Albertus Soegijapranata: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
hasil terjemahan
M2Cruiser (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
 
(177 revisi perantara oleh 64 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Featured article}}
{{Infobox Christian leader
| honorific-prefix = Mgr.Yang Mulia
| name = Albertus Soegijapranata
| honorific-suffix = SJ[[Yesuit|S.J.]]
| native_name =
| native_name_lang =
| title = [[Keuskupan Agung Semarang|Uskup Agung Semarang]]
| image = Sugiyo Pranoto 17 AugustMgr. 1950Albertus KRSoegijapranata.jpgjpeg
| image_size = 180px
| alt =
| caption = Soegijapranata,Foto padaresmi tahun 1947Soegijapranata
| church =
| archdiocese = [[Roman Catholic Archdiocese of Semarang|Semarang]]
<!--| province = Semarang
| metropolis = Semarang-->
| diocese =
| see =
| elected =
| appointed = 1&nbsp; Agustus 1940
| term =
| term_start =
| quashed =
| term_end = 22&nbsp; Juli 1963
| predecessor = NoneTidak ada, jabatan baru
| opposed =
| successor = [[Justinus Darmojuwono]]
| other_post =
<!---------- Orders ---------->
| ordination = 15&nbsp;Agustus 1931
| ordinated_by = [[Laurentius Schrijnen]]
| consecration = 6&nbsp;Oktober 1940
| consecrated_by = [[Petrus Johannes Willekens]]
| cardinal =
| rank =
<!---------- Personal details ---------->
| birth_name = Soegija
| birth_date = {{Birth date|df=yes|1896|11|25}}
| birth_place = [[Surakarta]], [[Hindia Belanda]]
| death_date = {{Death date and age|df=yes|1963|07|22|1896|11|25}}
| death_place = [[Steyl]], [[Belanda]]
| buried = [[Taman Makam Pahlawan GiritunggalGiri Tunggal]]
| nationality = Indonesia
| religion = [[Katolik]]
| residence =
| parents = {{plainunbulleted list|Ayah: Karijosoedarmo|Ibu: Soepiah}}
|occupation =
*Karijosoedarmo <small>(ayah)</small>
|profession =
*Soepiah <small>(ibu)</small>
|previous_post =
}}
|education occupation =
| professionalma_mater =
|motto = "''In Nomine Jesu''" <br/> (Dalam nama Yesus)
| previous_post =
| educationsignature =
| alma_mater signature_alt =
|coat_of_arms =
| motto = 100% Katolik, 100% Indonesia{{sfn|Gonggong|2012|p=138}}
|coat_of_arms_alt =
| signature =
| signature_alt =
| coat_of_arms =
| coat_of_arms_alt =
<!---------- Other ---------->
| other =
}}
{{Spoken Wikipedia|Dionisius Agus Puguh Santosa - Bagian 1 - Albertus Soegijapranata.wav|Dionisius Agus Puguh Santosa - Bagian 2 - Albertus Soegijapranata.wav|Dionisius Agus Puguh Santosa - Bagian 3 - Albertus Soegijapranata.wav|Dionisius Agus Puguh Santosa - Bagian 4 - Albertus Soegijapranata.wav|Dionisius Agus Puguh Santosa - Bagian 5 - Albertus Soegijapranata.wav|date=29 September 2022}}
[[Mgr.]] '''Albertus Soegijapranata''', [[Society of Jesus|SJ]] ([[EYD|Ejaan Yang Disempurnakan]]: '''Albertus Sugiyapranata''', juga dikenal dengan tulisan gaya [[bahasa Jawa|Jawa]] '''Albertus Sugiyopranoto'''; 25 November 1896&nbsp;– 22 Juli 1963), lebih dikenal dengan nama lahir '''Soegija''', merupakan Vikar Apostolik [[Semarang]], lalu [[uskup agung]]. Dia merupakan [[uskup]] [[orang pribumi|pribumi]] pertama dan dikenang untuk pendiriannya yang pro-nasionalis, yang sering disebut "100% Katolik, 100% Indonesia".
 
Mgr. '''Albertus Soegijapranata''', {{post-nominals|post-noms=[[Yesuit|S.J.]]}} ([[EYD]]: '''Albertus Sugiyapranata'''; {{lahirmati||25|11|1896||22|7|1963}}), lebih dikenal dengan nama lahir '''Soegija''', merupakan Vikaris Apostolik [[Semarang]], kemudian menjadi [[uskup agung]]. Ia merupakan [[uskup]] [[pribumi]] Indonesia pertama dan dikenal karena pendiriannya yang pro-nasionalis, yang sering disebut "100% Katolik, 100% Indonesia".
Soegija dilahirkan di [[Surakarta]], [[Hindia Belanda]], oleh seorang [[abdi dalem]] dan istrinya. Keluarga Muslim itu lalu pindah ke kota [[Yogyakarta]] saat Soegija masih kecil, dan di kota itulah dia mulai pendidikannya. Karena diakui sebagai anak yang cerdas, pada tahun 1909 Soegija diminta oleh Pr. [[Frans van Lith]] untuk bergabung dengan Kolese Xaverius, suatu sekolah [[Yesuit]] di [[Muntilan]]. Di Xaverius Soegija menjadi tertarik dengan agama Katolik, dan dibaptis pada tanggal 24&nbsp;Desember 1910; keputusan ini akhirnya direstui keluarga Soegija, yang juga bisa mendukung pilihannya untuk menjadi seorang romo. Setelah lulus dari Xaverius pada tahun 1915 dan menjadi seorang guru di sana selama satu tahun, Soegija menghabiskan dua tahun belajar di [[seminari]] di Muntilan sebelum berangkat ke [[Belanda]] pada tahun 1919. Dia menjadi [[novisiat]] dengan Serikat Yesus selama dua tahun di [[Grave]]; dia juga menyelesaikan yuniorat di Grave pada tahun. Setelah tiga tahun belajar filsafat di Kolese Berchmann di [[Oudenbosch]], dia dikirimkan kembali ke Muntilan sebagai guru; dia bekerja di sana selama dua tahun. Pada tahun 1928 di kembali ke Belanda untuk belajar teologi di [[Maastricht]]; di Maastricht dia [[penahbisan|ditahbiskan]] oleh Uskup [[Roermond]], Laurentius Schrijnen, pada tanggal 15&nbsp;Agustus 1931. Setelah ini Soegija menambahkan kata "pranata" di belakang namanya. Pada tahun 1933 Soegijapranata dikirim kembali ke Hindia Belanda untuk menjadi pastor.
 
Soegija dilahirkan di [[Surakarta]], [[Hindia Belanda]], dari keluarga seorang [[abdi dalem]] dan istrinya. Keluarga Muslim itu lalu pindah ke kota [[Yogyakarta]] saat Soegija masih kecil. Karena diakui sebagai anak yang cerdas, pada tahun 1909 Soegija diminta oleh Pr. [[Frans van Lith]] untuk bergabung dengan Kolese Xaverius, suatu sekolah [[Yesuit]] di [[Muntilan]]. Di sana Soegija menjadi tertarik dengan agama Katolik, dan dibaptis pada tanggal 24&nbsp;Desember 1910. Setelah lulus dari Xaverius pada tahun 1915 dan menjadi seorang guru di sana selama satu tahun, Soegija menghabiskan dua tahun belajar di [[seminari]] di Muntilan sebelum berangkat ke [[Belanda]] pada tahun 1919. Ia menjalani masa pendidikan calon biarawan dengan Serikat Yesus selama dua tahun di [[Grave]]; ia juga menyelesaikan ''juniorate''<!--yuniorat tidak ada di KBBI--> di sana pada tahun 1923. Setelah tiga tahun belajar filsafat di Kolese Berchmann di [[Oudenbosch]], ia dikirim kembali ke Muntilan sebagai guru; ia bekerja di sana selama dua tahun. Pada tahun 1928 ia kembali ke Belanda untuk belajar teologi di [[Maastricht]], dan [[penahbisan|ditahbiskan]] pada tanggal 15&nbsp;Agustus 1931. Setelah itu Soegija menambahkan kata "pranata" di belakang namanya. Pada tahun 1933 Soegijapranata dikirim kembali ke [[Hindia Belanda]] untuk menjadi pastor.
Soegijapranata mulai keimamannya sebagai vikar paroki untuk Pr. van Driessche di Paroki Kidul Loji, Yogyakarta pusat, tetapi diberi paroki sendiri setelah Gereja St Yoseph di Bintaran dibuka pada bulan April 1934. Tahun berikutnya tugasnya ditambah lagi dengan [[Gereja Ganjuran|paroki di Ganjuran]], [[Kabupaten Bantul|Bantul]]. Dalam periode ini dia berusaha untuk meningkatakn rasa ke-Katolikan dalam masyarakat Katolik dan menekankan perlunya hubungan yang kuat antara keluarga katolik. Pada tahun 1940 Soegijapranata [[konsekrasi|dikonsekrasikan]] oleh Vikar Apostolik Batavia Petrus Willekens sebagai vikar apostolik dari Vikariat Apostolik Semarang, yang baru didirikan. Biarpun jumlah orang Katolik meningkat setelah dia dikonsekrasikan, Soegijapranata harus menghadapi berbagai tantangan. [[Kekaisaran Jepang]] menduduki nusantara Hindia Belanda pada awal tahun 1942, dan selama [[Sejarah Nusantara (1942-1945)|periode pendudukan]] banyak gereja diambilalihkan dan banyak pastor, baik yang keturunan Eropa maupun pribumi, ditangkap atau dibunuh. Soegijapranata bisa menentang beberapa kejadian ini, dan menghabiskan periode pendudukan dengan melayani orang Katolik dalam vikariatnya sendiri.
 
Soegijapranata memulai keimamannya sebagai vikaris paroki untuk Pr. van Driessche di Paroki Kidul Loji, [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]], tetapi diberi paroki sendiri setelah Gereja St. Yoseph di [[Bintaran, Yogyakarta|Bintaran]] dibuka pada tahun 1934. Dalam periode ini ia berusaha untuk meningkatkan rasa ke-Katolikan dalam masyarakat Katolik dan menekankan perlunya hubungan yang kuat antara keluarga Katolik. Pada tahun 1940 Soegijapranata [[konsekrasi|dikonsekrasikan]] sebagai vikaris apostolik dari Vikariat Apostolik Semarang, yang baru didirikan. Meskipun jumlah pemeluk Katolik meningkat setelah ia dikonsekrasikan, Soegijapranata harus menghadapi berbagai tantangan. [[Kekaisaran Jepang]] menduduki Hindia Belanda pada awal tahun 1942, dan selama [[Sejarah Nusantara (1942-1945)|periode pendudukan]] itu banyak gereja diambil alih dan banyak pastor ditangkap atau dibunuh. Soegijapranata bisa lolos dari kejadian ini, dan menghabiskan periode pendudukan dengan mendampingi orang Katolik dalam vikariatnya sendiri.
Setelah Presiden [[Soekarno]] [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|memproklamasi kemerdekaan Indonesia]], Semarang dipenuhi dengan kekacauan. Soegijapranata membantu dalam penyelesaian [[Pertempuran Lima Hari]], yang terjadi antara pihak Jepang dan Indonesia, dan menuntut agar pemerintah pusat mengirim orang untuk menghadapi kerusuhan di Semarang. Biarpun permintahan ini ditanggapi, Semarang menjadi semakin rusuh dan pada tahun 1947 Soegijapranata berpindah ke Yogyakarta. Selama [[Revolusi Nasional Indonesia|revolusi nasional]] Soegijapranata bergerak untuk meningkatkan tingkat pengakuan Indonesia di dunia luas dan meyakinkan orang Katolik untuk berjuang demi negera mereka. Tidak lama setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, Soegijapranata kembali ke Semarang. Dalam periode paska-revolusi di menulis banyak mengenai komunisme dan berusaha untuk mengembangkan pengaruh Katolik; dia juga menjadi perantara dengan beberapa faksi politik. Pada tanggal 3&nbsp;Januari 1961 dia diangkat sebagai uskup agung, saat [[Tahta Suci]] mendirikan enam provinsi eklesiastik di nusantara Indonesia. Soegijapranata menjadi anggota Komisi Persiapan Sentral dan bergabung dengan sesi pertama dari [[Konsili Vatikan&nbsp;II]]. Dia meninggal pada tahun 1963 di [[Steyl]], Belanda, tidak lama setelah dipilihnya [[Paus Paulus&nbsp;VI]]. Setelah kematiannya jenazah Soegijapranata diterbangkan kembali ke Indonesia, di mana dia dijadikan seorang [[Pahlawan nasional Indonesia|Pahlawan Nasional]] dan dikebumikan di [[Taman Makam Pahlawan Giritunggal]], Semarang.
 
Setelah Presiden [[Soekarno]] [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|memproklamasi kemerdekaan Indonesia]], Semarang dipenuhi dengan kekacauan. Soegijapranata membantu menyelesaikan [[Pertempuran Lima Hari]] dan menuntut agar pemerintah pusat mengirim seseorang dari pemerintah untuk menghadapi kerusuhan di Semarang. Biarpun permintaan ini ditanggapi, Semarang menjadi semakin rusuh dan pada tahun 1947 Soegijapranata pindah ke Yogyakarta. Selama [[Revolusi Nasional Indonesia|revolusi nasional]] Soegijapranata berusaha untuk meningkatkan pengakuan Indonesia di dunia luas dan meyakinkan orang Katolik untuk berjuang demi negera mereka. Tidak lama setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, Soegijapranata kembali ke Semarang. Dalam periode pasca-revolusi ia banyak menulis mengenai komunisme dan berusaha untuk mengembangkan pengaruh Katolik, serta menjadi perantara beberapa faksi politik. Pada tanggal 3&nbsp;Januari 1961 ia diangkat sebagai uskup agung, saat [[Tahta Suci]] mendirikan enam provinsi gerejawi di wilayah Indonesia. Soegijapranata bergabung dengan sesi pertama dari [[Konsili Vatikan&nbsp;II]]. Ia meninggal pada tahun 1963 di [[Steyl]], Belanda dan jenazahnya diterbangkan kembali ke Indonesia. Ia dijadikan seorang [[Daftar pahlawan nasional Indonesia|Pahlawan Nasional]] dan dikebumikan di [[Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal]], Semarang.
Soegijapranata sampai sekarang dihormati orang Indonesia, baik yang Katolik maupun bukan. Berbagai biografi tentang dia sudah ditulis oleh berbagai penulis, baik yang Katolik maupun bukan, dan pada tahun 2012 sebuah film [[biopik]] fiksi garapan [[Garin Nugroho]], yang diberi judul ''[[Soegija]]'', diluncurkan. [[Universitas Katolik Soegijapranata]], sebuah universitas besar di Semarang, dinamakan untuk Soegijapranata.
 
Soegijapranata sampai sekarang dihormati orang Indonesia, baik pemeluk Katolik maupun bukan. Berbagai biografi tentang ia sudah ditulis oleh berbagai penulis, dan pada tahun 2012 sebuah film [[biopik]] fiksi garapan [[Garin Nugroho]], yang diberi judul ''[[Soegija]]'', diluncurkan. [[Universitas Katolik Soegijapranata]], sebuah universitas di Semarang, dinamakan untuk Soegijapranata.
==Kehidupan awal==
Soegija dilahirkan pada tanggal 25&nbsp;November 1896 di [[Surakarta]]. Dia merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara, dengan ayah Karijosoedarmo, seorang ''[[abdi dalem]]'' di [[Susuhunan|Susuhunan Surakarta]], dan ibu Soepiah. Keluarga tersebut merupakan keluarga Muslim [[abangan]], dan kakek Soegija, Soepa, seorang [[kyai]].{{sfn|Subanar|2003|pp=19–21}}{{sfn|Gonggong|2012|p=10}}{{sfn|Flinn|2010|pp=576–577}} Namanya Soegija diambil dari kata ''sugih'' dalam [[bahasa Jawa]], yang berarti "kaya".{{sfn|Gonggong|2012|p=11}} Keluarga itu lalu berpindah ke Ngabean, [[Yogyakarta]]. Di sana, Karijosoedarmo bertugas sebagai ''abdi dalem'' di [[Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat]] untuk Sultan [[Hamengkubuwono&nbsp;VII]], sementara istrinya menjadi pedagang ikan;{{sfn|Subanar|2003|pp=19–21}} keluarga Soegija miskin, dan sering kurang makan.{{sfn|Moeryantini|1975|p=13}} Soegija anak yang berani, suka berkelahi, pintar bermain [[sepak bola]], dan dikenal karena kecerdasannya sejak kecil.{{sfn|Gonggong|2012|p=19}} Saat masih kecil, Soegija [[saum|berpuasa]] bersama ayahnya, sesuai hukum Islam.{{sfn|Gonggong|2012|p=11}}
 
== Kehidupan awal ==
Soegija mulai menempuh pendidikannya di sebuah Sekolah ''Angka Loro'' di wilayah Kraton. Di sana, dia belajar membaca dan menulis. Dia kemudian dipindahkan ke suatu sekolah di Wirogunan, Yogyakarta, dekat [[Pakualaman]]. Pada tahun ketiga dia mulai menempuh pendidikan di sebuah Hollands Inlands School di Lempuyangan.{{sfn|Subanar|2003|p=27}} Di luar sekolah dia belajar [[gamelan]] dan [[tembang|bertembang]] bersama orang tuanya.{{sfn|Subanar|2003|pp=19–21}} Sekitar tahun 1909 Soegija diminta oleh Pr. [[Frans van Lith]] untuk bergabung dengan sebuah sekolah [[Yesuit]] di [[Muntilan]], 30 kilometer ke barat laut dari Yogyakarta. Biarpun awalnya kedua orang tuanya khawatir bahwa Soegija akan menjadi seperti anak Eropa, mereka merestui.{{sfn|Subanar|2003|pp=28–29}}
Soegija dilahirkan pada 25&nbsp;November 1896 di [[Surakarta]]. Ia merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara, dengan ayah Karijosoedarmo, seorang ''abdi dalem'' di [[kasunanan Surakarta|Keraton Kasunanan Surakarta]], dan ibu Soepiah. Keluarga tersebut merupakan keluarga Muslim [[abangan]], dan kakek Soegija, Soepa, seorang [[kyai]].{{sfn|Subanar|2003|pp=19–21}}{{sfn|Gonggong|2012|p=10}}{{sfn|Flinn|2010|pp=576–577}} Namanya Soegija diambil dari kata ''sugih'' dalam [[bahasa Jawa]], yang berarti "kaya".{{sfn|Gonggong|2012|p=11}} Keluarga itu lalu berpindah ke Ngabean, [[Yogyakarta]]. Di sana, Karijosoedarmo bertugas sebagai ''abdi dalem'' di [[Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat]] untuk Sultan [[Hamengkubuwono&nbsp;VII]], sementara istrinya merupakan pedagang ikan;{{sfn|Subanar|2003|pp=19–21}} keluarga Soegija miskin, dan sering kurang makan.{{sfn|Moeryantini|1975|p=13}} Soegija anak yang berani, suka berkelahi, pintar bermain [[sepak bola]], dan dikenal karena kecerdasannya sejak kecil.{{sfn|Gonggong|2012|p=19}} Saat masih kecil, Soegija [[saum|berpuasa]] bersama ayahnya, sesuai hukum [[Islam]].{{sfn|Gonggong|2012|p=11}}
 
{{multiple image
==Kolese Xaveriuse==
| align = left
Pada tahun 1909 Soegija mulai di Kolese Xaverius di Muntilan, sebuah sekolah untuk calon guru, dan menginap di asrama.{{sfn|Subanar|2003|pp=34–35}}{{sfn|Gonggong|2012|p=14}} Ada 54 siswa lain dalam angkatannya. Anak-anak itu mengikuti jadwal pelajaran yang ketat. Mereka mengikuti pelajaran di pagi hari dan mengisi siang hari dengan kegiatan lain, seperti berkebenu, berdebat, dan catur. Anak-anak Katolik juga diwajibkan untuk rajin berdoa.{{sfn|Subanar|2003|pp=36–37}} Biarpun kolese itu tidak mewajibkan siswanya menjadi orang Katolik, Soegija merasa tertekan oleh teman-temannya; oleh karena itu, sering terjadi perkelahian. Saat Soegija mengeluh kepada gurunya, Pr. L. van Rijckevorsel, bahwa para pastor Belanda sama seperti pedagang Belanda di kota, yaitu hanya memikirkan uang, romo itu menjawab bahwa mereka tidak digaji dan hanya mengharapkan yang terbaik untuk siswa-siswa mereka. Ini membuat Soegija lebih menghargai para guru, dan saat van Rijckevorsel memberi tahu siswa lain bahwa Soegija tidak ingin menjadi Katolik, anak-anak itu tidak lagi menekankan Soegija.{{sfn|Subanar|2003|pp=34–35}}
| total_width = 300
| direction = horizontal
| image1 = Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ.jpg
| caption1 = Albertus Soegijapranata berdiri paling kiri
| image2 = Albertus Soegijapranata Muda.jpg
| alt2 = Albertus Soegijapranata Muda
| caption2 = Pater Albertus Soegijapranata pada masa mudanya
}}
 
Soegija mulai menempuh pendidikannya di sebuah Sekolah ''Angka Loro'' di wilayah Kraton. Di sana, ia belajar membaca dan menulis. Ia kemudian dipindahkan ke suatu sekolah di Wirogunan, Yogyakarta, dekat [[Pakualaman]]. Pada tahun ketiga ia mulai menempuh pendidikan di sebuah Hollands Inlands School di Lempuyangan.{{sfn|Subanar|2003|p=27}} Di luar sekolah ia belajar [[gamelan]] dan [[tembang|menembang]] bersama orang tuanya.{{sfn|Subanar|2003|pp=19–21}} Sekitar 1909 Soegija diminta oleh Pater [[Frans van Lith]] untuk bergabung dengan sebuah sekolah [[Yesuit]] di [[Muntilan]], 30 kilometer barat laut Yogyakarta. Biarpun awalnya kedua orang tuanya khawatir bahwa Soegija akan menjadi seperti anak Eropa, mereka merestui.{{sfn|Subanar|2003|pp=28–29}}
[[File:AlbertusMagnus.jpg|thumb|[[Albertus Magnus]], seorang santo dari abad ke-13; nama baptis Soegija didasarkan nama Albertus]]
Tahun berikutnya Soegija minta agar bisa mengikuti pelajaran agama Katolik; menurut dia, ini agar dia bisa menggunakan fasilitas sekolah dengan sepenuhnya. Gurunya, Pr. Mertens, menyatakan bahwa Soegija memerlukan izin orang tua sebelum dia bisa bergabung; biarpun orang tuanya tidak merestui, Soegija masih diizinkan mengikuti pelajaran. Soegija menjadi tertarik dengan soal [[Tritunggal]], dan meminta keterangan dari beberapa guru. Van Lith mengutip karya-karya [[Thomas Aquinas]], sementara Mertens membahas Tritunggal berdasarkan karya [[Agustinus dari Hippo]]; Mertens menyatakan bahwa manusia tidak dimaksud untuk benar-benar memahami Tuhan, sebab pengetahuan manusia terbatas.{{sfn|Subanar|2003|pp=38–40}} Soegija, yang menjadi semakin tertarik, minta agar [[baptis|dibaptis]]; dia mengutip cerita Kristus dan Para Dokter untuk menunjukkan mengapa dia tidak memerlukan restu orang tua. Para romo menyetujui pembaptisan itu, dan Soegija dibaptis pada tanggal 24&nbsp;Desember 1910; dia mengambil nama baptis Albertus,{{sfn|Subanar|2003|pp=38–40}} berdasarkan nama [[Albertus Magnus]].{{sfn|Subanar|2003|p=91}} Saat liburan Natal, Soegija menceritakan hal ini kepada keluarganya. Biarpun ayah dan ibunya bisa menerima, dan bahkan mungkin merestui,{{efn|Adik perempuan dari Soegija konon belajar di sekolah Katolik di Muntilan saat meninggal. Ini dianggap Subanar sebagai bukti bahwa keluarga Soegija dapat merestui perpindahan agama itu {{harv|Subanar|2003|p=41}}.}} keluarga luas Soegija tidak mau berurusan dengannya lagi.{{sfn|Subanar|2003|p=41}}
 
== Kolese Xaverius ==
Soegija terus melanjutkan pelajarannya di Xaverius. Menurut Pr. G. Budi Subanar, seorang dosen [[ilmu teologi]] di [[Universitas Sanata Dharma]], dalam periode ini salah satu guru mengajarkan Perintah Keempat dari [[Sepuluh Perintah Allah]] dengan pengertian bahwa seseorang tidak boleh hanya menghormati ayah dan ibu kandung, melainkan semua nenek moyangnya; ini memberi pengertian [[nastionalis]] kepada para siswa.{{sfn|Subanar|2003|p=44}} Pada kesempatan lain, Xaverius dikunjungi seorang misionaris [[Kapusin]]&nbsp;– yang secara fisik jauh berbeda dari para guru Jesuit&nbsp;– membuat Soegija mempertimbangkan menjadi seorang pastor, sebuah gagasan yang diterima orang tuanya.{{sfn|Subanar|2003|pp=46–48}} Pada tahun 1915 Soegija menyelesaikan pendidikannya di Xaverius, lalu menjadi guru di sana selama satu tahun. Pada tahun 1916 di masuk di [[seminari]] Xaverius; ada dua anak pribumi lain yang masuk seminari tahun itu. Soegija lulus pada tahun 1919, setelah mempelajari [[bahasa Perancis]], [[bahasa Latin|Latin]], [[bahasa Yunani|Yunani]], dan [[sastra]].{{sfn|Subanar|2003|pp=52–53}}
Pada 1909 Soegija mulai belajar di Kolese Xaverius di Muntilan, sebuah sekolah asrama untuk calon guru.{{sfn|Subanar|2003|pp=34–35}}{{sfn|Gonggong|2012|p=14}} Ada 54 siswa lain dalam angkatannya. Anak-anak itu menjalani jadwal yang ketat. Mereka mengikuti pelajaran di pagi hari dan mengisi siang hari dengan kegiatan lain, seperti berkebun, berdebat, dan bermain catur. Anak-anak Katolik juga diwajibkan untuk rajin berdoa.{{sfn|Subanar|2003|pp=36–37}} Biarpun kolese itu tidak mewajibkan siswanya menjadi orang Katolik, Soegija merasa tertekan oleh teman-temannya. Oleh karena itu, sering terjadi perkelahian. Saat Soegija mengeluh kepada gurunya, Pater L. van Rijckevorsel bahwa para pastor Belanda sama seperti pedagang Belanda di kota, yaitu hanya memikirkan uang, romo itu menjawab bahwa mereka tidak digaji dan hanya mengharapkan yang terbaik untuk siswa-siswa mereka. Ini membuat Soegija lebih menghargai para guru, dan saat van Rijckevorsel memberi tahu siswa lain bahwa Soegija tidak ingin menjadi Katolik, anak-anak itu tidak lagi menekan Soegija.{{sfn|Subanar|2003|pp=34–35}}
 
[[Berkas:AlbertusMagnus.jpg|jmpl|[[Albertus Magnus]], seorang santo dari abad ke-13; nama baptis Soegija didasarkan nama Albertus]]
==Jalan menuju kepastoran==
Tahun berikutnya Soegija minta agar bisa mengikuti pelajaran agama Katolik. Menurut dia, ini agar ia bisa menggunakan fasilitas sekolah dengan sepenuhnya. Gurunya, Pater Mertens, menyatakan bahwa Soegija memerlukan izin orang tua sebelum ia bisa bergabung. Kendati orang tuanya tidak merestui, Soegija masih diizinkan mengikuti pelajaran. Soegija menjadi tertarik dengan soal [[Tritunggal]], dan meminta keterangan dari beberapa guru. Van Lith mengutip karya-karya [[Thomas Aquinas]], sementara Mertens membahas Tritunggal berdasarkan karya [[Agustinus dari Hippo]]. Mertens menyatakan bahwa manusia tidak dimaksud untuk benar-benar memahami Tuhan, sebab pengetahuan manusia terbatas.{{sfn|Subanar|2003|pp=38–40}} Soegija, yang menjadi semakin tertarik, minta agar [[baptis|dibaptis]]; ia mengutip cerita [[Yesus ditemukan di Bait Allah]] untuk menunjukkan mengapa ia tidak memerlukan restu orang tua. Para romo menyetujui pembaptisan itu, dan Soegija dibaptis pada 24&nbsp;Desember 1910; ia mengambil nama baptis Albertus,{{sfn|Subanar|2003|pp=38–40}} berdasarkan nama [[Albertus Magnus]].{{sfn|Subanar|2003|p=91}} Saat liburan Natal, Soegija menceritakan hal ini kepada keluarganya. Meski ayah dan ibunya bisa menerima, dan bahkan mungkin merestui,{{efn|adik perempuan Soegija konon belajar di sekolah Katolik di Muntilan saat meninggal. Subanar menganggap ini sebagai bukti bahwa keluarga Soegija dapat merestui perpindahan agama itu {{harv|Subanar|2003|p=41}}.}} keluarga besar Soegija tidak mau berurusan dengannya lagi.{{sfn|Subanar|2003|p=41}}
[[File:Velp Rijksmonument 514139 Mariendaal (Bronckhorst) keuken.JPG|thumb|left|Soegija menyelesaikan periode novisiat di Mariëndaal, di [[Grave]], [[Belanda]].]]
Pada tahun 1919 Soegija dan siswa lain pergi ke [[Uden]], Belanda, untuk meneruskan pelajaran mereka; mereka berangkat dari [[Tanjung Priok]] di [[Jakarta|Batavia]]. Di Uden Soegija menghabiskan satu tahun untuk lebih mendalami bahasa Latin dan Yunani, yang diperlukan untuk menjadi romo di Hindia Belanda. Dia dan rekan kelasnya juga harus mengadaptasi dengan budaya Belanda.{{sfn|Subanar|2003|pp=61–64}} Pada tanggal 27&nbsp;September 1920 Soegija mulai periode [[novisiat]] untuk bergabung dengan Serikat Yesus; rekan-rekannya mulai pada tahun berikutnya.{{sfn|Subanar|2003|pp=65–67}} Selama menjalani novisiatnya di Mariëndaal di [[Grave]], Soegija dipisah dari dunia luar dan menghabiskan waktunya dengan meditasi. Dia menyelesaikan novisiat pada tanggal 22&nbsp;September 1922 dan dijadikan anggota Yesuit; Soegija bersumpah agar tetap miskin, suci, dan patut.{{sfn|Subanar|2003|pp=65–67}}
 
Soegija terus melanjutkan pelajarannya di Xaverius. Menurut Pater G. Budi Subanar, seorang dosen [[ilmu teologi]] di [[Universitas Sanata Dharma]], dalam periode ini salah satu guru mengajarkan Perintah Keempat dari [[Doktrin Katolik mengenai Sepuluh Perintah Allah|Sepuluh Perintah Allah]] dengan pengertian bahwa seseorang tidak boleh hanya menghormati ayah dan ibu kandung, melainkan semua nenek moyangnya; ini memberi pengertian [[nasionalis]] kepada para siswa.{{sfn|Subanar|2003|p=44}} Pada kesempatan lain, Xaverius dikunjungi seorang misionaris [[Kapusin]]&nbsp;– yang secara fisik jauh berbeda dari para guru Yesuit&nbsp;– membuat Soegija mempertimbangkan untuk menjadi seorang pastor, sebuah gagasan yang diterima orang tuanya.{{sfn|Subanar|2003|pp=46–48}} Pada 1915 Soegija menyelesaikan pendidikannya di Xaverius, lalu menjadi guru di sana selama satu tahun. Pada 1916 di masuk di [[seminari]] Xaverius; ada dua anak pribumi lain yang masuk seminari tahun itu. Soegija lulus pada 1919, setelah mempelajari [[bahasa Prancis]], [[bahasa Latin|Latin]], [[bahasa Yunani|Yunani]], dan [[sastra]].{{sfn|Subanar|2003|pp=52–53}}
Setelah bergabungan dengan Serikat Yesus Soegija menghabiskan satu tahun di Mariëndaal sebagai yuniorat. Mulai pada tahun 1923 dia belajar filsafat di Kolese Berchmann di [[Oudenbosch]].{{sfn|Subanar|2003|p=69}} Selama ini dia lebih mendalami pengajaran Thomas Aquinas. Dia juga mulai menulis tentang agama Katolik. Dalam sebuah surat tertanggal 11&nbsp;Agustus 1923 dia menulis bahwa orang Jawa belum dapat membedakan antara orang Katolik dan Protestan, dan bahwa cara yang terbaik untuk menambahkan jumlah orang Katolik ialah dengan perilaku dan bukti nyata, bukan hanya janji. Dia juga menerjemahkan hasil Kongres Ekaristi ke-27, yang diadakan di [[Amsterdam]] pada tahun 1924, untuk majalah [[bahasa Jawa|berbahasa Jawa]] ''Swaratama''; ada pula tulisan yang dimuat dalam ''St. Claverbond, Berichten uit Java''.{{sfn|Subanar|2003|pp=70–71}} Soegija lulus dari Berchmann pada tahun 1926, lalu bersiap untuk kembali ke Hindia Belanda.{{sfn|Subanar|2003|p=69}}
 
== Jalan menuju imamat ==
Soegija tiba di Muntilan pada bulan September 1926{{sfn|Subanar|2003|p=75}} dan menjadi guru agama, bahasa Jawa, dan aljabar di Kolese Xaverius. Tidak banyak diketahui tentang masa Soegija menjadi guru di Muntilan.{{sfn|Subanar|2003|p=77}} Menurut catatan dari sekolah, gaya mengajar Soegija berdasarkan gaya van Lith, yaitu dengan menjelaskan konsep agama berdasarkan istilah yang ada dalam tradisi Jawa.{{sfn|Subanar|2003|p=79}} Soegija juga mengawasi kegiatan gamelan{{sfn|Subanar|2003|p=81}} dan berkebun.{{sfn|Moeryantini|1975|p=17}} Selama di Xaverius, Soegija menjadi redaktur ''Swaratama'', yang cenderung dibaca alumni Xaverius. Sebagai redaktur di menulis resensi mengenai berbagai topik, termasuk serangan terhadap paham [[komunisme]] dan pembahasan kemiskinan.{{sfn|Subanar|2003|pp=82–86}}
[[Berkas:Velp (NB) Rijksmonument 514139 Mariëndaal (De Binckhof) keuken.jpg|jmpl|Soegija menyelesaikan periode novisiat di Mariëndaal, di [[Grave]], [[Belanda]].]]
Pada 1919 Soegija dan siswa lain pergi ke [[Uden]], Belanda, untuk meneruskan pendidikan mereka; mereka berangkat dari [[Pelabuhan Tanjung Priok|Tanjung Priok]] di [[Jakarta|Batavia]]. Di Uden Soegija menghabiskan satu tahun untuk mendalami bahasa Latin dan Yunani, sesuatu yang diperlukan untuk menjadi romo di Hindia Belanda. Ia dan rekan kelasnya juga harus beradaptasi dengan budaya Belanda.{{sfn|Subanar|2003|pp=61–64}} Pada tanggal 27&nbsp;September 1920 Soegija memulai periode novisiat untuk bergabung dengan Serikat Yesus; rekan-rekannya baru mulai pada tahun berikutnya.{{sfn|Subanar|2003|pp=65–67}} Selama menjalani novisiatnya di Mariëndaal di [[Grave]], Soegija dipisah dari dunia luar dan menghabiskan waktunya dengan meditasi. Ia menyelesaikan novisiat pada 22&nbsp;September 1922 dan dijadikan anggota Yesuit; Soegija bersumpah agar tetap miskin, murni, dan taat.{{sfn|Subanar|2003|pp=65–67}}
 
Setelah bergabung dengan Serikat Yesus Soegija menghabiskan satu tahun di Mariëndaal sebagai yuniorat. Mulai pada 1923 ia belajar filsafat di Kolese Berchmann di [[Oudenbosch]].{{sfn|Subanar|2003|p=69}} Dalam periode ini ia lebih mendalami ajaran Thomas Aquinas. Ia juga mulai menulis tentang agama Katolik. Dalam sebuah surat tertanggal 11&nbsp;Agustus 1923 ia menulis bahwa orang Jawa belum dapat membedakan antara orang Katolik dan Protestan, dan bahwa cara yang terbaik untuk menambahkan jumlah orang Katolik ialah dengan perilaku dan bukti nyata, bukan hanya janji. Ia juga menerjemahkan hasil Kongres Ekaristi ke-27, yang diadakan di [[Amsterdam]] pada 1924, untuk majalah [[bahasa Jawa|berbahasa Jawa]] ''Swaratama''; ada pula tulisan yang dimuat dalam ''St. Claverbond, Berichten uit Java''.{{sfn|Subanar|2003|pp=70–71}} Soegija lulus dari Berchmann pada 1926, lalu bersiap untuk kembali ke Hindia Belanda.{{sfn|Subanar|2003|p=69}}
Setelah dua tahun di Xaverius, pada bulan Agustus 1928 Soegija kembali ke Belanda dan belajar teologi di [[Maastricht]]. Dia juga bepergian saat belajar. Pada tanggal 3&nbsp;Desember 1929 dia dan empat Yesuit keturunan Asia lain mengikuti Yesuit Jenderal [[Wlodzimierz Ledóchowski]] dalam sebuah pertemuan dengan [[Paus Pius&nbsp;XI]] di [[Vatikan]]; paus itu menyatakan bahwa para Yesuit Asia itu akan menjadi "tulang punggung" untuk agama Katolik dalam negeri mereka sendiri.{{sfn|Subanar|2003|pp=87–88}} Soegija dijadikan seorang [[diaken]] pada bulan Mei 1931;{{sfn|Moeryantini|1975|p=17}} dia lalu [[tahbis|ditahbiskan]] oleh Uskup [[Roermond]] Laurentius Schrijnen pada tanggal 15&nbsp;Agustus 1931, saat masih menjadi siswa teologi.{{efn|Pastor keturunan Jawa pertama ditahbiskan pada tahun 1927 {{harv|Gonggong|2012|p=17}}. Seorang Yesuit keturunan Jawa lain, Reksatmadja, ditahbiskan bersama Soegija {{harv|Subanar|2003|p=90}}.}}{{sfn|Subanar|2003|p=89}} Setelah ditahbiskan, Soegija menambahkan kata ''{{lang|jv|pranata}}'', yang artinya "doa" atau "harapan", di belakang namanya.{{sfn|Gonggong|2012|p=22}} Dia menyelesaikan pejaran teologi pada tahun 1932, dan pada tahun 1933 menjalani masa [[tersiat]] di [[Drongen]], [[Belgia]].{{sfn|Subanar|2003|p=96}} Tahun itu dia menulis sebuah otobiografi, berjudul ''La Conversione di un Giavanese'' (''Konversi Seorang Jawa''); karya tersebut diterbitkan dalam bahasa Italia, Belanda, dan Spanyol.{{sfn|Subanar|2003|p=99}}
 
Soegija tiba di Muntilan pada September 1926{{sfn|Subanar|2003|p=75}} dan menjadi guru agama, bahasa Jawa, dan aljabar di Kolese Xaverius. Tidak banyak diketahui tentang masa Soegija menjadi guru di Muntilan.{{sfn|Subanar|2003|p=77}} Menurut catatan dari sekolah, gaya mengajar Soegija berdasar kepada gaya van Lith, yaitu dengan menjelaskan konsep agama berdasarkan istilah yang ada dalam tradisi Jawa.{{sfn|Subanar|2003|p=79}} Soegija juga mengawasi kegiatan gamelan{{sfn|Subanar|2003|p=81}} dan berkebun.{{sfn|Moeryantini|1975|p=17}} Selama di Xaverius, Soegija menjadi redaktur ''Swaratama'', yang cenderung dibaca alumni Xaverius. Sebagai redaktur ia menulis resensi mengenai berbagai topik, termasuk serangan terhadap paham [[komunisme]] dan pembahasan kemiskinan.{{sfn|Subanar|2003|pp=82–86}}
==Menjadi pastor==
Pada tanggal 8&nbsp;Agustus 1933 Soegijapranata dan dua pastor lain berangkat dari Belanda menuju Hindia Belanda; Soegijapranata ditugaskan di paroki Kidul Loji di Yogyakarta, dekat Kraton.{{sfn|Subanar|2003|p=97-98}} Dia bertugas sebagai pembantu Pr. van Driessche, salah satu gurunya dari Xaverius.{{sfn|Subanar|2003|p=103}} Dari romo yang lebih tua itu, Soegijapranata belajar bagaimana menangani keperluan paroki, sementara van Driessche kemungkinan besar menugaskan Soegijapranata untuk berkhotbah kepada warga kota pribumi yang Katolik.{{efn|Pada tahun 1933 jumlah orang Katolik keturunan Jawa di Yogyakarta sebanyak 7.092, dari jumlah enam tiga puluh tahun sebelumnya.{{harv|Subanar|2003|p=102}}.}}{{sfn|Subanar|2003|p=105}}
 
Setelah dua tahun di Xaverius, pada Agustus 1928 Soegija kembali ke Belanda dan belajar teologi di [[Maastricht]]. Ia juga bepergian saat belajar. Pada 3&nbsp;Desember 1929 ia dan empat Yesuit keturunan Asia lain mengikuti Pater Jenderal Wlodzimierz Ledóchowski dalam sebuah pertemuan dengan [[Paus Pius&nbsp;XI]] di [[Vatikan]]; paus itu menyatakan bahwa para Yesuit Asia itu akan menjadi "tulang punggung" untuk agama Katolik dalam negeri mereka sendiri.{{sfn|Subanar|2003|pp=87–88}} Soegija dijadikan seorang [[diaken]] pada Mei 1931;{{sfn|Moeryantini|1975|p=17}} ia lalu [[tahbis|ditahbiskan]] oleh Uskup [[Keuskupan Roermond|Roermond]] Mgr. [[Laurentius Schrijnen]] pada 15&nbsp;Agustus 1931, saat masih menjadi siswa teologi.{{efn|Pastor keturunan Jawa pertama ditahbiskan pada 1927 {{harv|Gonggong|2012|p=17}}. Seorang Yesuit keturunan Jawa lain, Reksaatmadja, ditahbiskan bersama Soegija {{harv|Subanar|2003|p=90}}.}}{{sfn|Subanar|2003|p=89}} Setelah ditahbiskan, Soegija menambahkan kata ''{{lang|jv|pranata}}'', yang artinya "doa" atau "harapan", di belakang namanya.{{sfn|Gonggong|2012|p=22}} ia menyelesaikan pelajaran teologinya pada 1932, dan pada 1933 menjalani masa tersiat di [[Drongen]], [[Belgia]].{{sfn|Subanar|2003|p=96}} Tahun itu ia menulis sebuah autobiografi, berjudul ''La Conversione di un Giavanese'' (''Pertobatan Seorang Jawa''); karya tersebut diterbitkan dalam bahasa Italia, Belanda, dan Spanyol.{{sfn|Subanar|2003|p=99}}
[[File:Ganjuran Church exterior rear (3).JPG|thumb|[[Gereja Ganjuran|Gereja paroki di Ganjuran]], tempat Soegijapranata bertugas sekaligus dengan Bintaran]]
Setelah Gereja Santo Yoseph di Bintaran, sekitar satu kilometer dari Kidul Loji, buka pada bulan April 1934, Soegijapranata dipindahtugaskan ke sana sebagai pastor utama;{{sfn|Subanar|2003|p=106}}{{sfn|Flinn|2010|pp=576–577}} gereja itu terutama dimaksud untuk melayani orang pribumi.{{sfn|Gonggong|2012|p=19}} Bintaran pada saat itu merupakan satu dari empat paroki di kota Yogyakarta pada saat itu, bersama dengan Kidul Loji, Kotabaru, dan Pugeran; setiap gereja paroki melayani daerah yang luas, dan pastor dari gereja paroki juga ikut serta berkhotbah di gereja yang jauh dari kota. Setelah van Driessche meninggal pada bulan Juni 1934, tugas Soegijapranata ditambah lagi dengan desa Ganjuran, [[Bantul]], sekitar 20 kilometer ke selatan dari kota Yogyakarta. Daerah itu merupakan tempat tinggal untuk lebih dari seribu orang Katolik pribumi.{{sfn|Subanar|2003|pp=107–113}}{{sfn|Moeryantini|1975|p=18}} Soegijapranata juga menjadi penasihat untuk berbagai kelompok, serta mendirikan sebuah koperasi untuk masyarakat Katolik.{{sfn|Gonggong|2012|p=23}}
 
== Menjadi pastor ==
Pada saat itu Gereja Katolik di Indonesia kesulitan dengan menahan orang Katolik baru: orang Jawa yang sudah pindah agama saat sekolah terkadang-kadang menjadi Muslim lagi setelah mengalami pengasingan dari teman-teman atau keluarga mereka. Dalam sebuah pertemuan pada tahun 1935, Soegijapranata menyatakan bahwa hal tersebut disebabkan tidak adanya rasa identitas Katolik, atau ''sensus Catholicus'', serta sedikitnya pernikahan antara orang Katolik. Soegijapranata menolak pernikahan antara orang Katolik dan yang bukan Katolik,{{sfn|Aritonang|Steenbrink|2008|p=709}} dan mulai menjadi penasihat untuk pasangan Katolik muda sebelum mereka menikah; dia percaya bahwa pernikahan antara orang Katolik akan mengeratkan hubungan antara keluarga Katolik di Yogyakarta.{{sfn|Subanar|2003|pp=116–118}} Soegijapranata terus menulis untuk ''Swaratama'' dan menjabat sebagai redaktur.{{sfn|Gonggong|2012|p=23}} Pada tahun 1938 Soegijapranata dipilih sebagai penasihat untuk Serikat Yesus dan mengkoordinasikan karya Yesuit di Hindia Belanda.{{sfn|Subanar|2003|pp=121–122}}
Pada tanggal 8&nbsp;Agustus 1933 Soegijapranata dan dua pastor lain berangkat dari Belanda menuju Hindia Belanda; Soegijapranata ditugaskan di paroki Kidul Loji di Yogyakarta, dekat Kraton.{{sfn|Subanar|2003|p=97-98}} Ia bertugas sebagai pembantu Pr. van Driessche, salah satu gurunya dari Xaverius.{{sfn|Subanar|2003|p=103}} Dari romo yang lebih tua itu, Soegijapranata belajar bagaimana menangani keperluan paroki, sementara van Driessche kemungkinan besar menugaskan Soegijapranata untuk berkhotbah kepada warga kota pribumi yang Katolik.{{efn|Pada tahun 1933 jumlah orang Katolik keturunan Jawa di Yogyakarta sebanyak 7.092, dibanding tiga puluh tahun sebelumnya yang berjumlah 6.{{harv|Subanar|2003|p=102}}.}}{{sfn|Subanar|2003|p=105}}
 
[[Berkas:Ganjuran Church exterior rear (3).JPG|jmpl|[[Gereja Ganjuran|Gereja paroki di Ganjuran]], tempat Soegijapranata bertugas sekaligus dengan Bintaran]]
==Vikar apostolik==
Setelah Gereja Santo Yoseph di Bintaran, sekitar satu kilometer dari Kidul Loji, buka pada bulan April 1934, Soegijapranata dipindahtugaskan ke sana sebagai pastor utama;{{sfn|Subanar|2003|p=106}}{{sfn|Flinn|2010|pp=576–577}} gereja itu terutama dimaksud kalangan pribumi.{{sfn|Gonggong|2012|p=19}} Bintaran pada saat itu merupakan satu dari empat paroki di kota Yogyakarta pada saat itu, bersama dengan Kidul Loji, Kotabaru, dan Pugeran; setiap gereja paroki melayani daerah yang luas, dan pastor dari gereja paroki juga ikut serta berkhotbah di gereja yang jauh dari kota. Setelah van Driessche meninggal pada bulan Juni 1934, tugas Soegijapranata ditambah lagi dengan desa Ganjuran, [[Bantul]], sekitar 20 kilometer selatan kota Yogyakarta. Daerah itu merupakan tempat tinggal untuk lebih dari seribu orang Katolik pribumi.{{sfn|Subanar|2003|pp=107–113}}{{sfn|Moeryantini|1975|p=18}} Soegijapranata juga menjadi penasihat untuk berbagai kelompok, serta mendirikan sebuah koperasi untuk masyarakat Katolik.{{sfn|Gonggong|2012|p=23}}
Meningkatnya jumlah orang Katolik di Hindia Belanda membuat Mgr. Petrus Willekens, yang menjabat sebagai Vikar Apostolik Batavia, mengusulkan bahwa suatu [[vikariat apostolik]] didirikan di [[Jawa Tengah]], dengan pusatnya di [[Semarang]],{{sfn|Subanar|2003|p=123}} sebab budaya di Jawa Tengah jauh berbeda dari Batavia dan juga jauh.{{sfn|Subanar|2003|pp=127}} Vikariat Apostolik Batavia dibagi menjadi dua pada tanggal 25&nbsp;Juni 1940; bagian timur menjadi Vikariat Apostolik Semarang.{{sfn|Moeryantini|1975|p=7}} Pada tanggal 1&nbsp;Agustus 1940 Willekens menerima [[telegram]] dari Kardinal [[Paus Paulus VI|Giovanni Battista Montini]], yang menyatakan bahwa Soegijapranata akan menjadi pemimpin vikariat apostolik yang baru itu. Ini dikirimkan ke Soegijapranata di Yogyakarta, yang menerima tugas itu,{{sfn|Subanar|2003|p=123}} biarpun terkejut dan gelisah.{{sfn|Subanar|2003|pp=129–130}} Penolongnya, Hardjosoewarno, menyatakan bahwa Soegijapranata menangis setelah membaca telegram itu&nbsp;– sebuah tanggapan yang tidak biasa untuk dia&nbsp;– dan, saat makan semangkok [[soto]], bertanya kalau Hardjosoewarno pernah melihat seorang uskup menikmati makanan itu.{{sfn|Moeryantini|1975|p=21}}
 
Pada saat itu Gereja Katolik di Indonesia kesulitan dengan mempertahankan orang Katolik baru: orang Jawa yang sudah pindah agama saat sekolah terkadang-kadang menjadi Muslim lagi setelah mengalami pengasingan dari teman-teman atau keluarga mereka. Dalam sebuah pertemuan pada tahun 1935, Soegijapranata menyatakan bahwa hal tersebut disebabkan tidak adanya rasa identitas Katolik, atau ''sensus Catholicus'', serta sedikitnya pernikahan antara orang Katolik. Soegijapranata menolak pernikahan antara orang Katolik dan yang bukan Katolik,{{sfn|Aritonang|Steenbrink|2008|p=709}} dan mulai menjadi penasihat untuk pasangan Katolik muda sebelum mereka menikah; ia percaya bahwa pernikahan antara orang Katolik akan mengeratkan hubungan antara keluarga Katolik di Yogyakarta.{{sfn|Subanar|2003|pp=116–118}} Soegijapranata terus menulis untuk ''Swaratama'' dan menjabat sebagai redaktur.{{sfn|Gonggong|2012|p=23}} Pada tahun 1938 Soegijapranata dipilih sebagai penasihat untuk Serikat Yesus dan mengkoordinasikan karya Yesuit di Hindia Belanda.{{sfn|Subanar|2003|pp=121–122}}
Soegijapranata pergi ke Semarang pada tanggal 30&nbsp;September 1940 dan [[konsekrasi|dikonsekrasi]] Willekens pada tanggal 6&nbsp;Oktober di [[Katedral Semarang|Gereja Rosario Suci]] di Randusari, yang menjadi tempat jabatannya.{{sfn|Subanar|2003|pp=129–130}}{{sfn|Moeryantini|1975|p=22}} Upacara itu diikuti berbagai tokoh politik serta sultan, dari Batavia, Semarang, Yogyakarta, dan Surakarta, serta klerus dari [[Malang]] dan [[Lampung]];{{sfn|Subanar|2003|pp=129–130}} dengan konsekrasi ini Soegijapranata menjadi uskup pribumi pertama.{{efn|Yang kedua, seorang keturunan Timor bernama [[Gabriel Manek]], dikonsekrasi pada tahun 1951 sebagai Vikar Apolistik Larantuka {{harv|Aritonang|Steenbrink|2008|p=269}}.}}{{sfn|Gonggong|2012|p=3}} Tindakan pertama Soegijapranata sebagai uskup ialah mengeluarkan sebuah surat pastoral bersama Willekens yang menceritakan sejarah sehingga Soegijapranata bisa ditentukan sebagai uskup, termasuk surat ''Maximum Illud'' yang dibuat [[Paus Benediktus&nbsp;XV]]{{efn|Surat pastoral tersebut menyatakan perlunya untuk lebih banyak romo dari bangsa setempat {{harvnb|Subanar|2003|pp=131–132}}.}} serta usaha [[Paus Pius&nbsp;XI]] dan [[Paus Pius&nbsp;XII]] untuk menahbiskan lebih banyak pastor dan uskup dari suku asli di seluruh dunia.{{sfn|Subanar|2003|pp=131–132}}{{sfn|Subanar|2005|p=41}} Soegijapranata lalu mulai menentukan hirarki Gereja di Jawa Tengah, termasuk mendirikan paroki baru.{{sfn|Subanar|2005|p=42}}
 
== Vikaris apostolik ==
Dalam wilayah yang dipimpin Soegijapranata terdapat 84 pastor (73 orang Eropa, 11 orang pribumi), 137 [[bruder]] (103 orang Eropa, 34 orang pribumi), dan 330 [[biarawati]] (251 orang Eropa, 79 orang pribumi).{{sfn|Gonggong|2012|p=36}} Vikariat ini memuat daerah Semarang, Yogyakarta, Surakarta, [[Kudus]], [[Magelang]], [[Salatiga]], [[Kabupaten Pati|Pati]], dan [[Ambarawa]]. Keadaan geografisnya juga berbeda-beda, termasuk wilayah [[Dataran Kedu]] yang subur hingga daerah [[Gunung Sewu]] yang kering. Sebagian besar penduduknya orang Jawa.{{sfn|Subanar|2005|pp=44–45}} Ada lebih dari 15.000 orang Katolik pribumi di wilayah tersebut pada tahun 1940, dengan jumlah orang Katolik Eropa yang hampir sama; jumlah orang Katolik pribumi meningkat dengan cepat,{{sfn|Subanar|2005|p=49}} sehingga ada lebih dari 30,000 pada tahun 1942.{{sfn|Subanar|2005|p=61}} Ada pula sejumlah organisasi Katolik, yang sebagian besarnya bergerak di bidang pendidikan.{{sfn|Moeryantini|1975|p=11}}
Meningkatnya jumlah orang Katolik di Hindia Belanda membuat Mgr. [[Petrus Willekens]], yang menjabat sebagai Vikaris Apostolik Batavia, mengusulkan bahwa suatu [[vikariat apostolik]] didirikan di [[Jawa Tengah]], dengan pusatnya di [[Semarang]],{{sfn|Subanar|2003|p=123}} sebab Jawa Tengah memiliki budaya yang berbeda dan jarak yang jauh dari Batavia.{{sfn|Subanar|2003|pp=127}} Vikariat Apostolik Batavia dibagi menjadi dua pada tanggal 25&nbsp;Juni 1940; bagian timur menjadi Vikariat Apostolik Semarang.{{sfn|Moeryantini|1975|p=7}} Pada tanggal 1&nbsp;Agustus 1940 Willekens menerima [[telegram]] dari Kardinal [[Paus Paulus VI|Giovanni Battista Montini]], yang menyatakan bahwa Soegijapranata akan menjadi pemimpin vikariat apostolik yang baru itu. Bersamaan dengan itu, Soegija ditunjuk menjadi [[Uskup Tituler]] [[Danaba]]. Telegram tersebut dikirim ke Soegijapranata di Yogyakarta, yang menyetujui tugas itu,{{sfn|Subanar|2003|p=123}} biarpun terkejut dan gelisah.{{sfn|Subanar|2003|pp=129–130}} Asistennya, Hardjosoewarno, menyatakan bahwa Soegijapranata menangis setelah membaca telegram itu&nbsp;– sebuah tanggapan yang tidak biasa untuk dia&nbsp;– dan, saat makan semangkuk [[soto]], bertanya kalau Hardjosoewarno pernah melihat seorang uskup menikmati makanan itu.{{sfn|Moeryantini|1975|p=21}}
 
Soegijapranata pergi ke Semarang pada tanggal 30&nbsp;September 1940 dan [[konsekrasi|dikonsekrasi]] Willekens pada tanggal 6&nbsp;Oktober di [[Gereja Katedral Semarang|Gereja Rosario Suci]] di Randusari, yang menjadi tempat jabatannya.{{sfn|Subanar|2003|pp=129–130}}{{sfn|Moeryantini|1975|p=22}} Dalam penahbisan itu, Willekens didampingi oleh [[Keuskupan Malang|Vikaris Apostolik Malang]] Mgr. [[Antoine Everard Jean Avertanus Albers]], [[Karmelit|O. Carm.]] yang bergelar Uskup Tituler Thubunae di Numidia, bersama dengan [[Keuskupan Agung Palembang|Vikaris Apostolik Palembang]], Mgr. [[Henri Martin Mekkelholt]], [[S.C.J.]] yang bergelar Uskup Tituler Athyra. Upacara itu diikuti berbagai tokoh politik serta sultan, dari Batavia, Semarang, Yogyakarta, dan Surakarta, serta klerus dari [[Malang]] dan [[Lampung]];{{sfn|Subanar|2003|pp=129–130}} dengan konsekrasi ini Soegijapranata menjadi uskup pribumi pertama.{{efn|Yang kedua, seorang keturunan Timor bernama [[Gabriel Manek]], dikonsekrasi pada tahun 1951 sebagai Vikaris Apolistik Larantuka {{harv|Aritonang|Steenbrink|2008|p=269}}.}}{{sfn|Gonggong|2012|p=3}} Tindakan pertama Soegijapranata sebagai uskup ialah mengeluarkan sebuah surat pastoral bersama Willekens yang menceritakan sejarah sehingga Soegijapranata bisa ditentukan sebagai uskup, termasuk surat ''Maximum Illud'' yang dibuat [[Paus Benediktus&nbsp;XV]]{{efn|Surat pastoral tersebut menyatakan perlunya untuk lebih banyak romo dari bangsa setempat {{harvnb|Subanar|2003|pp=131–132}}.}} serta usaha [[Paus Pius&nbsp;XI]] dan [[Paus Pius&nbsp;XII]] untuk menahbiskan lebih banyak pastor dan uskup dari suku asli di seluruh dunia.{{sfn|Subanar|2003|pp=131–132}}{{sfn|Subanar|2005|p=41}} Soegijapranata lalu mulai menentukan hierarki Gereja di Jawa Tengah, termasuk mendirikan paroki baru.{{sfn|Subanar|2005|p=42}}
===Kedudukan Jepang===
[[File:Gedangan presbytery.JPG|thumb|Pastoran di Gedangan, yang Soegijapranata melindungi dari [[Sejarah Nusantara (1942-1945)|pasukan Jepang]] pada tahun 1942]]
Setelah [[Sejarah Nusantara (1942-1945)|Jepang memasuki Nusantara]] pada awal tahun 1942, yang tidak dapat dicegah pasukan kolonial, pada tanggal 9&nbsp;March 1942 Guberner-Jenderal [[Tjarda van Starkenborgh Stachouwer]] dan pemimpin [[KNIL]] Jenderal [[Hein ter Poorten]] menyerah. Ini membawa berbagai perubahan dalam pemerintahan di Nusantara dan mengurangi kualitas hidup orang non-Jepang.{{sfn|Adi|2011|pp=18–24}} Dalam buku hariannya, Soegijapranata menulis bahwa "di mana-mana ada kebakaran&nbsp;... Tidak ada tentara, tidak ada police, tidak ada pegawai. Di jalanan pun terdapat berbagai bangkai kendaraan yang terbakar&nbsp;... Untung masih ada beberapa pegawai kejaksaan dan beberapa tokoh Katolik yang tidak pergi. Mereka bekerja dengan mengatasnamakan diri dari instansiyang berwenang untuk mengatur kota agar tercipta suasana ''rust en order'', tertib dan damai."{{sfn|Subanar|2003|pp=133–134}}
 
Dalam wilayah yang dipimpin Soegijapranata terdapat 84 pastor (73 orang Eropa, 11 orang pribumi), 137 [[bruder]] (103 orang Eropa, 34 orang pribumi), dan 330 [[biarawati]] (251 orang Eropa, 79 orang pribumi).{{sfn|Gonggong|2012|p=36}} Vikariat ini meliputi Semarang, Yogyakarta, Surakarta, [[Kudus]], [[Magelang]], [[Salatiga]], [[Kabupaten Pati|Pati]], dan [[Ambarawa]]. Keadaan geografisnya juga berbeda-beda, termasuk wilayah [[Dataran Kedu]] yang subur hingga daerah [[Pegunungan Sewu]] yang kering. Sebagian besar penduduknya orang Jawa.{{sfn|Subanar|2005|pp=44–45}} Ada lebih dari 15.000 orang Katolik pribumi di wilayah tersebut pada tahun 1940, dengan jumlah orang Katolik Eropa yang hampir sama; jumlah orang Katolik pribumi meningkat dengan cepat,{{sfn|Subanar|2005|p=49}} sehingga ada lebih dari 30.000 pada tahun 1942.{{sfn|Subanar|2005|p=61}} Ada pula sejumlah organisasi Katolik, yang sebagian besarnya bergerak di bidang pendidikan.{{sfn|Moeryantini|1975|p=11}}
Pemerintah Jepang menangkap dan menahan ribuan pria dan wanita (sebagian besar orang Belanda), baik orang awam maupun klerus.{{efn|{{harvtxt|Subanar|2003|pp=155–163}} mencatat 109 Yesuit, 61 anggota [[Fratrum Immaculatae Conceptionis]], dan 21 biarawati dalam Orda Carolus Borromeus yang ditahan selama periode pendudukan Jepang. Sebanyak dua belas pastor ditahbiskan dalam kurung waktu yang sama.}} Pemerintah juga menentukan kebijakan yang mengubah cara orang mengadakan missa. Penggunaan bahasa Belanda dilarang, baik yang dilafalkan maupun yang ditulis, dan sejumlah bangunan milik Gereja disita.{{sfn|Subanar|2003|pp=133–134}} Soegijapranata berusaha untuk mencegah penyitaan ini. Dia pernah mengisi gedung kosong dengan orang supaya tidak disita, dan menyatakan bahwa gedung lain, misalkan bioskop, akan lebih bermanfaat untuk Jepang.{{sfn|Subanar|2003|p=135}} Saat penuasa Jepang berusaha untuk menyita Katedral Semarang untuk digunakan sebagai kantor, Soegijapranata menyatakan bahwa mereka hanya boleh mengambil gereja tersebut kalau mereka memenggal kepalanya dulu; pihak Jepang kemudian menemukan tempat lain. Soegijapranata juga mencegah penyitaaan Pastoran Gedangan, tempat dia tinggal,{{sfn|Gonggong|2012|p=49}} serta menugaskan penjaga di sekolahan dan tempat lain, supaya tidak disita.{{sfn|Subanar|2003|p=139}} Namun, usaha ini tidak selalu berhasil, dan berbagai bangunan milik Gereja disita;{{sfn|Subanar|2005|p=59}} begitu pula uang Gereja.{{sfn|Subanar|2005|p=67}}
 
=== Pendudukan Jepang ===
Soegijapranata tidak dapat menghentikan disiksanya [[tahanan perang]], termasuk para klerus,{{efn|Antara tahun 1942 dan 1945 sebanyak 74 pastor, 47 bruder, dan 160 biarawati dibunuh Jepang. Misalkan, Uskup Maluku dan Papua Barat Giovanni Aerts, bersama dengan sebelah bruder dan pendeta, [[Eksekusi kilat|dieksekusi kilat]] {{harv|Gonggong|2012|p=50}}. Beberapa klerus, termasuk Willekens, memanfaatkan hubungan diplomatik antara Vatikan dan Jepang untuk menyatakan diri sebagai duta, sehingga mereka dilindungi dari kekejaman Jepang {{harv|Subanar|2005|p=57}}.}}{{sfn|Subanar|2003|p=136}} tetapi diri Soegijapranata diperlakukan dengan baik oleh Jepang. Dia kerap diundang untuk upacara Jepang, tetapi tidak pernah hadir; sebagai ganti, dia mengirim karangan bunga.{{sfn|Gonggong|2012|p=48}} Dia menggunakan kedudukannya itu untuk memastikan bahwa tahanan perang diperlakukan dengan baik. Dia berhasil membujuk penguasa Jepang untuk membiarkan para biarawati bekerja di rumah sakit dan tidak diwajibkan untuk mengikuti paramiliter. Dia dan warga Katolik lain juga mengumpulkan makanan untuk klerus yang ditahan, dan Soegijapranata terus menjaga hubungannya dengan para tahanan; dia memberikan informasi dan berita kepada mereka.{{sfn|Subanar|2005|pp=64–66}}
[[Berkas:Gedangan presbytery.JPG|jmpl|Pastoran di Gedangan, yang dilindungi Soegijapranata dari [[Sejarah Nusantara (1942-1945)|pasukan Jepang]] pada tahun 1942]]
Setelah [[Sejarah Nusantara (1942-1945)|Jepang memasuki Nusantara]] pada awal tahun 1942, yang tidak dapat dicegah pasukan kolonial, pada tanggal 9&nbsp;Maret 1942 Guberner-Jenderal [[Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer|Tjarda van Starkenborgh Stachouwer]] dan pemimpin [[KNIL]] Jenderal [[Hein ter Poorten]] menyerah. Ini membawa berbagai perubahan dalam pemerintahan di Nusantara dan mengurangi kualitas hidup orang non-Jepang.{{sfn|Adi|2011|pp=18–24}} Dalam buku hariannya, Soegijapranata menulis bahwa "di mana-mana ada kebakaran&nbsp;... Tidak ada tentara, tidak ada polisi, tidak ada pegawai. Di jalanan pun terdapat berbagai bangkai kendaraan yang terbakar&nbsp;... Untung masih ada beberapa pegawai kejaksaan dan beberapa tokoh Katolik yang tidak pergi. Mereka bekerja dengan mengatasnamakan diri dari instansi yang berwenang untuk mengatur kota agar tercipta suasana ''rust en order'', tertib dan damai."{{sfn|Subanar|2003|pp=133–134}}
 
Pemerintah Jepang menangkap dan menahan ribuan pria dan wanita (sebagian besar orang Belanda), baik orang awam maupun klerus.{{efn|{{harvtxt|Subanar|2003|pp=155–163}} mencatat 109 Yesuit, 61 anggota [[Fratrum Immaculatae Conceptionis]], dan 21 biarawati dalam Ordo Carolus Borromeus yang ditahan selama periode pendudukan Jepang. Sebanyak dua belas pastor ditahbiskan dalam kurung waktu yang sama.}} Pemerintah juga menentukan kebijakan yang mengubah cara orang mengadakan misa. Penggunaan bahasa Belanda dilarang, baik yang dilafalkan maupun yang ditulis, dan sejumlah bangunan milik Gereja disita.{{sfn|Subanar|2003|pp=133–134}} Soegijapranata berusaha untuk mencegah penyitaan ini. Ia pernah mengisi gedung kosong dengan orang supaya tidak disita, dan menyatakan bahwa gedung lain, misalkan bioskop, akan lebih bermanfaat untuk Jepang.{{sfn|Subanar|2003|p=135}} Saat penguasa Jepang berusaha untuk menyita Katedral Semarang untuk digunakan sebagai kantor, Soegijapranata menyatakan bahwa mereka hanya boleh mengambil gereja tersebut kalau mereka memenggal kepalanya dulu; pihak Jepang kemudian menemukan tempat lain. Soegijapranata juga mencegah penyitaaan Pastoran Gedangan, tempat ia tinggal,{{sfn|Gonggong|2012|p=49}} serta menugaskan penjaga di sekolahan dan tempat lain, supaya tidak disita.{{sfn|Subanar|2003|p=139}} Namun, usaha ini tidak selalu berhasil, dan berbagai bangunan milik Gereja disita;{{sfn|Subanar|2005|p=59}} begitu pula dana Gereja.{{sfn|Subanar|2005|p=67}}
Karena jumlah klerus terbatas sekali, Soegijapranata pergi dari gereja ke gereja untuk melayani seluruh umatnya dan berkhotbah secara aktif; ini juga bantu mencegah desas-desus bahwa dia telah ditangkap Jepang.{{sfn|Subanar|2003|p=140}} Dia pergi jalan kaki, naik sepeda, atau naik kereta kuda, sebab mobilnya telah disita.{{sfn|Gonggong|2012|p=52}} Dia juga dapat mengirimkan pastor ke [[prefektur apostolik]] lain di [[Bandung]], [[Surabaya]], dan Malang untuk menghadapi kurangnya jumlah klerus di sana.{{sfn|Subanar|2003|p=142}} Soegijapranata juga menentukan agar seminari terus menghasilkan pastor baru, dengan menentukan Pr. Hardjawasita, yang baru ditahbiskan pada tahun 1942, sebagai rektor.{{sfn|Subanar|2003|pp=143–144}} Dia juga memberi pastor lokal kekuasaan untuk memimpin acara pernikahan.{{sfn|Aritonang|Steenbrink|2008|p=705}} Supaya masyarakat Katolik tetap tenang, Soegijapranata mengunjungi rumah mereka dan menyatakan bahwa semuanya aman-aman saja.{{sfn|Subanar|2005|p=63}}
 
Soegijapranata tidak dapat menghentikan disiksanya [[tahanan perang]], termasuk para klerus,{{efn|Antara tahun 1942 dan 1945 sebanyak 74 pastor, 47 bruder, dan 160 biarawati dibunuh Jepang. Misalkan, Uskup Maluku dan Papua Barat Giovanni Aerts, bersama dengan sebelas bruder dan pendeta, [[Eksekusi kilat|dieksekusi kilat]] {{harv|Gonggong|2012|p=50}}. Beberapa klerus, termasuk Willekens, memanfaatkan hubungan diplomatik antara Vatikan dan Jepang untuk menyatakan diri sebagai duta, sehingga mereka dilindungi dari kekejaman Jepang {{harv|Subanar|2005|p=57}}.}}{{sfn|Subanar|2003|p=136}} tetapi diri Soegijapranata diperlakukan dengan baik oleh Jepang. Ia kerap diundang untuk upacara Jepang, tetapi tidak pernah hadir; sebagai ganti, ia mengirim karangan bunga.{{sfn|Gonggong|2012|p=48}} Ia menggunakan kedudukannya itu untuk memastikan bahwa tahanan perang diperlakukan dengan baik. Ia berhasil membujuk penguasa Jepang untuk membiarkan para biarawati bekerja di rumah sakit dan tidak diwajibkan untuk mengikuti paramiliter. Ia dan warga Katolik lain juga mengumpulkan makanan untuk klerus yang ditahan, dan Soegijapranata terus menjaga hubungannya dengan para tahanan; ia memberikan informasi dan berita kepada mereka.{{sfn|Subanar|2005|pp=64–66}}
===Revolusi Nasional===
Setelah [[serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki]] dan [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia]] pada bulan Agustus 1945,{{sfn|Adi|2011|p=32}} orang-orang Jepang mulai mengundurkan diri dari negara Indonesia. Untuk mendukung kemerdekaan Indonesia, Soegijapranata memerintahkan agar sebuah [[bendera Indonesia]] dikibarkan di depan Pastoran Gedangan.{{sfn|Subanar|2003|p=146}} Dia dan klerus lain juga merawat misionaris Belanda yang baru dibebaskan; orang-orang ini banyak yang terluka dan sangat kurang gizi, sehingga ada yang harus dirawat di rumah sakit. Beberapa ditahan lagi oleh pihak Indonesia, tetapi pemerintah masih mengizinkan agar tahanan itu dirawat orang-orang Katolik. Sementara, beberapa gedung gereja dibakar dan klerus dibunuh karena gangguan dalam hubungan antar-agama.{{sfn|Subanar|2003|p=147}}{{sfn|Subanar|2005|p=72}} Pemerintah juga mengambilalihkan beberapa bangunan milik Gereja, dan dari bangunan yang pernah disita Jepang tidak semuanya dikembalikan.{{sfn|Subanar|2005|p=74}}
 
Karena jumlah klerus terbatas sekali, Soegijapranata pergi dari gereja ke gereja untuk berkhotbah secara aktif; hal ini juga menangkal desas-desus bahwa ia telah ditangkap Jepang.{{sfn|Subanar|2003|p=140}} Ia pergi dengan berjalan kaki, naik sepeda, atau naik kereta kuda, sebab mobilnya telah disita.{{sfn|Gonggong|2012|p=52}} Ia juga dapat mengirimkan imam ke [[prefektur apostolik]] lainnya, antara lain ke [[Bandung]], [[Surabaya]], dan [[Malang]] untuk menghadapi kurangnya jumlah klerus di sana.{{sfn|Subanar|2003|p=142}} Soegijapranata juga menentukan agar seminari terus menghasilkan pastor baru, dengan menentukan Pr. Hardjawasita, yang baru ditahbiskan pada tahun 1942, sebagai rektor.{{sfn|Subanar|2003|pp=143–144}} Ia juga memberi pastor lokal kekuasaan untuk memimpin acara pernikahan.{{sfn|Aritonang|Steenbrink|2008|p=705}} Supaya masyarakat Katolik tetap tenang, Soegijapranata mengunjungi rumah mereka dan menyatakan bahwa semuanya aman-aman saja.{{sfn|Subanar|2005|p=63}}
[[Sekutu (Perang Dunia II)|Pasukan Sekutu]] yang ditugaskan untuk mengambil senjata Jepang dan membawa pulang tahanan perang mendarat di Indonesia pada bulan September 1945.{{sfn|Adi|2011|p=36}} Di Semarang, ini memicu suatu [[Pertempuran Lima Hari|pertempuran antara pihak Jepang dan Republik]], yang mulai pada tanggal 15&nbsp;Oktober; orang-orang Indonesia bermaksud untuk mengambil senjata Jepang.{{sfn|Subanar|2003|p=147}} Pada tanggal 20 20&nbsp;Oktober 1945 pasukan Sekutu mulai mendarat di Semarang, dan beberapa di antara mereka pergi ke Gedangan untuk berbicara dengan Soegijapranata. Karena peduli akan kesengsaraan rakyat, vikar apostolik itu menyatakan bahwa pihak Sekutu harus menghentikan pertempuran di luar; pihak Sekutu mengaku bahwa mereka tidak bisa, sebab mereka tidak kenal dengan komandan Jepang. Soegijapranata lalu menghubungi pihak Jepang dan, siang itu, menjadi perantara dalam pembuatan gencatan senjata.{{sfn|Gonggong|2012|pp=64–66}}
 
=== Revolusi Nasional ===
[[File:Bintaran Church Exterior (3).JPG|thumb|Gereja Santo Yoseph di Bintaran, yang menjadi tempat jabatan Sogijapranata dalam tahun-tahun terakhir [[Revolusi Nasional Indonesia]]]]
[[Berkas:Albertus Soegijapranata, from "Mgr. A. Soegijapranata S.J., Apostolisch Vicaris van Semarang, ontving prof. mr., Bestanddeelnr 127-6-2".jpg|jmpl|ki|Soegijapranata pada tahun 1946]]
Adanya pertempuran besar di seluruh wilayah Semarang, serta terus beradanya pihakSekutu, membuat masyarakat kota Semarang kelaparan; ada pula diberlakukannya jam malam dan sering mati lampu. Kelompok-kelompok yang dipimpin warga sipil berusaha untuk menangani kekurangan ini, tetapi tidak mampu. Sebagai usaha untuk menyelesaikan masalah di Semarang, Soegijapranata mengirim seorang warga lokal ke ibu kota di [[Jakarta]] untuk berbicara dengan pemerintah pusat. Warga itu bertemu dengan Perdana Menteri [[Sutan Sjahrir]], yang mengirim [[Wongsonegoro]] ke Semarang untuk membantu dalam menentukan pemerintah sipil.{{sfn|Gonggong|2012|pp=68–69}} Namun, pemerintah kota itu masih tidak mampu menangani masalah di Semarang, dan beberapa pemimpinnya ditangkap oleh ''[[NICA|Nederlandsch Indië Civil Administratie]]'' (NICA) dan ditahan; Soegijapranata, biarpun kadang-kadang menyembunyikan revolusioner Indonesia, tidak ditahan.{{sfn|Gonggong|2012|p=71}}
Setelah [[serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki]] dan [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia]] pada bulan Agustus 1945,{{sfn|Adi|2011|p=32}} orang-orang Jepang mulai mengundurkan diri dari negara Indonesia. Untuk mendukung kemerdekaan Indonesia, Soegijapranata memerintahkan agar sebuah [[bendera Indonesia]] dikibarkan di depan Pastoran Gedangan.{{sfn|Subanar|2003|p=146}} Ia dan klerus lain juga merawat misionaris Belanda yang baru dibebaskan; orang-orang ini banyak yang terluka dan sangat kurang gizi, sehingga ada yang harus dirawat di rumah sakit. Beberapa orang ditahan lagi oleh pihak Indonesia, tetapi pemerintah masih mengizinkan agar tahanan itu dirawat orang-orang Katolik. Sementara, beberapa gedung gereja dibakar dan klerus dibunuh karena perselisihan antar-agama.{{sfn|Subanar|2003|p=147}}{{sfn|Subanar|2005|p=72}} Pemerintah juga mengambil alih beberapa bangunan milik Gereja, dan dari bangunan yang pernah disita Jepang tidak semuanya dikembalikan.{{sfn|Subanar|2005|p=74}}
 
[[Sekutu (Perang Dunia II)|Pasukan Sekutu]] yang ditugaskan untuk mengambil senjata Jepang dan membawa pulang tahanan perang mendarat di Indonesia pada bulan September 1945.{{sfn|Adi|2011|p=36}} Di Semarang, hal ini memicu suatu [[Pertempuran Lima Hari|pertempuran antara pihak Jepang dan Republik]], yang mulai pada tanggal 15&nbsp;Oktober; orang-orang Indonesia bermaksud untuk mengambil senjata Jepang.{{sfn|Subanar|2003|p=147}} Pada tanggal 20&nbsp;Oktober 1945 pasukan Sekutu mulai mendarat di Semarang, dan beberapa di antara mereka pergi ke Gedangan untuk berbicara dengan Soegijapranata. Karena peduli akan kesengsaraan rakyat, Soegija menyatakan bahwa pihak Sekutu harus menghentikan pertempuran di luar; pihak Sekutu mengaku bahwa mereka tidak bisa, sebab mereka tidak kenal dengan komandan Jepang. Soegijapranata lalu menghubungi pihak Jepang dan, siang itu, menjadi perantara dalam pembuatan gencatan senjata.{{sfn|Gonggong|2012|pp=64–66}}
Pada bulan January 1946 pemerintah Indonesia pindah dari Jakarta&nbsp;– yang sudah dikuasai Belanda&nbsp;– ke Yogyakarta.{{sfn|Adi|2011|p=53}} Setelah ini sejumlah warga sipil mengungsi dari daerah yang dikuasai Belanda. Soegijapranata awalnya tetap di Semarang, di mana dia berusaha untuk menjaga keamanan dan kesejahteraan. Namun, pada tanggal 18&nbsp;Januari 1947 dia juga berpindah ke Yogyakarta, sehingga dia bisa berkomunikasi dengan pemerintah dengan mudah.{{sfn|Gonggong|2012|pp=74–77}}{{sfn|Subanar|2005|p=79}} Dia berjabat dari Gereja Santo Yoseph di Bintaran{{sfn|Gonggong|2012|pp=88–89}} dan menasihati orang-orang Katolik agar berjuang demi negara Indonesia; dia menyatakan bahwa mereka "baru boleh pulang kalau mati."{{sfn|Gonggong|2012|pp=90–92}}
 
[[Berkas:Bintaran Church Exterior (3).JPG|jmpl|Gereja Santo Yoseph di Bintaran, yang menjadi tempat jabatan Sogijapranata dalam tahun-tahun terakhir [[Revolusi Nasional Indonesia]]]]
[[File:Sukarno and Sugiyo Pranoto 17 August 1950 KR.jpg|thumb|left|Soegijapranata dan Georges de Jonghe d'Ardoye dengan Presiden [[Soekarno]], 1947]]
Adanya pertempuran besar di seluruh wilayah Semarang, serta terus beradanya pihak Sekutu, membuat masyarakat kota Semarang kelaparan; dan juga diberlakukannya jam malam dan pemadaman listrik. Kelompok-kelompok yang dipimpin warga sipil berusaha untuk menangani kekurangan ini, tetapi tidak mampu mengatasinya. Sebagai usaha untuk menyelesaikan masalah di Semarang, Soegijapranata mengirim seorang warga lokal ke ibu kota di [[Jakarta]] untuk membicarakannya dengan pemerintah pusat. Warga itu bertemu dengan Perdana Menteri [[Sutan Sjahrir]], yang mengirim [[Wongsonegoro]] ke Semarang untuk membantu dalam pembentukan pemerintahan sipil.{{sfn|Gonggong|2012|pp=68–69}} Namun, pemerintah kota itu masih tidak mampu menangani masalah di Semarang, dan beberapa pemimpinnya ditangkap oleh ''[[NICA|Nederlandsch Indië Civil Administratie]]'' (NICA) dan ditahan; Soegijapranata, biarpun kadang-kadang menyembunyikan para revolusioner Indonesia, tidak ditahan.{{sfn|Gonggong|2012|p=71}}
Setelah tidak berhasilnya [[Perjanjian Linggajati]], yang dimaksud untuk menghentikan perang antara Indonesia dan Belanda, serta [[Agresi Militer Belanda I|serangan besar Belanda terhadap Indonesia]] pada tanggal 21&nbsp;Juli 1947, Soegijapranata, melalui sebuah pidato di [[Radio Republik Indonesia]], menyatakan bahwa orang-orang Katolik akan bekerja sama dengan pejuang Indonesia.{{sfn|Gonggong|2012|p=82}} Soegijapranata juga banyak menulis kepada [[Tahta Suci]], yang menanggapi surat-surat Soegijapranata dengan mengirim Georges<!---Marie-Joseph-Hubert-Ghislain--> de Jonghe d'Ardoye sebagai duta ke Indonesia; ini membuka jalur diplomasi antara Vatikan dan Indonesia. D'Ardoye tiba di wilayah Republik pada bulan Desember 1947 dan bertemu dengan Presiden [[Soekarno]];{{sfn|Subanar|2005|p=79}} Soegijapranata di kemudian hari menjadi teman presiden.{{sfn|Prior|2011|p=69}}
 
Pada bulan Januari 1946 pemerintah Indonesia pindah dari Jakarta&nbsp;– yang sudah dikuasai Belanda&nbsp;– ke Yogyakarta.{{sfn|Adi|2011|p=53}} Hal ini diikuti sejumlah warga sipil mengungsi dari daerah yang dikuasai Belanda. Soegijapranata awalnya tetap di Semarang, tempat ia berusaha untuk menjaga keamanan dan kesejahteraan. Namun, pada tanggal 18&nbsp;Januari 1947 ia akhirnya pindah ke Yogyakarta, sehingga ia bisa berkomunikasi dengan pemerintah dengan mudah.{{sfn|Gonggong|2012|pp=74–77}}{{sfn|Subanar|2005|p=79}} Ia berkedudukan di Gereja Santo Yoseph di Bintaran{{sfn|Gonggong|2012|pp=88–89}} dan menasihati orang-orang Katolik agar berjuang demi negara Indonesia; ia menyatakan bahwa mereka "baru boleh pulang kalau mati."{{sfn|Gonggong|2012|pp=90–92}}
Setelah [[Agresi Militer Belanda&nbsp;II]], di mana Belanda menduduki ibukota di Yogyakarta pada tanggal 19&nbsp;Desember 1948, Soegijapranata menyatakan bahwa perayaan [[Hari Natal]] tidak boleh mewah, sebab rakyat sedang sengsara.{{sfn|Gonggong|2012|pp=88–89}} Selama Belanda menguasai Yogyakarta Soegijapranata dapat mengirim beberapa tulisannya ke luar negeri; tulisan ini, yang dimuat di majalah ''Commonweal'', mendetail kehidupan sehari-hari orang Indonesia di bahwa kekuasaan Belanda dan menggugat agar masyarakat internasional mengutuk Belanda.{{sfn|Gonggong|2012|pp=90–92}} Soegijapranata juga berpendapat bahwa blokade Belanda terhadap Indonesia tidak hanya mencekik ekonomi Indonesia, tetapi juga meningkatkan kekuasaan orang-orang Komunis.{{sfn|Aritonang|Steenbrink|2008|p=193}} Ketika Belanda mulai mengundurkan diri setelah [[Serangan Umum 1&nbsp;Maret 1949]], Soegijapranata mulai berusaha agar orang Katolik diwakili dalam pemerintah. Bersama [[I. J. Kasimo]], dia menyiapkan Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia, yang diadakan dari tanggal 7 sampai 12 Desember. Kongres ini berakhir dengan disatukannya berbagai partai Katolik sebagai [[Partai Katolik Indonesia]]. Soegijapranata dan Kasimo terus mengkonsolidasikan Partai Katolik setelah akhirnya perang revolusi.{{sfn|Gonggong|2012|pp=106–108}}
 
[[Berkas:Sukarno and Sugiyo Pranoto 17 August 1950 KR.jpg|jmpl|kiri|Soegijapranata dan [[Georges de Jonghe d'Ardoye]] dengan Presiden [[Soekarno]], 1947]]
===Pasca-revolusi===
Setelah tidak berhasilnya [[Perjanjian Linggajati]], yang dimaksudkan untuk menghentikan perang antara Indonesia dan Belanda, serta [[Agresi Militer Belanda I|serangan besar Belanda terhadap Indonesia]] pada tanggal 21&nbsp;Juli 1947, Soegijapranata, melalui sebuah pidato di [[Radio Republik Indonesia]], menyatakan bahwa orang-orang Katolik akan bekerja sama dengan pejuang Indonesia.{{sfn|Gonggong|2012|p=82}} Soegijapranata juga banyak menulis kepada [[Tahta Suci]], yang menanggapi surat-surat Soegijapranata dengan mengirim Georges<!---Marie-Joseph-Hubert-Ghislain--> de Jonghe d'Ardoye sebagai duta ke Indonesia; ini membuka jalur diplomasi antara Vatikan dan Indonesia. D'Ardoye tiba di wilayah Republik pada bulan Desember 1947 dan bertemu dengan Presiden [[Soekarno]];{{sfn|Subanar|2005|p=79}} Soegijapranata di kemudian hari berteman dengan presiden.{{sfn|Prior|2011|p=69}}
[[File:Randusari Cathedral exterior.JPG|thumb|[[Katedral Semarang|Katedral Rosario Suci]] di Randusari, Semarang, yang menjadi tempat Soegijapranata berjabat untuk sebagian besar waktunya sebagai uskup]]
Setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 27 Desember&nbsp;1949, yang diawali dengan [[Konferensi Meja Bundar]] di [[Den Haag]], Soegijapranata kembali ke Semarang.{{sfn|Gonggong|2012|p=96}} Periode pasca-revolusi ditandai dengan meningkat tajamnya jumlah orang yang masuk di seminari; pastor pribumi yang ke-100 ditahbiskan pada tahun 1956.{{sfn|Gonggong|2012|pp=97–98}} Namun, pemerintah Indonesia juga memberlakukan beberapa peraturan yang membatasi Gereja. Pada tahun 1953 [[Kementerian Agama Indonesia|Kementerian Agama]] memutuskan bahwa misionaris asing tidak akan diizinkan masuk Indonesia, sementara kebijakan lain melarang orang asing yang sudah di Indonesia dari mengajar. Untuk menghadapi hal ini, Soegijapranata membujuk klerus-klerus untuk menjadi warga negara Indonesia, sehingga mereka tidak dipengaruhi kebijakan baru itu.{{sfn|Gonggong|2012|pp=110–111}}
 
Setelah [[Agresi Militer Belanda&nbsp;II]], ketika Belanda menduduki ibu kota di Yogyakarta pada tanggal 19&nbsp;Desember 1948, Soegijapranata menyatakan bahwa perayaan [[Hari Natal]] tidak boleh mewah, sebab rakyat sedang sengsara.{{sfn|Gonggong|2012|pp=88–89}} Selama Belanda menguasai Yogyakarta, Soegijapranata dapat mengirim beberapa tulisannya ke luar negeri; tulisan ini, yang dimuat di majalah ''Commonweal'', mendetail kehidupan sehari-hari orang Indonesia di bawah kekuasaan Belanda dan menggugat agar masyarakat internasional mengutuk Belanda.{{sfn|Gonggong|2012|pp=90–92}} Soegijapranata juga berpendapat bahwa blokade Belanda terhadap Indonesia tidak hanya mencekik ekonomi Indonesia, tetapi juga meningkatkan kekuasaan orang-orang Komunis.{{sfn|Aritonang|Steenbrink|2008|p=193}} Ketika Belanda mulai mengundurkan diri setelah [[Serangan Umum 1&nbsp;Maret 1949]], Soegijapranata mulai berusaha agar orang Katolik mendapat peran dalam pemerintahan. Bersama [[I.J. Kasimo]], ia menyiapkan Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia, yang diadakan dari tanggal 7 sampai 12 Desember. Kongres ini berakhir dengan disatukannya berbagai partai Katolik sebagai [[Partai Katolik (Indonesia)|Partai Katolik Indonesia]]. Soegijapranata dan Kasimo terus mengkonsolidasikan Partai Katolik setelah berakhirnya perang revolusi.{{sfn|Gonggong|2012|pp=106–108}}
Selain menjaga para klerus baru, Soegijapranata terus bertugas supaya anak Katolik mendapatkan pendidikan dan bahwa keluarga mereka makmur. Dia menekankan bahwa siswa harus menjadi bukan hanya orang Katolik yang baik, tetapi juga orang Indonesia yang baik;{{sfn|Gonggong|2012|pp=97–98}} dia juga menerangkan bahwa siswa harus belajar di mana-mana, bukan hanya di sekolah.{{sfn|Gonggong|2012|p=101}} Gereja juga terus mengembangkan sarana pendidikan, dari sekolah dasar hingga universitas.{{sfn|Gonggong|2012|p=102}} Soegijapranata juga mulai mereformasi Gereja di vikariat apostoliknya, sehingga menjadi lebih Indonesia. Dia mengadvokasi penggunaan bahasa Indonesia dan daerah dalam missa; ini diizinkan mulai tahun 1956. Dia juga mendukung penggunaan musik gamelan saat missa, dan menyetujui penggunaan [[wayang]] untuk mengajar cerita [[Al Kitab]] ke anak-anak.{{sfn|Gonggong|2012|pp=104–105}}
 
=== Pasca-revolusi ===
Dengan [[Perang Dingin]] yang semakin meningkat, terjadi perslisihan besar antara Gereja di Indonesia dan [[Partai Komunis Indonesia]] (PKI). Soegijapranata beranggapan bahwa PKI mendapatkan lebih banyak pendukung dari kalangan miskin karena menawarkan hak buruh melalui serikat pekerjanya. Untuk melawan ini, dia bekerja sama dengan orang Katolik lain untuk mendirikan kelompok pekerja yang dibuka untuk orang Katolik dan non-Katolik. Dengan memberdayakan buruh, Soegijapranata berharap agar PKI akan kehilangan kekuatannya. Salah satu kelompok yang didirikan ialah Buruh Pancasila, yang dibentuk pada tanggal 19&nbsp;Juni 1954;{{sfn|Gonggong|2012|pp=99–100}} organsisasi tersebut juga merupakan salah satu cara Soegijapranata untuk mempromosikan falsafat [[Pancasila]].{{sfn|Flinn|2010|pp=576–577}} Tahun berikutnya, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), yang mengakui bakti Soegijapranata untuk orang miskin, menentukan agar Soegijapranata menjadi pemimpin program bakti sosial di seluruh Nusantara.{{sfn|Gonggong|2012|pp=99–100}} Pada tanggal 2&nbsp;November 1955 Soegijapranata dan beberapa uskup lain mengeluarkan sebuah surat pastoral yang mencela paham komunisme, [[Marxisme]], dan [[materialisme]]; mereka juga minta agar pemerintah memperlakukan setiap warga negara dengan adil dan bijaksana.{{sfn|Gonggong|2012|p=112}}
[[Berkas:Randusari Cathedral exterior.JPG|jmpl|[[Gereja Katedral Semarang|Katedral Rosario Suci]] di Randusari, Semarang, yang menjadi tempat Soegijapranata berjabat untuk sebagian besar waktunya sebagai uskup]]
Setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 27 Desember&nbsp;1949, yang diawali dengan [[Konferensi Meja Bundar]] di [[Den Haag]], Soegijapranata kembali ke Semarang.{{sfn|Gonggong|2012|p=96}} Periode pasca-revolusi ditandai dengan meningkat tajamnya jumlah orang yang masuk di seminari; pastor pribumi yang ke-100 ditahbiskan pada tahun 1956.{{sfn|Gonggong|2012|pp=97–98}} Namun, pemerintah Indonesia juga memberlakukan beberapa peraturan yang membatasi Gereja. Pada tahun 1953 [[Kementerian Agama Indonesia|Kementerian Agama]] memutuskan bahwa misionaris asing tidak akan diizinkan masuk Indonesia, sementara kebijakan lain melarang orang asing yang sudah di Indonesia dari mengajar. Untuk menghadapi hal ini, Soegijapranata membujuk klerus-klerus untuk menjadi warga negara Indonesia, sehingga mereka tidak terhalang kebijakan baru itu.{{sfn|Gonggong|2012|pp=110–111}}
 
Selain mengawasi para klerus baru, Soegijapranata terus bertugas supaya anak dari keluarga Katolik mendapatkan pendidikan dan bahwa keluarga mereka makmur. Ia menekankan bahwa siswa harus menjadi bukan hanya orang Katolik yang baik, tetapi juga orang Indonesia yang baik;{{sfn|Gonggong|2012|pp=97–98}} ia juga menerangkan bahwa siswa harus belajar di mana-mana, bukan hanya di sekolah.{{sfn|Gonggong|2012|p=101}} Gereja juga terus mengembangkan sarana pendidikan, dari sekolah dasar hingga universitas.{{sfn|Gonggong|2012|p=102}} Soegijapranata juga mulai mereformasi Gereja di vikariat apostoliknya, sehingga menjadi lebih Indonesia. Ia mengadvokasi penggunaan bahasa Indonesia dan daerah dalam misa; ini diizinkan mulai tahun 1956. Ia juga mendukung penggunaan musik gamelan saat misa, dan menyetujui penggunaan [[wayang]] untuk mengajar cerita [[Al Kitab]] ke anak-anak.{{sfn|Gonggong|2012|pp=104–105}}
Ada pula gangguan di dalam hirarki Gereja. Hubungan antara Indonesia dan Belanda masih buruk, dan adanya konflik mengenai penguasaan [[Papua bagian barat]] - daerah itu secara historis dikuasa Belanda, tetapi diklaim oleh Indonesia. Soegijapranata dengan tegas mendukung penguasaan Indonesia atas daerah tersebut. Dalam sebuah surat Soegijapranata menulis bahwa orang Indonesia terus sengsara dan bahwa Katholieke Nationale Partij di Belanda adalah penyebab hubungan buruk antara dua negara itu. Papua bagian barat digabung dengan Indonesia pada tahun 1963.{{sfn|Gonggong|2012|pp=114–116}} Ada pula gangguan pada tahun 1957 setelah Presiden Soekarno menyatakan bahwa dirinya merupakan presiden seumur hidup dan menentukan [[Sejarah Indonesia (1959-1966)|sistem Demokrasi Terpimpin]]. Faksi yang dipimpin Soegijapranata mendukung pemerintah, sementara faksi yang dipimpin Kasimo menentangnya. Soekarno lalu minta agar Soegijapranata bergabung dengan Dewan Nasional, sebuah permintaan yang ditolak Soegijapranata. Namun, dia tetap mengirim dua orang agar orang Katolik tetap diwakili.{{efn|Partai Katolik, yang menolak sistem pemerintah baru, tidak mengirim wakil {{harv|Gonggong|2012|pp=117–118}}.}} Ini, serta dukungan Soegijapranata untuk [[Dekret Presiden 5 Juli 1959]] yang menentukan kembalinya ke [[Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945]], membuat Uskup Jakarta [[Adrianus Djajasepoetra]] menyatakan bahwa Soegijapranata seorang penjilat. Namun, Soegijapranata sangat tegas menolak gagasan [[Nasakom]], yang mendasarkan pemerintahan Indonesia pada komunisme.{{sfn|Gonggong|2012|pp=117–118}}
 
Dengan [[Perang Dingin]] yang semakin meningkat, terjadi perselisihan besar antara Gereja di Indonesia dan [[Partai Komunis Indonesia]] (PKI). Soegijapranata beranggapan bahwa PKI mendapatkan lebih banyak pendukung dari kalangan miskin karena menawarkan hak buruh melalui serikat pekerjanya. Untuk melawan ini, ia bekerja sama dengan orang Katolik lain untuk mendirikan kelompok pekerja yang dibuka untuk orang Katolik dan non-Katolik. Dengan memberdayakan buruh, Soegijapranata berharap agar PKI akan kehilangan kekuatannya. Salah satu kelompok yang didirikan ialah Buruh Pancasila, yang dibentuk pada tanggal 19&nbsp;Juni 1954;{{sfn|Gonggong|2012|pp=99–100}} organisasi tersebut juga merupakan salah satu cara Soegijapranata untuk mempromosikan falsafat [[Pancasila]].{{sfn|Flinn|2010|pp=576–577}} Tahun berikutnya, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), yang mengakui bakti Soegijapranata untuk orang miskin, menentukan agar Soegijapranata menjadi pemimpin program bakti sosial di seluruh Nusantara.{{sfn|Gonggong|2012|pp=99–100}} Pada tanggal 2&nbsp;November 1955 Soegijapranata dan beberapa uskup lain mengeluarkan sebuah surat pastoral yang mencela paham komunisme, [[Marxisme]], dan [[materialisme]]; mereka juga minta agar pemerintah memperlakukan setiap warga negara dengan adil dan bijaksana.{{sfn|Gonggong|2012|p=112}}
==Uskup Agung Semarang dan kematian==
[[File:Grave of Soegijapranata.JPG|thumb|Makam Soegijapranata di Giritunggal]]
Pada akhir dasawarsa 50-an, KWI sering mengadakan pertemuan untuk membahas perlunya hirarki Katolik Roma di Indonesia yang daulat. Pembahasan ini, yang diadakan setahun sekali, membahas soal administrasi serta kepastoran, termasuk penerjemahan lagu rohani ke dalam [[daftar bahasa di Indonesia|bahasa daerah]]. Pada tahun 1959 Kardinal [[Grégoire-Pierre Agagianian]] mengunjungi Indonesia untuk memeriksa persiapan Gereja. Pada bulan Mei 1960, KWI secara resmi mengajukan permohonan untuk dibentuknya Gereja Katolik Indonesia yang daulat; surat permohonan ini dibalasi [[Paus Yohanes&nbsp;XXIII]], dalam surat bertanggal 20&nbsp;Maret 1961, yang membagi nusantara Indonesia menjadi enam provinsi eklsiastik, yaitu dua di pulau [[Jawa]], satu di [[Sumatera]], satu di [[Flores]], satu di [[Sulawesi]] dan [[Kepulauan Maluku|Maluku]], dan satu di [[Kalimantan]]. Semarang menjadi pusat provinsi Semarang, dan Soegijapranata menjadi [[uskup agung]].{{sfn|Subanar|2005|pp=113–114}} Dia diangkat pada tanggal 3&nbsp;Januari 1961.{{sfn|Moeryantini|1975|p=11}}
 
Ada pula gangguan di dalam hierarki Gereja. Hubungan antara Indonesia dan Belanda masih buruk, dan adanya konflik mengenai penguasaan [[Papua bagian barat]] - daerah itu secara historis dikuasai Belanda, tetapi diklaim oleh Indonesia. Soegijapranata dengan tegas mendukung penguasaan Indonesia atas daerah tersebut. Dalam sebuah surat Soegijapranata menulis bahwa orang Indonesia terus sengsara dan bahwa Katholieke Nationale Partij di Belanda adalah penyebab hubungan buruk antara dua negara itu. Papua bagian barat digabung dengan Indonesia pada tahun 1963.{{sfn|Gonggong|2012|pp=114–116}} Ada pula gangguan pada tahun 1957 setelah Presiden Soekarno menyatakan bahwa dirinya merupakan presiden seumur hidup dan menentukan [[Sejarah Indonesia (1959-1966)|sistem Demokrasi Terpimpin]]. Faksi yang dipimpin Soegijapranata mendukung pemerintah, sementara faksi yang dipimpin Kasimo menentangnya. Soekarno lalu minta agar Soegijapranata bergabung dengan Dewan Nasional, sebuah permintaan yang ditolak Soegijapranata. Namun, ia tetap mengirim dua orang agar orang Katolik tetap diwakili.{{efn|Partai Katolik, yang menolak sistem pemerintahan baru, tidak mengirim wakil {{harv|Gonggong|2012|pp=117–118}}.}} Ini, serta dukungan Soegijapranata untuk [[Dekret Presiden 5 Juli 1959]] yang menentukan kembalinya ke [[Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945]], membuat Uskup Jakarta [[Adrianus Djajasepoetra]] menyatakan bahwa Soegijapranata seorang penjilat. Namun, Soegijapranata sangat tegas menolak gagasan [[Nasakom]], yang mendasarkan pemerintahan Indonesia pada komunisme.{{sfn|Gonggong|2012|pp=117–118}}
Saat ini terjadi, Soegijapranata sedang di Eropa untuk [[Konsili Vatikan&nbsp;II]], mulai dengan sesi persiapan, termasuk sebagai anggota Komisi Persiapan Sentral;{{sfn|Subanar|2005|pp=113–114}} di komisi tersebut Soegijapranata merupakan salah satu dari enam uskup dan uskup agung dari Asia.{{sfn|Cahill|1999|p=51}} Soegijapranata mengikuti sesi pertama Konsili, di mana dia menunjukkan keprihatinan akan keadaan kepastoran{{sfn|Subanar|2005|pp=113–114}} dan mohon agar sistem Gereja dimodernisasi.{{sfn|Cahill|1999|p=195}} Dia lalu kembali ke Indonesia, tetapi dalam kesehatan yang kurang baik.{{sfn|Moeryantini|1975|pp=29–31}}
 
== Uskup Agung Semarang dan kematian ==
Setelah dirawat di Rumah Sakit Elisabeth Candi pada tahun 1963, Soegijapranata dilarang menjalani tugasnya. [[Justinus Darmojuwono]], seorang mantan tahanan Jepang dan [[vikaris jenderal]] Semarang sejak tanggal 1&nbsp;Agustus 1962, menjalani tugas uskup. Pada tanggal 30&nbsp;Mei 1963 Soegijapranata meninggalkan Indonesia dan kembali ke Eropa, di mana dia menghadiri pemilihan [[Paus Paulus&nbsp;VI]]. Dia lalu pergi ke [[Nijmegen]], di mana dia dirawat di Rumah Sakit Canisius Hospital dari tanggal 29&nbsp;Juni hingga 6&nbsp;Juli; perawatan ini tidak berhasil. Soegijapranata meninggal pada tanggal 22&nbsp;Juli 1963 di sebuah susteran di [[Steyl]], Belanda; dia mengalami [[serangan jantung]] tidak lama sebelum meninggal.{{sfn|Moeryantini|1975|pp=29–31}}{{sfn|Subanar|2005|pp=113–114}}
[[Berkas:Sogijapranata Nasional 24 July 1963.jpg|jmpl|lurus|kiri|Soegijapranata pada tahun-tahun selanjutnya]]
Pada akhir dasawarsa 50-an, KWI sering mengadakan pertemuan untuk membahas perlunya hierarki Katolik Roma di Indonesia yang berdaulat. Pembahasan ini, yang diadakan setahun sekali, membahas soal administrasi serta kepastoran, termasuk penerjemahan lagu rohani ke dalam [[daftar bahasa di Indonesia|bahasa daerah]]. Pada tahun 1959, Kardinal [[Grégoire-Pierre Agagianian]] mengunjungi Indonesia untuk memeriksa persiapan Gereja. Pada bulan Mei 1960, KWI secara resmi mengajukan permohonan untuk dibentuknya Gereja Katolik Indonesia yang berdaulat; surat permohonan ini dibalas [[Paus Yohanes&nbsp;XXIII]], dalam surat bertanggal 20&nbsp;Maret 1961, yang membagi nusantara Indonesia menjadi enam provinsi gerejawi, yaitu dua di pulau [[Jawa]], satu di [[Sumatra]], satu di [[Flores]], satu di [[Sulawesi]] dan [[Kepulauan Maluku|Maluku]], dan satu di [[Kalimantan]]. Semarang menjadi pusat provinsi Semarang, dan Soegijapranata menjadi [[uskup agung]].{{sfn|Subanar|2005|pp=113–114}} Ia diangkat pada tanggal 3&nbsp;Januari 1961.{{sfn|Moeryantini|1975|p=11}}
 
Saat ini terjadi, Soegijapranata berada di Eropa untuk [[Konsili Vatikan&nbsp;II]], mulai dengan sesi persiapan, termasuk sebagai anggota Komisi Persiapan Sentral;{{sfn|Subanar|2005|pp=113–114}} di komisi tersebut Soegijapranata merupakan salah satu dari enam uskup dan uskup agung dari Asia.{{sfn|Cahill|1999|p=51}} Soegijapranata mengikuti sesi pertama Konsili dan menunjukkan keprihatinan akan keadaan kepastoran{{sfn|Subanar|2005|pp=113–114}} dan memohon agar sistem Gereja dimodernisasi.{{sfn|Cahill|1999|p=195}} Dia lalu kembali ke Indonesia, tetapi dalam kesehatan yang kurang baik.{{sfn|Moeryantini|1975|pp=29–31}}
Karena Sukarno tidak ingin Soegijapranata dikebumikan di Belanda, jenazah Soegijapranata diterbangkan ke Indonesia setelah doa yang dipimpin Kardinal [[Bernardus Johannes Alfrink]].{{sfn|Gonggong|2012|p=124}} Soegijapranata dinyatakan seorang [[Daftar Pahlawan Nasional Indonesia|Pahlawan Nasional Indonesia]] pada tanggal 26&nbsp;July 1963 melalui Keputusan Presiden No. 152/1963, saat jenasahnya masih dalam perjalanan ke Indonesia.{{sfn|Loka 2012, Soegijapranata : A biopic}} Pesawat yang membawa Soegijapranata tiba di [[Banda Udara Kemayoran]] di Jakarta pada tanggal 28&nbsp;Juli. Pada hari berikutnya jenasahnya diterbangkan ke Semarang dan, pada tanggal 30 Juli dikebumikan di [[Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal]].{{sfn|Gonggong|2012|pp=124–125}} Darmojuwono dipilh pada bulan Desember 1963 sebagai uskup agung Semarang yang baru; dia dikonsekrasi pada tanggal 6&nbsp;April 1964 oleh Uskup Agung Ottavio De Liva.{{sfn|Subanar|2005|p=146}}
 
Setelah dirawat di Rumah Sakit Elisabeth Candi pada tahun 1963, Soegijapranata dilarang melaksanakan tugasnya. [[Justinus Darmojuwono]], seorang mantan tahanan Jepang dan [[vikaris jenderal]] Semarang sejak tanggal 1&nbsp;Agustus 1962, menjalani tugas uskup. Pada tanggal 30&nbsp;Mei 1963 Soegijapranata meninggalkan Indonesia dan kembali ke Eropa untuk menghadiri pemilihan [[Paus Paulus&nbsp;VI]]. Ia lalu pergi ke [[Nijmegen]] dan dirawat di Rumah Sakit Canisius Hospital dari tanggal 29&nbsp;Juni hingga 6&nbsp;Juli; perawatan ini tidak berhasil. Soegijapranata meninggal dunia pada tanggal 22&nbsp;Juli 1963 di sebuah susteran di desa [[Steyl]], Belanda; ia mengalami [[serangan jantung]] tidak lama sebelum meninggal.{{sfn|Moeryantini|1975|pp=29–31}}{{sfn|Subanar|2005|pp=113–114}}
==Warisan==
[[Berkas:Jenazah Mgr. Soegija.jpeg|225px|jmpl|ka|Jenazah Mgr. Albertus Soegijapranata saat disemayamkan]]
Soegijapranata dibanggakan oleh orang Jawa beragama Katolik;{{sfn|Prior|2011|p=69}} mereka memuji kekuatannya selama pendudukan Jepang dan revolusi nasional.{{sfn|Moeryantini|1975|p=7}} Penulis Anhar Gonggong menyatakan bahwa Soegijapranata bukan hanya seorang uskup, melainkan pemimpin Indonesia yang "diuji sebagai pemimpin yang baik dan memang layak dijadikan pahlawan nasional."{{efn|Asli: "''... was tested as a good leader and deserved the hero status.''"}}{{sfn|Loka 2012, Soegijapranata : A biopic}} Sejarawan Indonesia Anton Haryono menyatakan bahwa kenaikan Soegijapranata menjadi uskup sangat "monumental", mengingat bahwa dia baru diordinasi sembilan tahun sebelumnya tetapi tetap diangkat, biarpun ada pastor lain yang lebih berpengalaman.{{sfn|Gonggong|2012|p=127}} Henricia Moeryantini, seorang suster dalam Orde Carolus Borromeus, menulis bahwa di bawah Soegijapranata Gereja Katolik menjadi pemain di tingkat nasional, dan bahwa Soegijapranata terlalu peduli akan keperluan masyarakat sehingga tidak bisa menjadi bagaikan orang luar saat revolusi.{{sfn|Moeryantini|1975|p=125}}
Karena Soekarno tidak ingin Soegijapranata dikebumikan di Belanda, jenazah Soegijapranata diterbangkan ke Indonesia setelah doa yang dipimpin Kardinal [[Bernardus Johannes Alfrink]].{{sfn|Gonggong|2012|p=124}} Soegijapranata dinyatakan seorang [[Daftar pahlawan nasional Indonesia|Pahlawan Nasional Indonesia]] pada tanggal 26&nbsp;Juli 1963 melalui Keputusan Presiden No. 152/1963, saat jenasahnya masih dalam perjalanan ke Indonesia.{{sfn|Loka 2012, Soegijapranata : A biopic}} Pesawat yang membawa Soegijapranata tiba di [[Bandar Udara Kemayoran]] di Jakarta pada tanggal 28&nbsp;Juli. Pada hari berikutnya jenasahnya diterbangkan ke Semarang dan, pada tanggal 30 Juli dikebumikan di [[Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal]].{{sfn|Gonggong|2012|pp=124–125}} Darmojuwono dipilih pada bulan Desember 1963 sebagai Uskup Agung Semarang yang baru; ia dikonsekrasi pada tanggal 6&nbsp;April 1964 oleh Uskup Agung Ottavio De Liva.{{sfn|Subanar|2005|p=146}}
 
== Warisan ==
[[Universitas Katolik Soegijapranata]] di Semarang dinamakan untuk Soegijapranata.{{sfn|Setiawati 2012, 'Soegija' sends a message}}{{sfn|Suara Merdeka 2003, Mengajar Umat}} Ada pula berbagai jalan yang diberi nama Soegijapranata, termasuk di Semarang,{{sfn|Google Maps, Semarang}} [[Malang]],{{sfn|Google Maps, Malang}} dan [[Medan]].{{sfn|Google Maps, Medan}} Makam Soegijapranata di Giritunggal sering menjadi tempat ziarah untuk orang Indonesia yang Katolik; mereka sering mengadakan misa di tempat itu.{{sfn|Fiska 2007, Menghormati Pahlawan}}{{sfn|Suara Merdeka 2009, Semarang Metro}}
[[Berkas:Grave of Soegijapranata.JPG|jmpl|Makam Soegijapranata di Giri Tunggal]]
Soegijapranata dibanggakan oleh orang Jawa yang beragama Katolik;{{sfn|Prior|2011|p=69}} mereka memuji kekuatannya selama pendudukan Jepang dan revolusi nasional.{{sfn|Moeryantini|1975|p=7}} Penulis Anhar Gonggong menyatakan bahwa Soegijapranata bukan hanya seorang uskup, melainkan pemimpin Indonesia yang "teruji sebagai pemimpin yang baik dan memang layak dijadikan pahlawan nasional."{{efn|Asli: "''... was tested as a good leader and deserved the hero status.''"}}{{sfn|Loka 2012, Soegijapranata : A biopic}} Sejarawan Indonesia Anton Haryono menyatakan bahwa kenaikan Soegijapranata menjadi uskup sangat "monumental", mengingat bahwa ia baru ditahbiskan sembilan tahun sebelumnya, dan tetap diangkat meskipun ada pastor lain yang lebih berpengalaman.{{sfn|Gonggong|2012|p=127}} Henricia Moeryantini, seorang suster dalam Ordo Carolus Borromeus, menulis bahwa di bawah Soegijapranata Gereja Katolik berperan di tingkat nasional, dan bahwa Soegijapranata terlalu peduli akan keperluan masyarakat sehingga tidak bisa menjadi bagaikan orang luar saat revolusi.{{sfn|Moeryantini|1975|p=125}}
 
[[Universitas Katolik Soegijapranata]] di Semarang dinamakan untuk Soegijapranata.{{sfn|Setiawati 2012, 'Soegija' sends a message}}{{sfn|Suara Merdeka 2003, Mengajar Umat}} Ada pula berbagai jalan yang diberi nama Soegijapranata, termasuk di Semarang,{{sfn|Google Maps, Semarang}} [[Malang]],{{sfn|Google Maps, Malang}} dan [[Medan]].{{sfn|Google Maps, Medan}} Makam Soegijapranata di Giri Tunggal sering menjadi tempat ziarah untuk orang Indonesia yang Katolik; mereka sering mengadakan misa di tempat itu.{{sfn|Fiska 2007, Menghormati Pahlawan}}{{sfn|Suara Merdeka 2009, Semarang Metro}}
Pada bulan Juni 2012 sutradara [[Garin Nugroho]] mengeluarkan film [[biopik]] tentang Soegijapranata, yang diberi judul ''[[Soegija]]''. Dibintangi [[Nirwan Dewanto]] sebagai Soegijapranata, film ini mengikuti kegiatan Soegijapranata pada dasawarsa 40-an, yang dilatarbelakangi dengan pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan Indonesia. Film ini, yang menelankan biaya [[Rupiah|Rp]] 12&nbsp;miliar,{{sfn|Loka 2012, Soegijapranata : A biopic}}{{sfn|Setiawati 2012, 'Soegija' sends a message}} dijual lebih dari 100.000 pada hari pertama tayang.{{sfn|Kurniawan and Aziz 2012, Hari Pertama Tayang}} Peluncuran film ini diikuti oleh novelisasi kehidupan Soegijapranata, yang dilakukan secara fiksi, oleh pengarang Katolik [[Ayu Utami]].{{sfn|Raditya 2012, Ayu Utami}}{{sfn|Gonggong|2012|p=140}} Beberapa tulisan biografis yang bukan fiksi, yang ditulis baik oleh orang beragama Katolik maupun tidak, juga diterbitkan dalam kurung waktu itu.{{sfn|Gonggong|2012|p=140}}
 
Pada bulan Juni 2012 sutradara [[Garin Nugroho]] mengeluarkan film [[biopik]] tentang Soegijapranata, yang diberi judul ''[[Soegija]]''. Dibintangi [[Nirwan Dewanto]] sebagai Soegijapranata, film ini mengikuti kegiatan Soegijapranata pada dasawarsa 40-an, yang dilatarbelakangi dengan pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan Indonesia. Film ini, yang menelan dana [[Rupiah|Rp]] 12&nbsp;miliar,{{sfn|Loka 2012, Soegijapranata : A biopic}}{{sfn|Setiawati 2012, 'Soegija' sends a message}} ditonton lebih dari 100.000 orang pada hari pertama tayang.{{sfn|Kurniawan and Aziz 2012, Hari Pertama Tayang}} Peluncuran film ini diikuti oleh novelisasi kehidupan Soegijapranata, yang dilakukan secara fiksi, oleh pengarang Katolik [[Ayu Utami]].{{sfn|Raditya 2012, Ayu Utami}}{{sfn|Gonggong|2012|p=140}} Beberapa tulisan biografis yang bukan fiksi, yang ditulis baik oleh orang beragama Katolik maupun tidak, juga diterbitkan dalam kurung waktu itu.{{sfn|Gonggong|2012|p=140}}
Dalam budaya popular Indonesia, Soegijapranata diingat untuk pernyataan "100% Katolik, 100% Indonesia".{{sfn|Gonggong|2012|p=138}}{{sfn|Flinn|2010|pp=576–577}} Moto ini, yang sudah digunakan dalam iklan berbagai tulisan biografi serta film ''Soegija'',{{sfn|Gonggong|2012|p=138}} berasal dari pidato Soegijapranata saat Kongres Katolik Seluruh Indonesia di Semarang pada tahun 1954,{{sfn|Subanar|2005|p=134}} sebagaimana berikut:
 
Dalam budaya populer Indonesia, Soegijapranata dikenang karena pernyataan "100% Katolik, 100% Indonesia".{{sfn|Gonggong|2012|p=138}}{{sfn|Flinn|2010|pp=576–577}} Moto ini, yang sudah digunakan dalam iklan berbagai tulisan biografi serta film ''Soegija'',{{sfn|Gonggong|2012|p=138}} berasal dari pidato Soegijapranata saat Kongres Katolik Seluruh Indonesia di Semarang pada tahun 1954,{{sfn|Subanar|2005|p=134}} sebagaimana berikut:
{{quote|text=Jika kita merasa sebagai orang Kristen yang baik, kita semestinya juga menjadi seorang patriot yang baik. Karenanya, kita merasa bahwa kita 100% patriotik sebab kita juga merasa 100% Katolik. Malahan, menurut perintah keempat dari Sepuluh Perintah Allah, sebagaimana tertulis dalam Katekismus, kita harus mengasihi Gereja Katolik, dan dengan demikian juga mengasihi negara, dengan segenap hati.|sign=Soegijapranata|source=dikutip dalam {{harvtxt|Subanar|2005|p=82}}}}
 
== Keterangan ==
{{notes}}
 
==Rujukan Referensi ==
'''Catatan kaki'''
{{refs|colwidth=30em}}
 
=== Catatan kaki ===
'''Bibliografi'''
{{refs|20em}}
{{refbegin|colwidth=30em}}
 
*{{cite book
=== Bibliografi ===
|title=Soedirman: Bapak Tentara Indonesia
{{refbegin|30em}}
|last=Adi
* {{cite book
|first=A. Kresna
|title=Soedirman: Bapak Tentara Indonesia
|publisher=Mata Padi Pressindo
|last=Adi
|isbn=978-602-95337-1-2
|first=A. Kresna
|location=Yogyakarta
|publisher=Mata Padi Pressindo
|ref=harv
|isbn=978-602-95337-1-2
|year=2011
|location=Yogyakarta
|ref=harv
|year=2011
}}
* {{cite book
|url=http://books.google.ca/books?id=cUoGJSs9yOUC
|title=A History of Christianity in Indonesia
|trans_title=Sejarah Agama Nasrani di Indonesia
|language=Inggris
|isbn=978-90-04-17026-1
|editor1-last=Aritonang
|editor1-first=Jan S.
|editor2-last=Steenbrink
|editor2-first=Karel A.
|year=2008
|publisher=Brill
|ref=harv
|series=Studies in Christian Mission
|volume=35
|location=Leiden
}}
* {{cite book
|url=http://books.google.ca/books?id=1HTYvC48DkQC
|title=The Renewal of Revelation Theology (1960–1962): The Development and Responses to the Fourth Chapter of the Preparatory Schema De Deposito Fidei
|trans_title=Pembaruan Teologi Revolusioner (1960–1962): Perkembangan dan Tanggapan Atas Bab Empat dari Skema Persiapan De Deposito Fidei
|language=Inggris
|isbn=978-88-7652-832-3
|last1=Cahill
|first1=Brendan J
|year=1999
|location=Rome
|publisher=Pontifical Gregorian University
|volume=51
|series=Gregorian Theses
|ref=harv
}}
* {{cite news
|title=Menghormati Pahlawan di Bawah Guyuran Hujan
|work=Suara Merdeka
|location=Semarang
|date=30 June 2007
|url=http://www.suaramerdeka.com/harian/0706/30/kot15.htm
|archivedate=7 July 2012-07-07
|last=Fiska
|first=Modesta
|accessdate=7 July 2012
|archiveurl=httphttps://www.webcitation.org/68ySQTfe3?url=http://www.suaramerdeka.com/harian/0706/30/kot15.htm
|ref={{sfnRef|Fiska 2007, Menghormati Pahlawan}}
|dead-url=yes
}}
* {{cite book
|url=http://books.google.ca/books?id=gxEONS0FFlsC
|title=Encyclopedia of Catholicism
|trans_title=Ensiklopedi Agama Katolik
|language=Inggris
|isbn=978-0-8160-7565-2
|last1=Flinn
|first1=Frank K
|year=2010
|ref=harv
|publisher=Facts On File
|location=New York
|pages=576–577
|series=Encyclopedia of world religions; Facts on File library of religion and mythology
|chapter=Soegijapranata, Albert (Albertus Soegijapranata)
}}
* {{cite book
|title=Mgr. Albertus Soegijapranata SJ: Antara Gereja dan Negara
|publisher=Grasindo
|location=Jakarta
|edition=Revised
|year=2012
|isbn=978-979-081-803-3
|ref=harv
|last=Gonggong
|first=Anhar
}}
* {{wikicite
| reference =
{{google maps
| title = Malang
| url = http://maps.google.com/maps?ll=-7.980655,112.631659&spn=0.002125,0.003449&t=m&z=18
| accessdate = 7 JulyJuli 2012
}}
| ref = {{sfnRef|Google Maps, Malang}}
}}
* {{wikicite
| reference =
{{google maps
| title = Medan
| url = http://maps.google.com/maps?&ll=3.577028,98.671496&spn=0.004283,0.006899&sll=3.619045,98.697481&sspn=0.034264,0.055189&t=m&z=17
| accessdate = 7 JulyJuli 2012
}}
| ref = {{sfnRef|Google Maps, Medan}}
}}
* {{wikicite
| reference =
{{google maps
| title = Semarang
| url = http://maps.google.com/maps?ll=-6.983169,110.408821&spn=0.008519,0.013797&t=m&z=16
| accessdate = 7 JulyJuli 2012
}}
| ref = {{sfnRef|Google Maps, Semarang}}
}}
* {{cite news
|title=Hari Pertama Tayang, 100.000 Tiket Film "Soegija" Ludes
|work=Kompas
|location=Jakarta
|date=8 June 2012
|url=http://oase.kompas.com/read/2012/06/08/00441789/Hari.Pertama.Tayang.100.000.Tiket.Film.Soegija.Ludes
|archivedate=3 July 2012-07-03
|accessdate=3 July 2012
|archiveurl=httphttps://www.webcitation.org/68sNgFWeY?url=http://oase.kompas.com/read/2012/06/08/00441789/Hari.Pertama.Tayang.100.000.Tiket.Film.Soegija.Ludes
|ref={{sfnRef|Kurniawan and Aziz 2012, Hari Pertama Tayang}}
|last1=Kurniawan
|first1=Aloysius Budi
|last2=Aziz
|first2=Nasru Alam
|dead-url=yes
}}
* {{cite news
|title=Soegijapranata : A biopic of Indonesia’s humanist hero
|trans_title=Soegijapranata : Film Biopik Pahlawan Indonesia yang Humanis
|language=Inggris
|work=The Jakarta Post
|location=Jakarta
|date=16 May 2012
|url=http://www.thejakartapost.com/news/2012/05/16/soegijapranata-a-biopic-indonesia-s-humanist-hero.html
|archivedate=29 June 2012-06-29
|accessdate=29 June 2012
|archiveurl=httphttps://www.webcitation.org/68mAfZnup?url=http://www.thejakartapost.com/news/2012/05/16/soegijapranata-a-biopic-indonesia-s-humanist-hero.html
|ref={{sfnRef|Loka 2012, Soegijapranata : A biopic}}
|last=Loka
|first=Emanuel Dapa
|dead-url=no
}}
* {{cite news
|title=Mengajar Umat agar Membela Kaum Miskin
|work=Suara Merdeka
|location=Semarang
|date=5 August 2003
|url=http://www.suaramerdeka.com/harian/0308/05/kot20.htm
|archivedate=29 June 2012-06-29
|accessdate=29 June 2012
|archiveurl=httphttps://www.webcitation.org/68mBuo8PC?url=http://www.suaramerdeka.com/harian/0308/05/kot20.htm
|ref={{sfnRef|Suara Merdeka 2003, Mengajar Umat}}
|dead-url=yes
}}
* {{cite book
|title=Mgr. Albertus Soegijapranata S.J.
|publisher=Nusa Indah
|location=Ende
|year=1975
|oclc=7245258
|ref=harv
|last=Moeryantini
|first=Henricia
}}
* {{cite book
|url=http://books.google.ca/books?id=nfva8m7UOboC
|title=Christianities in Asia
|trans_title=Agama Nasrani di Asia
|language=Inggris
|isbn=978-1-4443-9260-9
|editor1-last=Phan
|editor1-first=Peter
|date=2011
|publisher=Wiley-Blackwell
|location=Malden
|series=Blackwell guides to global Christianity
|ref=harv
|chapter=Indonesia
|last=Prior
|first=John
|pages=61–77
}}
* {{cite news
|title=Ayu Utami Luncurkan Buku "Soegija"
|work=Suara Merdeka
|location=Semarang
|date=8 June 2012
|last=Raditya
|first=Garna
|url=http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/entertainmen/2012/06/08/6244/Ayu-Utami-Luncurkan-Buku-Soegija
|archivedate=29 June 2012-06-29
|accessdate=29 June 2012
|archiveurl=httphttps://www.webcitation.org/68mSDI8tn?url=http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/entertainmen/2012/06/08/6244/Ayu-Utami-Luncurkan-Buku-Soegija
|ref={{sfnRef|Raditya 2012, Ayu Utami}}
|dead-url=yes
}}
* {{cite news
|title=Semarang Metro
|work=Suara Merdeka
|location=Semarang
|date=4 August 2009
|url=http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2009/08/04/75263
|archivedate=7 July 2012-07-07
|accessdate=7 July 2012
|archiveurl=httphttps://www.webcitation.org/68ySXxMax?url=http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2009/08/04/75263
|ref={{sfnRef|Suara Merdeka 2009, Semarang Metro}}
|dead-url=no
}}
* {{cite news
|title='Soegija' sends a message of humanity
|trans_title='Soegija' Mengirim Pesan Kemanusiaan
|language=Inggris
|work=The Jakarta Post
|location=Jakarta
|date=3 June 2012
|url=http://www.thejakartapost.com/news/2012/06/03/soegija-sends-a-message-humanity.html
|archivedate=29 June 2012-06-29
|accessdate=29 June 2012
|archiveurl=httphttps://www.webcitation.org/68mANh7jb?url=http://www.thejakartapost.com/news/2012/06/03/soegija-sends-a-message-humanity.html
|ref={{sfnRef|Setiawati 2012, 'Soegija' sends a message}}
|last=Setiawati
|first=Indah
|dead-url=no
}}
* {{cite book
|title=Menuju Gereja Mandiri: Sejarah Keuskupan Agung Semarang di Bawah Dua Uskup (1940–1981)
|publisher=Penerbit Sanata Dharma
|location=Yogyakarta
|year=2005
|isbn=978-978-979-210-8
|ref=harv
|last=Subanar
|first=G. Budi
}}
* {{cite book
|title=Soegija, Si Anak Bethleham van Java
|publisher=Kanisius
|location=Yogyakarta
|year=2003
|isbn=978-979-21-0727-2
|ref=harv
|last=Subanar
|first=G. Budi
}}
{{refend}}
 
== Pranala luar ==
{{PL Uskup|14598}}
{{coord|6|59|49.34|S|110|25|16.04|E|type:landmark_region:ID_dim:2|display=title}}
{{S-start}}
{{S-rel|ca}}
{{Succession box
{{S-new|first|rows=2}}
| title=Vikar Apostolik Semarang
{{s-ttl|years=[[1 Agustus]] [[1940]]–[[3 Januari]] [[1961]]<br/>'''[[Keuskupan Agung Semarang|Uskup Agung Semarang]]''' <br/> [[3 Januari]] [[1961]]–[[22 Juli]] [[1963]]|title=[[Vikaris Apostolik]] [[Keuskupan Agung Semarang|Semarang]]}}
| before=Jabatan Baru
{{s-aft|after=[[Justinus Darmojuwono]]|rows=2}}
| after= Dijadikan Keuskupan Agung
{{s-ttl|title=[[Ordinariat Militer Indonesia|Vikaris Militer Indonesia]]|years=[[25 Desember]] [[1949]]–[[22 Juli]] [[1963]]}}
| years=1940&nbsp;– 1961
{{s-pre}}
{{s-bef|before=[[Valentin Wojciech]]}}
{{Succession box
{{s-tul|title=[[Uskup]] [[Danaba]]|years=[[1 Agustus]] [[1940]]–[[3 Januari]] [[1961]]}}
| title=Uskup Agung Semarang
{{s-aft|after=[[Luis Mena Arroyo]]}}
| before=Jabatan Baru
{{s-end}}
| after=[[Justinus Darmojuwono]]
| years=1961&nbsp;– 1963
}}
{{S-end}}
 
{{coord|6|59|49.34|S|110|25|16.04|E|type:landmark_region:ID_dim:2|display=title}}
 
{{Pahlawan Indonesia}}
 
{{lifetime|1896|1963|Soegijapranata, Albertus}}
{{Authority control}}
 
[[Kategori:Yesuit Indonesia]]
[[Kategori:Pahlawan nasional Indonesia]]
[[Kategori:Tokoh Katolik Indonesia]]
[[Kategori:PahlawanDaftar pahlawan nasional Indonesia yang beragama Katolik]]
[[Kategori:Uskup Indonesia]]
[[Kategori:Tokoh dari Surakarta]]
[[Kategori:PemimpinTokoh yang berpindah agama dari Islam ke Katolik]]
[[Kategori:Tokoh Jawa Tengah]]
 
[[Kategori:Kematian akibat serangan jantung]]
[[en:Albertus Soegijapranata]]