Medang: Perbedaan antara revisi
[revisi tidak terperiksa] | [revisi terperiksa] |
Konten dihapus Konten ditambahkan
jangan mencampurkan kerajaan fiktif medang kamulan ciptaan pujangga dengan kesejarahaan medang yang didukung oleh sumber primer Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
|||
(353 revisi antara oleh lebih dari 100 100 pengguna tak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{about|kerajaan Medang|kegunaan lain|Mataram (disambiguasi)}}
{{Infobox Former Country
| conventional_long_name =
| common_name = Kerajaan Medang
|
mḍaŋ
|
|
|
|
|
|
| event1 = [[Prasasti Turryan]]; [[Mpu Sindok]], memindahkan pusat Kerajaan Medang ke Timur<br>(Periode [[Jawa Timur]])
|
|
| year_end = 1016
|
| image_flag =
| image_coat =
| symbol_type =
| image_map =
| image_map_caption =
| capital = '''Mataram''' (masa Sanjaya)<br/>'''Mamratipura''' (masa Rakai Pikatan)<br/>'''Poh Pitu''' (masa Dyah Balitung)<br/>'''Tamwlang''' (masa Mpu Sindok)<br/>'''Watugaluh''' (masa Mpu Sindok)<br/>'''Wwatan''' (masa Dharmawangsa)
| common_languages = [[Bahasa Jawa Kuno|Jawa Kuno]] atau [[Bahasa Kawi|Kawi]] (utama), [[Bahasa Sanskerta|Sanskerta]], [[Bahasa Melayu kuno|Melayu kuno]] (alternatif)
| government_type = Monarki
|
|
|
|
|
|
|
|
| year_leader4 = 803
| leader5 = [[Dyah Gula]]
| year_leader5 = 827
| leader6 = [[Rakai Garung]]
| year_leader6 = 829
| leader7 = [[Rakai Pikatan]]
| year_leader7 = 847
| leader8 = [[Mpu Sindok]]
| year_leader8 = 929
| leader9 = [[Sri Isyana Tunggawijaya]]
| year_leader9 = 949
| leader10 = [[Makutawangsawardhana]]
| year_leader10 = 955
| leader11 = [[Dharmawangsa Teguh]]
| year_leader11 = 990
}}
{{Sejarah Indonesia|Kerajaan Hindu-Buddha}}
'''Kerajaan Medang''' (
Sepanjang sejarahnya, penduduk kerajaan ini sangat mengandalkan sektor pertanian, terutama budidaya padi lahan basah (sawah). Akan tetapi, kemudian kerajaan ini juga mengembangkan sektor niaga maritim. Menurut sumber-sumber asing dan temuan arkeologis, kerajaan ini tampaknya berpenduduk cukup banyak dan memiliki ekonomi yang makmur. Kerajaan ini mengembangkan struktur masyarakat yang kompleks, memiliki budaya yang berkembang dengan baik, serta mencapai kemajuan teknologi dan tingkat peradaban yang luhur dan halus.<ref name="Peradaban35">{{cite book| author=Rahardjo, Supratikno |title= Peradaban Jawa, Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno | date=2002 | publisher=Komuntas Bambu, Jakarta | language=Indonesia |page=35 | ISBN=979-96201-1-2}}</ref>
Pada periode antara akhir abad ke-8 dan pertengahan abad ke-9, kerajaan ini mengalami masa kejayaan yang ditandai dengan mekar berseminya seni dan arsitektur Jawa klasik. Hal ini tercermin dari pesatnya pertumbuhan budaya dan maraknya pembangunan aneka candi, yang menghiasi bentang kerajaan di tanah Mataram. Candi yang terkenal dibangun pada masa kerajaan Medang adalah [[Candi Kalasan|Kalasan]], [[Candi Sewu|Sewu]], [[Candi Borobudur|Borobudur]] dan [[Candi Prambanan|Prambanan]]. Kerajaan Mataram dikenal sebagai negeri pembangun candi.<ref>{{Cite news|url=https://nasional.kompas.com/read/2012/02/18/04155621/Kisah.Mataram.di.Poros.Kedu-Prambanan|title=Kisah Mataram di Poros Kedu-Prambanan|date=2012-02-18|work=[[Kompas.com]]|language=id}}</ref>
Kemudian wangsa yang memerintah kerajaan Medang terbagi menjadi dua kubu yang diidentifikasi sebagai Syailendra pemuja [[Siwa]] dan Syailendra penganut [[Buddha Mahayana]]. Indikasi perang saudara terjadi, hasilnya adalah [[wangsa Syailendra]] dibagi menjadi dua kerajaan yang kuat, wangsa Syailendra (pemuja Siwa) berkuasa di [[Jawa]] dipimpin oleh [[Rakai Pikatan]] dan wangsa Syailendra (penganut Buddha) berkuasa di [[Sumatera]] dipimpin oleh [[Balaputradewa]]. Perselisahan di antara mereka berakhir sampai 938 Saka, atau sekitar 1016 Masehi, ketika raja wangsa Syailendra yang berkedudukan di Sumatera menghasut ''[[Haji (gelar)|Haji Wurawari]]'', seorang raja bawahan, untuk memberontak kepada kekuasaan [[Dharmawangsa Teguh]]. Dengan dukungan Sriwijaya, Raja Wurawari dari arah Lwaram menyerbu ibu kota Wwatan di [[Jawa Timur]]. Serangan tersebut dilancarkan secara mendadak dan tak terduga. Akibatnya, kerajaan runtuh, luluh lantak tanpa menyisakan apapun, kecuali sedikit saja penyintas yang berhasil menyelamatkan diri.
Seorang penyintas, bangsawan Jawa-Bali keturunan [[wangsa Isyana]] tetap bertahan, dan akhirnya berhasil merebut kembali kekuasaan di Jawa Timur. Selanjutnya, pada tahun 1019 dia mendirikan [[Kerajaan Kahuripan]], sebagai kelanjutan dari kerajaan Medang Mataram. Tokoh ini adalah [[Airlangga]], putra [[Udayana]] raja kedelapan dari [[kerajaan Bedahulu]] di [[Bali]]. Ibunya bernama [[Mahendradatta]], seorang putri dari raja Medang [[Makutawangsawardhana]]. Peristiwa tersebut disebutkan dalam [[prasasti Pucangan]] yang dikeluarkan oleh Airlangga pada 1041. Selanjutnya kerajaan Airlangga tersebut terbagi menjadi dua, [[kerajaan Panjalu]] dan [[kerajaan Janggala]].<ref name="lacak">{{cite book|author=Boechari|title=Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti|publisher=Kepustakaan Populer Gramedia|date=2012|location=Jakarta|url=|doi=|pages=|id= ISBN 978-979-91-0520-2}}</ref>
== Etimologi ==
[[Berkas:Yogyakarta Indonesia Prambanan-temple-complex-02.jpg|jmpl|ka|Kompleks candi [[Prambanan]] awalnya terdiri dari ratusan candi, dibangun dan diperluas pada periode antara pemerintahan [[Rakai Pikatan]] dan [[Dyah Balitung]]]]
Awalnya, kerajaan atau kedatuan ini diidentifikasi melalui lokasinya di [[Yawadwipa]] (Pulau Jawa) sebagaimana disebutkan dalam [[prasasti Canggal]] (732 M). Prasasti itu mendokumentasikan dekrit [[Sanjaya, Rakai Mataram|Sanjaya]], di mana ia menyatakan dirinya sebagai penguasa universal Mataram. Para sejarawan sebelumnya seperti Soekmono, mengidentifikasi nama kedatuan ini sebagai ''Mataram'', nama geografis bersejarah untuk menyebut kawasan [[dataran Kewu]], yang kini berada dalam wilayah administratif provinsi [[Jawa Tengah]] dan [[Daerah Istimewa Yogyakarta]]. Ini didasarkan pada lokasi di mana sebagian besar peninggalan candi ditemukan. Etimologi nama "Mātaram" berasal dari istilah [[bahasa Sanskerta]] yang memiliki arti "ibu".<ref>{{cite web | title = Mataram | work = Sanskrit dictionary | url = http://spokensanskrit.de/index.php?beginning=0+&tinput=mataram&trans=Translate}}</ref>
Nama Medang muncul kemudian dalam [[prasasti Anjuk Ladang]], [[prasasti Sangguran]], [[prasasti Paradah]] dan beberapa prasasti yang ditemukan di [[Jawa Timur]]. Sebagai akibatnya, para sejarawan cenderung mengidentifikasi periode [[Jawa Timur]] (929–1016 M) dari kedatuan ini sebagai Medang untuk membedakannya dengan periode [[Jawa Tengah]] (732–929 M).
Meninjau dari beberapa prasasti periode [[Jawa Timur]] dijumpai frasa yang tertera di dalam beberapa prasasti, antara lain dalam [[prasasti Anjuk Ladang]], [[prasasti Paradah]] yang menyebutkan:
{{cquote| ''... kita prasiddha maŋrakṣa kaḍatwan rahyaŋta i mḍaŋ i bhūmi mātaram ...''}}
Terjemahan inskripsi: "... [wahai sekalian] engkau (yang mulia), yang melindungi kedaton leluhurmu di Medang, di bumi Mataram ..."
Frasa ini mengungkapkan nama kerajaan. Ini menunjukkan bahwa nama "Medang" sudah digunakan pada periode [[Jawa Tengah]] sebelumnya. Ungkapan ''mḍaŋ i bhūmi mātaram'' berarti "Medang di tanah Mataram", yang berarti Medang adalah nama kedatuan dengan pusatnya di tanah Mataram. Makna ''kita prasiddha'' di sini plural, sehingga ''rahyaŋta'' boleh jadi merujuk kepada para leluhur yang meninggal di Mataram.<ref name="SM-1">{{cite book|last=Muljana|first=Slamet|authorlink=Slamet Muljana|title=Menuju Puncak Kemegahan|author=Slamet Muljana|publisher=LKiS|date=2005|location=Yogyakarta|url=|doi=|pages=|id= ISBN 978-979-8451-35-5}}</ref>
Namun, dengan memeriksa frasa dalam [[prasasti Mantyasih]] lempeng 1b: baris 7–8 yang menyebutkan:
{{cquote| ''... rahyaŋta rumuhun. ri mḍaŋ. ri poh pitu. rakai mātaram. saŋ ratu sañjaya ...''}}
Terjemahan inskripsi: "... leluhurmu dahulu, di medang, di poh pitu, penguasa mataram, sang ratu sanjaya ..."
Frasa ini mengungkapkan bahwa Sanjaya sebagai Rakai (penguasa) di tanah Mataram. Ini menunjukkan bahwa nama "Medang" sudah digunakan pada periode [[Jawa Tengah]]. Ungkapan ''rahyaŋta rumuhun. ri mḍaŋ. ri poh pitu'' berarti "leluhur dahulu ada di Medang, di Poh Pitu", yang berarti Mataram adalah sebagai nama wilayah administratif setingkat provinsi atau daerah khusus bagi kerajaan Medang. Asal usul nama ''mdaŋ'' mungkin berasal dari nama lokal pohon "Medang", tumbuhan berbunga yang merujuk pada genus [[Medang (tumbuhan)|Phoebe]].<ref>{{cite web | work = KBBI | title = Medang | url = http://kbbi.web.id/medang}}</ref>
[[Sanjaya, Rakai Mataram|Sanjaya]] mulanya mendirikan kadaton Medang di Bhumi Mataram kemudian dipindah istananya oleh [[Rakai Pikatan]] ke Mamrati. Kemudian pada era [[Dyah Balitung]] (Rakai Watukura) istana Medang dipindahkan ke Poh Pitu. Kembali lagi ke Bhumi Mataram pada era [[Dyah Wawa]] (Rakai Sumba). Kemudian [[Mpu Sindok]] yang mendirikan [[wangsa Isyana]] memindahkan pusat kedatuan dari [[Jawa Tengah]] ke [[Jawa Timur]], tanpa memutus hubungan dengan leluhur terdahulu ia menyebut leluhurnya dengan kalimat ''rahyaŋta i mḍaŋ i bhūmi mātaram'' pada [[prasasti Anjuk Ladang]] dan [[prasasti Paradah]].<ref name="medang.id">{{cite news|url=http://medang.id/index.php/2018/09/12/prasasti-canggal-prasasti-tertua-di-jawa-yang-berangka-tahun/|title=Prasasti Canggal : Prasasti Tertua Di Jawa Yang Berangka Tahun|date=12 September 2018|accessdate=4 Januari 2020|work=medang.id|language=Indonesia|author=Redaksi Medang}}</ref> Letusan [[Gunung Merapi]] yang parah mungkin telah menyebabkan pemindahan pusat kedatuan, dari [[Jawa Tengah]] ke [[Jawa Timur]]. Sejarawan menyatakan bahwa, beberapa waktu pada masa pemerintahan [[Dyah Wawa]] dari Bhumi Mataram (924–929), Gunung Merapi meletus dan menghancurkan ibu kota Medang di Mataram. Letusan Gunung Merapi ini dikenal dengan sebutan "Pralaya Mataram" (bencana Mataram). Di Jawa Timur ibu kota baru Medang berada di Tamwlang. Beberapa tahun kemudian ibu kota dipindahkan lagi ke Watugaluh, dan terakhir ke Wwatan pada masa [[Dharmawangsa Teguh]].
Penyebutan bersejarah nama kerajaan Mataram tidak dapat disamakan dengan [[kota Mataram]] yang terletak di [[Pulau Lombok]], ibu kota provinsi [[Nusa Tenggara Barat]]. Dahulu di [[Kota Mataram]] pernah berdiri sebuah kerajaan bernama puri Cakranegara yang didirikan oleh bangsawan dari [[Kerajaan Karangasem]] di [[Bali]] pada awal abad ke-19. Sesungguhnya, nama [[Kota Mataram]] memang diambil berdasarkan nama kerajaan historis Mataram yamg ada di Jawa. Ini dalah praktik yang lazim bagi orang Bali untuk memberi nama pemukiman mereka yang sama dengan nama tempat di Jawa, sesuai dengan warisan budaya [[Majapahit]] mereka.
== Sejarah ==
=== Berdirinya Medang ===
[[Berkas:Canggal inscription.jpg|thumb|upright|left|[[Prasasti Canggal]] (732), disimpan di [[Museum Nasional Indonesia]]]]
Catatan awal Kerajaan Medang ada dalam [[prasasti Canggal]] (732), ditemukan di dalam kompleks [[Candi Gunung Wukir]] di dusun Canggal, barat daya [[Kabupaten Magelang]]. Prasasti ini, ditulis dalam [[bahasa Sanskerta]] menggunakan [[aksara Pallawa]], menceritakan tentang pendirian Siwalingga (lambang [[Siwa]]) di bukit di daerah Kuñjarakuñjadeça (Kunjarakunja), yang terletak di pulau bernama [[Yawadwipa]] (Jawa) yang diberkahi dengan banyak beras dan emas. Pembentukan lingga berada di bawah perintah [[Sanjaya]]. Prasasti ini menceritakan bahwa di Yawadwipa dahulu diperintah oleh raja [[Sanna]], yang bijaksana, adil dalam tindakannya, perwira dalam peperangan, bermurah hati kepada rakyatnya. Setelah mangkatnya [[Sanna]] negara berkabung, jatuh dalam perpecahan. Pengganti raja [[Sanna]] yaitu putra saudara perempuannya [[Sannaha]] bernama [[Sanjaya]]. Dia menaklukkan daerah-daerah di sekitar kerajaannya, dan pemerintahannya yang bijak memberkati tanahnya dengan kedamaian dan kemakmuran bagi semua rakyatnya.<ref>{{cite book |author1=Drs. R. Soekmono | title= ''Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2'', 2nd ed. | publisher = Penerbit Kanisius | edition= 1973, 5th reprint edition in 1988 | location =Yogyakarta| page =40 }}</ref><ref name=indianised>{{Cite book
| last = Cœdès
| first = George
| authorlink = George Cœdès
| title = The Indianized states of Southeast Asia
| publisher = University of Hawaii Press
| year = 1968
| url = https://books.google.com/books?id=iDyJBFTdiwoC
| isbn =9780824803681 }}</ref>
Pada [[prasasti Taji]], [[Prasasti Tulang Er]] dan [[prasasti Timbangan Wungkal]] ditemukan istilah ''[[Sanjayawarsa]]'' (Kalender Sanjaya), disebutkan dalam prasasti tersebut bahwa tahun 1 Sanjaya sama dengan tahun 716 Masehi. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun 716 M ini merupakan tahun kelahiran [[Sanjaya (raja)|Sanjaya]], atau tahun berdirinya kedatuan.<ref>{{cite book |author1=Marwati Djoened Poesponegoro |author2=Nugroho Notosusanto | title=Sejarah Nasional Indonesia: Zaman kuno | url=https://books.google.com/books?id=LReVFTELXcwC&pg=PA162&lpg=PA162&dq#v=onepage&q&f=false | page=131 | date=2008 | publisher=Balai Pustaka | ISBN=9789794074084 | language=Indonesian | accessdate=4 April 2020}}</ref> Menurut prasasti Canggal, Sanjaya mendirikan kedatuan baru di tengah [[Pulau Jawa]] bagian selatan. Namun tampaknya itu merupakan kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya yang diperintah oleh [[Sanna]].
=== Kejayaan Medang ===
[[Berkas:Wonoboyo Hoard.jpg|thumb|Replika [[temuan Wonoboyo]], temuan artefak emas dan perak, dipamerkan di [[Candi Prambanan#Museum Prambanan|Museum Prambanan]]. Temuan Wonoboyo asli disimpan di [[Museum Nasional Indonesia]]]]
Periode pemerintahan [[Rakai Panangkaran]] ke [[Dyah Balitung]] (rentang antara 760–910) yang berlangsung selama 150 tahun, ditandai sebagai era puncak kejayaan peradaban Jawa kuno. Pada periode ini seni, budaya, dan arsitektur Jawa kuno tumbuh mekar bersemi. Ditandai dengan pembangunan sejumlah candi dan monumen nan megah, marak membentang menghiasi cakrawala [[dataran Kedu]] dan [[dataran Kewu]]. Candi yang paling terkenal adalah [[candi Sewu]], [[Borobudur]] dan [[Prambanan]]. [[Wangsa Syailendra]] dikenal sebagai pembangun candi yang hebat.<ref name="indianised" />{{rp|89–90}}
==== Negeri pembangun candi ====
Dari abad ke-7 hingga pertengahan ke-10, Kerajaan Medang terdapat berkembangnya peradaban yang megah, terutama seni arsitektur Jawa Kuno berupa bangunan-bangunan suci Hindu-Buddha yang membentang cakrawala [[dataran Kedu]] dan [[dataran Kewu]].
Candi paling awal dibangun era Medang adalah [[candi Gunung Wukir]], berdasarkan [[prasasti Canggal]], candi ini didirikan pada saat pemerintahan raja [[Sanjaya (raja)|Sanjaya]], pada tahun 732 M (654 Saka). Prasasti Canggal memiliki banyak informasi terkait dengan awal berdirinya Medang. Berdasarkan prasasti tersebut, candi Gunung Wukir mungkin memiliki nama asli Kunjarakunja. Hampir lima puluh tahun kemudian candi Buddha tertua dibangun di wilayah [[dataran Kewu]], [[candi Kalasan]], terkait dengan prasasti Kalasan (778 M) dan [[Rakai Panangkaran]]. Sejak saat itu, kerajaan Medang kedapatan proyek pembangunan candi yang tersebar di [[dataran Kewu]] dan [[dataran Kedu]], seperti [[candi Sari]], [[candi Sewu]], [[candi Lumbung]], [[candi Ngawen]], [[candi Mendut]], [[candi Pawon]], dan puncaknya pada era raja [[Samaratungga]] yang memprakarsai pembangunan [[candi Borobudur]], candi monumental besar, berbentuk seperti gunung yang diselingi dengan stupa dan selesai dibangun pada 825 M.
Arsitektur monumental lainnya yaitu [[candi Prambanan]], awalnya dibangun pada masa pemerintahan [[Rakai Pikatan]] (838–850), dan diperluas pembangunannya masa pemerintahan [[Rakai Kayuwangi]] (850–890) ke [[Dyah Balitung]] (899–911), bangunan candi tersebut juga disebutkan dalam [[prasasti Siwagrha]]. Prambanan merupakan kompleks candi [[Hindu]] yang didedikasikan untuk Trimurti, tiga dewa tertinggi ([[Siwa]], [[Brahma]], [[Wisnu]]). Itu adalah candi Hindu terbesar yang pernah dibangun di Indonesia, bukti kemegahan arsitektur dan pencapaian budaya Medang.
Candi [[Hindu]] lainnya yang berasal dari Medang adalah: [[candi Sambisari]], [[candi Gebang]], [[candi Barong]], [[candi Ijo]], dan [[candi Morangan]]. Meskipun Siwais, umat Buddha tetap berada di bawah perlindungan kerajaan. [[Candi Sewu]] yang didedikasikan untuk Manjusri (Buddha) menurut [[prasasti Kelurak]] mungkin awalnya dibangun oleh [[Rakai Panangkaran]], tetapi kemudian pembangunannya diperluas dan selesai pada masa pemerintahan [[Rakai Pikatan]] (seorang raja beragama [[Hindu]]-[[Siwa]]), yang menikah dengan [[Pramodhawardhani]] seorang putri raja [[Samaratungga]] beragama [[Buddha]]. Sebagian besar rakyatnya mempertahankan agama lama mereka; Hindu dan Buddha, hidup berdampingan secara harmonis. Candi Buddha seperti [[candi Plaosan]], [[candi Banyunibo]] dan [[candi Sojiwan]] juga dibangun pada masa pemerintahan [[Rakai Pikatan]] dan [[Pramodhawardhani]].
==== Penakluk agung ====
{{multiple image
<!-- Essential parameters -->
| align = left
| direction = horizontal
| width =
| height =
<!-- Image 1 -->
| image2 = Avalokiteshvara Bingin Jungut Srivijaya.JPG
| caption2 = Awalokiteshwara dari Bingin Jungut, [[Kabupaten Musi Rawas|Musi Rawas]], Sumatera Selatan. Langgam Sriwijaya, abad ke-8 sampai ke-9 M, mirip langam seni Sailendra Jawa Tengah.
| width2 = 118
| height2 =
<!-- Image 2 -->
| image3 = 小川晴暘撮影《ムンドゥット寺院釈迦三尊像のうち観音菩薩像》インドネシア、1944年.jpg
| caption3 = Rupang Awalokiteshwara dalam [[Candi Mendut]] contoh langgam seni Sailendra. Pembangunan candi ini dimulai dan diselesaikan pada masa pemerintahan Raja Indra (memerintah 780–800).
| width3 = 150
| height3 =
<!-- Image 3 -->
| image4 = Bodhisattava Avalokiteshvara, Chaiya Art พระอวโลกิเตศวรโพธิสัตว์ ศิลปะไชยา 01.jpg
| caption4 = Arca torso perunggu bodhisattwa [[Awalokiteswara|Padmapani]], langgam Sriwijaya abad ke-8, [[Chaiya]], [[Surat Thani]], Thailand Selatan. Arca ini menggambarkan pengaruh langgam Sailendra dari Jawa Tengah.
| width4 = 160
| height4 =
| header = Seni Sailendra
| header_align = center
| header_background =
| footer =
| footer_align = <!-- left/right/center -->
| footer_background =
| background color =
}}
Ada beberapa laporan bahwa ada serangan angkatan laut Jawa yang menyerbu Tran-nam pada tahun 767, Champa pada tahun 774, dan Champa lagi pada tahun 787.<ref name=Maspero>{{cite book|author=Maspero, G.|year=2002|title=The Champa Kingdom|location=Bangkok| publisher=White Lotus Co., Ltd.|isbn=9747534991|page=48,166,50}}</ref> Penerus Panangkaran adalah Dharanindra (memerintah 780–800) atau biasa disebut Raja Indra. Ia disebutkan dalam prasasti Kelurak (tanggal 782) dengan nama resmi pemerintahannya Sri Sanggrama Dhananjaya. Dalam prasasti ini, dia dipuji sebagai ''Wairiwarawiramardana'' atau "pembunuh musuh yang berani". Judul serupa juga ditemukan pada prasasti Ligor B yang ditemukan di Semenanjung Malaya Thailand Selatan; ''Sarwwarimadawimathana'', yang menyarankan itu merujuk pada orang yang sama. Dharanindra tampaknya menjadi karakter yang gagah berani dan suka berperang, saat ia memulai ekspedisi angkatan laut militer di luar negeri dan telah membawa kendali Syailendra di Ligor di Semenanjung Malaya.<ref name="indianised" />{{rp|91–92}}
Raja Indra tampaknya melanjutkan tradisi pembangun pendahulunya. Ia melanjutkan pembangunan candi Manjusrigrha (kompleks Sewu), dan menurut prasasti Karangtengah (tanggal 824) bertanggung jawab atas pembangunan candi Venuvana, yang berhubungan dengan Candi Mendut atau mungkin Candi Ngawen. Dia juga mungkin bertanggung jawab atas konsepsi dan inisiasi pembangunan candi Borobudur dan Pawon.
Dharanindra naik sebagai Maharaja Sriwijaya. Sifat hubungan dekat Syailendra dengan kerajaan tetangga Sriwijaya yang berbasis di Sumatera cukup tidak pasti dan rumit. Tampaknya di masa lalu, keluarga Syailendra termasuk dalam lingkup pengaruh mandala Sriwijaya. Dan untuk jangka waktu berikutnya, raja Syailendra naik menjadi kepala mandala Sriwijaya. Pergeseran yang membuat Syailendra kembali menjadi penguasa Sriwijaya tidak jelas. Apakah dipimpin oleh kampanye militer oleh Dharanindra melawan Sriwijaya di Sumatera, atau lebih mungkin dibentuk oleh aliansi erat dan kekerabatan antara keluarga Syailendra dan Maharaja Sriwijaya. Sumber-sumber Arab menyebutkan bahwa [[Zabag]] (Jawa) memerintah Sribuza (Sriwijaya), Kalah (sebuah tempat di semenanjung Melayu, mungkin Kedah), dan Ramni (sebuah tempat di Sumatra, mungkin [[Kerajaan Lamuri|Lamuri]]).<ref name=":7">{{cite web|last=Zakharov|first=Anton A|date=August 2012|title=The Śailendras Reconsidered|url=https://iseas.edu.sg/images/pdf/nscwps12.pdf|website=nsc.iseas.edu.sg|publisher=The Nalanda-Srivijaya Centre Institute of Southeast Asian Studies|location=Singapore|archive-url=https://web.archive.org/web/20131101014301/http://nsc.iseas.edu.sg/documents/working_papers/nscwps012.pdf|archive-date=November 1, 2013|access-date=2013-10-30|url-status=dead}}</ref>{{rp|20-23}}<ref name=":132">{{Cite book|last=Nugroho|first=Irawan Djoko|year=2011|title=Majapahit Peradaban Maritim|publisher=Suluh Nuswantara Bakti|isbn=978-602-9346-00-8}}</ref>{{Rp|page=8–10, 30–31}}
Pada tahun 851 seorang saudagar Arab bernama Sulaimaan mencatat peristiwa tentang Sailendra Jawa yang melakukan serangan mendadak terhadap [[orang Khmer|Khmer]] dengan mendekati ibu kota dari sungai, setelah menyeberangi laut dari Jawa. Raja muda Khmer kemudian dihukum oleh Maharaja, dan kemudian, kerajaan tersebut menjadi vasal dinasti Sailendra.<ref name="Rooney-Angkor">{{Cite book |last=Rooney |first=Dawn |url=https://www.bookdepository.com/Angkor-Dawn-Rooney/978-9622178021 |title=Angkor, Cambodia's Wondrous Khmer Temples |date=16 April 2011 |website=www.bookdepository.com |publisher=Odyssey Publications |isbn=978-9622178021 |location=Hong Kong |access-date=2019-01-21}}</ref>{{rp|35}} Pada tahun 916 M, Abu Zaid Hasan menyebut bahwa sebuah kerajaan bernama Zabag menyerbu Kerajaan Khmer, menggunakan 1000 kapal "berukuran sedang", yang menghasilkan kemenangan Zabag. Kepala raja Khmer kemudian dibawa ke Zabag.<ref>{{Cite book|last=Munoz|first=Paul Michel|year=2006|url=https://archive.org/details/earlykingdomsofi0000muno|title=Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and Malay Peninsula|location=Singapore|publisher=Editions Didier Millet|url-status=live}}</ref>{{rp|137–138}} Terlepas benar atau tidaknya kisah tersebut atau hanya legenda, ia bisa jadi ada kaitannya dengan kemerdekaan Kamboja dari kekuasaan Jawa pada tahun 802 M. Zabag mungkin berhubungan dengan Jawaka/Javaka, yang mungkin merujuk ke Jawa atau Sumatera Selatan.<ref name=":02">{{Cite book|last1=Miksic|first1=John N.|last2=Goh|first2=Geok Yian|date=2017|title=Ancient Southeast Asia|location=London|publisher=Routledge|url-status=live}}</ref>{{rp|269, 302}}
Berdasarkan Prasasti Ligor, Prasasti Tembaga Laguna dan Prasasti Pucangan, pengaruh dan pengetahuan Kerajaan Medang sampai ke Bali, Thailand Selatan, Kerajaan India di Filipina, dan Khmer di Kamboja.<ref name="Laguna Copperplate Inscription">[[Prasasti Keping Tembaga Laguna]]</ref><ref name="Ligor inscription">[[Prasasti Ligor]]</ref><ref name="Coedès, George 1968">Coedès, George (1968). Walter F. Vella, ed. The Indianized States of Southeast Asia. trans.Susan Brown Cowing. University of Hawaii Press. {{ISBN|978-0-8248-0368-1}}.</ref>
==== Peralihan kekuasaan ====
[[Berkas:Ratu Boko front gate 2014-03-31.jpg|thumb|left|[[Ratu Boko]], sebuah bukit berbenteng, disebut dalam [[Prasasti Siwagrha]] sebagai lokasi pertempuran.]]
Tidak diketahui apakah [[Balaputradewa]] diusir dari Yawadwipa (Jawa) karena sengketa suksesi dengan [[Rakai Pikatan]], atau apakah dia sudah memerintah di Swarnadwipa (Sumatra). Belum diketahui secara pasti, tetapi [[Balaputradewa]] dari [[wangsa Syailendra]] akhirnya berkuasa di Sumatra dan dinobatkan sebagai raja di [[Sriwijaya]]. Sejarawan berpendapat bahwa ini dikarenakan ayah Balaputradewa bernama [[Samaragrawira]], menikah dengan [[Dewi Tara]] putri [[Dharmasetu]] dari [[Sriwijaya]], ini menjadikan Balaputradewa sebagai pewaris tahta Sriwijaya. Balaputradewa raja Sriwijaya kemudian menyatakan klaimnya sebagai ahli waris yang sah [[wangsa Syailendra]] dari garis ayahnya, [[Samaragrawira]] raja keempat Medang di Jawa, sebagaimana dinyatakan dalam [[prasasti Nalanda]] (860 M).<ref name="indianised" />{{rp|108}}
[[Prasasti Siwagrha]] (856 M) menyebutkan tentang peperangan yang menantang pemerintahan [[Rakai Pikatan]], namun prasasti itu tidak menyebutkan siapa musuh yang menantang otoritas [[Rakai Pikatan]]. Para sejarawan sebelumnya menyatakan musuh yang dimaksud Balaputradewa, namun kemudian sejarawan lain menyarankan ada musuh lain, alasan tersebut karena saat itu Balaputradewa sudah memerintah di Sriwijaya. Prasasti Siwagrha hanya menyebutkan bahwa pertempuran terjadi di sebuah benteng di atas bukit yang dilindungi oleh sebagian besar dinding batu, bukit benteng ini diidentifikasikan dengan [[Situs Ratu Boko]]. Anak tertua dari [[Rakai Pikatan]] dan [[Pramodhawardhani]] adalah Rakai Gurunwangi Dyah Saladu. Akhirnya pemberontakan berhasil dikalahkan oleh putra bungsu Rakai Pikatan, Dyah Lokapala yang juga dikenal sebagai Rakai Kayuwangi. Sebagai hadiah atas tindakan heroik dan keberaniannya, orang-orang dan banyak penasihat Rakai Pikatan mendesak agar Lokapala harus dinobatkan sebagai putra mahkota bukannya Gurunwangi, meskipun merupakan saudara tertua. Hilangnya Gurunwangi dalam suksesi, telah menimbulkan pertanyaan di antara para sejarawan. Sebelumnya dianggap bahwa nama Rakai Gurunwangi Dyah Saladu merujuk pada karakter wanita (putri), meskipun lebih mungkin bahwa Gurunwangi adalah seorang pangeran.
Pemberontakan ini tampaknya telah berhasil mengambil alih ibukota di Mataram selama periode tertentu. Setelah mengalahkan perampas, Rakai Pikatan menemukan bahwa pertumpahan darah ini telah membuat ibu kota di Mataram kacau, sehingga ia memindahkan kadaton ke Mamrati atau Amrati yang terletak di suatu tempat di [[Dataran Kedu]] (lembah sungai Progo), barat laut dari Mataram.
Kemudian Rakai Pikatan memutuskan untuk turun tahta demi putra bungsunya Dyah Lokapala (memerintah 850–890). Rakai Pikatan pensiun, meninggalkan urusan duniawi dan menjadi seorang pertapa bernama Sang Prabhu Jatiningrat. Acara ini juga ditandai dengan upacara penahbisan citra Siwa di candi utama [[Prambanan]]. Boechari menyatakan bahwa musuh yang menantang Rakai Pikatan adalah Rakai Walaing pu Kumbhayoni, seorang Siwais yang kuat dan juga cabang dari dinasti yang berkuasa saat ia mengklaim sebagai keturunan raja yang memerintah Jawa.<ref name="SNI-II:Zaman Kuno">{{cite book |author1=Marwati Djoened Poesponegoro |author2=Nugroho Notosusanto | title=Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuno | url=http://www.worldcat.org/title/sejarah-nasional-indonesia/oclc/318053182 | date=2008 | publisher=Balai Pustaka | ISBN=979407408X | language=Indonesian | accessdate=4 April 2020}}</ref>{{rp|159}}
==== Berpindah ke timur ====
[[Berkas:Sambisari 01.jpg|thumb|left|[[Candi Sambisari]] terkubur lima meter di bawah reruntuhan vulkanik [[gunung Merapi]].]]
Sekitar tahun 929 M, pusat kedatuan dipindahkan dari [[Jawa Tengah]] ke [[Jawa Timur]] oleh [[Mpu Sindok]],<ref name="indianised" />{{rp|128}}yang mendirikan [[wangsa Isyana]]. Penyebab pasti dari perpindahan ini masih belum pasti. Sejarawan telah mengusulkan berbagai kemungkinan penyebab; dari bencana alam, wabah epidemi, politik dan perebutan kekuasaan, hingga motif keagamaan atau ekonomi.
Menurut teori van Bemmelen, yang didukung oleh Prof. Boechari, perpindahan tersebut disebabkan letusan [[gunung Merapi]] yang parah.<ref name="JPMataram">{{cite news |title = Merapi and the demise of the Mataram kingdom |date = 13 June 2006 |author = Handewi Soegiharto |newspaper = The Jakarta Post |url = http://www.thejakartapost.com/news/2006/06/13/merapi-and-demise-mataram-kingdom.html |accessdate = 4 April 2020 |archive-date = 2016-03-05 |archive-url = https://web.archive.org/web/20160305075005/http://www.thejakartapost.com/news/2006/06/13/merapi-and-demise-mataram-kingdom.html |dead-url = yes }}</ref> Sejarawan berpendapat bahwa, beberapa waktu pada masa pemerintahan Dyah Wawa dari Mataram (924–929), [[gunung Merapi]] meletus dan menghancurkan ibu kota Medang di Mataram. Letusan gunung Merapi yang besar dan bersejarah ini dikenal sebagai Pralaya Mataram (bencana Mataram). Bukti letusan ini dapat dilihat di beberapa candi yang hampir terkubur di bawah abu Merapi dan puing-puing Merapi, seperti [[candi Sambisari]], [[candi Morangan]], [[candi Kedulan]], [[candi Kadisoka]], dan [[candi Kimpulan]].
Studi terbaru menunjukkan, bahwa bergerak ke arah timur bukanlah peristiwa yang tiba-tiba. Selama periode Medang di [[Jawa Tengah]], kedatuan kemungkinan besar telah berkembang ke arah timur dan membangun pemukiman di sepanjang [[sungai Brantas]] di [[Jawa Timur]]. Lebih mungkin bahwa langkah itu dilakukan secara bertahap dalam jangka panjang. Penyebab perpindahan itu juga dimotivasi oleh berbagai faktor; baik alam, ekonomi atau politik. [[Prasasti Sangguran]], berasal dari tahun 982 M—ditemukan di Malang, Jawa Timur pada awal abad ke-19 — menyebutkan nama raja Jawa, Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga ([[Dyah Wawa]]),<ref>{{cite journal|journal=Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en wetenschappen|volume=60|year=1913| title=Oud-Javaansche Oorkonden. Nagelaten Transscripties|author=Brandes, J.L.A.|pages=12- |url=https://archive.org/stream/verhandelingenv601913bata#page/43/mode/1up/}}</ref> yang kemudian memerintah wilayah [[Malang]]. Ini menunjukkan bahwa bahkan pada masa pemerintahan Dyah Wawa, wilayah [[Malang]] di [[Jawa Timur]] sudah termasuk dalam wilayah Kerajaan Medang. Prasasti tersebut memuat unsur-unsur tentang pergeseran kekuasaan yang akibatnya terjadi ke [[Jawa Timur]].<ref>{{cite book|page=55|title=Handbook of Oriental Studies. Part 3|author=de Longh, R.C.|year=1977| publisher=Brill}}</ref>
[[Berkas:Anjuk Ladang Inscription.jpg|thumb|upright|ka|[[Prasasti Anjuk Ladang]] (937), diterbitkan oleh [[Mpu Sindok]] selama konsolidasi kekuasaannya di [[Jawa Timur]].]]
Menurut [[prasasti Turryan]] (929 M), [[Mpu Sindok]] memindahkan ibukota ke Tamwlang dan kemudian memindahkannya lagi ke Watugaluh. Sejarawan mengidentifikasi nama-nama itu dengan daerah Tambelang dan Megaluh dekat [[Jombang]], [[Jawa Timur]]. Meskipun [[Mpu Sindok]] membangun dinasti baru atau [[wangsa Isyana]], [[Mpu Sindok]] sangat terkait erat dengan leluhurnya di Bhumi Mataram, sehingga ia dianggap sebagai kelanjutan dari garis keturunan Raja Jawa yang membentang dari [[Sanjaya, Rakai Mataram|Sanjaya]]. Selama masa pemerintahannya [[Mpu Sindok]] menciptakan cukup banyak prasasti, sebagian besar terkait dengan pembentukan tanah [[Sima]] (tanah bebas pajak), prasasti-prasasti ini antara lain; [[Prasasti Linggasutan]] (929), [[Prasasti Gulung-Gulung]] (929), [[Prasasti Cunggrang]] (929), [[Prasasti Jeru-Jeru]] (930), [[Prasasti Waharu]] (931), [[Prasasti Sumbut]] (931), [[Prasasti Wulig]] (935), dan [[Prasasti Anjuk Ladang]] (937).
Apa pun alasan sebenarnya di balik perpindahan pusat politik Medang dari [[Jawa Tengah]] ke [[Jawa Timur]], peristiwa ini menandai akhir dari sebuah era kebesaran Syailendra di Mataram. Memang, aktivitas pembangunan candi telah turun-menurun sejak era [[Dyah Balitung]] dalam skala, kualitas dan kuantitas, namun periode [[Jawa Timur]] kerajaan Medang tidak meninggalkan jejak nyata dari struktur candi apa pun yang sebanding dengan era Syailendra di [[Jawa Tengah]] sebelumnya. Mungkin kerajaan Medang tidak lagi memiliki niat dan sumber daya untuk memulai proyek konstruksi skala besar.
==== Hubungan dengan Bali ====
[[Berkas:Buddha Manjucri from Goa Raja cave Bali.jpg|thumb|[[Bodhisattva]] [[Manjusri]] dari [[Goa Gajah]], [[Bali]], menunjukkan pengaruh kesenian [[wangsa Syailendra]].]]
[[Mpu Sindok]] digantikan oleh putrinya [[Isyana Tunggawijaya]].<ref name="indianised" />{{rp|129}} Menurut prasasti Gedangan (tanggal 950), Ratu Isyana menikah dengan Sri Lokapala, seorang bangsawan dari [[Bali]]. Dia kemudian digantikan oleh putranya [[Makutawangsawardhana]]. Menurut prasasti Pucangan (tanggal 1041), Raja Makutawangsawardhana memiliki seorang putri bernama [[Mahendradatta]], Makutawangsawardhana digantikan oleh putranya [[Dharmawangsa Teguh]].
Kemudian, Dharmawangsa memindahkan ibukota lagi ke Wwatan, diidentifikasi sebagai daerah Wotan dekat Madiun sekarang ini. Adik Dharmawangsa, Mahendradatta kemudian menikah dengan [[Udayana|Udayana Warmadewa]], raja [[Kerajaan Bedahulu|Bedahulu]] di [[Bali]]. Laporan ini menunjukkan bahwa entah bagaimana Bali telah diserap ke dalam lingkup pengaruh (mandala) Kerajaan Medang. Dalam perkembangan sastra, Raja Dharmawangsa juga memerintahkan menterjemahkan [[Mahabharata]] ke dalam [[bahasa Jawa Kuno]] pada tahun 996.
==== Hubungan dengan Sriwijaya ====
Kerajaan Medang memiliki hubungan yang intens dengan [[Sriwijaya]] di [[Sumatra]]. Pada periode sebelumnya, hubungan keduanya sangat dekat dan erat, karena raja-raja [[Syailendra]] di Jawa telah membentuk aliansi dengan raja-raja [[Sriwijaya]] di Sumatra dan kedua kerajaan bergabung dalam satu dinasti. Namun pada periode berikutnya, hubungan itu memburuk menjadi peperangan, ketika [[Dharmawangsa Teguh]] melancarkan upaya untuk menaklukkan [[Palembang]], dan pembalasan yang dilakukan Sriwijaya terhadap Medang. Di daerah timur, Medang menaklukkan [[Bali]], dan pulau itu menjadi wilayah mandala Medang.
==== Ekspansi ke luar negeri ====
{{Main|Hubungan orang Jawa dengan Australia|Waqwaq}}Pada tahun 767, pantai Tonkin dihantam oleh serangan Jawa (Daba) dan Kunlun,<ref name="Arts1984">{{cite book|author=SEAMEO Project in Archaeology and Fine Arts|year=1984|url=https://books.google.com/books?id=1Y3tAAAAMAAJ&q=774+787+srivijaya|title=Final report: Consultative Workshop on Research on Maritime Shipping and Trade Networks in Southeast Asia, I-W7, Cisarua, West Java, Indonesia, November 20-27, 1984|publisher=SPAFA Coordinating Unit|page=66}}</ref><ref name="Snellgrove2001">{{cite book|author=David L. Snellgrove|year=2001|url=https://books.google.com/books?id=SJ1uAAAAMAAJ&q=774+787+srivijaya|title=Khmer Civilization and Angkor|publisher=Orchid Press|isbn=978-974-8304-95-3}}</ref><ref name="Snellgrove2004">{{cite book|author=David L. Snellgrove|year=2004|url=https://books.google.com/books?id=zE5uAAAAMAAJ&q=774+787+srivijaya|title=Angkor, Before and After: A Cultural History of the Khmers|publisher=Orchid Press|isbn=978-974-524-041-4|page=24}}</ref> di sekitar Hanoi yang sekarang adalah ibu kota Tonkin (Annam).<ref name="(M.C.)1987">{{cite book|author=Čhančhirāyuwat Ratchanī (M.C.)|year=1987|url=https://books.google.com/books?id=-t0cAAAAMAAJ&q=774+787+srivijaya|title=Towards a History of Laem Thong and Sri Vijaya|publisher=Institute of Asian Studies, Chulalongkorn University|isbn=978-974-567-501-8|page=170}}</ref><ref>{{cite book|year=1974|url=https://books.google.com/books?id=VdIVAQAAIAAJ&q=774+787+srivijaya|title=The Journal of the Siam Society|page=300}}</ref> Di sekitar Son-tay mereka dikalahkan di tangan gubernur Chang Po-i, setelah Kunlun dan Jawa ([[Jawa#Etimologi|Shepo]]) menyerang Tongking pada tahun 767.<ref name="Cœdès1968">{{cite book|author=George Cœdès|year=1968|url=https://books.google.com/books?id=iDyJBFTdiwoC&q=774+787+srivijaya&pg=PA91|title=The Indianized States of South-East Asia|publisher=University of Hawaii Press|isbn=978-0-8248-0368-1|pages=91–}}</ref>
Champa kemudian diserang oleh [[K'un-lun po|kapal-kapal Jawa atau Kunlun]] pada tahun 774 dan 787.<ref name="(Japan)1972">{{cite book|author=Tōyō Bunko (Japan)|year=1972|url=https://books.google.com/books?id=D5nWAAAAMAAJ&q=774+787+srivijaya|title=Memoirs of the Research Department|page=6}}{{cite book|author=Tōyō Bunko (Japan)|year=1972|url=https://books.google.com/books?id=gBkkAQAAIAAJ&q=774+787+srivijaya|title=Memoirs of the Research Department of the Toyo Bunko (the Oriental Library)|publisher=Toyo Bunko|page=6}}</ref><ref>{{cite book|year=1985|url=https://books.google.com/books?id=D9vaAAAAMAAJ&q=774+787+srivijaya|title=Proceedings of the Symposium on 100 Years Development of Krakatau and Its Surroundings, Jakarta, 23-27 August 1983|publisher=Indonesian Institute of Sciences|page=8}}</ref><ref name="Society1934">{{cite book|author=Greater India Society|year=1934|url=https://books.google.com/books?id=onEZAAAAMAAJ&q=774+787+srivijaya|title=Journal|page=69}}</ref> Pada tahun 774 sebuah serangan diluncurkan ke Po-Nagar di Nha-trang di mana para perompak menghancurkan kuil-kuil, sementara pada tahun 787 sebuah serangan diluncurkan ke Phang-rang.<ref name="Smith1979">{{cite book|author=Ralph Bernard Smith|year=1979|url=https://books.google.com/books?id=_lJuAAAAMAAJ&q=774+787+srivijaya|title=Early South East Asia: essays in archaeology, history, and historical geography|publisher=Oxford University Press|page=447}}</ref><ref name="Fisher1964">{{cite book|author=Charles Alfred Fisher|year=1964|url=https://books.google.com/books?id=LLhAAAAAMAAJ&q=774+787+srivijaya|title=South-east Asia: a social, economic, and political geography|publisher=Methuen|page=108}}</ref><ref name="RenardFund1986">{{cite book|author1=Ronald Duane Renard|author2=Mahāwitthayālai Phāyap|year=1986|url=https://books.google.com/books?id=sZVuAAAAMAAJ&q=774+787+srivijaya|title=Anuson Walter Vella|publisher=University of Hawaii at Manoa. Center for Asian and Pacific Studies|page=121|others=Walter F. Vella Fund, Payap University}}</ref> Beberapa kota pesisir Champa mengalami serangan angkatan laut dan serangan dari Jawa. Armada Jawa disebut sebagai ''Javabala-sanghair-nāvāgataiḥ'' (angkatan laut dari Jawa) yang tercatat dalam prasasti Champa.<ref>{{cite book|year=1941|url=https://books.google.com/books?id=QKFhAAAAMAAJ&q=774+787+srivijaya|title=Bulletin de l'École française d'Extrême-Orient|publisher=L'Ecole|page=263}}</ref><ref name="HallNguyễn1968">{{cite book|author1=Daniel George Edward Hall|author2=Phút Tấn Nguyễn|year=1968|url=https://books.google.com/books?id=caMLAAAAIAAJ&q=774+787+srivijaya|title=Đông Nam Á sử lược|publisher=Pacific Northwest Trading Company|page=136}}</ref> Semua serangan ini diyakini diluncurkan oleh wangsa Sailendra, penguasa Jawa dan Sriwijaya.<ref name="Munoz2006">{{cite book|author=Paul Michel Munoz|year=2006|url=https://books.google.com/books?id=NqwuAQAAIAAJ&q=774+787+srivijaya|title=Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula|publisher=National Book Network|isbn=978-981-4155-67-0|page=136}}</ref><ref name="Chihara1996">{{cite book|author=Daigorō Chihara|year=1996|url=https://books.google.com/books?id=wiUTOanLClcC&q=774+787+srivijaya&pg=PA88|title=Hindu-Buddhist Architecture in Southeast Asia|publisher=BRILL|isbn=90-04-10512-3|pages=88–}}</ref><ref name="MarrMilner1986">{{cite book|author1=David G. Marr|author2=Anthony Crothers Milner|year=1986|url=https://books.google.com/books?id=Lon7gmj040MC&q=774+787+srivijaya&pg=PA297|title=Southeast Asia in the 9th to 14th Centuries|publisher=Institute of Southeast Asian Studies|isbn=978-9971-988-39-5|pages=297–}}</ref> Kemungkinan penyebab penyerangan orang Jawa di Champa mungkin didorong oleh persaingan perdagangan dalam melayani pasar Cina. Prasasti 787 berada di Yang Tikuh sedangkan prasasti 774 adalah Po-nagar.<ref>{{cite book|year=1995|url=https://books.google.com/books?id=NRFXAAAAMAAJ&q=774+787+srivijaya|title=The South East Asian Review|publisher=Institute of South East Asian Studies|page=26}}</ref><ref>{{cite book|year=1980|url=https://books.google.com/books?id=bmNjAAAAMAAJ&q=774+787+srivijaya|title=Our Heritage|publisher=Sanskrit College|page=17}}</ref>
Di provinsi Kauthara pada tahun 774, kuil Siva-linga Champa di Po Nagar diserang dan dihancurkan.<ref>{{cite book|year=1985|url=https://books.google.com/books?id=yNxRAQAAMAAJ&q=774+787+srivijaya|title=Warisan Kelantan|publisher=Perbadanan Muzium Negeri Kelantan|page=13}}</ref> Sumber Champa menyebutkan penyerbu mereka sebagai ''orang asing, pelaut, pemakan makanan rendahan, penampilan menakutkan, luar biasa hitam dan kurus''.<ref>{{cite book|year=1936|url=https://books.google.com/books?id=ReclAAAAMAAJ&q=774+787+srivijaya|title=Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society|publisher=The Branch|page=24}}</ref> Serangan 774 oleh orang Jawa terjadi di bawah kekuasaan Isvaraloka (Satyavarman).<ref name="Cœdès1968 2">{{cite book|author=George Cœdès|year=1968|url=https://books.google.com/books?id=iDyJBFTdiwoC&pg=PA95|title=The Indianized States of South-East Asia|publisher=University of Hawaii Press|isbn=978-0-8248-0368-1|pages=95–}}</ref><ref name="Pluvier1995">{{cite book|author=Jan M. Pluvier|year=1995|url=https://books.google.com/books?id=gzRtAAAAMAAJ&q=774+787+srivijaya|title=Historical Atlas of South-East Asia|publisher=E.J. Brill|isbn=978-90-04-10238-5|page=12}}</ref> Catatan Champa menyebutkan bahwa negara mereka dihantam oleh ''para perampok laut yang'' ''ganas, kejam, dan berkulit gelap'', yang diyakini oleh para sejarawan modern oleh orang Jawa. Jawa memiliki hubungan komersial dan budaya dengan Champa.<ref name="Reid2000">{{cite book|author=Anthony Reid|date=1 August 2000|url=https://books.google.com/books?id=YNMGBAAAQBAJ&q=774+787+srivijaya&pg=PT35|title=Charting the Shape of Early Modern Southeast Asia|publisher=Silkworm Books|isbn=978-1-63041-481-8}}</ref> Dan penyerangan dimulai di Kamboja. Serangan Jawa diluncurkan melalui pulau Pulo Condor. Malaya, Sumatera atau Jawa semua bisa menjadi asal mula para penyerang.<ref name="Hall1966">{{cite book|author=D.G.E. Hall|year=1966|url=https://books.google.com/books?id=_U21B4ExmpAC&q=774+787+srivijaya|title=A History of South-East Asia|page=96}}</ref> Kuil Kauthara Nha Trang di Po Nagar hancur ketika ''pria-pria ganas, kejam, berkulit gelap yang lahir di negara lain, yang makanannya lebih mengerikan daripada mayat, dan yang ganas dan ganas, datang dengan kapal. . . mengambil [lingga kuil], dan membakar kuil''. Pada 774 menurut prasasti Nha Trang dalam bahasa Sansekerta oleh orang Champa. ''Pria yang lahir di negeri lain, hidup dengan makanan lain, menakutkan untuk dilihat, gelap dan kurus secara tidak wajar, kejam seperti maut, melewati laut dengan kapal'' dan menyerang pada tahun 774.<ref>{{cite book|year=1936|url=https://books.google.com/books?id=ReclAAAAMAAJ&q=787+srivijaya|title=Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society|publisher=The Branch|page=8}}</ref>
Pada tahun 787, para pejuang dari Jawa yang ditumpangi dengan kapal-kapal menyerang Champa. Di Phan-rang, kuil Sri Bhadradhipatlsvara dibakar oleh pasukan laut Jawa pada tahun 787,<ref name="Chatterjee1964">{{cite book|author=Bijan Raj Chatterjee|year=1964|url=https://books.google.com/books?id=jLZAAAAAMAAJ&q=774+787+srivijaya|title=Indian Cultural Influence in Cambodia|publisher=University of Calcutta|page=61}}</ref><ref name="Groslier1962">{{cite book|author=Bernard Philippe Groslier|year=1962|url=https://books.google.com/books?id=T9mfAAAAMAAJ&q=774+787+srivijaya|title=The art of Indochina: including Thailand, Vietnam, Laos and Cambodia|publisher=Crown Publishers|page=89}}</ref> ketika Indravarman berkuasa di tangan orang Jawa. Disebutkan bahwa ''tentara Jawa, yang datang dengan kapal'' dari penyerangan tahun 787, dan serangan sebelumnya, bahwa Satyavarman, Raja Champa mengalahkan mereka saat mereka diikuti oleh ''kapal-kapal bagus dan dipukuli di laut dan mereka adalah orang-orang yang hidup dari makanan yang lebih mengerikan daripada mayat, menakutkan, benar-benar hitam dan kurus, mengerikan dan jahat seperti kematian, datang dengan kapal'' di prasasti Nha-trang Po Nagar dalam bahasa Sansekerta, yang disebut mereka ''pria yang lahir di negara lain''. Reruntuhan candi di Panduranga pada tahun 787 terjadi di tangan para penyerang.
Champa adalah penghubung perdagangan penting antara Cina dan Sriwijaya.<ref name="Hall2010">{{cite book|author=Kenneth R. Hall|date=28 December 2010|url=https://books.google.com/books?id=fjsEn3w4TPgC&q=774+787+srivijaya&pg=PA75|title=A History of Early Southeast Asia: Maritime Trade and Societal Development, 100–1500|publisher=Rowman & Littlefield Publishers|isbn=978-0-7425-6762-7|pages=75–}}{{cite book|author=Kenneth R. Hall|date=28 December 2010|url=https://books.google.com/books?id=fjsEn3w4TPgC&q=774+787+srivijaya|title=A History of Early Southeast Asia: Maritime Trade and Societal Development, 100–1500|publisher=Rowman & Littlefield Publishers|isbn=978-0-7425-6762-7|page=75}}</ref><ref name="TrầnTrần1998">{{cite book|author1=Văn Giàu Trần|author2=Bạch Đằng Trần|year=1998|url=https://books.google.com/books?id=XxVIAAAAMAAJ&q=774+787+srivijaya|title=Địa chí văn hóa Thành phố Hồ Chí Minh|publisher=Nhà xuất bản Thành phố Hồ Chí Minh|page=131}}</ref><ref name="Nguyêñ2008">{{cite book|author=Thê ́Anh Nguyêñ|year=2008|url=https://books.google.com/books?id=7p8MAQAAMAAJ&q=774+787+srivijaya|title=Parcours d'un historien du Viêt Nam: recueil des articles|publisher=Indes savantes|isbn=978-2-84654-142-8|page=115}}</ref> Majapahit dan para pendahulunya Mataram Jawa memiliki hubungan dengan Champa.<ref name="HardyCucarzi2009">{{cite book|author1=Andrew David Hardy|author2=Mauro Cucarzi|author3=Patrizia Zolese|year=2009|url=https://books.google.com/books?id=fj8l8v_yP5oC&q=774+787+srivijaya&pg=PA149|title=Champa and the Archaeology of Mỹ Sơn (Vietnam)|publisher=NUS Press|isbn=978-9971-69-451-7|pages=149–}}</ref> Hubungan diplomatik Champa lebih lanjut dengan Jawa terjadi pada tahun 908 dan 911 pada masa pemerintahan Bhadravarman II (memerintah 905–917), di mana raja mengirim dua utusan ke pulau itu.<ref>Huber, Edouard. 1911. ''L’epigraphie de la dynastie de Dong-duong.'' BEFEO 11:268–311. p. 299</ref>
[[Prasasti Kaladi]] (sekitar 909 M), menyebutkan ''Kmir'' (orang Khmer dari Kerajaan Khmer) bersama dengan ''Campa'' (Champa) dan ''Rman'' (Mon) sebagai orang asing dari daratan Asia Tenggara yang sering datang ke Jawa untuk berdagang. Prasasti itu menunjukkan jaringan perdagangan maritim telah dibangun antara kerajaan-kerajaan di daratan Asia Tenggara dan Jawa.<ref>{{cite book| title = Offshore Asia: Maritime Interactions in Eastern Asia Before Steamships, volume 18 from Nalanda-Sriwijaya series |editor1=Fujita Kayoko |editor2=Shiro Momoki |editor3=Anthony Reid | publisher = Institute of Southeast Asian Studies | year = 2013 |isbn = 978-9814311779 |page = 97 |url =https://books.google.com/?id=lcT3AwAAQBAJ&pg=PA97&dq=Kaladi+inscription+909+CE#v=onepage&q=Kaladi%20inscription%20909%20CE&f=false}}</ref>
[[Berkas:LCI.jpg|thumb|[[Prasasti Keping Tembaga Laguna]] (sekitar 900 M) dari daerah Laguna de Bay di Luzon, [[Filipina]]. Prasasti ini menyebutkan ''pamegat'' dari "Medang" sebagai salah satu pihak berwenang dalam penyelesaian hutang yang terutang kepada ''pamegat senapati'' dari "Tundun".]]
Nama Medang juga disebutkan dalam [[Prasasti Keping Tembaga Laguna]] (sekitar 900 M), ditemukan di Lumban, Laguna, [[Filipina]]. Penemuan prasasti, yang ditulis dalam [[aksara Kawi]] dalam berbagai [[bahasa Melayu Kuno]] yang mengandung banyak kata pinjaman dari [[bahasa Sanskerta]] dan beberapa elemen kosakata non-Melayu yang asalnya ambigu antara Jawa Kuno dan Tagalog Kuno, menunjukkan bahwa orang atau pejabat Medang telah memulai perdagangan antar pulau dan hubungan luar negeri di daerah-daerah sejauh [[Filipina]].
Catatan Arab abad ke-10 ''Ajayeb al-Hind'' (Keajaiban India) memberikan laporan invasi di Afrika oleh bangsa yang disebut Wakwak atau Waqwaq,<ref name=":122">Kumar, Ann (2012). 'Dominion Over Palm and Pine: Early Indonesia’s Maritime Reach', dalam Geoff Wade (ed.), ''Anthony Reid and the Study of the Southeast Asian Past'' (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies), 101–122.</ref>{{rp|110}} mungkin adalah orang-orang Melayu Sriwijaya atau orang Jawa dari kerajaan Medang,<ref name=":13">{{Cite book|last=Nugroho|first=Irawan Djoko|year=2011|title=Majapahit Peradaban Maritim|location=|publisher=Suluh Nuswantara Bakti|isbn=978-602-9346-00-8}}</ref>{{Rp|39}} pada 945–946 M. Mereka tiba di pantai [[Tanganyika]] dan [[Mozambik]] dengan 1000 kapal dan berusaha merebut benteng Qanbaloh, meskipun akhirnya gagal. Alasan serangan itu adalah karena tempat itu memiliki barang-barang yang cocok untuk negara mereka dan China, seperti gading, kulit kura-kura, kulit macan kumbang, dan ambergris, dan juga karena mereka menginginkan budak hitam dari [[orang Bantu]] (disebut ''Zeng'' atau ''Zenj'' oleh orang Arab, ''Jenggi'' oleh orang Jawa) yang kuat dan menjadi budak yang baik.<ref>{{Cite book|last=Wade|first=Geoff|year=2012|title=Anthony Reid and the Study of the Southeast Asian Past|location=Singapore|publisher=Institute of Southeast Asian Studies|isbn=978-9814311960|pages=}}</ref> Keberadaan orang Afrika berkulit hitam masih dicatat sampai abad ke-15 pada prasasti-prasasti berbahasa Jawa kuno<ref>{{Cite journal|last=Maziyah|first=Siti|date=2022|title=Analysing the Presence of Enslaved Black People in Ancient Java Society|url=http://dx.doi.org/10.14710/jmsni.v6i1.14010|journal=Journal of Maritime Studies and National Integration|volume=6|issue=1|pages=62–69|doi=10.14710/jmsni.v6i1.14010|issn=2579-9215}}</ref><ref>{{Cite journal|last=Jákl|first=Jiří|date=2017|title=Black Africans on the maritime silk route|url=http://dx.doi.org/10.1080/13639811.2017.1344050|journal=Indonesia and the Malay World|volume=45|issue=133|pages=334–351|doi=10.1080/13639811.2017.1344050|issn=1363-9811}}</ref> dan orang Jawa masih dicatat mengekspor budak berkulit hitam pada era dinasti Ming.<ref>{{Cite book|year=2017|url=https://books.google.com/books?id=lK8XEAAAQBAJ&dq=%E7%88%AA%E5%93%87%E9%8A%83&pg=RA2-PT188|title=中国与南海周边关系史 (History of China's Relations with the South China Sea)|publisher=Beijing Book Co. Inc.|isbn=9787226051870|editor-last=Shu|editor-first=Yuan|quote=一、药材:胡椒、空青、荜拨、番木鳖子、芦荟、闷虫药、没药、荜澄茄、血竭、苏木、大枫子、乌爹泥、金刚子、番红土、肉豆蔻、白豆蔻、藤竭、碗石、黄蜡、阿魏。二、香料:降香、奇南香、檀香、麻滕香、速香、龙脑香、木香、乳香、蔷薇露、黄熟香、安息香、乌香、丁皮(香)。三、珍宝:黄金、宝石、犀角、珍珠、珊瑙、象牙、龟筒、 孔雀尾、翠毛、珊瑚。四、动物:马、西马、红鹦鹉、白鹦鹉、绿鹦鹉、火鸡、白 鹿、白鹤、象、白猴、犀、神鹿(摸)、鹤顶(鸟)、五色鹦鹉、奥里羔兽。五、金 属制品:西洋铁、铁枪、锡、折铁刀、铜鼓。六、布匹:布、油红布、绞布。[4]此 外,爪哇还向明朝输入黑奴、叭喇唬船、爪哇铣、硫黄、瓷釉颜料等。爪哇朝贡贸易 输人物资不仅种类多,而且数虽可观,如洪武十五年(1382年)一次进贡的胡椒就达 七万五千斤。[5]而民间贸易显更大,据葡商Francisco de Sa记载:“万丹、雅加达等港 口每年自漳州有帆船20艘驶来装载3万奎塔尔(quiutai)的胡椒。"1奎塔尔约合59 公斤则当年从爪哇输入中国胡椒达177万公斤。}}</ref>
Menurut Prasasti Waharu IV (931 M) dan Prasasti Garaman (1053 M),<ref>Nastiti (2003), dalam Ani Triastanti, 2007, hlm. 39.</ref><ref>Nastiti (2003), dalam Ani Triastanti, 2007, hlm. 34.</ref> Kerajaan Medang dan [[Kerajaan Kahuripan]] zaman Airlangga (1000–1049 M) di Jawa mengalami masa kemakmuran panjang sehingga membutuhkan banyak tenaga terutama untuk membawa hasil panen, mengemas, dan mengirimkannya ke pelabuhan. Tenaga kerja berupa orang kulit hitam diimpor dari Jenggi ([[Zanzibar]]), Pujut ([[Australia]]), dan Bondan ([[Papua]]).<ref name=":13" />{{Rp|73}} Menurut Naerssen, mereka tiba di Jawa dengan jalan perdagangan (dibeli oleh pedagang) atau ditawan saat perang dan kemudian dijadikan budak.<ref>Kartikaningsih (1992). hlm. 42, dalam Ani Triastanti (2007), hlm. 34.</ref>
Penelitian pada tahun 2016 menunjukkan bahwa [[Bangsa Malagasi|orang Malagasi]] memiliki hubungan genetik dengan berbagai kelompok etnis Nusantara, terutama dari Kalimantan bagian selatan.<ref>{{Cite journal|last=Kusuma|first=Pradiptajati|last2=Brucato|first2=Nicolas|last3=Cox|first3=Murray P.|last4=Pierron|first4=Denis|last5=Razafindrazaka|first5=Harilanto|last6=Adelaar|first6=Alexander|last7=Sudoyo|first7=Herawati|last8=Letellier|first8=Thierry|last9=Ricaut|first9=François-Xavier|date=2016-05-18|title=Contrasting Linguistic and Genetic Origins of the Asian Source Populations of Malagasy|url=http://dx.doi.org/10.1038/srep26066|journal=Scientific Reports|volume=6|issue=1|doi=10.1038/srep26066|issn=2045-2322}}</ref> Bagian-bagian dari [[bahasa Malagasi]] bersumber dari [[Bahasa Maanyan|bahasa Ma'anyan]] dengan kata pinjaman dari bahasa [[Bahasa Sanskerta|Sanskerta]], dengan semua modifikasi linguistik lokal melalui bahasa Jawa atau Melayu.<ref name="A small cohort of Island Southeast Asian women founded Madagascar">{{cite journal|author=Murray P. Cox|author2=Michael G. Nelson|author3=Meryanne K. Tumonggor|author4=François-X. Ricaut|author5=Herawati Sudoyo|date=2012|title=A small cohort of Island Southeast Asian women founded Madagascar|journal=Proceedings of the Royal Society B|volume=279|issue=1739|pages=2761–8|doi=10.1098/rspb.2012.0012|pmc=3367776|pmid=22438500| issn=0962-8452}}</ref> Orang Ma'anyan dan Dayak bukanlah seorang pelaut dan merupakan penggarap sawah kering sedangkan sebagian orang Malagasi adalah petani sawah basah, sehingga kemungkinan besar mereka dibawa oleh orang Jawa dan Melayu dalam armada dagangnya, sebagai buruh atau budak.<ref name=":122" />{{rp|114-115}} Kegiatan perdagangan dan perbudakan Jawa di Afrika menyebabkan pengaruh yang kuat pada pembuatan perahu di Madagaskar dan pantai Afrika Timur. Hal ini ditunjukkan dengan adanya cadik dan ''oculi'' (hiasan mata) pada perahu-perahu Afrika.<ref>{{Cite book|last=Hornell|first=James|date=|year=1946|url=https://archive.org/details/watertransportor0000horn/page/n5/mode/2up?q=|title=Water Transport: Origins & Early Evolution|location=Newton Abbot|publisher=David & Charles|oclc=250356881}}</ref>{{rp|253-288}}<ref name=":16">{{Cite book|last=Dick-Read|first=Robert|year=2005|title=The Phantom Voyagers: Evidence of Indonesian Settlement in Africa in Ancient Times|location=|publisher=Thurlton|isbn=|pages=}}</ref>{{rp|94}}<ref name=":31">{{Cite book|last=Dick-Read|first=Robert|date=2008|url=https://books.google.co.id/books?id=Ud19pmI1DzoC|title=Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika|publisher=PT Mizan Publika|isbn=9789794335062|url-status=live}}</ref>{{rp|156}} Budaya Jawa sepertinya juga mempengaruhi strata sosial di Madagaskar, gelar [[Malagasi]] "[[andriana]]" mungkin berasal dari gelar kebangsawanan Jawa kuno "Rahadyan" (''Ra-hady-an''), "hady" yang berarti "pejabat tinggi" atau "tuan".<ref name="Adelaar">{{cite book | last = Adelaar | first = K.A. | year = 2006 | title = The Indonesian migrations to Madagascar: Making sense of the multidisciplinary evidence | publisher = in Adelaar, Austronesian diaspora and the ethnogenesis of people in Indonesian Archipelago, LIPI PRESS | url = http://www.santafe.edu/events/workshops/images/6/6d/IndonesianMigrations.pdf | access-date = 2008-05-19 | archive-url = https://web.archive.org/web/20091122232505/http://www.santafe.edu/events/workshops/images/6/6d/IndonesianMigrations.pdf | archive-date = 2009-11-22 | url-status = dead }}</ref>
== Keruntuhan ==
[[Berkas:Borobudur ship.JPG|jmpl|ka|260px|Kapal Borobudur yang digambarkan di candi Borobudur]]
[[Dharmawangsa Teguh]] melancarkan serangan angkatan laut terhadap [[Sriwijaya]] yang berbasis di [[Sumatera]], dalam upaya menguasai jalur perdagangan maritim yang kala itu di kuasai Sriwijaya, sekaligus untuk melumpuhkan kemampuan maritim Sriwijaya. Berita invasi [[Jawa]] ke [[Sriwijaya]], ditulis dalam sumber-sumber [[Tiongkok]] dari periode [[Dinasti Song]]. Pada tahun [[988]], seorang utusan dari ''San-fo-tsi'' (Sriwijaya) dikirim ke istana Tiongkok di Guangzhou. Setelah tinggal sekitar dua tahun di Tiongkok, tersiar kabar bahwa negaranya telah diserang oleh ''She-po'' (Jawa) sehingga membuatnya tidak dapat kembali.
Pada [[992]] utusan dari ''She-po'' (Jawa) tiba di istana Tiongkok dan menjelaskan bahwa negara mereka telah terlibat dalam perang berkelanjutan dengan Sriwijaya. Pada tahun [[999]] utusan Sriwijaya berlayar dari Tiongkok ke [[Champa]] dalam upaya untuk kembali, namun ia tidak menerima kabar tentang kondisi negaranya. Utusan Sriwijaya itu lalu berlayar kembali ke Tiongkok dan memohon kepada Kaisar Tiongkok untuk melindungi [[Sriwijaya]] dari ancaman [[Jawa]]. Invasi [[Dharmawangsa]] mengakibatkan raja [[Sriwijaya]], [[Sri Cudamani Warmadewa]] untuk mencari perlindungan dari [[Tiongkok]]. Di tengah krisis yang disebabkan oleh invasi Jawa, ia mendapatkan dukungan politik Tiongkok dengan memenuhi tuntutan [[Kaisar Tiongkok]]. Pada [[1003]], sebuah catatan sejarah [[Dinasti Song]] melaporkan bahwa utusan ''San-fo-tsi'' yang dikirim oleh raja ''Shi-li-zhu-luo-wu-ni-fo-ma-tiao-hua'' ([[Sri Cudamani Warmadewa]]). Memberi tahu kepada Kaisar Tiongkok bahwa sebuah kuil Buddha telah didirikan di negara mereka untuk berdoa meminta umur panjang Yang Mulia Kaisar Tiongkok, dengan demikian meminta kepada Kaisar untuk memberikan nama dan sebuah lonceng untuk kuil yang dibangun untuk menghormatinya. Dengan gembira, Kaisar Tiongkok menamai kuil tersebut ''Ch’eng-t’en-wan-shou'' ('sepuluh ribu tahun menerima berkah dari surga, yaitu Tiongkok) dan sebuah lonceng segera diberikan dan dikirim ke [[Sriwijaya]] untuk dipasang di kuil Candi Bungsu, Kompleks [[Candi Muara Takus]], Kampar, [[Riau]].
Setelah 16 tahun masa perang, [[Sriwijaya]] berhasil mengusir penjajah Medang dan membebaskan [[Palembang]]. Serangan Medang membuka mata Maharaja Sriwijaya tentang betapa berbahayanya musuhnya tersebut. Sebagai balasan ia berencana untuk membalas dan menghancurkan musuh besarnya itu, pada tahun [[1016]], atas dukungan Sriwijaya, Haji Wurawari memberontak pada kekuasaan Medang. ''Haji Wurawari'' adalah pemimpin wilayah bawahan pemerintahan Medang, pasukan ''Wurawari'' melancarkan invasi dari arah utara Lwaram untuk menghancurkan istana Medang yang saat itu tengah melangsungkan pesta pernikahan, serangan mendadak dan tak terduga ini terjadi selama upacara pernikahan putri Dharmawangsa dengan [[Airlangga]], yang membuat pihak istana tidak siap dan terkejut yang berakibat pada peristiwa kematian besar raja beserta para kerabat raja di dalam istana.
Bencana ini dicatat sebagai ''Mahapralaya'' dalam [[Prasasti Pucangan]], kematian dari raja [[Dharmawangsa]] serta hancurnya ibukota Wwatan di bawah tekanan militer [[Sriwijaya]] mengakhiri kerajaan Medang dan membuatnya jatuh dalam kekacauan karena tidak adanya seorang penguasa tertinggi, para panglima perang di setiap provinsi, daerah dan pemukiman di [[Jawa Tengah]] dan [[Jawa Timur]] memberontak, dan melepaskan diri dari pemerintahan pusat Medang untuk membentuk daerah otonom atau pemerintahannya sendiri, selanjutnya perampokan merajalela, kerusuhan, kekerasan dan kejahatan lebih lanjut terjadi beberapa tahun setelah kejatuhan Medang hingga merusak situasi negara.
[[Airlangga]], adalah putra raja [[Udayana]] Warmadewa dari [[Kerajaan Bedahulu]] [[Bali]] dengan ratu [[Mahendradatta]], Airlangga juga merupakan keponakan raja [[Dharmawangsa]] yang terbunuh di dalam istana serta sisa keluarga [[wangsa Isyana]] yang berhasil lolos bersama dengan putri Dharmawangsa dan melarikan diri ke pengasingan di hutan pegunungan ''Vana giri'', [[Wonogiri]] di pedalaman [[Jawa Tengah]]. kemudian menuju Sendang Made, Kudu, [[Jombang]]. dalam pelarian dan pertapaannya [[Airlangga]] didatangi utusan rakyat serta mendapatkan dukungan dari kaum pendeta dan senopati yang masih setia untuk kembali membangun kejayaan Medang, pada [[1019]] Dia tampil dan mendirikan sebuah kerajaan baru dan dianggap sebagai kelanjutan dari Kerajaan Medang, dengan ibukotanya di Watan Mas yang terletak di sekitar dekat [[Gunung Penanggungan]].
== Pemerintahan Medang ==
Dalam konsep tata negara Jawa Kuno, unsur kerajaan terdiri dari tujuh hal yang disebut ''Saptāṅga (Sapta Angga).'' Yaitu raja, wilayah kerajaan, birokrasi (sipil dan kehakiman), rakyat, perbendaharaan kerajaan, angkatan perang, dan negara-negara tetangga & sahabat yang mengakui keberadaan suatu kerajaan. Melalui berita dan tafsir berbagai prasasti, tata pemerintahan Kerajaan Medang dapat terbayang sepenuhnya.
Raja merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. [[Sanjaya, Rakai Mataram|Sanjaya]] sebagai raja pertama memakai gelar 'Ratu'. Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar ini setara dengan 'Datu' yang berarti "pemimpin". Dalam [[bahasa Jawa]], istilah 'Ratu' digunakan sebagai sinonim 'Datu', sehingga di Jawa istilah Karaton (Karatuan) digunakan sebagai sinonim Kadaton (Kadatuan).
Ketika [[Rakai Panangkaran]] berkuasa, gelar 'Ratu' digantikan dengan gelar 'Sri Maharaja'. Hal ini dapat dilihat dalam daftar raja-raja pada [[Prasasti Mantyasih]] yang menyebutkan hanya Sanjaya saja yang bergelar Sang Ratu.
=== Aparat Birokrasi ===
Pada periode awal di [[Jawa Tengah]], terdapat sebuah gelar yang banyak termaktub dalam prasasti-prasasti dari abad ke-8 hingga abad ke-10, yaitu gelar 'Raka' (kadang ditulis Rakai). Sesudah masa itu, gelar Raka cenderung tidak lagi dipakai, diganti dengan 'Rakryan' yang merupakan gabungan dari kata raka dan aryan, merujuk kepada tingkat jabatan administrasi negara yang tingkatannya sepadan dengan gelar raka. Namun gelar 'Rakai' umum digunakan oleh pejabat penguasa daerah watak, sedangkan 'Rakryan' untuk pejabat tinggi pemerintahan seperti menteri. Penggunaan gelar rakryan mulai ramai dipergunakan pada periode [[Jawa Timur]] dan berlangsung hingga zaman kerajaan Kadiri, Singasari, dan Majapahit.
Raka adalah seorang pemimpin atau penguasa yang telah berhasil menguasai sejumlah ''wanua'' (desa/kelurahan) dan ''watak'' (kecamatan). Wanua adalah wilayah kecil yang dipimpin oleh seorang Rama (tetua desa), dan gabungan dari sejumlah ''wanua'' (desa/kelurahan) disebut ''watak'' (kecamatan) yang dipimpin para Raka. Dewan yang terdiri atas para Rama disebut Karaman (arti harfiahnya "tanah para rama").
Pada awal abad ke-8 hingga awal abad ke-10 di Jawa Tengah dikenal empat pangkat jabatan tinggi yang bergelar Rakryān Mahamantri, yaitu ''i Hino'', ''i Halu'', ''i Sirikan'', dan ''i Wka.'' Walau prasasti-prasasti tidak menyebutkan secara rinci tingkat kepangkatan dari keempat jabatan tersebut. Namun kemungkinan besar Rakryān Mahamantri i Hino menduduki hierarki tertinggi, tercermin dari gambaran prasasti bahwa pejabat tersebut langsung menerima titah dari Sri Maharaja. Secara rinci berikut adalah daftar 18 pejabat tinggi di Kerajaan Medang yang disebutkan dalam prasasti, tinggi rendahnya kedudukan pejabat-pejabat ini terbayang dari jumlah pasak-pasak yang mereka terima
:# ''Rakryan Mahamantri i Hino,''
:# ''Rakryan Mahamantri i Halu,''
:# ''Rakryan Mahamantri i Sirikan,''
:# ''Rakryan Mahamantri i Wka,''
:# ''Rakai Halaran,''
:# ''Rakai Palarhyang/Panggilhyang''
:# ''Rakai Wlahan,''
:# ''Rakai Dalinan,''
:# ''Rakai Laṅka,''
:# ''Rakai Tanjung,''
:# ''Pangkur,''
:# ''Tawan,''
:# ''Tirip,''
:# ''Pamgat Tiruan,''
:# ''Pamgat Maṅhuri,''
:# ''Pamgat Wadihati,''
:# ''Pamgat Makudur,''
:# ''Pamgat Bawaṅ''
Selain 18 pejabat tinggi di tingkat pusat ini, berita prasasti menyebut masih ada ratusan abdi dalem raja atau ''Maṅilala Drawya Haji'' atau ''Maminta Drawya Haji'' yang dalam Prasasti Cane 1021 M disebut ada 104 jabatan.
=== Ibu kota ===
[[Berkas:Hindu Temple in Java, Indonesia.jpg|jmpl|upright|right|Prasada (menara) [[candi Prambanan]] dilihat dari bukit [[Ratu Boko]].]]
Kerajaan Medang diperkirakan berdiri di daerah sekitar [[Magelang]] dan [[Yogyakarta]]. Berdasarkan temuan arkeologi di daerah tersebut banyak ditemukan beberapa prasasti.
Sebenarnya, pusat kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, dari [[Jawa Tengah]] ke [[Jawa Timur]]. Beberapa daerah yang diperkirakan pernah menjadi lokasi ibu kota Medang berdasarkan analisis prasasti dan catatan sejarah, di antaranya:
{| class="wikitable" width="65%"
!width="100px"|Nama raja
!width="140px"|Ibu kota
!width="180px"|Provinsi
!width="160px"|Prasasti atau catatan sejarah
|-
|[[Sanjaya (raja)|Sanjaya]]
|Mataram<br>Poh Pitu
|[[Yogyakarta]]<br>[[Jawa Tengah]]
|[[Prasasti Canggal|Canggal]] (732 M)<br>[[Prasasti Mantyasih|Mantyasih]] (907 M)
|-
|[[Rakai Pikatan]]
|Mamratipura
|[[Jawa Tengah]]
|[[Prasasti Siwagrha|Siwagrha]] (856 M)
|-
|[[Dyah Balitung]]
|Yawapura<br>She-p’o-tch’eng
|[[Jawa Tengah]]
|Catatan [[dinasti Tang]]
|-
|[[Mpu Daksa]]
|P’o-lu-chia-sse
|[[Jawa Tengah]]
|Catatan [[dinasti Tang]]
|-
|[[Mpu Sindok]]
|Tamwlang
|[[Jawa Timur]]
|[[Prasasti Turyyan|Turyyan]] (929 M)
|-
|[[Mpu Sindok]]
|Watugaluh
|[[Jawa Timur]]
|[[Prasasti Paradah|Paradah]] (943 M)
|-
|[[Dharmawangsa Teguh|Dharmawangsa]]
|Wwatan
|[[Jawa Timur]]
|[[Prasasti Pucangan|Pucangan]] (1041 M)
|-
| colspan="13" style="text-align:left;font-size:90%;"|
Catatan:<br>
<sup>'''1'''</sup> Mataram secara geografi merujuk pada lokasi dari banyak ditemukannya penemuan arkeologi, prasasti, dan candi-candi yang mengawali dalam sejarah Indonesia.<br>
<sup>'''2'''</sup> Hipotesis berdasarkan Prof. Dr. R. M. Ng. Poerbatjaraka, Prof. Dr. Marwati Djoened Poesponegoro, dan Prof. Dr. Nugroho Notosusanto
|}
== Wangsa yang berkuasa ==
===Wangsa Syailendra===
{{Main|Wangsa Syailendra}}
Teori wangsa ganda Syailendra-Sanjaya yang diajukan Bosch dan De Casparis ini ditentang oleh beberapa sejarawan Indonesia di periode selanjutnya. Sebuah teori alternatif, yang diusulkan oleh Poerbatjaraka, menunjukkan bahwa hanya ada satu kerajaan dan satu dinasti, kerajaan disebut sebagai Medang, dengan ibukota di Bhumi Mataram, dan dinasti yang berkuasa adalah [[Syailendra]].
Teori ini didukung dengan interpretasi Boechari tentang [[Prasasti Sojomerto]] dan studi Poerbatjaraka pada naskah [[Carita Parahyangan]]. Menurut Boechari, tokoh yang bernama [[Dapunta Selendra]] pada [[Prasasti Sojomerto]] adalah cikal bakal raja-raja keturunan [[Syailendra]] yang berkuasa di Jawa dan Sumatra. Poerbatjaraka berpendapat bahwa [[Sanjaya, Rakai Mataram|Sanjaya]] dan semua keturunannya adalah anggota keluarga [[Syailendra]], yang awalnya adalah pemeluk agama [[Hindu]]-[[Siwa]]. Kemudian berdasarkan [[Prasasti Raja Sankhara]]; putra Sanjaya, [[Rakai Panangkaran]], masuk agama [[Buddha Mahayana]]. Dari rangkain peristiwa sejarah tersebut keturunan Syailendra yang kemudian memerintah Medang menjadi pemeluk agama [[Buddha Mahayana]] dan menjadi pelindung agama Buddha di Jawa hingga akhir masa pemerintahan [[Samaratungga]].<ref>Poerbatjaraka, 1958: 254–264</ref> Hindu Siwa memperoleh kembali dukungan dari kerajaan pada masa pemerintahan [[Rakai Pikatan]], yang berlangsung sampai akhir Kerajaan Medang. Pada masa pemerintahan [[Rakai Pikatan]] dan [[Dyah Balitung]], candi Hindu Trimurti [[Prambanan]] dibangun dan diperluas di sekitar [[Yogyakarta]].
Dengan perkataan lain, mungkin sekali pendapat Poerbatjaraka adalah benar mengenai asal usul wangsa Syailendra, yaitu mereka adalah pribumi asli Nusantara dan bahwa hanya ada satu wangsa saja, wangsa Syailendra yang anggotanya semula penganut agama [[Hindu]]-[[Siwa]] ([[Saiwa]]), tetapi sejak pemerintahan [[Rakai Panangkaran]] menjadi penganut agama [[Buddha Mahayana]] untuk kemudian kembali lagi menjadi penganut agama [[Saiwa]] sejak pemerintahan [[Rakai Pikatan]].<ref name="Sedyawati 2012">{{cite book|author=Sedyawati, Edi, dkk|year=2012|title=“Dinasti, Agma, Dan Monumen” dalam Indonesia Dalam Arus Sejarah, Kerajaan Hindu-Buddha|location=Jakarta|publisher=PT Ichtiar Baru Van Hoeve}}</ref>
===Wangsa Isyana===
{{Main|Wangsa Isyana}}
Ketika kerajaan Medang di Jawa Tengah hancur akibat letusan [[Gunung Merapi]] menurut [[teori van Bammelen]]. [[Mpu Sindok]] kemudian memindahkan ibu kota Medang dari Mataram menuju Tamwlang. Beberapa tahun kemudian ibu kota dipindahkan lagi ke Watugaluh. Kedua istana baru itu terletak di daerah [[Jombang]], [[Jawa Timur]] sekarang.
Mpu Sindok tidak hanya memindahkan istana Medang ke Jawa Timur, tetapi ia juga dianggap telah mendirikan dinasti baru bernama [[Wangsa Isyana]].
== Daftar penguasa Medang ==
Kerajaan Medang diperintah oleh wangsa atau raja-raja [[wangsa Syailendra|Syailendra]] dan [[wangsa Isyana|Isyana]] yang berkuasa di [[Jawa Tengah]] dan [[Jawa Timur]].<ref name=indianised/><ref>{{Cite journal|first=Kusen|date=1994|title=Raja-raja Mataram Kuna dari Sanjaya Sampai Balitung Sebuah Rekonstruksi Berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III|journal=Berkala Arkeologi|issue=Vol. 14 No. 2 (1994): Special Issue|doi=10.30883/jba.v14i2.721}}</ref><ref name="Srivijaya243">{{cite book | author=Muljana, Slamet | title=Sriwijaya | publisher=Yogyakarta: LKiS |year=2006 | pages=243–244 | language=Indonesian | isbn=979-8451-62-7}}</ref><ref>{{Cite journal|first=Trigangga|date=1994|title=Analisis Pertanggalan Prasasti Wanua Tengah III|journal=Berkala Arkeologi|issue=Vol. 14 No. 2 (1994): Special Issue|doi=10.30883/jba.v14i2.636}}</ref>
=== Periode Jawa Tengah ===
{| class="wikitable sortable" border="1" width="80%"
!width="70px"|Kurun waktu
!width="100px"|Nama pribadi
!width="120px"|Apanase (daerah lungguh)
!width="120px"|Nama abhiseka
!width="100px"|Disebutkan dalam
!width="70px"|Tahun
|-
|716-746
| –
|Rakai Mātaram <br> Rahyangta ri Mḍang <br> [[Sanjaya dari Mataram]]
|Śrī Sañjaya <br> Sang Ratu Sañjaya
|[[Prasasti Canggal]] <br> [[Prasasti Mantyasih]] <br> [[Prasasti Wanua Tengah III]]
|732 <br> 907 <br> 908
|-
|746-784
|Dyaḥ Pañcapaṇa (Dyaḥ Sankhara)
|Śrī Mahārāja [[Rakai Panangkaran]]
|Indra Sanggrāmadhanañjaya <br> Śrī Sanggrāmadhanañjaya
|[[Prasasti Kalasan]] <br> [[Prasasti Mantyasih]] <br> [[Prasasti Wanua Tengah III]]
|778 <br> 907 <br> 908
|-
|784–803
| –
|Śrī Mahārāja Rakai Panunggalan <br> [[Rakai Panaraban]]
|Dharmmottungadeva
|[[Prasasti Mantyasih]] <br> [[Prasasti Wanua Tengah III]]
|907 <br> 908
|-
|803–827
|Dyaḥ Manara
|Śrī Mahārāja [[Rakai Warak]]
|[[Samaragrawira]]
|[[Prasasti Nalanda]] <br> [[Prasasti Mantyasih]] <br> [[Prasasti Wanua Tengah III]]
|860 <br> 907 <br> 908
|-
|827-828
|Dyaḥ Gula
| -
| -
|[[Prasasti Wanua Tengah III|Wanua Tengah III]]
|908
|-
|828-847
| –
|Rakryan i Garung <br> Śrī Mahārāja [[Rakai Garung]]
|[[Samaratungga]]
|[[Prasasti Pengging]] <br> [[Prasasti Mantyasih]] <br> [[Prasasti Wanua Tengah III]]
|819 <br> 907 <br> 908
|-
|847–855
|Dyaḥ Salaḍū (Mpu Manuku)
|Śrī Mahārāja [[Rakai Pikatan]] <br> Rakai Mamrati <br> Rakai Gurunwangi <br> Rakai Patapan
|Sang Jatiningrat
|[[Prasasti Munduan]] <br> [[Prasasti Siwagrha]] <br> [[Prasasti Wantil]] <br> [[Prasasti Argapura]] <br> [[Prasasti Mantyasih]] <br> [[Prasasti Wanua Tengah III]] <br> [[Prasasti]] [[Candi Plaosan]]
|806 <br> 856 <br> 856 <br> 863 <br> 907 <br> 908 <br> Pertengahan abad ke-9
|-
|855–885
|Dyaḥ Lokapāla (Mpu Lokapāla)
|Śrī Mahārāja [[Rakai Kayuwangi]]
|Śrī Sajjanotsavattungga
|[[Prasasti Kuti]] <br>
[[Prasasti Siwagrha]] <br> [[Prasasti Argapura]] <br> [[Prasasti Mantyasih]] <br> [[Prasasti Wanua Tengah III]]
|840 <br> 856 <br> 863 <br> 907 <br> 908
|-
|885-885
|[[Dyah Tagwas]]
|Maharaja Dyah Gwas Sri Jayakirtiwardhana
|Sri Javakirttiwardhana
|[[Prasasti Er Hangat]] <br> [[Prasasti Wanua Tengah III]]
|888 <br> 908
|-
|885–887
|Dyaḥ Dewendra
|Śrī Mahārāja Rake Limus Dyah Dewendra <br> [[Rakai Panumwangan]]
| –
|[[Prasasti Poh Dulur]] <br> [[Prasasti Wanua Tengah III]]
|890 <br> 908
|-
|887–887
|Dyaḥ Bhadra
|Śrī Mahārāja [[Rakai Gurunwangi]] Dyah Bhadra
| –
|[[Prasasti Munggu Antan]] <br> [[Prasasti Wanua Tengah III]]
|887 <br> 908
|-
| colspan="2" |
| colspan="2" |'''Interegnum (Kekosongan Pemerintahan) 887-894 M'''
| colspan="2" |
|-
|894–898
|Dyaḥ Jěbang
|Śrī Mahārāja [[Rakai Watuhumalang]]
| –
|[[Prasasti Mantyasih]] <br> [[Prasasti Wanua Tengah III]]
|907 <br> 908
|-
|898–910
|[[Dyah Balitung]] (Dyaḥ Garuda Mukha)
|Śrī Mahārāja Rakai Watukura <br> Śrī Mahārāja Rakai Galuḥ
|Śrī Dharmmodaya Mahāsambu <br> Śrī Īśvarakesvarasamarottungga
|Prasasti Telahap
[[Prasasti Mantyasih]] <br> [[Prasasti Wanua Tengah III]] <br> [[Prasasti Tulangan]]
|898
907 <br> 908 <br> 910
|-
|910–919
|Dyaḥ Dakṣottama ([[Mpu Daksa]])
|Rakryān Mapatiḥ i Hino Pu Dakṣottama Bāhubajrapratipakṣakṣaya
|Śrī Mahārāja Dakṣottama Bāhubajrā Prapakṣakṣaya Uttunggavijaya
|[[Prasasti Palepangan]] <br> [[Prasasti Tulangan]]
|906 <br> 910
|-
|919–924
|[[Dyah Tulodong]]
|Śrī Mahārāja Rakai Layang Dyah Tlodong
|Śrī Sajjana Sanmatanuraga Uttunggadewa
|[[Prasasti Lintakan]]<br>[[Prasasti Harinjing]]
|919
|-
|924–927
|
|[[Sri Maharaja Pu Wagiswara]]
|
|[[Prasasti Palebuhan]]
|927
|-
|927–929
|[[Dyah Wawa]]
|Śrī Mahārāja Rakai Sumba Dyah Wawa <br> Rakai Pangkaja
|Śrī Vijayalokanamottungga
|[[Prasasti Culanggi]] <br> [[Prasasti Wulakan]] <br> [[Prasasti Sangguran]]
|927 <br> 928 <br> 982
|}
=== Periode Jawa Timur ===
{| class="wikitable sortable" border="1" width="75%"
!width="70px"|Kurun waktu
!width="100px"|Nama pribadi
!width="100px"|Apanase (daerah lungguh)
!width="120px"|Nama anumerta
!width="100px"|Disebutkan dalam prasasti
!width="70px"|Tahun
|-
|929–947
|[[Mpu Sindok]]
|Rakai Mahamantri Halu <br> Rakai Mahamantri Hino
|Śrī Mahārāja Īśānavikramā Dharmottunggadevavijaya
|[[Prasasti Turryan]] <br> [[Prasasti Anjuk Ladang]]<br>[[Prasasti Paradah]]
|929 <br> 937 <br> 943
|-
|947–985
| –
| –
|Śrī Īśāna Tunggavijaya <br> ([[Sri Isyana Tunggawijaya]])
|[[Prasasti Gedangan]] <br> [[Prasasti Pucangan]]
|950 <br> 1041
|-
|985–990
| –
| –
|Śrī Makutavaṃsa Vardhana <br> ([[Makutawangsawardhana]])
|[[Prasasti Wwahan]] <br>
[[Prasasti Pucangan]]
|985 <br> 1041
|-
|990–1016
|apañji wijayāmrtawarddhana
| –
|Śrī Mahārāja Īśāna Dharmavaṃsa Teguh Anantavikramottunggadeva <br> ([[Dharmawangsa Teguh]])
|[[Prasasti Kawambang Kulwan]] [[Prasasti Pucangan]] [[Prasasti Sirah Keting]]
|992 1041 1204
|}
== Warisan Budaya ==
=== Candi ===
{| class="wikitable sortable" border="1"
|-
!width="100"|Nama
!width="100"|Gambar
!width="150"|Lokasi
!width="100"|Dibangun
!width="100"|Diprakarsai
!width="400"|Keterangan
|-
| [[Candi Borobudur]]
| [[Berkas:001 View of Borobudur.jpg|150px]]
| [[Kabupaten Magelang|Magelang]], [[Jawa Tengah]] <br> {{coord|7.608|S|110.204|E}}
| 770 M (awal kontruksi) <br> 825 M (selesai dibangun)
| [[Gunadharma]] (arsitek), [[Samaratungga]] (era) <br> [[Syailendra]] (klien)
| Candi Borobudur adalah candi [[Buddha]] peninggalan [[Syailendra]] terbesar di dunia. Dibangun pada pertengahan abad ke-7, kemudian situs bersejarah ini ditetapkan oleh [[UNESCO]] sebagai salah satu [[Situs Warisan Dunia]] (UNESCO’s World Heritage Sites).
|-
| [[Candi Sewu]]
| [[Berkas:Candi Sewu viewed from the south, 23 November 2013.jpg|150px]]
| [[Kabupaten Klaten|Klaten]], [[Jawa Tengah]] <br> {{coord|-7.7435|110.4935}}
| 782 M (selesai dibangun)
| [[Rakai Panangkaran]], [[Rakai Pikatan]] (era) <br> [[Syailendra]] (klien)
| Candi Sewu merupakan kompleks candi [[Buddha]] peninggalan [[Syailendra]] terbesar kedua di [[Indonesia]] setelah Candi Borobudur.
|-
| [[Candi Sojiwan]]
| [[Berkas:Sajiwan main.JPG|150px]]
| [[Kabupaten Klaten|Klaten]], [[Jawa Tengah]] <br> {{coord|7|45|39|S|110|29|45|E}}
| 842 M
| Rakryan Sanjiwana (era) <br> [[Syailendra]] (klien)
| –
|-
| [[Candi Prambanan]]
| [[Berkas:Prambanan Trimurti.jpg|150px]]
| [[Kabupaten Sleman|Sleman]], [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] <br> [[Kabupaten Klaten|Klaten]], [[Jawa Tengah]] <br> {{coord|7|45|8|S|110|29|30|E}}
| 850 M (awal kontruksi)
| [[Rakai Pikatan]], [[Dyah Balitung]] (era) <br> [[Syailendra]] (klien)
| Candi Prambanan adalah kompleks candi [[Hindu]] terbesar di [[Indonesia]] yang dibangun pada abad ke-8. Candi ini ditetapkan oleh [[UNESCO]] sebagai salah satu [[Situs Warisan Dunia]] (UNESCO’s World Heritage Sites), sekaligus salah satu candi [[Hindu]] terindah di [[Asia Tenggara]].
|-
| [[Candi Sari]]
| [[Berkas:Candi Sari, 2014-03-31 02.jpg|150px]]
| [[Kabupaten Sleman|Sleman]], [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] <br> {{Coord|7|45|41.49|S|110|28|27|E}}
| Abad ke-8
| [[Rakai Panangkaran]] (era) <br> [[Syailendra]] (klien)
| –
|-
| [[Candi Kalasan]]
| [[Berkas:Kalasan Temple from the south-south-east, 23 November 2013.jpg|150px]]
| [[Kabupaten Sleman|Sleman]], [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] <br> {{coord|-7.770|110.470}}
| Abad ke-8
| [[Rakai Panangkaran]] (era) <br> [[Syailendra]] (klien)
| –
|-
| [[Candi Ratu Boko]]
| [[Berkas:Kraton Ratu Boko (Ratu Boko Temple) in Yogyakarta, Indonesia 14.jpg|150px]]
| [[Kabupaten Sleman|Sleman]], [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] <br> {{coord|7|46|12|S|110|29|20|E}}
| Abad ke-8
| [[Rakai Panangkaran]] (era) <br> [[Syailendra]] (klien)
| –
|-
| [[Candi Gebang]]
| [[Berkas:Gebang Temple, 29 December 2013 02.jpg|150px]]
| [[Kabupaten Sleman|Sleman]], [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] <br> {{coord|-7.751454|110.416117}}
| Abad ke-8
| [[Syailendra]] (klien)
| –
|-
| [[Candi Pawon]]
| [[Berkas:Pawon.jpg|150px]]
| [[Kabupaten Magelang|Magelang]], [[Jawa Tengah]] <br> {{coord|-7.60616|110.219522}}
| Abad ke-9
| [[Syailendra]] (klien)
| –
|-
| [[Candi Sambisari]]
| [[Berkas:Candi Sambisari main temple 2013-11-28 03.jpg|150px]]
| [[Kabupaten Sleman|Sleman]], [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] <br> {{coord|-7.7625|110.4469}}
| Abad ke-9
| [[Rakai Garung]] (era) <br> [[Syailendra]] (klien)
| –
|-
| [[Candi Plaosan]]
| [[Berkas:Plaosan Temple.jpg|150px]]
| [[Kabupaten Klaten|Klaten]], [[Jawa Tengah]] <br> {{coord|7|44|25|S|110|30|16|E}}
| Abad ke-9
| [[Rakai Pikatan]] (era) <br> [[Syailendra]] (klien)
| –
|-
| [[Candi Banyunibo]]
| [[Berkas:Banyunibo Temple, 2014-05-31 02.jpg|150px]]
| [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]], [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] <br> {{coord|7|46|40|S|110|29|38|E}}
| Abad ke-9
| [[Syailendra]] (klien)
| –
|-
| [[Candi Barong]]
| [[Berkas:Barong Temple (gate and two buildings) 2014-05-31.jpg|150px]]
| [[Kabupaten Sleman|Sleman]], [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] <br> {{coord|-7.7754785|110.4972972|type:landmark_region:ID-YO}}
| Abad ke-9
| [[Rakai Walaing]] (era) <br> [[Syailendra]] (klien)
| –
|-
| [[Candi Gedong Songo]]
| [[Berkas:Gedong Songo III, 1211.jpg|150px]]
| [[Kabupaten Semarang|Semarang]], [[Jawa Tengah]] <br> {{coord|7|12|37|S|110|20|31|E}}
| Abad ke-9
| [[Syailendra]] (klien)
| –
|-
| [[Candi Merak]]
| [[Berkas:Candi Merak.jpg|150px]]
| [[Kabupaten Klaten|Klaten]], [[Jawa Tengah]] <br> {{coord|-7.669735|110.551275}}
| Abad ke-9
| [[Syailendra]] (klien)
| –
|-
| [[Candi Bubrah]]
| [[Berkas:Candi Bubrah 2019 front crop.jpg|150px]]
| [[Kabupaten Klaten|Klaten]], [[Jawa Tengah]] <br> {{coord|-7.7466|110.4929}}
| Abad ke-9
| [[Syailendra]] (klien)
| –
|-
| [[Candi Ijo]]
| [[Berkas:Main temple at Candi Ijo, Sleman, Yogyakarta, 2014-05-31.jpg|150px]]
| [[Kabupaten Sleman|Sleman]], [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] <br> {{coord|7|47|2|S|110|30|44|E}}
| Abad ke-10
| [[Syailendra]] (klien)
| –
|}
=== Karya Sastra ===
[[Sang Hyang Kamahayanikan]], ditulis oleh '''''Mpu Shri Sambhara Surya Warama'''''.
=== Prasasti ===
[[Prasasti Canggal]]
[[Prasasti Kalasan]]
[[Prasasti Mantyasih]]
[[Prasasti Wanua Tengah III]]
[[Prasasti Wantil]]
[[Prasasti Wukiran]]
[[Prasasti Kwak I]]
[[Prasasti Raja Sankhara]]
[[Prasasti Ramwi]]
[[Prasasti Salingsingan]]
[[Prasasti Er Hangat]]
[[Prasasti Harinjing]]
[[Prasasti Paradah]]
[[Candi Penampihan|Prasasti Penampihan]]
=== Situs ===
{| class="wikitable sortable" border="1"
|-
!width="100"|Nama
!width="100"|Gambar
!width="150"|Lokasi
!width="100"|Dibangun
!width="100"|Diprakarsai
!width="400"|Keterangan
|-
| [[Petirtaan Jalatunda]]
| [[Berkas:Candi jolotundo 2017.jpg|Petirtaan kuno Jalatunda|150px]]
| [[Kabupaten Mojokerto]], [[Jawa Timur]] <br> {{coord|7|36|33|S|112|35|43|E}}
| Abad ke-10
| [[Isyana]] (klien)
| –
|}
== Pelestarian ==
=== Budaya ===
[[Berkas:Borobudur on Vesak Day 2011.jpg|thumb|upright|left|Upacara [[Waisak]] nasional di [[Borobudur]], candi monumental peninggalan [[Syailendra]] yang berasal dari Medang sangat penting untuk dijumpai pada hari raya umat [[Buddha]] di Indonesia.]]
Selain meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti tersebar di [[Jawa]], Medang juga membangun banyak candi, baik itu yang bercorak [[Hindu]] maupun [[Buddha]]. Era ini dipandang sebagai zaman keemasan dari peradaban Jawa kuno, yang telah meninggalkan warisan abadi dalam budaya dan [[sejarah Indonesia]]. Candi [[Borobudur]] dan [[Prambanan]] yang monumental dan megah ini telah ditetapkan oleh [[UNESCO]] sebagai salah satu Situs Warisan Dunia (UNESCO’s World Heritage Sites), dan menjadi sumber kebanggaan nasional, tidak hanya bagi orang Jawa tetapi juga bagi bangsa [[Indonesia]].<ref>{{cite book | title =Indonesia | publisher =Lonely Planet Publications Pty Ltd |date=November 2003 | location =Melbourne | pages =[https://archive.org/details/indonesia0000unse_i2g4/page/211 211]–215 | url =https://archive.org/details/indonesia0000unse_i2g4| doi = | isbn = 1-74059-154-2 | author = Mark Elliott ...}}</ref>
[[Berkas:Trail of civilisations.jpg|jmpl|ka|Sendratari "Mahakarya Borobudur" digelar di [[Borobudur]].]]
Tidak diduga bahwa dalam [[Sejarah Indonesia]] ditemukan sebuah peradaban unggul yang begitu kuat dalam membangun kontruksi bangunan dan pembangunan candi, yang menunjukkan penguasaan teknologi, tenaga kerja, manajemen sumber daya, penyempurnaan estetika dan seni, juga pencapaian arsitektur, pada era kerajaan Medang. Periode antara akhir abad ke-8 hingga akhir abad ke-9, antara masa pemerintahan [[Rakai Panangkaran]] ke [[Dyah Balitung]], telah meninggalkan sejumlah candi yang mengesankan; antara lain adalah [[candi Borobudur]], [[candi Sewu]], dan [[candi Prambanan]].
[[Berkas:RamanyanaBallet.jpg|thumb|ka|Pertunjukan [[Wayang Wong]] di panggung terbuka [[Sendratari Ramayana Prambanan]]. Era Medang telah meninggalkan dampak besar untuk [[budaya Jawa]].]]
Era kerajaan Medang disanjung sebagai periode klasik peradaban Jawa; karena selama periode ini budaya, seni dan arsitektur Jawa bersemi dan berkembang lebih jauh, mengkonsolidasikan dan memperpadukan unsur kepercayaan asli [[orang Jawa]] dengan pengaruh-pengaruh dharma. Dengan memasukkan kerangka acuan dan elemen [[Hindu]]-[[Buddha]] ke dalam budaya, seni, dan arsitektur Jawa, serta Sanskertanisasi bahasa Jawa, orang Jawa telah merumuskan gaya Hindu-Buddha Jawa dan berhasil mengembangkan suatu peradaban yang luhur dan cemerlang. Gaya senirupa Syailendra Jawa ini, baik dalam seni pahat dan arsitektur, kemudia pada gilirannya turut memengaruhi corak kesenian di daerah lainnya; khususnya seni Sriwijaya di [[Sumatra]], [[Semenanjung Melayu]], dan [[Thailand]] selatan.
Seni dan arsitektur pembangunan beberapa candi pada awal periode [[Angkor]] juga dipercaya dipengaruhi oleh seni dan arsitektur [[Syailendra]] di Jawa; kesamaan yang mencolok nampak dari candi [[Bakong]] di [[Kamboja]] dengan [[candi Borobudur]] di [[Magelang]], menunjukkan bahwa candi [[Bakong]] terinspirasi oleh desain Borobudur.<ref>{{cite book| title=Southeast Asia in the 9th to 14th Centuries |author1=David G. Marr |author2=Anthony Crothers Milner | url=https://books.google.com/books?id=Lon7gmj040MC&pg=PA244&hl=en&source=gbs_toc_r&cad=4#v=onepage&q&f=false | publisher=Institute of Southeast Asian Studies, Singapore | date=1986 | page=244 | isbn=9971-988-39-9 | accessdate= 4 April 2020}}</ref>
Selama periode Medang sejumlah kitab dharma baik dari [[Hindu]] atau [[Buddha]], telah mempengaruhi budaya Jawa. Misalnya, kisah-kisah [[Jataka]] dan [[Lalitawistara]], juga epos [[Ramayana]] dan [[Mahabharata]] diadopsi ke dalam versi Jawa. Kisah-kisah dan epos ini selanjutnya akan membentuk budaya Jawa dan seni pertunjukan, seperti [[Tari Jawa|tarian Jawa]] dan [[Wayang|seni wayang]].
[[File:Borom That Chaiya.jpg|thumb|right|Pagoda bergaya Jawa atau Sailendra di Chaiya, Thailand.]]
Di selatan [[Thailand]], ada jejak seni dan arsitektur Jawa (sering secara keliru disebut sebagai "peninggalan Sriwijaya"), yang mungkin menunjukkan pengaruh Sailendra di Jawa, Sumatra, dan Semenanjung Malaya. Contohnya adalah Phra Borom Mahathat di [[Chaiya]] yang dibangun dengan gaya Jawa yang terbuat dari batu bata dan mortar (sekitar abad ke-9–10), Pagoda Wat Kaew di Chaiya, juga berbentuk Jawa dan Pagoda Wat Long. Wat Mahathat asli di [[Nakhon Si Thammarat]] kemudian dibungkus oleh bangunan bergaya [[Sri Lanka]] yang lebih besar.<ref>{{cite web |title=Thailand's World : The Srivijaya Kingdom in Thailand |url=http://www.thailandsworld.com/index.cfm?p=87 |url-status=dead |archive-url=https://web.archive.org/web/20151120002507/http://www.thailandsworld.com/index.cfm?p=87 |archive-date=20 November 2015 |access-date=25 August 2015}}</ref><ref>{{cite web |title=Thailand's World : Srivijaya Art Thailand |url=http://www.thailandsworld.com/index.cfm?p=183 |archive-url=https://web.archive.org/web/20060707103338/http://www.thailandsworld.com/index.cfm?p=183 |archive-date=7 July 2006 |access-date=25 August 2015}}</ref>
=== Museum ===
*[[Museum Karmawibhangga]]: Museum ini menampilkan gambar relief Karmawibhangga yang terukir pada kaki tersembunyi [[Borobudur]], beberapa blok batu Borobudur yang terlepas, serta temuan artefak arkeologi yang ditemukan di sekitar Borobudur dan yang berasal dari berbagai situs-situs purbakala di [[Jawa Tengah]].
*[[Museum Samudra Raksa]]: Koleksi utama pameran museum ini adalah rekonstruksi [[Kapal Borobudur]] dalam ukuran sesungguhnya yang telah menempuh perjalanan napak tilas mengarungi Samudra Hindia dari Jakarta menuju Accra, Ghana pada tahun 2003–2004.
*[[Balai Konservasi Borobudur]]: adalah salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) [[Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan]] yang bertujuan untuk melestarikan cagar budaya di seluruh Indonesia.
*[[Museum Candi Prambanan]]: merupakan sebuah museum yang berada di dalam Kompleks Taman Wisata Candi Prambanan. Museum ini berisi koleksi benda-benda bersejarah dan berharga berupa arca, artefak, gerabah, gambar struktur Candi Siwa, fosil hewan hingga legenda Roro Jonggrang.
== Lihat pula ==
* [[Daftar penguasa Jawa]]
* [[Wangsa Syailendra]]
* [[Wangsa Isyana]]
* [[Kerajaan Panjalu]]
* [[Kesultanan Mataram]]
* [[Medang Kamulan]]
== Kutipan ==
{{reflist}}
== Referensi ==
* Boechari. 2012. ''Melacak Sejarah Kuno Indonesia Melalui Prasasti''. Jakarta: KPG
* Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. ''Sejarah Nasional Indonesia Jilid II''. Jakarta: Balai Pustaka
* Purwadi. 2007. ''Sejarah Raja-Raja Jawa''. Yogyakarta: Media Ilmu
*
* Slamet Muljana. 1979. ''Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya''. Jakarta: Bhratara
* Slamet Muljana. 2006. ''Sriwijaya'' (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS
* Triastanti, Ani. ''Perdagangan Internasional pada Masa Jawa Kuno; Tinjauan Terhadap Data Tertulis Abad X-XII''. Skripsi Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2007.
{{Kotak_mulai}}
{{kotak suksesi
|jabatan=[[Sejarah Nusantara pada era kerajaan Hindu-Buddha|Kerajaan Hindu-Budha]]
|pendahulu=[[Kalingga]], [[Kerajaan Kanjuruhan]]
|pengganti=[[Panjalu]]
|tahun= 732-1016}}
{{Kotak_selesai}}
{{Kerajaan di Jawa}}
[[Kategori:Kerajaan Medang|Kerajaan Medang]]
[[Kategori:Kerajaan di Nusantara|Medang]]
[[Kategori:Kerajaan di Jawa Tengah|Medang]]
[[Kategori:Kerajaan di Jawa Timur|Medang]]
|