Wira Tanu I: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
(79 revisi perantara oleh 42 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Infobox
|
| name = Wira Tanu
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
| term_start2 =
|
|
|
| term_start3 =
|
|
|
| birth_date = 1603
| birth_place = Padaleman Sagaraherang, [[Kabupaten Subang|Subang]]
| death_date = 1691
| death_place = Cikundul, [[Cikalongkulon, Cianjur]]
| party =
| parents = Raden Aria [[Wangsa Goparana]]
| spouse =
| children = Wiramangala<br>Martayuda Tirta<br>Natadimanggala<br>Wiradimanggala<br>Suriadiwangsa<br>Nyi Mas Kaluntar<br>Nyi Mas Karangan<br>Nyi Mas Bogem<br>Nyi Mas Kara<br>Nyi Mas Jenggot
| profession = [[Raja]], [[Senapati]], [[Ulama]]
| signature =
}}
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM De Regent van Tjiandjoer en zijn echtgenote voor hun huis in een auto van het merk Opel TMnr 60019212.jpg|jmpl|400 px| [[Pendopo]] ''regent'' (Kabupaten) Cianjur taun 1915-1925]]
'''Raden Aria Wira Tanu''' '''I''' adalah seorang dalem (kepala nagari) yang mendirikan kabupaten [[Cianjur]] di abad ke-17. Ia bernama asli '''Jayasasana''' atau '''Jayalalana'''. Wira Tanu I juga dijuluki sebagai '''Dalem Cikundul''' dikarenakan pernah menjadi dalem di daerah Cikundul (sekarang [[Cikalongkulon, Cianjur|Cikalongkulon]]).
== Kehidupan Awal ==
Raden Jayasasana adalah putra dari Raden Aria [[Wangsa Goparana]] yang berasal dari [[Sagalaherang, Subang]]. Berdasarkan silsilah, Raden Aria [[Wangsa Goparana]] merupakan anak dari [[Sunan Wanaperih]] (Raden Aria Kikis) yang merupakan raja dari [[Kerajaan Talaga Manggung]] (sekarang [[Kabupaten Majalengka|Majalengka]]), anak dari Raden Ragamantri alias Sunan Parung Gangsa/Prabu Pucuk Umum, anak dari Munding Sari Ageung. Munding Sari merupakan salah satu cicit dari [[Prabu Siliwangi]] yang ketika runtuhnya Kerajaan Sunda pada tahun 1579 memilih untuk kabur ke daerah Talaga tepatnya di kaki [[Gunung Ceremai]].
Di masa mudanya, Raden Aria Wangsa Goparana berkelana dan sampai di kampung Nangkabeurit yang sekarang masuk wilayah kecamatan Sagalaherang, [[Kabupaten Subang]]. Di sana ia mendirikan sebuah desa dan menjadi dalem (kepala nagari). Raden Aria Wangsa Goparana memiliki delapan orang anak yaitu:
# Jayasasana
# Wiradiwangsa
# Candramangala
# Santaan Kumbang
# Yudanagara
# Nawing Candradirana
# Santaan Yudanagara
# Nyi Murti
Jayasasana sebagai putra pertama Raden Aria Wangsa Goparana terkenal sebagai seorang yang ahli ibadah dan menuntut ilmu. Jayasasana pun disebutkan sering berkhalwat (bertapa) untuk merenung dan bertafakur di tempat-tempat sunyi. Menurut legenda, suatu waktu ketika Jayasasana sedang bertapa, ia kedatangan [[jin]] muslim yang berwujud gadis cantik. Jin ini tertarik dengan Jayasasana dan kemudian mereka menikah serta memiliki tiga orang anak, yaitu Suryakancana, Indang Kancana atau Indang Sukaesih dan Andaka Wirasujagat.<ref name="Sajarah Cianjur"/>
== Pendirian Nagari Cikundul ==
=== Kepala Masyarakat ===
Setelah dewasa, Jayasasana diberikan tanggungjawab oleh ayahnya Dalem Sagalaherang berupa 100 orang rakyat (cacah). Menurut sistem feodalisme saat itu, kekuasaan seorang bangsawan ditentukan oleh banyaknya rakyat yang dipimpin (populasi) bukan berdasarkan tanah (luas wilayah). Karena semakin banyak rakyat, maka akan semakin banyak pula wilayah yang ditempati oleh rakyatnya itu.
Bersama keseratus orang itu, Jayasasana kemudian mencari tempat bermukim baru ke daerah pedalaman [[Jawa Barat]] saat ini dan sampailah ke daerah sungai Cikundul yang sekarang berada di wilayah kecamatan Cikalongkulon. Di sana mereka mulai bermukim dan membuka lahan baru. Rakyat Jayasasana hidup secara berpencar, tidak bermukim di satu tempat tetapi kebanyakan bermukim di daerah [[Cijagang, Cikalongkulon, Cianjur|Cijagang]] karena disanalah Jayasasana berada. Beberapa tempat yang dihuni oleh rakyat Jayasasana diantaranya terletak di tepian sungai seperti di Cibalagung dan [[Cirata]].<ref>{{Cite book|date=1986|url=https://books.google.com/books?id=ZvdRAQAAMAAJ&newbks=0&printsec=frontcover&dq=Jayasasana+Cijagang&q=Jayasasana+Cijagang&hl=en|title=Wajah pariwisata Jawa Barat|publisher=Dinas Pariwisata Propinsi Daerah Tingket I Jawa Barat|isbn=978-979-8075-00-1|language=id}}</ref>
Meskipun tempat tinggalnya terpencar, mereka masih berada dalam satu kesatuan masyarakat ([[Bahasa Belanda|Belanda]]: ''Volksgemeenschap'') di bawah pimpinan Jayasasana. Berdasarkan hukum sosiologi mengenai pembentukan masyarakat, dalam kesatuan rakyat Jayasasana akhirnya lahir tata cara dan aturan bermasyarakat yang harus dipatuhi oleh semua rakyat Jayasasana. Tata cara di setiap masyarakat memiliki sifat bersatu sehingga dalam setiap kesatuan masyarakat juga ditemukan suatu kesatuan hukum (''Rechtsgemenschap'').
Tugas utama seorang kepala masyarakat seperti Jayasasana adalah mengatur kehidupan dan menegakkan hukum yang berlaku. Selain daripada itu, ia juga bertugas untuk melindungi rakyatnya jika ada keributan, perampokan atau serangan dari wilayah lain. Sehingga kepala masyarakat saat itu lebih tepat disebut sebagai panglima atau senapati dan bukan disebut sebagai dalem. Begitu pun masyarakat Jayasasana yang saat itu masih berada dalam tahap kesenapatian. Secara ''de jure'' karena runtuhnya [[Kerajaan Sunda]] yang beribu kota di [[Pakuan Pajajaran]], sebenarnya wilayah yang saat itu ditempati oleh rakyat Jayasasana berada di bawah kekuasaan [[Kesultanan Banten]],<ref>{{Cite book|last=Sanusi|first=Anwar|last2=Arif|first2=Faisal|last3=Hasyim|first3=Rafan S.|date=2022-12-26|url=https://books.google.com/books?id=8KWkEAAAQBAJ&newbks=0&printsec=frontcover&pg=PA41&dq=citarum+banten+cirebon&hl=en|title=PERUBAHAN EKSISTENSI SUNGAI DAN PENGARUHNYA BAGI KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KOTA CIREBON PADA MASA HINDIA BELANDA TAHUN 1900-1942|publisher=Yayasan Wiyata Bestari Samastra|isbn=978-623-8083-13-8|language=id}}</ref> Namun secara ''de facto'' berada di bawah kekuasaan [[Kesultanan Mataram]] setelah raja [[Rangga Gempol I|Kusumadinata III]] dari [[Kerajaan Sumedang Larang|Sumedang Larang]] menyatakan bergabung dengan Mataram di tahun 1620.<ref>{{Cite book|last=Gani|first=Lutfi Abdul|date=2020-03-01|url=https://books.google.com/books?id=LmfeDwAAQBAJ&newbks=0&printsec=frontcover&pg=PA14&dq=Kusumadinata+Mataram+1620&hl=en|title=Ki Luluhur Rekam Jejak Sejarah Raden Aria Wangsakara|publisher=Deepublish|isbn=978-623-02-0863-8|language=id}}</ref> Dikarenakan rakyat Jayasasana yang para leluhurnya berasal dari Talaga yang saat itu menjadi bagian Cirebon, maka dalam beberapa catatan-catatan VOC rakyat Jayasasana sering disebut sebagai rakyat Cirebon.<ref name="Sajarah Cianjur"/>
=== Menjadi Dalem dan Mendapat Gelar Wira Tanu ===
Runtuhnya [[Kerajaan Sunda]] menyebabkan beberapa daerah merdeka dan menyebabkan beberapa kerajaan berusaha mengklaim bekas wilayahnya termasuk [[Kesultanan Banten]] di bawah [[Tirtayasa dari Banten|Sultan Tirtayasa]] yang mengklaim seluruh bekas wilayah Sunda sebagai wilayah Banten.<ref name=":0">{{Cite web|date=2022-07-23|title=Hikayat Cianjur: Berawal dari Kadaleman Cikundul, Pernah Diincar Kesultanan Banten|url=https://www.merdeka.com/histori/hikayat-cianjur-berawal-dari-kadaleman-cikundul-pernah-diincar-kesultanan-banten.html|website=merdeka.com|language=en|access-date=2023-06-26}}</ref> Dalam rangka menegakkan klaimnya, Sultan Tirtayasa kemudian menyelenggarakan serangkaian kampanye militer untuk menaklukan wilayah-wilayah yang tidak tunduk pada klaimnya. Untuk mengatasi kampanye militer Banten, Mataram dibawah sultan [[Amangkurat I]] kemudian memperkuat pertahanan, diantaranya adalah di wilayah Cimapag yang saat itu termasuk ke dalam wilayah tanggungjawab Jayasasana. Maka Mataram kemudian mengangkat Jayasasana sebagai senapati atau panglima dengan gelar Wira Tanu (Wira Tanu artinya panglima atau senapati).
Dalam masa genting seperti itu, beberapa kesatuan masyarakat yaitu:
# Cipamingkis di bawah pimpinan Nalamerta;
# Cimapag di bawah pimpinan Nyiuh Nagara;
# Cikalong di bawah pimpinan Wangsa Kusumah;
# Cibalagung di bawah pimpinan Natamanggala;
# [[Cihea]] di bawah pimpinan Wastu Nagara; dan
# Cikundul di bawah pimpinan Jayasasana dengan gelar Wira Tanu
Bersepakat untuk menyatakan bahwa wilayahnya bersatu menjadi satu negeri dan sepakat untuk mengangkat Jayasasana (yang sudah mendapat gelar Wira Tanu) untuk menjadi dalem. Karena sudah diangkat sebagai dalem (tidak lagi hanya senapati) Wira Tanu kemudian menggunakan gelar Aria, sehingga nama lengkapnya menjadi Raden Aria Wira Tanu.<ref name=":0" />
Berbeda dengan [[Bandung]] atau [[Sumedang]], Cianjur merupakan [[kabupaten]] yang pernah berdiri sendiri (merdeka) meskipun secara ''de jure'' masih di bawah [[Mataram]]. Ini terjadi karena adanya [[Pemberontakan Trunajaya]] di tahun 1674 yang menyebabkan Mataram kehilangan kendali atas wilayah-wilayahnya yang jauh seperti wilayah yang dipimpin oleh Wira Tanu. Cianjur lalu secara ''de jure'' menjadi bagian dari wilayah [[Perusahaan Hindia Timur Belanda|VOC]] setelah adanya [[Perjanjian Jepara|perjanjian]] antara VOC dengan Mataram yang menyatakan pengakuan Mataram terhadap wilayah VOC yang meliputi tepian timur sungai [[Cisadane]] dan tepian barat sungai [[Citarum]] di tanggal 19-20 Oktober 1677, dengan imbalan bantuan tentara dan persenjataan dari VOC untuk menaklukan Trunajaya.<ref name="Sajarah Cianjur"/><ref name=":1">{{Cite book|last=Sasmita|first=Saleh Dana|last2=Padmadisastra|first2=Sulaiman|last3=Johansyah|first3=Inci|date=1985|url=https://books.google.com/books?id=KZoiAAAAMAAJ&newbks=0&printsec=frontcover&dq=Perjanjian+Mataram+Cisadane+Citarum&q=Perjanjian+Mataram+Cisadane+Citarum&hl=en|title=Geografi budaya dalam wilayah pembangunan daerah Jawa Barat|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah|language=id}}</ref>
=== Penentuan Hari Jadi Cianjur ===
Seperti telah diketahui, Cianjur pada awalnya adalah wilayah Mataram setelah Sumedang Larang bergabung dengan Mataram. Pada tahun 1674-1677 bisa disebutkan sebagai 3 tahun kemerdekaan dari kekuasaan Mataram, dikarenakan pada tahun 1674 kendali Mataram atas wilayah-wilayahnya sudah melemah karena fokus berperang dengan Trunajaya, sedangkan pada tahun 1677 Mataram secara yuridis telah mengakui wilayah di antara sungai Cisadane-Citarum sebagai wilayah VOC.<ref name=":1" /> Namun karena keterbatasan VOC, VOC belum bisa menjajah wilayah yang didapatnya dari Mataram secara intensif. Jadi meskipun secara de facto wilayah tersebut merdeka tetapi setelah tahun 1677 secara de jure status wilayah Wira Tanu adalah jajahan VOC.
Pada tanggal 2 Juli 1677, [[Raden Trunajaya|Trunojaya]] menyerbu [[Keraton Plered|istana Plered]] dan [[Amangkurat I]] kabur bersama putranya [[Amangkurat II|Mas Rahmat]]. Peristiwa ini dijadikan titik tolak lepasnya wilayah-wilayah Mataram secara de facto. Berita penyerbuan Trunajaya ini baru sampai ke Cianjur pada tanggal 12 Juli 1677, sehingga secara de facto pada tanggal 12 Juli 1677 Cianjur merdeka dari Mataram.<ref name=":2">{{Cite web|last=Ikhsan|first=Muhammad|date=2021-07-12|title=Kenapa Hari Jadi Cianjur Pada 12 Juli? Begini Penjelasan Sejarahnya - Ayo Bandung|url=https://www.ayobandung.com/regional/pr-79729096/kenapa-hari-jadi-cianjur-pada-12-juli-begini-penjelasan-sejarahnya|website=Kenapa Hari Jadi Cianjur Pada 12 Juli? Begini Penjelasan Sejarahnya - Ayo Bandung|language=id|access-date=2023-06-26}}</ref>
Kemerdekaan yang dicapai sebenarnya hanya de facto karena secara de jure, daerah Parahyangan sebelah barat sungai Citarum menjadi wilayah VOC berdasarkan perjanjian tanggal 19-20 Oktober 1677. Namun karena VOC belum mampu mengelola daerah jajahannya sehingga Wira Tanu pada waktu itu berhasil menjadi dalem secara mandiri tanpa diangkat oleh VOC maupun oleh raja/sultan yang lain. Sehingga menurut catatan VOC/Belanda, bupati daerah Cianjur yang pertama bukanlah Wira Tanu I tetapi anaknya yaitu Wira Tanu II.<ref name="Sajarah Cianjur"/><ref>{{Cite web|last=Pos|first=Djava|title=Aria Wiratanu II Bupati Cianjur Pertama yang Mendapat Pengakuan VOC|url=http://www.djavapos.com/2020/11/aria-wiratanu-ii-bupati-cianjur-pertama.html|website=djavapos|access-date=2023-06-26}}</ref>
== Masa Senja ==
Setelah lanjut usia Wira Tanu menetap di kampung Majalaya dan mendirikan pondok pesantren untuk menyiarkan Islam sampai ia wafat sekitar tahun 1691 Masehi dan dimakamkan di Cikalongkulon. Ia meninggalkan putra-puteri sebanyak 11 orang yaitu:<ref name="silsilah keturunan">{{Cite web|title=Salinan arsip|url=http://urangcianjur.weebly.com/sejarah.html|archive-url=https://web.archive.org/web/20120503044426/http://urangcianjur.weebly.com/sejarah.html|archive-date=2012-05-03|dead-url=no|access-date=2012-05-03}}</ref>
# Raden Aria Wiramangala yang kemudian menjadi penerusnya sebagai [[Wira Tanu II]]
# Raden Aria Martayuda
# Raden Aria Tirta
# Raden Aria Natadimanggala bergelar Dalem Aria Kidul
# Raden Aria Wiradimanggala bergelar Dalem Cikondang
# Raden Aria Suradiwangsa
# Nyi Mas Kaluntar
# Nyi Mas Karangan
# Nyi Mas Bogem
# Nyi Mas Kara
# Nyi Mas Jenggot
Wira Tanu II pada 10 Desember 1691 memindahkan pusat pemerintahan dari Cikundul ke [[Pamoyanan, Cianjur, Cianjur|Pamoyanan]], dimana ia membangun kediamannya di tepian sungai [[Ci Anjur]], sehingga wilayah yang dipimpinnya dikenal dengan nama Cianjur.<ref name=":0" /><ref name=":2" />
== Kontroversi Gelar Raja Gagang ==
Beberapa sumber menyatakan bahwa Wira Tanu I memiliki gelar Raja Gagang<ref>{{Cite web|date=2024-02-10|title=Aria Wiratanu Cikundul (Raja Sunda Gagang Cikundul)|url=https://www.geni.com/people/Aria-Wiratanu-Cikundul-Raja-Sunda-Gagang-Cikundul/6000000003693972066|website=geni_family_tree|language=id|access-date=2024-09-10}}</ref><ref>{{Cite web|last=One|first=Tren|date=2024-03-11|title=DEKLASARI CALON BUPATI CIANJUR|url=https://www.therealnewsone.com/berita/3401-deklasari-calon-bupati-cianjur|website=therealnewsone.com|language=en|access-date=2024-09-10}}</ref>. Dalam narasi legenda yang banyak dikisahkan, konon gelar itu didapatkan dari wilayah-wilayah bawahan Pajajaran yang ingin dipersatukan kembali, lalu mengangkat sosok Raja Gagang, yaitu Aria Wira Tanu I sebagai simbol pemersatu<ref>{{Cite web|date=2023-04-08|title=Peristiwa Ratu Rujuh dan Raja Gagang Adalah Bagian Sejarah Garut Selatan untuk Lahirnya Ratu Sunda|url=https://yayasan-snr.or.id/2023/04/08/peristiwa-ratu-rujuh-dan-raja-gagang-adalah-bagian-sejarah-garut-selatan-untuk-lahirnya-ratu-sunda/|website=YAYASAN SALATINA NASABA RAYYA|language=id|access-date=2024-09-10}}</ref>. Sumber tunggal yang dirujuk terkait keberadaan Raja Gagang ini adalah catatan [[De Haan]] dalam buku ''Priangan'' yang memuat laporan Scipio berdasarkan ''Daag Register'' Kastil Batavia tertanggal tanggal 14 Januari 1666<ref>{{Cite web|last=musholaaljuhriyah|date=2016-04-15|title=Raden Arya Wiratanudatar cianjur|url=https://musholaaljuhriyah.wordpress.com/2016/04/15/raden-arya-wiratanudatar-cianjur/|website=Mushola Aljuhriyah Rancabolang Desa Bringin|language=id-ID|access-date=2024-11-24}}</ref><ref>{{Cite web|title=November 2019: Four volumes 'Priangan' digital available|url=https://www.cortsfoundation.org/news/180-november-2019-four-volumes-priangan-digital-available|website=www.cortsfoundation.org|access-date=2024-09-10}}</ref>. Namun, tafsiran terkait konteks siapa Raja Gagang yang dimaksud dalam Daagh Register itu tampaknya keliru sehingga perlu ditinjau ulang jika dianggap sebagai sejarah.<ref name=":3">{{Cite web|date=2023-12-07|title=Siapakah Raja Gagang dalam Laporan Scipio? – iNurwansah|url=https://inurwansah.my.id/2023/12/07/siapakah-raja-gagang-dalam-laporan-scipio/|language=id|access-date=2024-09-10}}</ref> De Haan sendiri mengomentari dalam sebuah catatan kaki bahwa konteks percakapan isi surat yang dilaporkan oleh Scipio itu, nama ''"''Raja Gagang" mungkin kesalahan eja dari "Ratu Agung" yang merujuk pada "Raja Belanda".<ref name=":3" />
== Bantahan terhadap pernikahan dengan jin ==
Ada versi lain yang menyatakan bahwa sebenarnya R. A. Wira Tanu I tidak menikah dengan jin tetapi menikah dengan seorang wanita yang berasal dari [[India]]. Karena kecantikannya dan langkanya orang-orang zaman itu melihat orang India, maka banyak yang berspekulasi bahwa wanita yang dinikahi oleh Wira Tanu adalah jin. Apalagi setelah anak-anaknya dibawa oleh ibunya dan diberitakan hilang.{{cn}}
== Referensi ==
=== Catatan Kaki ===
{{reflist|30em}}
{{clr}}
{{kotak mulai}}
{{s-off}}
{{S-new|office}}
{{S-ttl|title=[[Bupati Cianjur]]|years=1681–1691}}
{{s-aft|after=[[Wira Tanu II]]}}
{{Kotak_selesai}}
[[Kategori:
[[Kategori:Tokoh
[[Kategori:Tokoh Islam Indonesia]]
[[Kategori:Tokoh dari Cianjur]]
[[Kategori:
|