Kesultanan Aceh: Perbedaan antara revisi

[revisi tidak terperiksa][revisi terperiksa]
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
RadityaAnwar11 (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
 
(471 revisi antara oleh lebih dari 100 100 pengguna tak ditampilkan)
Baris 1:
{{lindungidarianon2|small=yes}}
Kesultanan Aceh merupakan kelanjutan dari Kerajaan Samudera Pasai yang hancur pada abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh). Dalam sejarahnya yang panjang itu ([[1496]] - [[1903]]), Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.
{{Infobox country
| conventional_long_name = Kerajaan Aceh Darussalam<br /><small>''Acèh Darussalam''<br />كاورجاون اچيه دارالسلام</small>
| common_name = Aceh
| status = Protektorat
| empire = Kesultanan Utsmaniyah
| status_text = Wilayah [[Negara-negara bawahan dan taklukan Kesultanan Utsmaniyah|protektorat]] [[Kesultanan Utsmaniyah]] <small>(1569–1903)
| religion = [[Islam Sunni]]
| demonym =
| p1 = Kesultanan Lamuri
| p2 = Kesultanan Samudera Pasai
| flag_p1 =
| flag_p2 =
| s1 = Hindia Belanda
| year_start = 1496
| year_end = 1903
| date_start =
| date_end =
| event_start = Pengukuhan sultan pertama
| event_end = [[Perang Aceh]]
| image_flag = Flag of Aceh Sultanate.svg
| flag_type = ''Alam Peudeung Mirah''
| image_coat = [[berkas:Bendera aceh.svg|120px]]
| symbol_type =
| flag_s1 = Flag of the Netherlands.svg
| image_map = [[berkas:Aceh Sultanate id.svg|300px]]
| image_map_caption = Luas Kesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608–1637)
| capital = [[Banda Aceh]]
| common_languages = [[Bahasa Aceh|Aceh]], [[Bahasa Melayu|Melayu Tinggi]], [[Bahasa Arab|Arab]], [[Bahasa Gayo|Gayo]], [[Bahasa Alas|Alas]], [[Bahasa Kluet|Kluet]], [[Bahasa Aneuk Jame|Minang]]
| government_type = [[Monarki]]
| title_leader = [[Daftar penguasa Aceh|Sultan]]
| leader1 = [[Ali Mughayat Syah]]
| year_leader1 = 1496–1530
| leader2 = [[Muhammad Daud Syah dari Aceh]]
| year_leader2 = 1875–1903
| currency = ''deureuham'' dan ''dinar''
| today = {{flag|Indonesia}}<br />{{flag|Malaysia}}<br />{{flag|Singapura}}<br />{{flag|Thailand}}
| footnotes =
| area_km2 =
| area_rank =
}}
 
{{Sejarah Indonesia}}{{Sejarah Malaysia}}
==Awal Mula==
'''Kesultanan Aceh''' didirikan oleh sultan [[Ali Mughayat Syah]] pada tahun [[1496]]. Diawal-awal masa pemerintahannya wilayah Kesultanan Aceh berkembang hingga mencakup [[Daya]], [[Deli]], [[Pedir]], [[Pasai]], dan [[Aru]]. Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama [[Salahudin]], yang kemudian berkuasa hingga tahun [[1537]]. Kemudian Salahudin digantikan oleh [[Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar]] yang berkuasa hingga tahun [[1568]].
 
'''Kesultanan Aceh Darussalam''' ({{lang-ace|Acèh Darussalam}}; [[Abjad Jawi|Jawoë]]: كاورجاون اچيه دارالسلام) merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di provinsi [[Aceh]], [[Indonesia]]. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau [[Sumatra]] dengan ibu kota Banda Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya adalah [[Sultan Ali Mughayat Syah]] yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 [[Hijriyah|H]] atau pada tanggal [[8 September]] [[1507]]. Dalam sejarahnya yang panjang itu ([[1496]]–[[1903]]), Aceh mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, berkomitmen dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.<ref name="melayu">{{Cite web |url=http://history.melayuonline.com/?a=THNWL29QTS9VenVwRnRCb20%3D= |title=Sejarah Kerajaan Aceh di MelayuOnline.com |access-date=2007-06-01 |archive-date=2007-09-27 |archive-url=https://web.archive.org/web/20070927221905/http://history.melayuonline.com/?a=THNWL29QTS9VenVwRnRCb20== |dead-url=yes }}</ref>
==Masa Kejayaan==
Kesultanan Aceh mengalami masa keemasan pada masa kepemimpinan [[Sultan Iskandar Muda]] ([[1607]] - [[1636]]). Pada masa kepemimpinannya, Aceh telah berhasil memukul mundur kekuatan Portugis dari selat Malaka. Kejadian ini dilukiskan dalam La Grand Encyclopedie bahwa pada tahun 1582, bangsa Aceh sudah meluaskan pengaruhnya atas pulau-pulau Sunda (Sumatera, Jawa dan Borneo) serta atas sebagian tanah Semenanjung Melayu. Selain itu Aceh juga melakukan hubungan diplomatik dengan semua bangsa yang melayari Lautan Hindia. Pada tahun 1586, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas [[Selat Malaka]] dan semenanjung Melayu. Walaupun Aceh telah berhasil mengepung Melaka dari segala penjuru, namun penyerangan ini gagal dikarenakan adanya persekongkolan antara Portugis dengan kesultanan [[Pahang]].
Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang masing-masing, seperti [[Hamzah Fansuri]] dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al-U Adyan, [[Syamsuddin al-Sumatrani]] dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-Iman, [[Nuruddin ar-Raniry]] dalam bukunya Sirat al-Mustaqim, dan [[Syekh Abdul Rauf Singkili]] dalam bukunya Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil.
==Kemunduran==
Kemunduran Kesultanan Aceh bermula sejak kemangkatan Sultan Iskandar Tsani pada tahun 1641, disebabkan penguasaan perdagangan oleh Inggeris dan Belanda. Ini juga menyebabkan mereka untuk berlomba menguasai sebanyak-banyaknya kawasan di Nusantara untuk kegiatan perdagangan mereka. Traktat London yang ditandatangani pada 1824 telah memberi kekuasaan kepada Belanda untuk menguasai segala kawasan British/Inggris di Sumatra sementara Belanda akan menyerahkan segala kekuasaan perdagangan mereka di India dan juga berjanji tidak akan menandingi British/Inggris untuk menguasai Singapura.
 
== Sejarah ==
{{utama|Sejarah Aceh}}
 
=== Awal mula ===
{{Kerajaan di Sumatra}}
Kesultanan Aceh didirikan oleh [[Sultan Ali Mughayat Syah]] pada tahun [[1496]]. Pada awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah [[Kerajaan Lamuri]], kemudian menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup [[Kerajaan Daya|Daya]], [[Kerajaan Pedir|Pedir]], [[Kerajaan Lidie|Lidie]], [[Kerajaan Nakur|Nakur]]. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah [[Kesultanan Samudera Pasai|Pasai]] sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan [[Kerajaan Aru|Aru]].
 
Pada tahun [[1528]], Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama [[Sultan Salahuddin dari Aceh|Salahuddin]], yang kemudian berkuasa hingga tahun [[1537]]. Kemudian Salahuddin digantikan oleh [[Sultan Alauddin al-Qahhar|Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar]] yang berkuasa hingga tahun [[1571]].<ref>{{Cite web |url=http://www.indonesianhistory.info/map/sumatrac16.html |title=Sumatra and the Malay peninsula, 16th century |access-date=2011-07-01 |archive-date=2013-09-05 |archive-url=https://web.archive.org/web/20130905005013/http://www.indonesianhistory.info/map/sumatrac16.html |dead-url=yes }}</ref>
{{indo-stub}}
 
=== Masa Kejayaan ===
[[Berkas:AMH-6132-NA_Bird%27s_eye_view_of_the_city_of_Atjeh.jpg|jmpl|ki|300px|Lukisan [[Banda Aceh]] pada tahun 1665 dengan latar istana sultan.]]
 
Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi nyatanya selalu dikendalikan oleh orangkaya atau hulubalang. [[Hikayat Aceh]]<ref>{{Cite book|last=Hidayati|first=Noor|last2=Huriyah|date=November 2021|url=https://www.google.co.id/books/edition/MANUSIA_INDONESIA_ALAM_SEJARAHNYA/S-FWEAAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=Meskipun+Sultan+dianggap+sebagai+penguasa+tertinggi,+tetapi+nyatanya+selalu+dikendalikan+oleh+orangkaya+atau+hulubalang.+Hikayat+Aceh&pg=PA292&printsec=frontcover|title=Manusia Indonesia, Alam & Sejarahnya|location=Yogyakarta|publisher=K-Media|isbn=978-623-316-624-9|editor-last=Ngalimun|pages=292-293|url-status=live}}</ref> menuturkan Sultan yang diturunkan paksa diantaranya Sultan Sri Alam digulingkan pada 1579 karena perangainya yang sudah melampaui batas dalam membagi-bagikan harta kerajaan pada pengikutnya.
 
Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa bulan kemudian karena kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan adu binatang. Raja-raja dan orangkaya menawarkan mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil dari Dinasti Darul Kamal pada 1589. Ia segera mengakhiri periode ketidak-stabilan dengan menumpas orangkaya yang berlawanan dengannya sambil memperkuat posisinya sebagai penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang dampaknya dirasakan pada sultan berikutnya.<ref name=":1">{{cite book | last = Reid | first = Anthony | authorlink = | coauthors = | title = Menuju Sejarah Sumatra, Antara Indonesia dan Dunia | publisher = Yayasan Pustaka Obor Indonesia | date = 2011 | location = Jakarta | pages = 97-99 | url = | doi = | id = }}</ref>
{{multiple image
| align = left
| direction = vertical
| total_width = 220
| image1 = Luís Monteiro Coutinho battling an Acehnese Captain.jpg
| image2 = The death of Luís Monteiro Coutinho.jpg
| image3 = Portuguese martyrs in Aceh.jpg
| footer = Tentara Aceh (kiri) bertempur melawan orang Portugis.
}}
Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan [[Sultan Iskandar Muda]] ([[1607]]–[[1636]]) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa kepemimpinannya, Aceh menaklukkan [[Pahang]] yang merupakan sumber [[timah]] utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas [[Selat Malaka]] dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki [[Kedah]] dan banyak membawa penduduknya ke Aceh.<ref name=":0">{{cite book | last = Lombard | first = Denys | authorlink = | coauthors = | title = Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) | publisher = Kepustakaan Populer Gramedia | date = 2008 | location = Jakarta | pages = | url = | doi = | id = }}</ref>
 
Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Muda) didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan [[Ratu Elizabeth I]]. Semua ini dilakukan untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh.
 
=== Masa Kemunduran ===
Kemunduran Kesultanan Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatra dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.
 
[[Berkas:Diplomat Aceh ke Penang.jpeg|jmpl|300px|Diplomat Aceh di [[Penang]]. Duduk: Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata (kanan). Sekitar tahun 1870-an]]
 
Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan [[Sultan Iskandar Tsani]] hingga serangkaian peristiwa nantinya, di mana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda
 
Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi pengangkatan ratu.
 
Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan pedagang asing tanpa harus melalui pelabuhan sultan di [[ibu kota]]. [[Lada]] menjadi tanaman utama yang dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada dunia hingga akhir abad 19. Namun beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan penguasa nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah masih hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah, masjid raya, Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman. Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti agung) [[Syiah Kuala|Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily]] melakukan berbagai [[reformasi]] terutama perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya ''tiga sagoe''. Hal ini mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa penuh pada daerah ''Bibeueh'' (kekuasaan langsung) semata.
 
Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah ([[1795]]–[[1824]]), seorang keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam. [[Perang saudara]] kembali pecah namun berkat bantuan [[Thomas Raffles|Raffles]] dan Koh Lay Huan, seorang pedagang dari [[Penang]] kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa Prancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai di situ, perang saudara kembali terjadi dalam perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857–1870).
 
Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan yang sudah rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke sultan, hal yang sebelumnya tak mampu dilakukan sultan terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan wilayah timur, sultan mengirimkan armada pada tahun [[1854]] dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen dengan kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh terhadap [[Deli]], [[Langkat]] dan [[Serdang]]. Namun naas, tahun [[1865]] Aceh angkat kaki dari daerah itu dengan ditaklukkannya benteng [[Pulau Kampai, Pangkalan Susu, Langkat|Pulau Kampai]].<ref name="asal mula" />
 
Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha untuk membendung agresi [[Belanda]]. Dikirimkannya utusan kembali ke [[Istanbul]] sebagai pemertegas status Aceh sebagai vassal [[Turki Utsmaniyah]] serta mengirimkan sejumlah dana bantuan untuk [[Perang Krimea]]. Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat tempur untuk Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga berusaha membentuk aliansi dengan [[Prancis]] dengan mengirim surat kepada Raja Prancis Louis Philippe I dan Presiden Republik Prancis ke II (1849). Namun permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius.<ref name=":1" />
 
Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan lemah ke tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku Paya Bakong dan [[Habib Abdoe'r Rahman Alzahier|Habib Abdurrahman Az-zahier]] untuk melawan ekspansi Belanda gagal. Setelah kembali ke ibu kota, Habib bersaing dengan seorang India [[Muhammad Tibang|Teuku Panglima Maharaja Tibang Muhammad]] untuk menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum moderat cenderung mendukung Habib namun sultan justru melindungi Panglima Tibang yang dicurigai bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Riau.<ref name="asal mula">{{cite book | last = Reid | first = Anthony | authorlink = | coauthors = | title = Asal mula konflik Aceh: dari perebutan Pantai Timur Sumatra hingga akhir Kerajaan Aceh abad ke-19 | publisher = Yayasan Obor | date = 2005 | location = Jakarta | pages = | url = | doi = | id = }}</ref>
 
Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan [[Perjanjian Inggris-Belanda 1824|Traktat Sumatra]], di mana disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatra. Pembatasan-pembatasan [[Traktat London]] 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki. Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan karena Turki saat itu baru saja berperang dengan Rusia di Krimea. Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia, Prancis hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan yang dibentuk di Penang untuk meraih simpati Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan ini, Belanda memantapkan diri menyerang ibu kota. Maret 1873, pasukan Belanda mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai awal invasi Belanda Aceh.
 
=== Perang Aceh ===
{{artikel|Perang Aceh}}
 
[[Perang Aceh]] dimulai sejak Belanda menyatakan [[perang]] terhadap Aceh pada [[26 Maret]] [[1873]] setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, tetapi tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun [[1883]], tetapi lagi-lagi gagal, dan pada [[1892]] dan [[1893]], pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
 
Pada tahun 1896 [[Doktor|Dr.]] [[Christiaan Snouck Hurgronje]], seorang ahli [[Islam]] dari [[Universitas Leiden]] yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, memberikan saran kepada Belanda agar merangkul para [[Ulèëbalang]], dan melumatkan habis-habisan kaum ulama. Saran ini baru terlaksanan pada masa Gubernur Jenderal [[Joannes Benedictus van Heutsz]]. Pasukan [[Marsose]] dibentuk dan [[G.C.E. van Daalen (1863-1930)|G.C.E. Van Daalen]] diutus mengejar habis-habisan pejuang Aceh hingga pedalaman.
 
Pada [[1879]] dan [[1898]], Sultan Aceh kala itu, Muhammad Daud Syah II, meminta Rusia untuk memberikan status protektorat kepada Kesultanan Aceh dan membantunya melawan Belanda. Namun, permintaan sultan ditolak Rusia.<ref>{{Cite news|url=https://id.rbth.com/discover_russia/2017/05/04/dari-aceh-hingga-alaska-daerah-daerah-yang-hampir-jadi-kekuasaan-rusia_wyx756089|title=Dari Aceh hingga Alaska: Daerah-daerah yang Hampir Jadi Kekuasaan Rusia|last=Egorov|first=Boris|date=Mei 04, 2017|language=id-ID|access-date=2018-04-09}}</ref>
 
Pada Januari tahun [[1903]] Sultan Muhammad Daud Syah akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. [[Panglima Polem|Panglima Polem Muhammad Daud]], Tuanku Raja Keumala, dan Tuanku Mahmud menyusul pada tahun yang sama pada bulan September. Perjuangan di lanjutkan oleh ulama keturunan Tgk. Chik di Tiro dan berakhir ketika Tgk. Mahyidin di Tiro atau lebih dikenal Teungku Mayed tewas 1910 di Gunung Halimun.<ref>{{cite book | last = Zentgraft | first = Door H.C. | authorlink = | coauthors = | title = ATJEH | publisher = Koninklijke Drukkerij de Unie | date = 1938 | location = Batavia | pages = | url = | doi = | id = }}</ref>
 
=== Restorasi ===
Dengan dibuangnya Sultan Muhammad Daudsyah ke Ambon (kemudian ke Batavia) pada tahun 1907 maka menandakan berakhirnya Kesultanan Aceh, yang telah dibina berabad-abad lamanya. Di akhir tahun 1930-an, berkembang gagasan untuk menghidupkan monarki dengan memulangkan Tuanku Muhammad Daudsyah ke Kutaraja. Belanda tidak menentang secara terbuka gagasan restorasi monarki namun menolak Tuanku Muhammad Daudsyah untuk duduk di singgasana kembali. Sikap Belanda yang demikian membuat pendukung gagasan tersebut mengusulkan Tuanku Mahmud (mantan anggota volksraad dan pegawai pribumi aceh tertinggi di administrasi Belanda di Aceh) sebagai calon Sultan.
 
Usulan ini ditentang keras oleh kelompok Uleebalang yang menikmati otonomi besar pada masa pendudukan Belanda. Mereka khawatir bahwa dengan naiknya sultan maka pengaruh posisi mereka berkurang bahkan hak turun temurun sebagai kepala daerah bisa ditanggalkan. Salah satu tokoh penentang keras dari kaum Uleebalang adalah Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payong (Hasan dik). Penentang di kalangan ulama adalah Teungku Muhammad Daud Beureueh. Beliau bukan tidak ingin kembalinya kesultanan, melainkan tidak menyukai orang yang akan menduduki tahta batee tabal, yaitu Tuanku Ibrahim dan Tuanku Mahmud. Tuanku Ibrahim dianggap memiliki akhlak yang kurang baik sedangkan Tuanku Mahmud meski cakap tapi terlalu dekat dengan Belanda.
 
Kelompok ulama muda terutama yang tergabung dalam PUSA sangat mendukung ide ini. Hal ini dilatar-belakangi banyak di antara mereka yang mengalami kepahitan hidup di bawah kekuasaan para Uleebalang yang hanya tunduk kepada kekuasaan Belanda dan banyak dari uleebalang tersebut bersikap otoriter. Mereka tidak mempunyai tempat untuk mengadukan nasib, karena Belanda senantiasa berpihak kepada Uleebalang. Situasi demikian tidak terjadi jika ada pemerintahan Sultan, setidaknya Sultan berada di bawah bayang-bayang ulama.
 
Namun demikian ide ini kemudian luntur seiring berkuasanya Jepang di Aceh.<ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/43403789|title=Revolusi di serambi Mekah : perjuangan kemerdekaan dan pertarungan politik di Aceh, 1945-1949|last=Sjamsuddin, Nazaruddin.|first=|date=1999|publisher=Penerbit Universitas Indonesia|year=|isbn=979-456-187-8|edition=Cet. 1|location=Jakarta|pages=33-35|oclc=43403789|url-status=live}}</ref>
 
== Pemerintahan ==
 
=== Sultan Aceh ===
{{utama|Sultan Aceh}}
 
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Portret van de Sultan van Atjeh TMnr 10001853.jpg|jmpl|ki|Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat, Sultan Aceh terakhir yang bertahta pada tahun 1874-1903]]
 
'''Sultan Aceh''' atau '''Sultanah Aceh''' adalah penguasa / raja dari Kesultanan Aceh. Sultan awalnya berkedudukan di Gampông Pande, [[Banda Aceh|Bandar Aceh Darussalam]] kemudian pindah ke Dalam Darud Dunia di daerah sekitar pendopo Gubernur Aceh sekarang. Dari awal hingga tahun 1873 ibu kota berada tetap di Bandar Aceh Darussalam, yang selanjutnya akibat Perang dengan Belanda pindah ke Keumala, sebuah daerah di pedalaman Pidie.
 
Sultan/Sultanah diangkat maupun diturunkan atas persetujuan oleh tiga Panglima Sagoe dan Teuku Kadi Malikul Adil (Mufti Agung kerajaan). Sultan baru sah jika telah membayar "Jiname Aceh" (maskawin Aceh), yaitu emas murni 32 kati, uang tunai seribu enam ratus ringgit, beberapa puluh ekor kerbau dan beberapa gunca padi. Daerah yang langsung berada dalam kekuasaan Sultan (Daerah Bibeueh) sejak Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah adalah daerah Dalam Darud Dunia, Masjid Raya, Meuraxa, Lueng Bata, Pagarayée, Lamsayun, Peulanggahan, Gampông Jawa dan Gampông Pande.<ref>{{cite book | last = | first = | authorlink = | coauthors = Ali Hasjmi | title = 20 Tahun Universitas Syiah Kuala | publisher = Percetakan Universitas Syiah Kuala | date = 1980 | location = Banda Aceh, Medan | pages = 376-377 | url = | doi = | id = }}</ref>
 
Lambang kekuasaan tertinggi yang dipegang Sultan dilambangkan dengan dua cara yaitu keris dan cap. Tanpa [[keris]] tidak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas melaksanakan perintah Sultan. Tanpa [[cap]] tidak ada peraturan yang mempunyai kekuatan hukum.<ref>{{cite book | last = Lombard | first = Denys | authorlink = | coauthors = | title = Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) | publisher = Kepustakaan Populer Gramedia | date = 2008 | location = Jakarta | pages = 104 | url = | doi = | id = }}</ref>
 
=== Perangkat Pemerintahan ===
[[File:Sultanate of Aceh.png|thumb|300px|Kesultanan Aceh pada masa kejayaannya di bawah pemerintahan [[Sultan Iskandar Muda]]]]
 
Perangkat pemerintahan Sultan kadang mengalami perbedaan tiap masanya. Berikut adalah badan pemerintahan masa Sultanah di Aceh:
* ''Balai Rong Sari'', yaitu lembaga yang dipimpin oleh Sultan sendiri, yang aggotanya terdiri dari Hulubalang Empat dan Ulama Tujuh. Lembaga ini bertugas membuat rencana dan penelitian.
* ''Balai Majlis Mahkamah Rakyat'', yaitu lembaga yang dipimpin oleh Kadli Malikul Adil, yang beranggotakan tujuh puluh tiga orang; kira-kira semacam Dewan Perwakilan Rakyat sekarang.
* ''Balai Gading'', yaitu Lembaga yang dipimpin Wazir Mu'adhdham Orang Kaya Laksamana Seri Perdana Menteri; kira-kira Dewan Menteri atau Kabinet kalau sekarang, termasuk sembilan anggota Majlis Mahkamah Rakyat yang diangkat.
* ''Balai Furdhah'', yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal ekonomi, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Menteri Seri Paduka; kira-kira Departemen Perdagangan.
* ''Balai Laksamana'', yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal angkatan perang, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Laksamana Amirul Harb; kira-kira Departemen Pertahanan.
* ''Balai Majlis Mahkamah'', yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal kehakiman/pengadilan, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Seri Raja Panglima Wazir Mizan; kira-kira Departemen Kehakiman.
* ''Balai Baitul Mal'', yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal keuangan dan perbendaharaan negara, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Orang Kaya Seri Maharaja Bendahara Raja Wazir Dirham; kira-kira Departemen Keuangan.
 
Selain itu terdapat berbagai pejabat tinggi Kesultanan di antaranya
* ''[[Syahbandar]]'', mengurus masalah perdagangan di pelabuhan
* ''Teuku Kadhi Malikul Adil'', semacam hakim tinggi.
* ''Wazir Seri Maharaja Mangkubumi'', yaitu pejabat yang mengurus segala Hulubalang; kira-kira Menteri Dalam Negeri.
* ''Wazir Seri Maharaja Gurah'', yaitu pejabat yang mengurus urusan hasil-hasil dan pengembangan hutan; kira-kira Menteri Kehutanan.
* ''Teuku Keurukon Katibul Muluk'', yaitu pejabat yang mengurus urusan sekretariat negara termasuk penulis resmi surat kesultanan, dengan gelar lengkapnya Wazir Rama Setia Kerukoen Katibul Muluk; kira-kira Sekretaris Negara.<ref name="Hasjmi">{{cite book | last = Hasjmi | first = Ali | authorlink = | coauthors = | title = 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu| publisher = Bulan Bintang | date = | location = Jakarta | pages = 130 - 133 | url = | doi = | id = }}</ref>
 
=== Ulèëbalang & Pembagian Wilayah ===
[[Berkas:Aceh Islamic plate (Ming dynasty).jpg|jmpl|300px|Keramik dari Fujian pada masa Dinasti Ming, Cina yang dihadiahkan untuk Kesultanan Aceh pada abad ke-17 M]]
 
{{utama|Ulèëbalang}}
Pada waktu Kerajaan Aceh sudah ada beberapa kerajaan seperti Peureulak, Pasée, Pidie, Teunom, Daya, dan lain-lain yang sudah berdiri. Disamping kerajaan ini terdapat daerah bebas lain yang diperintah oleh raja-raja kecil. Pada masa Sultan Iskandar Muda semua daerah tersebut diintegrasikan dengan Kesultanan Aceh dan diberi nama ''Nanggroe'', disamakan dengan tiga daerah inti Kesultanan yang disebut Aceh Besar. Setiap daerah dipimpin oleh Ulèëbalang. Pada masa Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088–1098 [[Kalender Hijriyah|H]] = 1678–1688 [[Masehi|M]]) dengan ''Kadi Malikul Adil'' (Mufti Agung) Tgk. Syaikh Abdurrauf As-Sinkily dilakukan reformasi pembagian wilayah. Kerajaan Aceh dibagi tiga federasi dan daerah otonom. Bentuk federasi dinamakan ''Sagoe'' dan kepalanya disebut ''Panglima Sagoe''. Berikut pembagian tiga segi (Lhée Sagoe):
:* ''Sagoe XXII Mukim'', yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Muda Perkasa Panglima Polem Wazirul Azmi. Kecuali menjadi kepala wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirud Daulah (Menteri Negara).
:* ''Sagoe XXV Mukim'', yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Setia Ulama Kadli Malikul 'Alam. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Ketua Majelis Ulama Kerajaan.
:* ''Sagoe XXVI Mukim'', yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Imeum Muda Panglima Wazirul Uzza. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirul Harb (Menteri Urusan Peperangan).
Dalam setiap Sagoe terdapat ''Gampong''. Setiap gampong memiliki sebuah ''Meunasah''. Kemudian gampong itu membentuk ''Mukim'' yang terdapat satu Masjid untuk melakukan shalat jumat sesuai mazhab Syafi'ie.<ref>{{cite book | last = Lombard | first = Denys | authorlink = | coauthors = | title = Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) | publisher = Kepustakaan Populer Gramedia | date = 2008 | location = Jakarta | pages = | url = | doi = | id = }}</ref> Kecuali dari 3 wilayah Sagoe ini, semua daerah memiliki hak otonom yang luas.<ref name="el Ibra">{{cite book | last = El Ibrahimy | first = M. Nur | authorlink = | coauthors = | title = Kisah Kembalinya Tgk. Mohd Daud Beureueh ke Pangkuan Republik Indonesia | publisher = Penerbit M. Nur El Ibrahimy | date = 1980 | location = Jakarta | pages = 41-42 | url = | doi = | id = }}</ref>
 
[[Ulèëbalang]] yang diberi hak mengurus daerah otonom non ''Lhée Sagoe'', secara teori adalah pejabat sultan yang diberikan ''Sarakata'' pengangkatan dengan ''Cap Sikureueng''. Namun fakta di lapangan mereka adalah merdeka. Memang Sultan Aceh tidak dapat mengontrol semua Ulèëbalang yang telah menjadi pejabat di pedalaman. Dengan lemahnya pengontrolan ini sehingga mereka lambat laun tidak mau tunduk lagi dan mengindahkan kekuasaan Sultan. Mereka mulai berdagang dengan pedagang asing di pelabuhan mereka sendiri. Saudagar-saudagar yang terlibat dalam perdagangan luar negeri ini tidak mau menyetorkannya kepada petugas Sultan, tetapi menyetorkannya kepada Ulèëbalang langsung.<ref name="Snouck">{{cite book | last = Hurgronje | first = Snouck | authorlink = | coauthors = | title = The Acehnese, translated by A.W.O. Sullivian| year = 1906 | publisher = B.J. Brill | location = Leiden | pages = [https://archive.org/details/achehnes01hurg/page/434 434] | url =https://archive.org/details/achehnes01hurg| doi = | id = }}</ref>
 
Ditegaskan juga dalam ''sarakata'' bahwa Ulèëbalang terikat dalam sumpah yang isinya sebagai berikut:
 
{{Quote|text=Demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh, dan sekalian kami yang ada jabatan masing-masing kadar mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami ini semuanya, kami thaat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini thaat setia kepada Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini taat setia kepada raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya cinta pada Negeri Aceh, mempertahankan daripada serangan musuh, kecuali ada masyakkah, dan kami semua ini cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang amanah harta orang yang telah dipercayakan oleh empunya milik. Maka jika semua kami yang telah bersumpah ini berkhianat dengan mengubah janji seperti yang telah kami ikral dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada anak cucu kami dan cicit kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.|sign='''Sumpah Ulee Balang'''|}}
 
Dokumen sumpah itu kemudian disimpan oleh Wazir Rama Setia selaku Sekretaris Kerajaan Aceh, Said Abdullah Di Meuleuk, yang kemudian disimpan secara turun temurun oleh keturunannya hingga saat ini, khusus bagi rakyat yang termasuk dalam daerah wewenangnya, dalam hal ini ia boleh mengangkat seorang Kadi/hakim untuk membantunya. Sebagai penutup ditegaskan, sekiranya Ulée Balang gagal dalam melaksanakan tugasnya menurut hukum-hukum Allah, ia akan kehilangan kepercayaan atasannya.<ref name="el Ibra2">{{cite book | last = El Ibrahimy | first = M. Nur | authorlink = | coauthors = | title = Kisah Kembalinya Tgk. Mohd Daud Beureueh ke Pangkuan Republik Indonesia | publisher = Penerbit M. Nur El Ibrahimy | date = 1980 | location = Jakarta | pages = 51 | url = | doi = | id = }}</ref> Di akhir sarakata itu dianjurkan Uleebalang itu menegakkan shalat lima waktu, melakukan sembahyang Jum'at, mengeluarkan [[zakat]], mendirikan [[masjid]] dan tempat-tempat ibadah lainnya, mendirikan ''dayah'', dan sekiranya kuasa melakukan ibadah haji.
 
== Perekonomian ==
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Gouden haarsieraad voor een bruid TMnr 1698-470.jpg|jmpl|300px|Salah satu kerajinan logam di Aceh]]
 
Aceh banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya:
# Minyak tanah dari [[Deli]],
# Belerang dari [[Pulau Weh]] dan Gunung [[Seulawah]],
# Kapur dari Singkil,
# Kapur Barus dan menyan dari [[Barus]].
# Emas di pantai barat,
# Sutera di Banda Aceh.
 
Selain itu di ibu kota juga banyak terdapat pandai [[emas]], [[tembaga]], dan [[akik]] yang mengolah barang mentah menjadi barang jadi. Sedang [[Pidie]] merupakan lumbung beras bagi kesultanan.<ref>{{cite book | last = Lombard | first = Denys | authorlink = | coauthors = | title = Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) | publisher = Kepustakaan Populer Gramedia | date = 2008 | location = Jakarta | pages = 87 | url = | doi = | id = }}</ref> Namun di antara semua yang menjadi komoditas unggulan untuk diekspor adalah [[lada]].
 
Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor Aceh mencapai 1,9 juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta diangkut oleh pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal dagang India, [[Prancis]], dan Arab. Pusat lada terletak di pantai Barat yaitu Rigas, [[Teunom, Aceh Jaya|Teunom]], dan [[Meulaboh]].<ref name="asal mula"/>
 
== Kebudayaan ==
 
=== Arsitektur ===
[[Berkas:Gunongan_Putroë_Phang.JPG|jmpl|[[Taman Putroe Phang|Gunongan]]]]
[[Berkas:Kandang_Taman_Ghairah.JPG|jmpl|Kandang (komplek makam) [[Sultan Iskandar Tsani]]]]
 
Tidak terlalu banyak peninggalan bangunan zaman Kesultanan yang tersisa di Aceh. Istana Dalam Darud Donya telah terbakar pada masa perang Aceh - Belanda. Kini, bagian inti dari Istana Dalam Darud Donya yang merupakan tempat kediaman Sultan Aceh telah berubah menjadi Pendapa Gubernur Aceh dan "asrama keraton" TNI AD. Perlu dicatat bahwa pada masa Kesultanan bangunan batu dilarang karena ditakutkan akan menjadi benteng melawan Sultan. Selain itu, Masjid Raya Baiturrahman saat ini bukanlah arsitektur yang sebenarnya dikarenakan yang asli telah terbakar pada masa Perang Aceh - Belanda. Peninggalan arsitektur pada masa kesultanan yang masih bisa dilihat sampai saat ini antara lain [[Benteng Indrapatra|Benteng Indra Patra]], [[Masjid Tua Indrapuri]], Komplek Kandang XII (Komplek Pemakaman Keluarga Kesultanan Aceh), Pinto Khop, Leusong dan [[Taman Putroe Phang|Gunongan]] dipusat Kota Banda Aceh. Taman Ghairah yang disebut Ar Raniry dalam Bustanus Salatin sudah tidak berjejak lagi.<ref name=":0"/>
 
=== Kesusasteraan ===
Sebagaimana daerah lain di Sumatra, beberapa cerita maupun legenda disusun dalam bentuk [[hikayat]]. Hikayat yang terkenal di antaranya adalah [[Hikayat Malem Dagang]] yang berceritakan tokoh heroik Malem Dagang berlatar penyerbuan Malaka oleh angkatan laut Aceh. Ada lagi yang lain yaitu [[Hikayat Malem Diwa]], Hikayat Banta Beuransah, Gajah Tujoh Ulee, Cham Nadiman, [[Hikayat Pocut Muhammad]], [[Hikayat Prang Gompeuni]], Hikayat Habib Hadat, Kisah Abdullah Hadat dan [[Hikayat Prang Sabi]].<ref name="Snouck"/>
 
Salah satu karya kesusateraan yang paling terkenal adalah [[Bustanus Salatin]] (Taman Para Sultan) karya Syaikh [[Nuruddin Ar-Raniry]] disamping [[Tajus Salatin]] (1603), [[Sulalatus Salatin]] (1612), dan [[Hikayat Aceh]] (1606–1636). Selain Ar-Raniry terdapat pula penyair Aceh yang agung yaitu [[Hamzah Fansuri]] dengan karyanya antara lain ''Asrar al-Arifin'' (Rahasia Orang yang Bijaksana), ''Syarab al-Asyikin'' (Minuman Segala Orang yang Berahi), ''Zinat al-Muwahhidin'' (Perhiasan Sekalian Orang yang Mengesakan), Syair Si Burung Pingai, Syair Si Burung Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Dagang dan Syair Perahu.
 
=== Karya Agama ===
Para ulama Aceh banyak terlibat dalam karya di bidang keagamaan yang dipakai luas di Asia Tenggara. Syaikh Abdurrauf menerbitkan terjemahan dari Tafsir Alqur'an ''Anwaarut Tanzil wa Asrarut Takwil'', karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad Syirazi Al Baidlawy ke dalam bahasa [[jawi]].
 
Kemudian ada Syaikh Daud Rumy menerbitkan ''Risalah'' ''Masailal Muhtadin li Ikhwanil Muhtadi'' yang menjadi kitab pengantar di [[dayah]] sampai sekarang. Syaikh Nuruddin Ar-Raniry setidaknya menulis 27 kitab dalam bahasa melayu dan arab. Yang paling terkenal adalah ''Sirath al-Mustaqim'', kitab fiqih pertama terlengkap dalam bahasa melayu.<ref name="Hasjmi"/>
 
=== Militer ===
 
[[Berkas:Three cannons of Aceh.jpg|jmpl|150x150px|Tiga meriam yang dimiliki Kesultanan Aceh.]]
Pada masa Sultan Selim II dari Turki Utsmani, dikirimkan beberapa teknisi dan pembuat senjata ke Aceh.<ref>{{Cite journal|last=Hartono|first=Hartono|date=2023-01-02|title=DIPLOMASI ACEH DAN TURKI UTSMANI: KERJA SAMA DAKWAH ISLAM DALAM BINGKAI PERDAGANGAN ABAD XVI-XIX MASEHI|url=https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/jat/article/view/19253|journal=Al-Tsaqafa : Jurnal Ilmiah Peradaban Islam|volume=19|issue=2|pages=159–166|doi=10.15575/al-tsaqafa.v19i2.19253|issn=2654-4598}}</ref> Selanjutnya Aceh kemudian menyerap kemampuan ini dan mampu memproduksi meriam sendiri dari kuningan.<ref>''Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia'' Josef W. Meri hal. 465 [http://books.google.com/books?id=H-k9oc9xsuAC&pg=PA465]</ref>
 
=== Foto Bersejarah ===
 
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Portret van de pretendent Sultan van Atjeh met volgelingen TMnr 10001836.jpg|jmpl|Sultan Muhammad Daud Syah, sultan Aceh terakhir bersama pengawalnya.|199x199px]]
 
== Lihat pula ==
* [[Sejarah Aceh]]
* [[Sultan Aceh]]
* [[Kesultanan Peureulak]]
* [[Kesultanan Samudera Pasai]]
* [[Kerajaan Linge]]
* [[Kerajaan Pedir]]
* [[Kerajaan Daya]]
* [[Kenegerian Trumon]]
* [[Kesultanan Asahan]]
* [[Kanun Syarak Kerajaan Aceh]]
 
== Referensi ==
{{reflist|30em}}{{Portal|Sejarah Indonesia}}
 
== Pranala luar ==
{{wikisource|Surat Sultan Aceh Ibrahim Mansur Syah Kepada Presiden Prancis}}
* {{id}} [http://kawansejati.ee.itb.ac.id/node/15655 Sejarah bertinta emas pernah terukir di Bumi Aceh] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20111027052946/http://kawansejati.ee.itb.ac.id/node/15655 |date=2011-10-27 }}
* {{id}} [http://swaramuslim.net/more.php?id=A495_0_1_0_M Sejarah Islam di Indonesia di swaramuslim.net] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20080502140854/http://swaramuslim.net/more.php?id=A495_0_1_0_M |date=2008-05-02 }}
* {{id}} [http://ricisan.wordpress.com/2007/01/05/sedikit-bercerita-tentang-atjeh/ Sedikit Bercerita tentang Atjeh]
* {{id}} [http://history.melayuonline.com/?a=THNWL29QTS9VenVwRnRCb20%3D= Sejarah Kerajaan Aceh di MelayuOnline.com] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20070927221905/http://history.melayuonline.com/?a=THNWL29QTS9VenVwRnRCb20== |date=2007-09-27 }}
* {{en}} [http://flagspot.net/flags/id-pra.html#atjeh Bendera-bendera yang digunakan oleh Kesultanan Aceh]
* Johan Wahyudhi (2016) ''[http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/31755 Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI-XVII].'' Jakarta '':'' UIN Syarif Hidayatullah
 
{{Kerajaan di Sumatra}}{{Authority control}}
 
{{DEFAULTSORT:Aceh, Kesultanan}}
[[Kategori:Kesultanan Aceh| ]]
[[Kategori:Kerajaan di Nusantara|Aceh]]
[[Kategori:Kerajaan di Aceh|Aceh]]
[[Kategori:Kerajaan di Indonesia]]
[[Kategori:Sejarah Aceh]]
[[Kategori:Sejarah Indonesia]]
[[Kategori:Sejarah Indonesia menurut provinsi]]
[[Kategori:Bekas kerajaan di Asia]]
[[Kategori:Aceh]]
[[enKategori:AcehBekas Sultanatekesultanan]]
[[Kategori:Negara prakolonial di Indonesia]]