketidakseimbangan di dalam masyarakat, bahkan lebih jauh lagi bahwa tindakan-tindakan ini tidak sesuai dengan pranata budaya yang diturunkan oleh leluhur.
Disamping itu, kehidupan susila juga merupakan satu element yang teramat penting dalam masyarakat Tambe’e. Pelanggaran-pelanggaran kesusilaan seperti perzinahan, hamil di luar nikah dan tindakan lain yang terkait dengan itu merupakan tindakan yang diyakini sangat tabu serta sangat mengganggu keseimbangan hubungan dunia Mikro dan dunia Makro. Oleh karena itu setiap pelanggaran kesusilaan akan senantiasa mendapatkan ganjaran yang sangat keras melebihi ganjaran bagi kesalahan-kesalahan lain yang terjadi di dalam lingkungan masyarakat Tambe’e. Orang yang melakukan kesalahan atau pelanggaran-pelanggaran kesusilaan dianggap sebagai “Mewawo Woa” atau membawa sumber bencana yang Mona’a Woa atau mengakibatkan semua usaha persekutuan komunalitas menjadi gagal. Oleh karena itu ganjaran yang diberikan sangat berat yaitu pelaku digulung dengan ubin bambu, diikat lalu ditenggelamkan ke dalam air dengan sebungkah batu sampai mati. Peristiwa eksekusi seperti ini pernah dilakukan disekitar Ta’oea zaman dahulu yang sampai sekarang peristiwa tersebut masih diketahui oleh orang-orang Tambe’e yang mengingatkan betapa kerasnya hukuman yang pernah dilakukan leluhur mereka terhadap orang yang melakukan pelanggaran asusila.
Hukum kemasyarakatan bagi orang Tambe’e adalah proses dari sebuah praktek keseimbangan di mana semua unsur dan makhluk yang hidup di muka bumi memiliki hak yang sama dan terdapat relasi antara satu dengan lainnya. Orang-orang Tambe’e menganggap bahwa hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam serta manusia dengan yang ilahi bukanlah hubungan yang saling mendominasi, tetapi merupakan suatu siklus hubungan yang masing-masing telah tertata secara teratur serta memiliki hak-hak dan tanggung jawab masing-masing yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya sehingga tercipta satu keseimbangan.
Dengan demikian, pemberlakuan hukum kemasyarakatan (Adat) secara komunalitas bukanlah sesuatu yang diciptakan untuk memberatkan orang lain. Hukum kemasyarakatan (Adat) ditegakkan untuk menjalankan keseimbangan antara hak dan tanggung jawab seperti yang disebutkan tersebut. Apabila sanksi adat dijatuhkan kepada seseorang yang melanggar keseimbangan tersebut, maka hakekatnya bahwa sanksi tersebut adalah pengembalian hak atas pihak yang telah dirampas haknya, sementara itu bagi yang terkena sanksi Adat akan kembali mendapat hak-haknya di dalam masyarakat, sama seperti orang lain yang tidak melanggar Adat atau Hukum kemasyarakatan.
 
3. Sistem Pertanian.
 
Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa masyarakat suku Tambe’e pada awalnya adalah masyarakat semi-Nomaden, yang kadang-kadang sesuai dengan keadaan dan oleh kebutuhan ekonomi dan kegemaran mencari daerah baru, maka masyarakat ini suka hidup berpindah-pindah. Ciri masyarakat semi-Nomaden dari masyarakat ini juga menggambarkan tentang system pertanian yang dikenal oleh masyarakat suku Tambe’e.
Pada masa hidup berpindah-pindah, masyarakat melakukan usaha di bidang pertanian dengan cara merambah hutan. Sejak zaman dahulu Masyarakat suku Tambe’e sudah terbiasa hidup dari bercocok tanam. Jenis tanaman yang sejak dahulu ditanam oleh masyarakat ini adalah tanaman Padi kebun (Gaga). Selain itu ditanam pula tanaman Palawija lain seperti jagung. Sistem ini tidak membutuhkan sebuah organisasi pertanian seperti Subak di Bali yang bertugas mengurusi pengairan Masyarakat. Masyarakat suku Tambe’e hanya mengharapkan curah hujan yang akan mengairi ladang-ladang padi mereka tanpa irigasi dan pengurus organisasi pengairan yang patent. Sistem pengerjaan ladang-ladang ini dilakukan secara bergotong-royong secara bergiliran dari satu keluarga ke keluarga yang lain sampai semua masyarakat selesai mengerjakan ladang-ladang padi mereka. Sistem bergotong Royong seperti ini dikenal dalam masyarakat suku Tambe’e dengan sebutan Melu-Luu.
Seiring dengan perkembangan zaman, system pertanian seperti itu mulai ditinggalkan oleh masyarakat suku Tambe’e. Sistem ini diganti dengan system pertanian yang lebih menetap yakni bertani padi sawah dengan menggunakan irigasi yang masih tradisional. Demikian juga pada bidang perkebunan, bahwa masyarakat suku Tambe’e telah belajar bahkan telah terbiasa menanam tanaman komoditi seperti Kakao, Fanili dan sebagainya.
 
B. NILAI-NILAI KULTURAL
 
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kultur diartikan sebagai cara pemeliharaan; pembudidayaan, sedangkan Kultural diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan.
Mac Iver lebih suka membedakan Kultural dalam dua Kategori yaitu antara Utilitarian Elements dan Cultur Elements. Hal ini didasarkan pada kepentingan manusia yang bersifat Primer dan Sekunder. Berdasarkan pandangan ini, maka semua bentuk kegiatan dan ciptaan manusia diklarifikasikan ke dalam kedua kategori tersebut di atas. Hal-hal yang dilakukan oleh manusia untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya baik yang berupa peralatan-peralatan, semua Mekanisme serta organisasi yang dibuat manusia dalam usaha-usahanya untuk menguasai kondisi-kondisi kehidupan termasuk di dalamnya organisasi sosial, tekhnik dan alat-alat materi semuanya dikategorikan ke dalam Utilitarian Elements atau yang berkaitan dengan kebutuhan manusia dalam berbudaya.
Sedangkan Cultur Elements menurut Mac Iver adalah semua bentuk ekspresi dari jiwa yang terwujud dalam cara-cara hidup dan berpikir, pergaulan hidup, seni kesusasteraan, agama, rekreasi dan hiburan, semuanya dikategorikan sebagai Cultur Element. Mengambil essensi pandangan-pandangan tersebut di atas, maka orientasi gambaran tentang kehidupan Kultural dalam sub topic ini sangat berkaitan dengan maksud pandangan para sosiolog-antropolog tersebut.
 
1. Sistem Perkawinan.
 
a. Bentuk Perkawinan Lazim.
 
Seremoni perkawinan di kalangan masyarakat Tambe’e dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum adat yang berlaku. Ketentuan Hukum adat Perkawinan ini telah berlaku sejak zaman dahulu dan diakui serta diterima secara baik oleh penganut suku Tambe’e. Realitas ini merepresentasikan bahwa masyarakat Tambe’e memberikan tempat yang sangat penting bagi soal-soal perkawinan. Bagaimana perkawinan di kalangan masyarakat ini diatur secara sistematis dalam ketentuan Adat memperlihatkan bagaimana Visi masyarakat Tambe’e tentang lembaga keluarga yang diatur melalui satu proses perkawinan yang sah menurut hukum Adat. Perkawinan yang diatur sedemikian rupa ini menggambarkan substansi yang bertujuan baik dan mulia dari sebuah lembaga perkawinan dan bagaimana satu lembaga perkawinan diakui keabsahannya di dalam lingkungan masyarakat Tambe’e, sehingga bagi setiap penganut suku yang melanggar ketentuan ini akan menerima sanksi yang juga diatur sesuai dengan hukum adat Tambe’e.
Proses Perkawinan lazim di kalangan masyarakat Tambe’e dilakukan melalui proses dan tahapan sebagai berikut.
1. Melalui Bonto, Pihak keluarga laki-laki menyampaikan kepada pihak keluarga perempuan bahwa anak gadisnya akan dipinang dan dipersunting. Dahulu cara menyampaikan perihal ini dilakukan dengan memainkan alat musik dengan mempergunakan lagu-lagu yang bernada pantun. Tetapi dalam konteks sekarang, Bonto langsung kepada pihak keluarga perempuan untuk menyampaikan secara lisan tentang maksud keluarga pihak laki-laki terhadap pihak keluarga perempuan.
2. Selanjutnya Bonto mendengar dan menerima jawaban kepastian dari pihak keluarga perempuan apakah ia diperkenankan untuk masuk ke Rumah pihak keluarga pihak perempuan untuk menyampaikan maksud kedatangannya tersebut. Jika diperkenankan masuk, maka saat itu juga Bonto akan mendengar dan menerima jawaban dari pihak keluarga perempuan yang selanjutnya disampaikan kembali kepada keluarga pihak laki-laki.
3. Jika pihak Keluarga perempuan menerima, maka perihal tersebut disampaikan kepada keluarga pihak laki-laki bahwa lamaran mereka telah diterima secara baik oleh pihak keluarga perempuan, sekaligus waktu pertunangan secara Adat juga sudah ditentukan.
4. Setelah Tahapan ke-3 ini selesai, maka pihak keluarga Laki-laki mempersiapkan materi-materi yang menjadi ketentuan isi dalam seremoni pertunangan. Materi yang dipersiapkan antara lain : 1 buah Sapu tangan atau Aaso Lenso (Versi Tambe’e Lanumor), Mala-mala Aaso atau 1 buah Gelang, Sinsi Aaso atau 1 buah cincin dan Nganti-nganti Aaso atau 1 Pasang anting-anting. Semua materi ini diserahkan pihak laki-laki kepada pihak perempuan pada acara pertunangan. Konversi ini disaksikan oleh seluruh penganut adat suku Tambe’e yang juga berfungsi sebagai alat control sosial bagi diri mereka sendiri terutama kedua calon mempelai yang sudah dipertunangkan secara hukum adat. Semua materi yang sudah diserahkan kepada perempuan merupakan symbol ikatan laki-laki terhadap perempuan yang bersangkutan bahwa perempuan tersebut adalah calon isterinya yang sah secara hukum Adat. Acara seremonial ini disentralisir oleh Majelis Adat yang memiliki kompetensi dan diberikan kepercayaan oleh penganut adat untuk melaksanakan tanggung jawab cultural ini. Semua bentuk hukum perkawinan Adat ini diterima dan diakui legalitas dan keabsahannya oleh masyarakat suku Tambe’e. Ini juga mengandung pengertian bahwa siapa yang melanggar ketentuan pertunangan ini akan menerima sanksi adat sesuai dengan hukum Adat yang berlaku. Di kalangan masyarakat suku Tambe’e dikenal hukum adat tentang Sanksi terhadap Ikatan pertunangan yang disebut dengan PONSURU GAUNO PESAMBORA’A. Bagi kedua calon mempelai yang melanggar aturan-aturan pertunangan yang sudah ditetapkan dan disaksikan oleh penganut adat maka masing-masing dikenakan sanksi sesuai ketentuan Adat sebagai berikut :
 Apabila yang melanggar ketentuan dan ikatan pertunangan adalah laki-laki, maka mahar atau materi pengikat pertunangan tidak dikembalikan, tetapi pihak laki-laki yang melanggar ketentuan pertunangan dikenakan sanksi berupa denda 1 ekor kerbau.
 Apabila yang melanggar ketentuan dan ikatan pertunangan adalah perempuan, maka mahar atau semua materi pengikat pertunangan yang sudah diterima oleh perempuan pada saat pertunangan dilaksanakan harus dikembalikan kepada pihak laki-laki dan selanjutnya perempuan yang melanggar ikatan tersebut dikenakan sanksi berupa denda 1 ekor kerbau.
5. Jika tahapan 1-4 telah dilaksanakan sesuai ketentuan hukum adat, maka tahap selanjutnya adalah pelaksanaan perkawinan yang dalam bahasa Tambe’e disebut PERAMPUA. Pada pelaksanaan Acara perkawinan, pihak laki-laki harus mempersiapkan beberapa materi sebagai ketentuan yaitu :
 Materi yang diberikan kepada Ibu calon isteri yang disebut dengan TIA INE yaitu berupa Aso Tawangkue atau 1 Lembar tudung kepala, Aso Lemba atau 1 Lembar Baju dan Aso Hawu atau 1 Lembar kain Sarung. Semua Materi ini diserahkan dan dibungkus dengan 1 M kain putih.
 Materi yang diberikan kepada Bapak dari calon isteri yang disebut dengan TIA UMA yaitu berupa Aso Pasapu atau 1 Lembar ikat kepala, Aso saluarano atau 1 Lembar celana dan Aso Hawu atau 1 Lembar kain Sarung. Semua Materi ini diserahkan dan dibungkus dengan 1 M kain putih.
 Materi yang diberikan kepada calon isteri yang disebut TIA EROWAI ATAU TIA NGKOROI yaitu berupa Aso Pasa Lemba atau 1 Pasang baju, ditambah dengan materi yang dapat diberikan oleh laki-laki kepada calon isteri sesuai dengan tingkat kesanggupan yang dimiliki oleh laki-laki. Semua materi yang diberikan ini dibungkus dengan kain berwarna putih berukuran 1 M. Dalam proses perkawinan Adat Tambe’e, terdapat ikrar yang harus disampaikan oleh kedua mempelai bahwa mereka akan hidup setia dan memelihara ikatan perkawinan sampai mati.
b. Bentuk Perkawinan Lain.
 
• Perkawinan Ganti Tikar.
Perkawinan bentuk ini adalah perkawinan yang dilakukan oleh sebab kematian. Misalnya seorang suami dari seorang istri memiliki saudara laki-laki baik kakak maupun adik. Apabila suami dari perempuan mangkat atau meninggal dunia, maka posisi suami yang meninggal tersebut akan digantikan oleh kakak atau adik dari orang yang mangkat atau meninggal dunia tersebut. Untuk ini dilaksanakan upacara perkawinan sesuai dengan hukum Adat.
• Perkawinan Menurut Kemauan Orang Tua.
Perkawinan jenis ini adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut kemauan orang tua, di mana seorang laki-laki atau perempuan dijodohkan oleh orang tua. Perkawinan seperti ini juga dilakukan sesuai dengan ketentuan Adat yang berlaku.
 
• Perkawinan Dengan Janda atau Duda.
Perkawinan jenis ini juga kerap dilakukan dalam lingkungan masyarakat Ethnis Tambe’e. Jika seorang suami atau isteri yang pasangan hidupnya meninggal dunia, maka mereka diperkenankan untuk melakukan perkawinan kembali untuk menggantikan posisi suami atau isteri yang sudah meninggal. Upacara perkawinan jenis ini dilakukan sesuai dengan hokum Adat yang berlaku di kalangan suku Tambe’e yaitu seorang Janda atau Duda yang hendak kawin kembali maka itu harus dilakukan satu tahun setelah kematian dan makam almarhum suami atau isteri telah dibangun dengan baik. Mempelajari budaya perkawinan Ethnis Tambe’e ini, kita memperoleh gambaran tentang betapa tertibnya tatanan suatu lembaga Perkawinan, sekaligus menggambarkan bahwa suatu lembaga perkawinan sangat dijunjung tinggi serta dihormati oleh orang-orang Tambe’e.
Berkaitan dengan sedikit perbedaan yang terdapat dalam hukum perkawinan Adat Tambe’e Landangi dan Tambe’e di Lanumor sebetulnya itu sangat disebabkan oleh satu hal penting yang tidak dapat diabaikan bahwa kecenderungan terjadinya perubahan-perubahan sosial merupakan suatu gejala yang wajar secara Sosiologis-Antropologi, sebab perubahan-perubahan tersebut timbul dari pergaulan hidup manusia yang bersifat Dinamis. Ada bermacam-macam kondisi Primer yang menyebabkan terjadinya sebuah perubahan yang membawa perbedaan bentuk. Kondisi-kondisi tersebut misalnya kondisi ekonomis, tekhnologis, geografis dan biologis yang menyebabkan perobahan itu terjadi. Pada gilirannya maka perubahan-perubahan sesuai konteks tersebut menyebabkan perbedaan dalam bentuk hukum perkawinan orang-orang Tambe’e di Landangi dan Lanumor. Menurut penulis perbedaan tersebut tidak perlu menjadi pokok pertentangan, sebab secara substansial maksud dari perkawinan menurut hukum adat Tambe’e itu sendiri tidak pernah mengalami perubahan yang signifikan. Oleh karena itu, yang terpenting bagi orang Tambe adalah lingkaran terjadinya gejala-gejala sosial harus dipelajari secara teliti dalam pandangan moderat dan bukan dari sudut pandang konservatif. Karena dengan jalan demikian barulah akan diperoleh satu generalisasi di mana perubahan yang menyebabkan perbedaan bentuk tetapi tidak menghilangkan essensi substansial memang merupakan sebuah konsekwensi logis dari kehidupan manusia yang bersifat Dinamis. Sekali lagi sifat manusia yang berbudaya tidak statis, tetapi selalu mengalami perubahan sesuai dengan daya kreasi yang dimiliki serta faktor Empirik yang mempengaruhinya.
 
2. Agama.
 
Jika ditinjau dari sudut pandang nilai-nilai, maka cultural atau kebudayaan memiliki 2 (Dua) cakupan nilai penting di dalamnya yang tidak dapat terpisah satu dengan yang lain yaitu :
 Nilai kegamaan atau Religiositas, merupakan nilai tertinggi yang sangat dihormati dan dihargai oleh setiap persekutuan komunalitas.
 Nilai-nilai Religiositas yang terpusat pada persekutuan sebagai manifestasi keluhuran dari apa yang dipercayai sebagai maha pencipta atau awal dari segala kejadian atau yang biasa juga dikenal dan disebut dengan istilah Causa Prima.
Penghargaan terhadap Religiositas pada semua lintas budaya masyarakat sangat dilatarbelakangi oleh kebutuhan mendasar (Basic Need) dalam kehidupan umat manusia yang memiliki nilai-nilai cultural itu. Religiositas menempati posisi tertinggi dalam meraih penghargaan disebabkan oleh karena nilai-nilai Religiositas memberikan dukungan besar bagi umat manusia dalam semua lintas budaya. Dalam Religiositas, setiap manusia beradab menemukan rasa aman dari setiap ancaman yang mengancam eksistensi dirinya. Setiap saat manusia merasa terancam oleh kekuatan-kekuatan supranatural yang ada di luar dirinya. Oleh karena itu manusia membutuhkan alat proteksi diri yang ampuh untuk dapat menangkal, menyelamatkan dan membebaskannya dari segala macam bentuk ancaman. Basic Need atau kebutuhan mendasar ini dapat ditemukan dalam Religiositas. Dalam Religiositas tersedia hal-hal yang dibutuhkan dalam menciptakan rasa aman. Di sana terdapat nilai-nilai ketertiban yang dapat dipegang, juga terdapat tumpuan harapan yang paling besar serta primer yakni unsur keilahian yang Maha kuat. Dalam Religiositas terdapat juga spiritualitas baru dalam menghadapi serta menjalani proses kehidupan di dunia Mikro yang penuh dengan kefatalan, sehingga dengan spiritualitas ini ketidakberdayaan dan ketiadaan pengharapan berubah menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda dan menjadikan manusia menemukan harapan baru dengan rasa aman. Pada segi inilah Religiositas tidak dapat diabaikan sehingga dalam lingkungan komunalitas masyarakat yang paling primitive sekalipun memberikan penghargaan yang tiada terhingga terhadap Religiositas.
Untuk tiba pada situasi rasa terselamatkan dan penyatuan secara mistis dengan apa yang ditemukan dalam Religiositas, maka perlu adanya persekutuan komunikatif dengan yang ilahi secara Vertical, Sehingga dengan demikian terjadi hubungan sebab akibat yang aktif antara manusia dengan yang Ilahi, di mana manusia menyembah, meminta, memohon dan mengharapkan sedangkan sikap manusia tersebut menyebabkan yang Ilahi bertindak pula secara aktif memberikan rasa aman yang dibutuhkan oleh penyembahNya. Disamping hal tersebut, yang Ilahi yang ditemukan dalam Religiositas juga dipercayai sebagai Causa Prima atau penyebab dari segala sesuatu yang ada yakni alam semesta sebagai dunia Mikro dan Ia juga adalah penyebab dari segala sesuatu yang ada dalam tataran dunia Makro. Realitas ini menimbulkan sikap hormat, sikap sembah di mana di dalam semua sikap yang dimanifestasikan itu terdapat rasa Syukur. Demikianlah relasi yang tidak terpisahkan antara nilai Religiositas dengan Essensi yang terdapat dalam Religiositas yakni sang Ilahi, sang Causa Prima.
Disamping itu, berkaitan dengan Item ke-2 dari nilai-nilai budaya yang disebutkan di atas, selain persekutuan yang bersifat Vertikal yakni hubungan atas-bawah antara yang Ilahi dan manusia, hubungan Horizontal juga memegang peranan penting. Hubungan Horizontal adalah manifestasi-presentatif dari hubungan Vertical sebagai yang utama. Yang Ilahi menuntut kesamaan persepsi dari penyembahNya dalam memanifestasikan sikap sembahnya. Untuk dapat terjadi hubungan yang baik secara Vertical, maka hubungan Horizontal antar sesama penyembah harus berjalan baik dan seimbang, sebab dunia Mikro atau dunia manusia adalah representasi dari dunia atas, dunia Makro tempat yang Ilahi berada. Dalam dunia Makro terdapat essensi ketertiban sempurna dan keseimbangan yang hakiki. Oleh karena itu, ketertiban yang hakiki itu harus dapat dimanifestasikan di dunia Mikro tempat di mana manusia berada. Ketertiban yang hakiki ini dapat terjadi melalui Relasi dan Persekutuan yang baik secara Horizontal Inter dan Antar manusia. Relasi yang baik secara Horizontal akan menimbulkan kesamaan Persepsi dalam memanifestasikan sikap sembah secara komunalitas terhadap yang Ilahi. Keseimbangan relasi Persekutuan Horizontal di dunia Mikro menjadikan Relasi yang tidak Hypocrite atau munafik dengan dunia Makro yang pada finalnya akan menimbulkan rasa aman, rasa diselamatkan, rasa keberkatan yang datangnya dari dunia Makro yakni dari yang Ilahi itu. Demikianlah Filosofi pandangan tentang agama-agama Primitive pada umumnya.
Orang-orang Tambe’e secara Substansial percaya bahwa dunia Mikro tempat mereka berada adalah Representasi atau gambaran dari dunia Makro. Tetapi sesuatu yang berbeda dengan dunia Makro adalah bahwa dalam dunia Mikro banyak ancaman, penuh dengan kefatalan yang dapat merusak bahkan menghancurkan kehidupan Individu maupun kehidupan bersama secara komunalitas. Dalam persepsi ini Nilai-nilai Keagamaan atau Religiositas sangat memegang peranan penting dan diberikan penghargaan yang sangat besar dan tinggi. Di tengah berbagai ancaman, orang-orang Tambe’e membutuhkan rasa aman, tenteram, damai dan membutuhkan rasa diselamatkan. Orang Tambe’e menyadari sepenuhnya bahwa semua tingkat kebutuhan ptotektif ini dapat ditemukan dalam konsep Nilai-nilai keagamaan yang disebut Religiositas. Orang Tambe’e percaya bahwa yang dapat menyelamatkannya dari segala bentuk ancaman yang dialami dalam dunia Mikro hanyalah yang Ilahi yakni satu kekuatan Supranatural dari dunia Makro yang dapat mengalahkan semua kekuatan lain yang ada disekitarnya. Dalam konteks ini, orang Tambe’e menyerahkan hidup sepenuhnya kepada kekuatan Ilahi yang mereka sebut dengan LAHU MOA.
LAHU MOA dipandang sebagai sosok Ilahi melebihi semua kuasa yang setiap saat mengancam kehidupan orang Tambe’e secara Komunalitas. Lahu Moa menempati dunia atas bukan saja sebagai penguasa dunia Makro tetapi Lahu Moa sekaligus juga dipercayai sebagai penguasa dunia Mikro tempat di mana manusia berada. Lahu Moa sekaligus dipercayai sebagai Causa Prima atau awal dan penyebab dari segala sesuatu yang ada. Kesadaran ini menimbulkan sikap sembah, sikap hormat tunduk dan taat kepada Lahu Moa yang dimanifestasikan dalam perilaku keagamaan. Realitas ini juga menggambarkan tentang adanya hubungan Vertical antara dunia Bawah dan dunia Atas.
Sebagaimana adanya konsep keseimbangan dan ketertiban yang essensial dalam dunia Makro, orang Tambe’e juga percaya bahwa konsep tersebut harus terjadi dalam dunia Mikro. Sebab tanpa adanya keseimbangan dan ketertiban dalam dunia Mikro, maka untuk dapat berhubungan dengan dunia Makro sebagai essensi ketertiban dan keseimbangan akan menjadi seuatu yang mushkyl terjadi, dengan perkataan lain, bahwa untuk dapat melakukan persekutuan yang baik dengan Lahu Moa penguasa dunia atas, maka ketertiban dan keseimbangan persekutuan Horizontal Komunalitas harus terjadi. Untuk menciptakan ketertiban dan keseimbangan tersebut, setiap orang harus menghindarkan diri dari hal-hal yang bersifat tabu, sebab jika terjadi pelanggaran maka keseimbangan dan ketertiban dunia Mikro akan rusak, di mana secara otomatis keseimbangan hubungan Vertical dengan dunia Makro (Dunia atas) juga akan mengalami kerusakan. Realitas ini bukan saja berakibat pada tidak eksistnya rasa aman, tetapi lebih dari itu anggota masyarakat secara Individu maupun secara Komunalitas akan mengalami bencana atau malapetaka sebagai bentuk hukuman langsung dari Lahu Moa. Oleh karena itu, persoalan Religiositas di kalangan Komunitas orang Tambe’e bukan saja berorientasi pada persoalan Individu, tetapi Perilaku yang berkaitan dengan Religiositas adalah persoalan bersama secara Komunal.
Meskipun kepercayaan orang-orang Tambe’e termasuk kategori dalam kepercayaan Primitive, tetapi dalam Implementasi sikap sembah dan tata laksana penyembahan secara konseptual terhadap Lahu Moa yang dianggap sebagai kekuatan Ilahi, Supranatural dan sebagai Causa Prima, maka kepercayaan ini dapat dikategorikan sebagai Agama, yaitu agama yang menyembah Lahu Moa. Statement ini didukung oleh pengertian tentang agama yang diartikan sebagai kepercayaan kepada Tuhan, Dewa dan sebagainya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Demikianlah substansi pemahaman orang Tambe’e tentang dunia Makro dan Mikro dan tentang keilahian yang dimanifestasikan dalam perilaku keagamaan. Sekali lagi elemen budaya ini menempati posisi yang paling penting dalam kehidupan Komunalitas suku Tambe’e.
 
4. Konsep Tentang Kematian.
 
Konsep tentang kematian dalam persepsi orang-orang yang beragama primitive bukanlah suatu batas akhir dari sebuah kehidupan, melainkan kematian dipahami sebagai peralihan. Peralihan ini dapat dimetaforakan seperti semacam peralihan dari masa kanak-kanak ke masa Remaja.
Sebagai salah satu komunitas penganut agama kafir pada masa lalu, konsep tentang kematian juga dipahami sebagai sebuah transisi atau peralihan. Sebagaimana sudah dijelaskan dalam Religiositas orang-orang Tambe’e bahwa mereka percaya bahwa dunia Makro adalah dunia essensi dari ketertiban dan keseimbangan yang hakiki, di dunia Makro adalah tempat Keilahian itu berada. Meskipun orang Tambe’e juga memahami bahwa dunia Mikro adalah representasi dari dunia Makro, tetapi dalam banyak hal, ternyata orang Tambe’e juga melakukan pembedaan yang tajam antara dunia Makro dan dunia Mikro tersebut. Pada satu sisi dunia Mikro adalah gambaran dunia Makro, tetapi pada sisi lain dunia Mikro adalah dunia yang kaos dan penuh dengan ancaman. Jika dalam Religiositas yang terimplementasi dalam sikap sembah terhadap yang Ilahi penguasa dunia Makro membawa mereka pada satu rasa aman, terselamatkan dan terlindungi, rasa itu hanya bersifat sementara, sedangkan rasa aman yang sejati dan hakiki hanya terdapat di dunia Makro. Setiap orang menghendaki untuk meraih rasa aman sejati tersebut dan ini hanya dapat terjadi melalui kematian, sehingga dengan jalan kematian tersebut ia akan mengalami persekutuan bahkan dapat berasimilasi dengan yang ilahi. Oleh karena itu, kematian dalam konsep orang Tambe’e dipahami sebagai satu peralihan dari dunia Mikro ke dunia Makro di mana selanjutnya terjadi kontinuitas kehidupan yang benar-benar tertib dan seimbang, aman dan keselamatan sejati yang dialami di dunia Makro.
Oleh karena itu upacara-upacara terhadap orang mati juga harus dipandang sebagai upacara-upacara peralihan. Di dalam dunia agama Primitif, penguburan dipahami tidak lebih dari pada pembaharuan hidup. Hal yang penting juga ialah bahwa kematian bukanlah suatu hal yang definitive, melainkan sebuah metafora tentang kelahiran di mana proses tersebut dapat dipercepat atau ditangguhkan. Dalam pengertian ini, orang Tambe’e memiliki pandangan tentang penguburan yang ditangguhkan. Mayat disimpan untuk beberapa waktu lamanya pada satu tempat yang disebut TOMBEA yaitu semacam rumah-rumah kecil yang dibangun secara khusus. Mayat orang mati tersebut disimpan sampai yang tertinggal hanya tulang-tulang. Penguburan mayat dilakukan setiap 12 (Dua Belas) Tahun sekali. Selama orang mati tersebut belum dikubur, maka ia dianggap belum sungguh-sungguh mati. Selama ia belum dikuburkan, roh orang mati tersebut masih dianggap dapat berhubungan dengan dunia manusia terutama dengan kaum keluarga. Pemahaman ini juga sangat dilatarbelakangi oleh sebuah kenyataan bahwa roh orang yang sudah mati tersebut masih dapat diikat sehingga masih dapat berhubungan, bergaul bahkan memberi berkah bagi keluarga dan persekutuan komunalitas yang masih hidup.
Selanjutnya setelah 12 (Dua Belas) tahun mayat yang hanya tinggal tulang belulang tersebut direlakan untuk dikuburkan dalam artian bahwa orang tersebut dibebaskan berangkat menuju ke dunia Makro melanjutkan kehidupan yang sesungguhnya dan berasimilasi secara mistis dengan yang Ilahi. Penguburan tulang-tulang orang mati dilakukan dengan upacara Ritual yang disebut MEWOKE. Acara Mewoke dilaksanakan pada tempat-tempat khusus seperti di Tungkanga, Pondo, Tewura dan Tinumbuli. Pada acara Mewoke dilakukan pesta besar-besaran sebagai penghormatan terakhir bagi orang yang sudah meninggal. Pada upacara tersebut terkadang Roh-roh orang mati memasuki jiwa orang yang masih hidup dengan cara ekstasi. Semua tingkah laku dan sifat-sifat orang mati selama ia hidup diperagakan oleh orang yang mengalami ekstasi. Orang Tambe’e menguburkan mayat-mayat pada gua-gua batu yang ada disekitar perkampungan tempat mereka bermukim. Semua barang-barang orang yang meninggal dibawa ke gua di mana ia dikuburkan. Perlakuan ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa hubungan antara orang mati dengan persekutuan komunalitas benar-benar telah terputus , sebab orang yang sudah mati tersebut telah berangkat menuju dunia Makro. Jika ia seorang pahlawan perang maka semua alat perang yang dipergunakannya selama hidup di bawa serta dan diletakkan disisi peti tulang-tulang orang tersebut.
 
5. Konsep Tentang Tanah Dan Hutan.
 
Sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu, orang Tambe’e telah memiliki tanda-tanda tentang tata ruang yang cukup arif. Hal ini dibuktikan dengan pembagian-pembagian wilayah hutan adat yang ada. Orang-orang Tambe telah memiliki kesanggupan untuk mengenklaf hutan-hutan sesuai dengan peruntukkan masing-masing fungsi hutan. Pembagian-pembagian tersebut merupakan tata cara dan gambaran tentang kearifan dari sebuah perencanaan wilayah secara ekonomi serta proses pertumbuhan dan penguatan budaya lokalnya.
Kearifan pemberlakuan sistem pembagian-pembagian hutan sebagai sumber ekonomi dan proses pertumbuhan serta penguatan budaya ini sekaligus tidak menisbikan aspek lingkungan (Environtmen). Bagi orang Tambe’e, lingkungan tidak hanya dipandang sebagai obyek, akan tetapi lingkungan juga dipandang sebagai subyek hukum. Pola pengelolaan lingkungan tidak hanya dipandang sebagai benda mati, tetapi lingkungan merupakan factor yang saling mempengaruhi dengan hubungan yang berkelanjutan di muka bumi. Sehingga siapapun yang melanggar di wilayah hukum mereka, akan dianggap sebagai satu bencana, yang besarnya bencana itu diwakilkan kepada tetua adat Tambe’e untuk memberikan ganjaran sesuai aturan adat.
Ada beberapa zonasi sebagai representasi kearifan dalam mengelola hutan yang ditekankan dalam masyarakat orang-orang Tambe’e antara lain.
1. Hutan lebat atau hutan Rimba, yaitu hutan yang belum dikelola, jika hutan ini dikelola, maka hal tersebut harus dilakukan dengan mekanisme Adat. Hutan ini dikuasai dan dimiliki bersama oleh masyarakat Adat.
2. Hutan Produksi, yaitu hutan yang di dalamnya masyarakat dapat mengambil hasil-hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Hutan jenis ini adalah kawasan hutan adat yang banyak ditumbuhi rotan, kayu cendana dan damar, hasil tanaman dan budidaya para leluhur, dan fungsinya sebagai hutan produksi (Terbatas) untuk keperluan hidup komunitas Tambe’e.
3. Hutan bekas kebun atau Tonga Ngkure, adalah hutan bekas kebun yang sewaktu-waktu dapat dibuka kembali.
4. Hutan Adat bekas kampung atau Waka Inie, adalah hutan bekas perkampungan. Hutan jenis ini juga merupakan asset adat yang dipersiapkan sebagai lahan bagi anak-cucu orang-orang Tambe’e dalam rangka pertumbuhan ekonomi serta penguatan budaya Tambe’e sehingga tetap eksist dengan kesejahteraan ekonomi yang memadai.
5. Inie, adalah lokasi atau kawasan perkampungan masyarakat adat Tambe’e.
6. PeLerea, adalah lokasi atau kawasan perkebunan masyarakat Adat Tambe’e khususnya tanaman keras dan Palawija.
7. PeGalu’a adalah lokasi atau kawasan persawahan masyarakat Adat Tambe’e.
Dengan tata ruang adat, maka semua sumber daya alam dikelola berdasarkan kesepakatan bersama yang telah diatur sudah sejak lama.
6. Rumah Adat.
 
Orang Tambe’e memiliki rumah adat yang disebut “Bantaea”. Rumah adat ini berbentuk semacam bangsal semacam pendopo dan pada Bantaea ditempatkan 1 buah kamar yang tujuannya adalah apabila ada orang yang bepergian jauh kemudian dalam sehari ia belum sampai tujuan, maka orang dapat menginap ditempat tersebut. Rumah adat ini juga berfungsi sebagai tempat pembinaan dan pengembangan kebudayaan masyarakat secara komunal.
7. Element Seni.
 
a. Seni Tari.
 
 
1. Tarian Mowaani.
 
 
Tarian tradisional Mowaani adalah tarian yang merepresentasikan sebuah konteks peperangan. Di mana setiap kali ada peperangan, para pahlawan Tambe’e menghalau musuh dengan sangat kesatria. Melihat karakteristik tarian ini, maka pemeran pentas tari Mowaani umumnya diperankan oleh laki-laki, Sebab pada umumnya yang turun ke medan perang dikalangan orang Tambe’e adalah laki-laki, sementara kaum perempuan menunggu di perkampungan atau pemukiman bila mana kaum laki-laki mereka kembali dari pertempuran. Demikian pula sebagai bagian dari tarian perang, maka perangkat-perangkat perangpun dipergunakan sebagai perlengkapan dalam tarian Mowaani. Tarian Mowaani yang jika masih sanggup untuk dipentaskan oleh orang-orang Tambe’e, sebenarnya merupakan tarian yang sangat ramai dan gaduh sebagai gambaran sebuah peperangan.
2. Tarian Lumense.
 
Tarian Lumense adalah tarian Tradisional yang menggambarkan tentang bagaimana system penguburan jenazah dalam kebudayaan masyarakat Tambe’e. Masyarakat Tambe’e pada saat memeluk agama suku Murba (Animis-Sinkretis) tidak melakukan pemakaman terhadap jenazah orang meninggal, tetapi jenazah dibuatkan sebuah rumah tempat penyimpanan jenazah. Selanjutnya Jenazah dibiarkan sampai tinggal tulang-tulang kering. Apabila tulang-tulang telah kering, maka upacara mengantar Jenazah ke gua-gua dilakukan dengan upacara Tambe’e. Upacara ini juga merupakan satu seremonial yang sangat ramai. Penari-penari Lumense ditempatkan sebagai pengiring tulang-tulang jenazah, para Imam juga berperan sebagai pengantara antara masyarakat dengan Roh leluhur dan juga roh orang yang meninggal tersebut. Yang sangat unik, pada Upacara Lumense tersebut terjadi peristiwa-peristiwa Supranatural. Penari atau Imam atau salah satu dari anggota keluarga terkadang mengalami peristiwa Ekstasi. Roh Orang yang mengalami peristiwa Ekstasi tersebut tiba-tiba keluar dari dalam dirinya kemudian digantikan oleh Roh orang meninggal yang tulang-belulangnya sedang diusung. Orang yang mengalami peristiwa Ekstasi ini bertindak sebagai orang yang sudah meninggal tersebut. Segala tindakan yang dilakukannya menggambarkan tingkah laku orang meninggal semasa ia hidup. Suasana ekstasi tersebut umumnya terjadi pada saat Upacara Lumense dilakukan dan bila tulang-tulang sudah di simpan pada tempatnya, maka suasana ekstasi yang dialami oleh Imam atau salah satu anggota Keluarga akan berhenti, dan ia kembali ke dalam keadaan wajar. Pada zaman dahulu Orang Tambe’e tidak menguburkan tulang-tulang orang mati di tempat-tempat pekuburan seperti pada umumnya, tetapi tulang-tulang orang mati ditempatkan pada gua-gua batu, seperti yang banyak ditemukan di daerah orang-orang Tambe’e saat ini. Semua element mengantar tulang-tulang Jenazah orang mati digambarkan melalui Tarian Lumense.
 
3. Tarian Molaemba.
 
Tarian Molaemba adalah salah satu Element tarian dikalangan masyarakat Tambe’e. Jenis tarian ini dilakukan sambil mengucapkan pantun secara antivonis atau berbalas-balasan. Pantun dalam tarian Laemba atau Molaemba dinyanyikan atau dilantunkan dengan Irama lagu. Isi pantun yang dilantunkan dalam Irama lagu tersebut sangat bervariasi berkaitan dengan kehidupan praktis setiap hari yang dlakoni oleh orang Tambe’e. Situasi praktis ini dapat berupa kehidupan percintaan antara muda-mudi, pengalaman kehidupan yang terjadi dikalangan komunitas dan sebagainya.
 
 
 
4. Metuna.
 
Sebetulnya kesenian (Art Element) Metuna bukan sejenis tarian. Metuna adalah cara untuk mengungkapkan perasaan atau isi hati seseorang tentang pengalaman hidupnya masa lalu serta harapan masa depan yang dicita-citakan. Meskipun bagi orang-orang Tambe’e Metuna lebih dipahami sebagai sebuah cara meditasi dengan mengungkapkan isi hati seseorang, tetapi mempelajari tata cara pengungkapannya dengan menyanyikan semacam lagu-lagu hymne, maka Metuna dikategorikan sebagai bagian seni dalam kehidupan orang-orang Tambe’e. Metuna juga merupakan sebuah Unique Art (Seni yang Unik). Titel Keunikan kesenian Metuna dapat dilihat dan dimengerti karena Metuna atau melantunkan lagu-lagu Hymne ini dilakukan selama semalam suntuk.
 
5. Tarian Lumoli.
 
b. Seni Musik
 
Dikalangan suku Tambe’e dikenal cukup banyak alat-alat musik sebagai sarana pendukung bagi masyarakat ini dalam melakukan kegiatan-kegiatan Seni. Alat-alat musik yang dapat disebutkan di sini antara lain : Geso-geso (Semacam Biola Tradisional), Kecapi, Rebana, Musik Bambu, Gendang dan Gong. Alat musik yang paling dominant dipergunakan adalah Gendang dan Gong. Alat-alat musik ini dipergunakan sejak zaman dahulu kala, terbukti dari penemuan alat-alat musik ini pada gua-gua batu yang ada disekitar Landangi. Dan yang sangat menarik adalah bahwa sebagian besar terutama Gong-gong milik orang Tambe’e zaman Dahulu terbuat dari besi kuningan. Menurut Informasi, pekerjaan mengolah bahan-bahan dari besi sudah dilakukan oleh orang-orang Tambe’e sejak zaman purba kala. Kreativitas orang Tambe’e ini didukung oleh begitu banyaknya tersedia bahan-bahan kuningan yang konon ditambang secara tradisional oleh orang-orang Tambe’e di salah satu tempat yang disebut “Wasu Mala” pada zaman dahulu.
 
c. Seni Ukir.
 
Seni ukir adalah salah satu bentuk kesenian yang menggambarkan tentang tingginya nuansa seni yang dimiliki oleh sebuah kebudayaan. Sama seperti kebudayaan lain di Nusantara, masyarakat Tambe’e juga memiliki nuansa seni yang cukup tinggi dibidang seni ukir. Aktivitas seni ukir yang dikerjakan oleh orang-orang Tambe’e pada zaman Dahulu memberikan satu bukti bahwa masyarakat ini juga giat dalam mengembangkan seni ukir. Aktivitas seni ukir masyarakat ini mencakup seni ukir kayu, seni ukir besi dan juga keramik-keramik. Hal ini didukung oleh bukti-bukti kuat bahwa setiap benda penting dan berharga yang diciptakan baik yang menggunakan bahan dasar kayu (Terutama Peti-peti tempat tulang Jenazah), Keramik maupun dari besi kuningan, selalu dihiasi dengan guratan-guratan tentang majunya Imajinasi masyarakat ini berkaitan dengan seni ukir. Pada umumnya Salapa Tempat Sirih yang terbuat dari besi kuningan diberi ukiran. Dulang-dulang tempat makanan pada acara-acara penting Tradisional juga dihiasi oleh ukiran dengan berbagai bentuk motif.
 
d. Seni Mengolah Perabot.
 
Sejak zaman dahulu masyarakat Tambe’e sudah menggunakan perabot-perabot sebagai sarana penunjang dalam kehidupan Praktis, Perabot perlengkapan Perang maupun juga perhiasan-perhiasan yang dipergunakan sehari-hari di lingkungan masyarakat Tambe’e. Untuk kebutuhan masak – memasak dan perabot rumah tangga lainnya pada umumnya sejak zaman dahulu orang-orang Tambe’e menggunakan bahan-bahan dari tanah liat yang diolah sedemikian rupa sehingga dapat dipergunakan sebagai wadah-wadah makanan. Sejak zaman dahulu Orang-orang Tambe’e telah pandai mempergunakan mangkok-mangkok, guci-guci, Periuk dan perabot lain sebagai wadah tempat makanan. Kebiasaan menggunakan alat-alat ini dibuktikan dengan banyaknya perabot-perabot dari tanah liat yang ditemukan pada gua-gua batu di sekitar tempat di mana orang-orang Tambe’e pernah bermukim secara berpindah-pindah. Hampir di semua gua telah ditemukan perabot-perabot seperti ini.
Disamping perabot-perabot Rumah tangga yang terbuat dari tanah liat, sejak zaman dahulu orang-orang Tambe’e juga telah pandai mengolah perabot yang menggunakan bahan-bahan dari besi, baik besi biasa maupun besi kuningan. Menurut Informasi bahwa orang-orang Tambe’e ketika itu memperoleh bahan-bahan besi yang disediakan secara alamiah di lingkungan mereka sendiri dengan cara mengolah dengan sistem pertambangan yang sangat sederhana dan tradisional (Traditional Mining). Sedangkan besi-besi kuningan diperoleh didaerah Wasu Mala (Bahasa Tambe’e artinya : Batu Kekuning-kuningan yang mengandung besi) di tempat asal-usul mereka disekitar Ulu Uwoi. Besi kuningan ini juga ditambang dan diolah dengan sistem pengolahan yang sangat sederhana, tetapi pengolahan ini mencirikan unsur-unsur seni yang dimiliki oleh orang-orang Tambe’e zaman dahulu. Sebagian besar Pedang, Tombak yang dipergunakan sebagai perlengkapan Perang oleh orang-orang Tambe’e menggunakan bahan-bahan dari besi kuningan.
Salah satu benda bernilai seni lain yang cukup menarik sekaligus memberikan gambaran tentang Imaginasi seni orang-orang Tambe’e pada zaman dahulu adalah gelang kaki dan gelang tangan dengan berbagai ukuran dan bentuk. Benda-benda seni ini pada umumnya dipergunakan sebagai perhiasan sehari-hari, bahkan juga kerap dipergunakan sebagai salah satu pelengkap dalam pementasan seni tari di kalangan suku Tambe’e. Yang mencirikan bahwa sebagian gelang kaki dan tangan ini biasa dipergunakan sebagai pelengkap dalam pementasan seni terutama seni tari adalah bentuknya yang berbeda. Gelang Pentas biasanya ditambah dengan aksesoris bunyi-bunyian yang jika digerakkan, maka gelang kaki atau tangan akan menimbulkan bunyi gemerincing yang dapat menambah meriahnya pementasan seni tari orang Tambe’e. Benda-benda seni ini juga sebagian besar menggunakan bahan dasar besi kuningan.
Berdasarkan penemuan-penemuan dan hasil riset terhadap benda-benda purbakala yang bernilai seni ini, maka dapat disimpulkan bahwa eksistensi masyarakat Ethnis Tambe’e adalah eksistensi sebuah komunitas masyarakat yang cukup beradab, dinamis yang dikukuhkan oleh keunikan budaya sehingga komunitas masyarakat dan budaya ini patut dihormati sebagai salah satu element budaya bangsa. Sehubungan dengan asset-asset bangsa secara global, Masyarakat beradab ini juga sekaligus merupakan salah satu asset besar yang tidak ternilai harganya. Selain intervensi-Andil masyarakat Lokal dalam pengertian sempit masyarakat Tambe’e, pemerintah juga sangat memegang peranan yang tidak kecil dalam upaya pelestarian terhadap nilai-nilai luhur dari budaya bangsa ini.
 
e. Bahasa.
 
Bahasa adalah lambang bunyi berartikulasi (Yang dihasilkan oleh alat-alat ucap) yang bersifat sewenang-wenang dan konvensional atau diterima dan dipahami secara umum secara adat, kebiasaan, kelaziman dan tradisional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran.
Bahasa merupakan salah satu dari prestasi puncak yang dicapai oleh umat manusia. Asumsi ini dilatarbelakangi oleh satu kebutuhan penting dalam kehidupan manusia yang harus berkomunikasi dengan orang lain dengan menggunakan langgam-langgam bahasa, sehingga terjadi interaksi dalam komunikasi yang dapat saling memahami perasaan dan pikiran sesame makhluk sosial. Oleh karena itu bahasa baik lisan maupun tertulis merupakan suatu keharusan yang harus ada sebagai bagian atau element budaya manusia. Tanpa bahasa maka ruang lingkup manusia adalah sebuah ruang yang sangat sempit dan terbatas. Oleh karena itu sebagai element yang harus ada di dalam budaya manusia, bahasa diasumsikan juga sebagai “Window of World” atau jendela dunia yang dapat menguak khasanah dunia yang maha luas, sebagai mana pepatah arab yang mengatakan : “ Kuli Insani Bin Insani” artinya semakin banyak kita menguasai bahasa semakin sempurnalah kemanusiaan kita. Realitas ini sekaligus membenarkan kajian test Filsuf Ludwig Wittgenstein dalam tulisannya “Batas-batas Bahasa saya berarti Batas-batas dunia saya”.
Sebagai persekutuan Komunalitas yang berbudaya, orang Tambe’e telah mencapai prestasi puncak seperti apa yang telah dikemukakan oleh Adam J. Smith. Dalam karya Teologi Lintas Budaya. Interaksi sosial orang Tambe’e diikat oleh penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi, sebagai langgam-langgam dalam menyampaikan perasaan dan pikiran masing-masing orang Tambe’e kepada orang lain sehingga dapat dipahami dan dimengerti. Orang Tambe’e menggunakan bahasa Tambe’e sebagai bahasa Komunikasi dikalangan komunalitas suku Tambe’e. Bahasa Tambe’e yang dipergunakan umumnya dikalangan masyarakat komunal Tambe’e merupakan bahasa dengan memiliki struktur yang cukup baik dengan sistem tenses sebagaimana ditemukan dalam Ilmu-ilmu bahasa (Linguistic) pada umumnya. Bahasa Tambe’e adalah tergolong ke dalam kumpulan bahasa-bahasa Mori, sebab latarbelakang Komunalitas ini berasal dari wilayah Mori Sulawesi Tengah. Oleh karena Latarbelakang yang hampir sama ini maka bahasa-bahasa local seperti bahasa Tambe’e, Matano, Taipa, Padoe dan Karunsi’e juga terdapat persamaan bahasa yang mudah untuk dipahami oleh masing-masing suku ini.
Selain berfungsi sebagai alat komunikasi, sebagai langgam ungkapan pikiran dan perasaan, Bahasa Tambe’e juga menjadi salah satu bingkai pengikat secara Psikologis-Emosional persekutuan diantara orang-orang Tambe’e khususnya, sehingga dengan realitas ini maka dapat dimengerti bahwa benarlah peranan bahasa pada segi kehidupan berbudaya memang merupakan salah satu element penting bahkan paling utama dalam unsur budaya. Dengan memandang betapa pentingnya peranan bahasa sebagai unsur Kultural, maka dari dahulu sampai sekarang, bahasa Tambe’e masih dipergunakan sebagai bahasa pergaulan di kalangan komunitas Tambe’e selain bahasa Indonesia.
 
F. Kilas Balik Tempat-tempat Penting Orang Tambe’e.
 
Kilas balik yang dimaksudkan dalam sub Topik ini adalah melihat kembali tentang tempat-tempat penting yang mengandung nilai sejarah bagi orang Tambe’e. Tempat-tempat yang dimaksudkan ini termasuk bekas-bekas perkampungan atau pemukiman orang-orang Tambe’e sejak permulaan masyarakat ini menjadi satu komunitas mandiri yang lepas dari induk suku di Ulu Uwoi, eks zone Ekonomi maupun tempat-tempat yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa Heroik yang pernah terjadi dan dilakukan oleh orang Tambe’e. Memang sebagian tempat-tempat tersebut telah menjadi milik secara personal, tetapi di sini dapat disebutkan adalah tempat-tempat yang masih dalam status kepemilikan dan penguasaan bersama dari masyarakat Adat Tambe’e yang masih berlaku sampai sekarang.
 
 
 Tempat-tempat penting eks pemukiman :
 
1. Wasu Mala, Antambe’e, Epemetiu, Bosu, Koro Marea, Lembo Konta dan Lemoro. Tempat - tempat ini merupakan satu jajaran yang saling berhubungan. Pada tempat-tempat ini juga terdapat 5 (Lima) buah gua kuburan orang Tambe’e. Luas keseluruhan areal ini berkisar 4.500. Ha.
2. Pu’uwuku seluas 1000 Ha. Terdapat 1 (Satu) Buah Gua bekas kuburan, di tempat ini sekaligus telah ditemukan benda-benda purbakala.
3. Lembo Ngapa (Tombe) seluas 1000 Ha. Terdapat 1 (Satu) Buah Gua bekas kuburan. Tempat ini juga merupakan Zone Ekonomi masyarakat Adat Tambe’e.
4. Ta’ua (Ta’I Bonti) seluas 700 Ha. Juga merupakan Zone Ekonomi masyarakat Adat Tambe’e.
5. Sinambi seluas 1000 Ha. Terdapat 1 (Satu) Buah Gua bekas kuburan, pada Gua ini juga telah ditemukan benda-benda purbakala.
6. Moko Kato dan Sakoti seluas 1000 Ha.
7. Manalangko seluas 700 Ha.
Sedangkan sebagian wilayah eks tempat perkampungan orang Tambe’e yang lain telah dikonversi oleh Adat menjadi kepemilikan pribadi oleh karena dikelola sebagai lahan perkebunan anggota komunitas Tambe’e, tetapi wilayah-wilayah tersebut belum seluruhnya dikonversi oleh Adat kepada anggota komunitas masyarakat. Tempat-tempat yang dimaksud adalah :
8. Sebagian Koro Bokoto, Wata Oloho dan Tesoso seluas 700 Ha.
9. Sebagian Ropo Menta’a seluas 300 Ha.
10. Ta’oea, sudah sepenuhnya dikonversi, di sini terdapat 1 (Satu) Buah Gua bekas pekuburan.
11. Ropodungku sudah sepenuhnya dikonversi, terdapat 3 (Tiga) Buah Gua bekas pekuburan.
12. Hulo-hulo sudah sepenuhnya dikonversi, terdapat 1 (Satu) Buah Gua bekas pekuburan.
13. Lembowuwu, Bosuki, Wasu Walu terdapat 1 (Satu) Gua, Pondo, Tungkanga, Mata Uwoi, Tewura, Kondara, Tawoko, Kau Tandu, Wasurempe, Wasurumini, Tinumbuli, Pomonsu dan Tamungku terdapat 1 (Satu) Buah Gua.
Meskipun sebagian wilayah-wilayah ini telah dikonversi sebagai kegiatan sumber ekonomi, tetapi hal itu tidak berarti bahwa intervensi dan pengawasan Adat sudah lepas sama sekali. Adat sebagai sumber aturan tetap mengawasi semua wilayah yang telah dikonversi tersebut. Perlu jelas juga bahwa konversi ini dilakukan sesuai substansi Tata Ruang dalam pengaturan hutan dan tanah oleh Adat suku Tambe’e.
 
 Tempat-tempat penting berkaitan dengan Peristiwa
Heroik.
 
Tempat-tempat yang dimaksudkan ini sebetulnya juga telah disebutkan dalam point-point sebelumnya tetapi untuk lebih jelas tentang tempat-tempat di mana peristiwa-peristiwa Heroik itu pernah terjadi, mungkin bukan satu hal yang keliru jika tempat-tempat khusus dan penting secara Historis itu disebutkan kembali. Tempat-tempat yang dimaksud pada Item ini adalah :
Sinambi, Pu’uwuku, Lembo Ngapa (Tombe), Ta’ua (Ta’I Bonti), Ta’oea, Ropodungku, Pondo, Kondara dan Tamungku.
 
G. MENILAI SEJARAH, SOSIO–CULTURAL DALAM UPAYA
KONSTRUKSI SEJARAH MASA DEPAN.
 
Sebuah rentetan Historis bukan sekedar aktualisasi, pengungkapan, menerangkan atau merekam ulang tentang peristiwa masa lalu yang pernah terjadi. Rentetan Historis yang Fragmatis terpengal-penggal-penggal diupayakan sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah karya sejarah tertulis secara khronlogis adalah usaha yang sama sekali tidak mudah. Oleh karena itu setiap komitment untuk melakukan hal tersebut selalu tidak lepas dari orientasi pemikiran bahwa Proses sejarah tentang peradaban manusia pada umumnya beserta semua segment kehidupan manusia yang dituangkan dalam karya Historis adalah satu alat pembelajaran bagi manusia yang hidup pada rentang sejarah berikutnya.
Mata Kuliah Sejarah, Mata Pelajaran Sejarah pada semua bentuk pendidikan formal dan pengenalan Sejarah kepada masyarakat umum bukan sebatas bertujuan untuk memaparkan tentang Fenomena kehidupan masa lalu dengan peradabannya, kiprahnya tanpa maksud. Semua hal yang dilakukan berkaitan dengan Sejarah adalah merupakan An Education process atau lebih merupakan proses pembelajaran bagi komunitas manusia yaitu konteks para pembaca dan pendengar sejarah masa kini dan juga generasi berikutnya. Totalitas Plus-Minus yang terjadi dalam rentetan Sejarah manusia menjadi alat yang sangat berharga dalam merekonstruksi sebuah tatanan sejarah yang akan dibentuk dikemudian hari. Sukses dan gagalnya perjalanan peradaban kehidupan manusia yang akan dicatat sebagai sebuah sejarah pada masa depan sangat ditentukan oleh intensitas manusia saat ini dalam melakukan An Education Proces terhadap sejarah masa lalu. Statement dan Realitas ini tidak bisa dibantah sebab sudah menjadi A Natural Law atau telah menjadi semacam sebuah hukum alam bahwa setiap manusia secara individu maupun komunitas yang gagal belajar dari sejarah akan juga mengalami kegagalan untuk menorehkan sebuah sejarah masa depan yang lebih baik dari hari kemarin. Karena itu kita selalu dipanggil untuk terus : “BELAJAR DARI SEJARAH” Sebab plus-minus, lebih-kurang, positive-negative dan baik-buruknya sebuah peristiwa masa lalu itu dicatat dalam bingkai yang disebut Sejarah adalah pelajaran berhagra dan besar serta dapat menjadi batu loncatan besar serta berharga pula dalam merekonstruksi sebuah sejarah masa depan (To Reconstruction A Future Histories) dengan model dan bentuk peradaban yang diharapkan lebih baik dari masa lalu dan masa kini.
Di tengah dan semakin jauhnya manusia tergelincir dari pergeseran nilai-nilai peradaban yang baik seperti sekarang, baik sebagai individu, komunitas terbatas bahkan sebagai bangsa itu disebabkan karena kurangnya kepekaan dalam mengapresiasi dan belajar dari Sejarah masa lampau. Salah satu sample yang dapat disebutkan di sini adalah tentang “Persatuan Dan Kebersamaan”. Hampir semua orang pernah belajar atau paling tidak mengenal istilah ini. Dalam perjalanan sejarah bangsa masa lalu, “Persatuan dan Kebersamaan” tanpa memandang perbedaan merupakan “Basic Invest” atau modal dasar bangsa dalam perjuangan dan juga dalam pembangunan yang sungguh-sungguh terimplementasi. Sejarah sendiri telah membuktikan bahwa tanpa unitas atau kesatuan dan Togethernes atau kebersamaan, setiap hal yang dilakukan telah mengalami kegagalan dan membawa ekses negative bagi bangsa. Tetapi ketika “Persatuan dan Kebersamaan” itu secara intens diimplementasikan, maka hasilnya sungguh luar biasa di mana bangsa berhasil meraih independensi yang menjadikannya sebagai orang-orang merdeka dan itu berlanjut dalam kiprah pembangunan. Ini adalah satu tanda bahwa “Kita bahkan semua manusia” harus selalu belajar dari Sejarah. Betapa mulianya Sejarah. Ia merepresentasikan sebuah situasi yang Niir “Persatuan dan Kebersamaan” berakibat pada kegagalan serta ekses-ekses lain yang menyakitkan. Lebih mulia lagi yang dilakukan oleh Sejarah : Ia (Baca : Sejarah) mendidik setiap individu yang mau belajar kepadanya bahwa setiap individu tidak boleh mengesampingkan Unitas dan Togetherness, setiap individu bahkan komunitas bahkan bangsa tidak boleh meniirkan “Persatuan dan Kebersamaan”, sebab itu akan membawanya pada kegagalan dalam menorehkan sejarah baru yang lebih baik selanjutnya. Representasi di atas hanya satu titik kecil dari sekian banyak pelajaran berharga yang dapat diberikan oleh sejarah.
Orang Tambe’e jika dipandang dari segi Eksklusivitasnya adalah sebuah komunitas manusia yang memiliki kerangka Historis sebagaimana yang juga dimiliki oleh komunitas-komunitas lain. Aktualisasi, pemaparan, representasi serta pengumpulan puing-puing Historis yang sangat fragmatis tentang kehidupan orang-orang Tambe’e dengan peradaban serta kiprah pada berbagai segment kehidupan masa lalu dalam buku ini adalah dalam rangka An Education Proces atau sebuah proses pembelajaran bagi orang-orang Tambe’e ketika hidup dan menjalaninya dalam konteks mutakhir.
Plus-Minus, Baik-buruk dan Positive-negativenya peradaban orang-orang Tambe’e masa lalu yang digambarkan dalam buku Sejarah ini, semuanya dilandasi oleh pemikiran yang kuat supaya komunalitas orang-orang Tambe’e secara intens belajar dari Sejarah masa lalu tersebut. Dalam mengkonstruksi Sejarah masa depan (To Construction Future Histories), Persekutuan komunalitas Tambe’e tidak dapat mengabaikan begitu saja Setiap element Sejarah peradaban dan kiprah para leluhur, sebab jika ini terjadi maka dapat dipastikan bahwa orang-orang Tambe’e akan mengalami kagagalan dalam menorehkan Sejarah yang baik pada masa depan.
Di tengah-tengah konteks pergeseran pada multi-dimensi kehidupan saat ini, ditengah kegagalan dalam menilai dan belajar dari sejarah, telah tergambar potret kehidupan umat manusia yang gagal dalam melakonkan kehidupan secara substansial. Realitas ini membawa ekses di atas ekses buruk bagi umat manusia. Mengapa? Hal itu lebih disebabkan karena umat manusia gagal dalam proses belajar dari sejarah yang dari zaman ke zaman telah memperingati manusia tentang apa yang akan terjadi jika tidak belajar dan terus belajar dari sejarah masa lalu dalam mengkonstruksi sejarah masa depan. Umat manusia gagal mentransformasi sejarah masa lalu dalam mengkonstruksi sejarah selanjutnya. Umat manusia lebih suka menciptakan sesuatu yang sama sekali berbeda tanpa mau melihat sejarah masa lalu sehingga kehilangan pijakan ketika menyusun strategi dalam merekonstruksi sejarah masa kini dan sejarah yang akan datang. Sebagai persekutuan komunalitas, orang-orang Tambe’e juga telah teriritasi dan mengalami degadrasi non intensity dalam proses Re-Watch last Histories atau dengan perkataan lain bahwa sebagai persekutuan komunalitas, saat ini orang Tambe’e belum sanggup sepenuhnya untuk mempelajari Sejarah Masa lalu sebagai acuan dalam mengkonstruksi sejarah masa depan. Sebagian element sejarah masa lalu baik persatuan (unitas), Kebersamaan (Togetherness), nilai-nilai cultural dan sebagainya tidak sanggup ditransformasikan dalam realitas kehidupan secara substansial. Individualisme berkembang, niir atensi terhadap nilai cultural mengalami kesuburan. Padahal Sejarah Tambe’e telah mengingatkan bahwa semua segment kehidupan yang telah dipraktekkan dalam kiprah Sejarah masa lalu oleh leluhur adalah sesuatu yang sangat berharga dalam konstruksi Sejarah mendatang. Oleh karena itu dalam menilai Sejarah orang Tambe’e pada masa lalu, beberapa segment penting harus mendapat perhatian jika orang Tambe’e masa kini ingin mengkonstruksi Sejarah masa depan dengan torehan yang lebih baik antara lain :
1. Unitas (Persatuan) merupakan akses besar pada Sejarah masa lampau yang memungkinkan para leluhur (Father Foundation) sanggup bertahan ditengah-tengah gempuran ekspansi lintas ethnis. Tentu dalam konteks modernisasi-Informatika ini, basis permasalahan bukan lagi pada Issue ekspansi fisik secara langsung lintas komunitas atau lintas person. Oleh karena itu sikap “Bertahan” (Difensive) tidak lagi dapat ditafsirkan sebagai persoalan ekspansi fisik, tetapi harus dipusatkan pada perhatian yang berkaitan dengan issue Marginalisme, di mana dalam issue tersebut, persekutuan komunalitas Tambe’e harus lebih sadar untuk “Bertahan” dengan identitas, bertahan dengan kepemilikan asset-asset yang ada, bertahan dengan eksistensi sebagai orang Tambe’e dalam sikap inclusive sehingga tidak menjadi masyarakat marginal yang terlempar dan tergusur dari tanah dan kampung halaman sendiri.
2. Kesanggupan untuk mempertahankan nilai-nilai Cultural serta melakukan Pengembangan (Development) terhadap nilai-nilai cultural sendiri (Baca : Cultural Tambe’e), merupakan salah satu langkah yang dapat ditempuh dalam rangka “Belajar dari Sejarah” (Learning of Histories), yang dengan upaya ini memungkinkan persekutuan komunalitas Tambe’e memiliki ciri sebagai komunitas Ethnis yang beradab di tengah-tengah perkembangan peradaban global. Jika masyarakat komunalitas Tambe’e sanggup melakukan proses “Belajar dari Sejarah”, maka ini merupakan sebuah Indikasi bahwa generasi Tambe’e saat ini akan sanggup mengkonstruksi Sejarah dan menorehkan sejarah yang lebih baik bagi sejarah masa depan. Semoga.
 
 
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
 
A. KESIMPULAN.
 
1. Perjalanan Historis orang Tambe’e merupakan sebuah perjalanan panjang. Perjalanan Historis ini menelan waktu ratusan bahkan ribuan tahun dengan hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Realitas ini merepresentasikan bahwa komunalitas orang Tambe’e dapat dikategorikan sebagai persekutuan komunal yang bercorak semi Nomaden jika kita tidak mau mengatakannya sebagai masyarakat Nomaden sepenuhnya.
2. Sebagaimana masyarakat lain di dunia, Masyarakat Tambe’e juga memiliki eksistensi dengan latarbelakang sejarah dan kultur yang kuat sebagai bingkai pengikat persekutuan komunalitas sehingga sampai saat ini masyarakat Tambe’e masih tetap eksist sebagai komponen masyarakat yang berbudaya dan bersejarah di Sulawesi Selatan dan di Kabupaten Luwu Timur khususnya.
3. Kerangka Historis persekutuan komunalitas orang Tambe’e bukan sebuah kerangka yang diselimuti oleh mayoritas Mitos (Mithos Majority), tetapi gambaran Historis tentang orang Tambe’e adalah sebuah representasi sebuah kehidupan yang realistis berkaitan dengan kiprah persekutuan komunal ini pada masa lampau dan masa sekarang sebagaimana direpresentasikan dalam buku ini.
4. Pranata-pranata cultural yang tergambar pada nilai-nilai serta unsur-unsur cultural persekutuan komunal orang Tambe’e adalah warisan yang telah diterima dari para leluhur sejak zaman purbakala yang sampai sekarang masih diakui, diterima, dianut dan diberlakukan dalam persekutuan komunal orang Tambe’e.
5. Berkaitan dengan keseimbangan alam, sejak zaman dahulu persekutuan komunal orang Tambe’e telah mengatur dan menguasai hutan-hutan, tanah-tanah sebagai asset yang telah diatur pula sesuai dengan fungsinya masing-masing. Persepsi ini dilatarbelakangi oleh satu prinsip dasar bahwa penguasaan asset-asset tersebut bertujuan untuk mempertahankan eksistensi persekutuan komunal bahkan memperkokoh dan mengembangkannya sehingga dapat menjadi alat-alat kesejahteraan bagi anggota-anggota persekutuan komunal.
6. Dengan memiliki kerangka dan latarbelakang sejarah yang jelas maka perekutuan komunal orang Tambe’e patut dan layak untuk mendapat pengakuan secara Yuridis (Hukum) dalam kerangka Negara Kesatuan Rebublik Indonesia (NKRI). Pengakuan ini bukan saja sampai pada tahap teoritis belaka, tetapi yang diharapkan adalah sebuah pengakuan yang bersifat realistis. Pengakuan Eksistensi secara hukum ini juga menjadi jaminan bahwa setiap pranata cultural, nilai-nilai sejarah serta hak-hak persekutuan komunal orang Tambe’e dapat diterima diakui dan dijamin oleh hukum. Sebab tanpa jaminan terhadap aspek ini maka dapat dipastikan bahwa keseimbangan akan terganggu dan produk ini hanya akan menghasilkan satu situasi kaos.
7. Dengan memiliki struktur budaya yang kuat, maka dapat disimpulkan bahwa persekutuan komunal orang Tambe’e adalah satu masyarakat yang beradab, satu masyarakat dinamis yang terus mencoba untuk memperbaiki potret kehidupan masa lampau, masa kini dan masa depan. Walaupun harus dikatakan bahwa proses comunity development (Pengembangan Masyarakat) ini seakan mengalami tantangan. Hal itu lebih banyak disebabkan oleh minusnya peluang yang dapat diraih oleh orang Tambe’e. Ini dilatarbelakangi oleh konteks Geografis.
8. Peristiwa-peristiwa Heroik yang pernah dilakukan oleh orang Tambe’e merupakan satu bukti implementatif tentang kebesaran jiwa orang-orang Tambe’e dalam mempertahankan eksistensinya sebagai satu persekutuan komunal.
 
 
B. SARAN-SARAN
 
 Untuk Masyarakat Tambe’e :
 
1. Dalam rangka penghargaan terhadap peristiwa-peristiwa sejarah masa lampau, maka sesepuh orang Tambe’e harus tetap bahkan terus menanamkan nilai-nilai Historis Tambe’e kepada generasi berikutnya, sehingga pemahaman Historis ini dapat menjadi alat pengajaran (Teaching Education) yang berharga bagi generasi berikutnya dalam rangka melanjutkan proses sejarah tersebut sebagai sebuah rekonstruksi Historis untuk masa depan. Penanaman nilai-nilai histories terhadap nilai-nilai Historis masa lalu juga merupakan alat Pedagogis yang berharga bagi generasi berikutnya di mana Peristiwa Historis tentang keberhasilan dan kebesaran jiwa masa lalu akan mendidik orang Tambe’e yang hidup dalam konteks kontemporer supaya menjadi satu masyarakat yang sukses dalam kompetisi global. Kegagalan histories masa lalu juga akan menjadi cambuk yang mendidik sehingga masa kini dan masa depan tidak mengalami kegagalan yang sama.
2. Mencermati konteks dunia yang semakin sarat dengan kompetesi pada multi dimensi, orang Tambe’e tidak dapat menjadi satu masyarakat Eksklusive (Tertutup), tetapi harus belajar untuk bersikap Inklusive (Terbuka) bahkan turut berkiprah dalam kompetisi global tersebut, tetapi tetap dalam ciri dan identitas sebagai orang Tambe’e. Orang-orang Tambe’e dapat belajar dari bangsa Jepang, di mana bangsa ini menjadi satu bangsa besar dalam kompetisi pada multi-dimensi global, tetapi tetap dengan identitas jepang yang khas, di mana warisan-warisan Cultural yang diwariskan oleh leluhur tetap nyata dalam kehidupan orang Jepang modern.
3. Nilai-nilai budaya seperti seni dan sistem kehidupan sosial positive yang telah diturunkan serta diwariskan turun-temurun harus tetap dipelihara bahkan yang terpenting harus dikembangkan, dan tugas ini masih menjadi tanggung jawab generasi tua kepada generasi muda. Sehubungan dengan itu, generasi muda harus memiliki semangat besar dan antusias untuk mempelajari, memiliki, mengembangkan bahkan memiliki rasa kecintaan terhadap nilai-nilai seni budaya orang Tambe’e. Generasi muda Tambe’e harus menjadi diri kita sendiri dan bukan menjadi diri orang lain, Be Your Self. Generasi muda orang Tambe’e tidak akan pernah sukses dengan “berganti kulit” dan menggunakan budaya Barat misalnya. Sekali orang Tambe’e tetaplah menjadi orang Tambe’e yang mencintai nilai-nilai budaya sendiri.
4. Tanah-tanah, Hutan serta asset lain yang telah diwariskan oleh leluhur sesuai dengan peruntukannya masing-masing harus tetap dipelihara bahkan lebih diberdayakan, supaya leluhur “Kita” tidak murka bahkan Sang Ilahi dapat membuat umur “Kita” tidak panjang jika “Kita” tidak belajar menghormati dan melakukan apa yang dimandatkan kepada “Kita” oleh leluhur “Kita”.
 
 Untuk Pemerintah (PEMDA LUWU TIMUR) :
 
1. Dalam rangka studi historis tentang ethnis-ethnis pribumi yang eksist di wilayah Luwu Timur, Pemerintah Daerah Cq. Instansi terkait perlu mencetuskan dan mencanangkan proyek penulisan buku-buku Historis berkaitan dengan eksistensi ethnis-ethnis pribumi yang bermukim di wilayah Luwu Timur. Penulis kajian-kajian Historis Ilmiah ethnis - ethnis tersebut sebaiknya dimunculkan dari kalangan ethnis yang bersangkutan. Substansi essensial dari proyek ini adalah untuk menumbuhkan rasa kecintaan terhadap nilai-nilai Historis yang terjadi pada masa lampau dikalangan ethnis masing-masing. Hal ini juga dimaksudkan untuk menambah khasanah historis dari semua Ethnis pribumi yang ada di Luwu Timur, terutama berkaitan dengan Latarbelakang Ethnis serta budaya-budaya yang ada di dalamnya. Proyek ini juga diharapkan dapat menghasilkan kajian-kajian Ilmiah beserta dengan penulis-penulis yang berkualitas. Saran ini juga sangat berkaitan dengan asset-asset daerah Luwu Timur, di mana sejarah dan kebudayaan adalah kategori asset yang sangat berharga dan tidak ternilai harganya. Jika perlu Pemerintah Daerah Luwu Timur mengalokasikan dana yang cukup untuk perealisasian proyek penulisan-penulisan seperti ini.
2. Untuk kepentingan studi riset Historis, Pemerintah Daerah Luwu Timur Cq. Instansi terkait perlu merencanakan pembangunan Museum dan Perpustakaan Daerah sebagai sarana yang menyimpan benda-benda arkheologis atau yang bernilai kepurbakalaan. Saran ini dilatarbelakangi oleh sebuah realitas bahwa daerah yang sanggup merepresentasikan sejarah melalui karya-karya Ilmiah dan dibuktikan dengan mengumpulkan serta menghadirkan perangkat-perangkat sejarah sebagai bukti histories, maka daerah tersebut sangat dihargai dan dihormati.
3. Nilai-nilai Kultural berupa Art (Seni) serta berbagai nilai Kultural lainnya dari berbagai Ethnis yang ada di Luwu Timur merupakan salah satu bagian yang tidak lepas dari perjalanan sejarah Ethnis tersebut. Oleh karena itu Pemerintah Daerah Luwu Timur perlu memberi support dana (Financial) sebagai manifestasi Intervensi Pemerintah Daerah terhadap pengembangan serta pelestarian Kultural (Cultural Development), sehingga semua nilai-nilai budaya tersebut tetap eksist dan lestari sebagai symbol riil kebanggan Daerah Luwu Timur.
4. Tempat-tempat yang memiliki nilai Historis seperti gua-gua dan hutan-hutan merupakan asset yang tidak ternilai harganya. Tempat-tempat seperti ini bukan saja dapat menjadi obyek Studi Riset Historis, tetapi juga dapat menjadi obyek-obyek wisata yang sangat menarik bukan saja bagi banyak masyarakat domestic tetapi juga masyarakat mancanegara. Obyek-obyek ini dapat dikembangkan menjadi Industri Pariwisata yang dapat menghasilkan devisa baik bagi masyarakat local maupun bagi Daerah. Oleh karena itu Pemerintah Daerah Cq. Dinas Pariwisata perlu melakukan pelacakan terhadap tempat-tempat penting bersejarah, selanjutnya membuat paket-paket wisata yang dikemas secara professional. Tentu hal tersebut harus dilakukan melalui negosiasi yang sehat dengan melibatkan masyarakat local sehingga dalam perealisasian program ini tidak terjadi benturan yang menimbulkan ekses-ekses sosial, pendekatan ini juga tidak membawa kesan eksploitatif dari pihak pemerintah terhadap asset-asset tersebut yang nota bene telah dikuasai secara bersama oleh masyarakat Adat budaya local. Sebab asset-asset yang bernilai sejarah tersebut juga telah dikuasai sejak ratusan tahun bahkan ribuan tahun silam sehingga realitas ini tidak dapat diabaikan begitu saja dalam sebuah kerangka yang bertajuk “PENGEMBANGAN INDUSTRI PARIWISATA” yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Luwu Timur.
 
REFERENSI
 
 
1. Rahmat Atau Malapetaka, A. Sangaji, Yayasan Tanah Merdeka, Palu, 2002.
2. Tudang Ade, Menelusuri Hari Jadi Luwu, Anton Andi Pangerang, , Ujung Pandang, 1995.
3. Hukum Agraria Indonesia, Undang-undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Hukum Tanah Nasional Jilid I, Prof. Dr. Boedi Harsono, Djambatan, Jakarta.
4. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ketiga, Balai Pustaka Jakarta, 1990.
5. Kebijakan Pengelolaan Hutan Menegasikan Hak Masyarakat Lokal, Walhi, Palu, 2002.
6. Masyarakat Dan Kebudayaan, Kumpulan Karangan Untuk Prof. Dr. Selo Soemardjan, Djambatan, Jakarta, 1988.
7. Kehadiran Gereja Dalam Konteks Kebudayaan Bali Di Warnasari-Astina, I Wayan N. Adiwijaya, STT GKST, Tentena, 1997.
8. Sosiologi Dan Antropologi, Drs. Suparto, Amico, Bandung, 1998.
9. Teologi Lintas Budaya, Daniel J. Adams, BPK, Jakarta, 1990.
10. Ilmu Agama, A.G. Honig, BPK, Jakarta, 1992.
 
 
 
 
 
KEY INFORMAN (INFORMAN KUNCI)
 
 
 
 
 
1. Bpk. A. Kadoena, sesepuh Tambe’e.
2. Bpk. Usman Mathara, Ketua Adat Tambe’e.
3. Bpk. Bervi Sakide, Sekretaris Adat Tambe’e Landangi.
4. Bpk. Saliwu Tengkano, Sesepuh Adat Padoe Wasuponda, Mantan PK Nuha Era Tahun 1970-an.
5. E. Waeo, Sesepuh Karunsi’e di Wasuponda.
 
 
 
 
 
 
 
 
Penulis bernama, I.W.N. Adhiwijaya, Lahir di Tanalanto, Parigi, Sulawesi Tengah pada tanggal 21 November 1972. Dibesarkan dalam lingkungan keluarga petani sederhana. Pada Tahun 1997 Menyelesaikan studi Akademik S1 Theologi pada STT GKST Tentena, Selanjutnya Pada Tahun 1998 ditempatkan oleh Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah sebagai tenaga Organik Vikaris di Jemaat GKST Sion Landangi sebuah Jemaat terpencil bahkan penuh dengan tantangan dan pergumulan bathin di daerah Luwu Timur. Pada Tahun 1999 ditetapkan sebagai Pendeta Gereja dan melanjutkan pelayanan di Landangi di tengah-tengah lingkungan komunitas orang Tambe’e. Selama + 8 (Delapan) Tahun melakukan riset tentang Sejarah, budaya dan kehidupan sosial orang Tambe’e. Hasil riset tersebut telah terimplementasi dalam buku kecil, sederhana dan penuh kekurangan ini. Panggilan untuk melakukan Riset tentang Sejarah, Budaya dan Kehidupan Sosial orang-orang Tambe’e terinspirasi serta dilandasi oleh sebuah motivasi yang kuat agar Nilai-nilai Sejarah, Budaya dan kehidupan sosial yang telah diwariskan oleh leluhur (Father Founding) tidak lenyap begitu saja ditelan sang waktu. Buku kecil ini diharapkan bisa bermanfaat bagi komunitas Tambe’e dalam rangka memproteksi diri terhadap gempuran modernisasi yang jika tidak dicermati dengan benar dapat menimbulkan ekses besar dibidang Sosial yang pada finalnya Persekutuan komunitas Tambe’e akan kehilangan Identitas bahkan terancam oleh Issue Marginalisasi yang sudah sering terjadi dan dialami oleh masyarakat luas saat ini. Di sini Orang Tambe’e harus melakukan Lerning Histories Process atau melakukan Proses belajar dari Sejarah secara continu, yang dengan itu maka Orang Tambe’e sanggup mengkonstruksi sebuah bangunan Sejarah masa depan yang lebih baik. Plus-Minus, Baik-buruknya Sejarah masa lalu tidak satupun yang tidak menjadi Proses belajar. Semua hal yang diaktualisasikan, dipaparkan serta dijelaskan oleh Sejarah adalah cara Sejarah untuk melindungi orang-orang yang disejarahinya agar tidak mengalami distorsi bahkan kepunahan.
<gallery>
<gallery>
Berkas:Contoh.jpg|Judul1
Berkas:Contoh.jpg|Judul2
</gallery>
<gallery>
<gallery>
Berkas:Contoh.jpg|Judul1
Berkas:Contoh.jpg|Judul2
</gallery>
</gallery>
</gallery>