Kesultanan Bulungan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Alamnirvana (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(76 revisi perantara oleh 42 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Infobox Former Country
'''Kesultanan Bulungan''' atau '''Bulongan'''<ref>{{nl}} {{cite book|pages=2 |url=http://books.google.co.id/books?id=JRQ5AQAAIAAJ&dq=Sulthan%20Soerian%20Sjach&hl=id&pg=PA9#v=onepage&q=Sulthan%20Soerian%20Sjach&f=false|title=De bandjermasinsche krijg van 1859-1863|first=[[Willem Adriaan van Rees|Willem Adriaan]] |last=Rees|publisher=D. A. Thieme|year=1865}}</ref> adalah [[kesultanan]] yang pernah menguasai wilayah pesisir [[Kabupaten Bulungan]], [[Kabupaten Malinau]], [[Kabupaten Nunukan]], dan [[Kota Tarakan]] sekarang. Kesultanan ini berdiri pada tahun [[1731]], dengan raja pertama bernama [[Wira Amir]] gelar ''Amiril Mukminin'' ([[1731]]–[[1777]]), dan Raja Kesultanan Bulungan yang terakhir atau ke-13 adalah Datuk Tiras gelar [[Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin]] ([[1931]]-[[1958]]).<ref>{{id}}[http://www.bulungan.go.id/v01/bulungan/sejarah-bulungan/hari-jadi-dan-sejarah.html Sejarah Bulungan di situs Kabupaten Bulungan]</ref> Negeri Bulungan bekas daerah milik "negara Berau" yang telah memisahkan diri<ref>[http://bumibatiwakkal.blogspot.com/2009/01/historis-asal-usul-berau.html Historis asal-usul berau ]</ref> sehingga dalam perjanjian [[Kesultanan Banjar]] dengan VOC-Belanda dianggap sebagai bagian dari "[[Kesultanan Berau|negara Berau]]" (Berau bekas [[vazal]] Banjar).<ref>{{en}} (1848){{cite journal|pages=438 |url=http://books.google.co.id/books?id=sJAaAQAAIAAJ&dq=Fran%C3%A7ois%20Wittert.&pg=PA438#v=onepage&q&f=false|title=The Journal of the Indian archipelago and eastern Asia|volume=2}}</ref> Pada kenyataannya sampai tahun 1850, [[Bulungan]] berada di bawah dominasi [[Kesultanan Sulu]].<ref>{{en}} (2007){{cite web|url=http://www.indonesianhistory.info/map/borneo1850.html?zoomview=1|title=Borneo in 1850|publisher=Robert Cribb|date= |work= Digital Atlas of Indonesian History|accessdate=1 August 2011}}</ref>
| native_name = كسولتانن بولوڠن
| conventional_long_name = Kesultanan Bulungan
| common_name = Kesultanan Bulungan
| continent =
| region =
| status =
| government_type = Monarki
| image_flag = Bulungan Sultanate Flag.jpg
| image_coat =
| year_start = 1731
| event1 = Masuk wilayah [[Indonesia]]
| year_event1 =
| event_end = Peristiwa Bultiken
| year_end = 1964|
| p1 = Kesultanan Berau
| flag_p1 = East Borneo Sultanate Flags.png
| p2 = Kesultanan Sulu
| flag_p2 = Late 19th Century Flag of Sulu.svg
| s1 = Indonesia
| flag_s1 = Flag of Indonesia.svg
| flag_s2 = Flag of Malaysia.svg
| image_map =
| image_map_caption = |
| capital = [[Tanjung Palas, Bulungan|Tanjung Palas]]
| common_languages = [[Bahasa Melayu]] (dialek Bulungan)
| religion = [[Islam]] (resmi){{br}}[[Bungan]]{{br}}[[Animisme]]
| currency = |
| title_leader =
| leader1 =
| year_leader1 =
| leader2 =
| year_leader2 =
| leader3 =
| year_leader3 = |
| stat_year1 =
| stat_area1 =
| stat_pop1 =
| today = {{flag|Indonesia}}
| image_flag2 = East Borneo Sultanate Flags.png
| flag_caption = '''Kanan''': Bendera kesultanan pada abad ke-19
}}
 
'''Kesultanan Bulungan''' atau '''Bulongan'''<ref>{{nl}} {{cite book|pages=2|url=http://books.google.co.id/books?id=JRQ5AQAAIAAJ&dq=Sulthan%20Soerian%20Sjach&hl=id&pg=PA9#v=onepage&q=Sulthan%20Soerian%20Sjach&f=false|title=De bandjermasinsche krijg van 1859-1863|first=[[Willem Adriaan van Rees|Willem Adriaan]]|last=Rees|publisher=D. A. Thieme|year=1865}}</ref> adalah [[kesultanan]] yang pernah menguasai wilayah pesisir [[Kabupaten Bulungan]], [[Kabupaten Tana Tidung]], [[Kabupaten Malinau]], [[Kabupaten Nunukan]], [[Kota Tarakan]], [[Tawau]], [[Kalabakan]], dan sebagian [[Semporna]] [[Sabah]] sekarang. Kesultanan ini berdiri pada tahun [[1731]], dengan raja pertama bernama [[Wira Amir]] bergelar ''Amiril Mukminin'' ([[1731]]–[[1777]]), dan Raja Kesultanan Bulungan yang terakhir atau ke-13 adalah Datuk Tiras bergelar [[Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin]] ([[1931]]-[[1958]]).<ref>{{id}}[http://www.bulungan.go.id/v01/bulungan/sejarah-bulungan/hari-jadi-dan-sejarah.html Sejarah Bulungan di situs Kabupaten Bulungan] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20070927235922/http://www.bulungan.go.id/v01/bulungan/sejarah-bulungan/hari-jadi-dan-sejarah.html |date=2007-09-27 }}</ref>
 
Negeri Bulungan (Negeri Merancang) bekas daerah milik [[Kesultanan Berau]] yang telah memisahkan diri<ref>[http://bumibatiwakkal.blogspot.com/2009/01/historis-asal-usul-berau.html Historis asal usul berau ]</ref> sehingga dalam perjanjian [[Kesultanan Banjar]] dengan VOC-Belanda dianggap sebagai bagian dari Kesultanan Berau (Berau adalah bekas [[vazal]] Banjar yang diserahkan kepada VOC-Belanda).<ref>{{en}} (1848){{cite journal|pages=438 |url=http://books.google.co.id/books?id=sJAaAQAAIAAJ&dq=Fran%C3%A7ois%20Wittert.&pg=PA438#v=onepage&q&f=false|title=The Journal of the Indian archipelago and eastern Asia|volume=2}}</ref><ref>http://bunyoro-kitara.org/73.html</ref> Pada kenyataannya sebelum tahun 1850, [[Bulungan]] merupakan bagian dari [[Kesultanan Sulu]].<ref name="indonesianhistory.info">{{en}} (2007){{cite web|url=http://www.indonesianhistory.info/map/borneo1850.html?zoomview=1|title=Borneo in 1850|publisher=Robert Cribb|date=|work=Digital Atlas of Indonesian History|accessdate=1 August 2011|archive-date=2012-06-10|archive-url=https://web.archive.org/web/20120610194305/http://www.indonesianhistory.info/map/borneo1850.html?zoomview=1|dead-url=yes}}</ref>
 
== Sejarah Kerajaan Bulungan ==
[[Berkas:Istana-kesultanan-bulungan.jpg|thumbjmpl|rightka|210px|Istana Kesultanan Bulungan pada abad ke-20.]]
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM De sultan van Bulungan en zijn echtgenote Borneo TMnr 10001599.jpg|210px|rightka|thumbjmpl|[[Muhammad Maulana Jalaluddin|Sultan Jalaluddin]] bersama permaisuri (tahun [[1940]]).]]
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Roeiwedstrijden met prauwen op de rivier bij het schip waarmee bestuursambtenaren zijn gearriveerd voor een bezoek aan de Sultan van Boeloengan TMnr 60041533.jpg|thumbjmpl|rightka|210px|Atraksi ''Mendayung'' saat kedatangan pejabat kolonial ke Kesultanan Bulungan (hingga 1930).]]
Berdirinya Kerajaan Bulungan tidak dapat dipisahkan dengan mitos ataupun legenda yang hidup secara turun-temurun dalam masyarakat. Menurut legenda, Kuwanyi―seorang pemimpin suku bangsa [[Dayak Hupan]] (Dayak Kayan) karena tinggal di hilir [[Sungai Kayan|Sungai Kayan—]]<nowiki/>mula-mula mendiami sebuah perkampungan kecil yang penghuninya hanya terdiri atas kurang lebih 80 jiwa di tepi [[Sungai Payang]], cabang [[Sungai Pujungan]]. Karena kehidupan penduduk sehari-hari kurang baik, maka mereka pindah ke hilir sebuah sungai besar yang bernama [[Sungai Kayan]].
Berdirinya Kerajaan Bulungan tidak dapat dipisahkan dengan mitos
ataupun legenda yang hidup secara turun-temurun dalam masyarakat.
Legenda bersifat lisan dan merupakan cerita rakyat yang dianggap oleh
yang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang benar-benar terjadi.
Karena sifatnya yang tidak tertulis dan sering kali mengalami distorsi
maka sering kali pula dapat jauh berbeda dengan kisah aslinya. Yang
demkian itulah disebut dengan ''folk history'' (sejarah kolektif).
'''Kuwanyi''', adalah nama seorang pemimpin suku bangsa [[Dayak Hupan]] (Dayak
Kayan) karena tinggal di hilir [[Sungai Kayan]], mula-mula mendiami sebuah
perkampungan kecil yang penghuninya hanya terdiri atas kurang lebih 80
jiwa di tepi [[Sungai Payang]], cabang [[Sungai Pujungan]]. Karena kehidupan
penduduk sehari-hari kurang baik, maka mereka pindah ke hilir sebuah
sungai besar yang bernama [[Sungai Kayan]].
 
Suatu hari Kuwanyi pergi berburu ke hutan, tetapi tidak seekor binatang pun yang diperolehnya, kecuali seruas bambu besar yang disebut bambu betung dan sebutir telur yang terletak di atas tunggul kayu Jemlay. Bambu dan telur itu dibawanya pulang ke rumah. Dari bambu itu keluar seorang anak laki-laki dan ketika telur itu dipecah ke luar pula seorang anak perempuan. Kedua anak ini dianggap sebagai karunia para dewa. Kuwanyi dan istrinya memelihara anak itu baik-baik sampai dewasa. Ketika keduanya dewasa, maka masing-masing diberi nama Jauwiru untuk yang laki-laki dan yang perempuan bernama Lemlai Suri. Keduanya dikawinkan oleh Kuwanyi.
Suatu hari '''Kuwanyi''' pergi berburu ke hutan, tetapi tidak seekorpun
binatang yang diperolehnya, kecuali seruas bambu besar yang disebut
bambu betung dan sebutir telur yang terletak di atas tunggul kayu
Jemlay. Bambu dan telur itu dibawanya pulang ke rumah. Dari bambu itu
keluar seorang anak laki-laki dan ketika telur itu dipecah ke luar pula
seorang anak perempuan. Kedua anak ini dianggap sebagai kurnia para
Dewa. Kuwanyi dan istrinya memelihara anak itu baik-baik sampai dewasa.
Ketika keduanya dewasa, maka masing-masing diberi nama '''Jauwiru''' untuk
yang laki-laki dan yang perempuan bernama '''Lemlai Suri'''. Keduanya
dikawinkan oleh Kuwanyi.
 
Kisah ''Jauwiru'' dan ''Lemlai Suri'' kini diabadikan dengan didirikannya sebuah ''Monumen Telor Pecah''. Monumen tersebut terletak di antara Jl. Sengkawit dan Jl. Jelarai, [[Tanjung Selor, Bulungan|Kota Tanjung Selor]], yang mengingatkan kita tentang cikal bakal berdirinya kesultanan Bulungan.
 
Bulungan, berasal dari perkataan ''Bulu Tengon'' ([[Bahasa Bulungan]]), yang artinya bambu betulan. Karena adanya perubahan dialek bahasa Melayu maka berubah menjadi “Bulungan”. Dari sebuah bambu itulah terlahir seorang calon pemimpin yang diberi nama Jauwiru. Dari anak keturunan Jauwiru, lahirlah kesultanan Bulungan. Setelah Kuwanyi wafat maka Jauwiru menggantikan kedudukan sebagai ketua suku bangsa Dayak (Hupan). Kemudian Jauwiru mempunyai seorang putera bernama Paran Anyi.
 
Paran Anyi tidak mempunyai seorang putera, tetapi mempunyai seorang puteri yang bernama Lahai Bara yang kemudian kawin dengan seorang laki-laki bernama Wan Paren, yang menggantikan kedudukannya. Dari perkawinan Lahai Bara dan Wan Paren lahir seorang putera bernama Si Barau dan seorang puteri bernama Simun Luwan. Pada masa akhir hidupnya, Lahai Bara mengamanatkan kepada anak-anaknya supaya “''lungun''” atau peti matinya diletakkan di sebelah hilir [[sungai Kipah]]. Lahai Bara mewariskan tiga macam benda pusaka, yaitu [[ani-ani]] (''kerkapan''), ''kedabang'', sejenis tutup kepala dan sebuah dayung (''bersairuk''). Tiga jenis barang warisan ini menimbulkan perselisihan antara Si Barau dan saudaranya, Simun Luwan. Akhirnya Simun Luwan berhasil mengambil dayung dan pergi membawa serta peti mati Lahai Bara.
Kisah ''Jauwiru'' dan ''Lemlai Suri'' kini diabadikan dengan didirikannya
sebuah ''Monumen Telor Pecah''. Monumen tersebut terletak di antara Jl. sengkawit dan Jl. Jelarai, [[Tanjung Selor, Bulungan|Kota Tanjung Selor]], yang mengingatkan kita tentang cikal bakal
berdirinya [[kesultanan Bulungan]].
 
Karena kesaktian yang dimiliki oleh Simun Luwan, hanya dengan menggoreskan ujung dayung pada sebuah tanjung dari sungai Payang, maka tanjung itu terputus dan hanyut ke hilir sampai ke tepi Sungai Kayan, yang sekarang terletak di kampung Long Pelban. Di hulu kampung Long Peleban inilah peti mati Lahai Bara dikuburkan. Menurut kepercayaan, seluruh keturunan Lahai Bara, terutama keturunan raja-raja Bulungan, dahulu tidak ada seorangpun yang berani melintasi kuburan Lahai Bara ini, karena takut kutukan Si Barau ketika bertengkar dengan Simun Luwan. Bahwa siapa saja dari keturunan Lahai Bara yang melewati peti matinya niscaya tidak akan selamat. ''Tanjung hanyut itu'' sampai sekarang oleh suku-suku bangsa Dayak Kayan dinamakan ''Busang Mayun'', artinya ''Pulau Hanyut''.
'''Bulungan''', berasal dari perkataan ''Bulu Tengon'' ([[Bahasa Bulungan]]), yang
artinya bambu betulan. Karena adanya perubahan dialek bahasa Melayu
maka berubah menjadi “Bulungan”. Dari sebuah bambu itulah terlahir
seorang calon pemimpin yang diberi nama ''Jauwiru''. Dan dalam
perjalanan sejarah keturunan, lahirlah [[kesultanan Bulungan]].
Setelah Kuwanyi wafat maka Jauwiru menggantikan kedudukan sebagai ketua
suku bangsa Dayak (Hupan). Kemudian Jauwiru mempunyai seorang putera
bernama '''Paran Anyi'''.
 
Kepergian Simun Luwan disebabkan oleh perselisihan dengan saudaranya sendiri, saat itu merupakan permulaan perpindahan suku-suku bangsa Kayan, meninggalkan tempat asal nenek moyang mereka di sungai Payang menuju sungai Kayan, dan menetap tidak jauh dari [[Kota Tanjung Selor]], ibu kota [[Kabupaten Bulungan]] sekarang. Suku bangsa Kayan hingga sekarang masih terdapat di beberapa perkampungan di sepanjang sungai Kayan, di hulu Tanjung Selor, di Kampung [[Tanjung Palas Barat, Bulungan|Long Mara]], [[Antutan, Tanjung Palas, Bulungan|Antutan]] dan [[Pimping, Tanjung Palas Utara, Bulungan|Pimping]]. Simun Luwan mempunyai suami bernama Sadang, dan dari perkawinan mereka lahir seorang anak perempuan bernama Asung Luwan. Asung Luwan kawin dengan seorang bangsawan dari [[Brunei]], yaitu Datuk Mencang.
Paran Anyi tidak mempunyai seorang putera, tetapi mempunyai seorang
puteri yang bernama ''Lahai Bara'' yang kemudian kawin dengan seorang
laki-laki bernama ''Wan Paren'', yang menggantikan kedudukannya. Dari
perkawinan ''Lahai Bara'' dan ''Wan Paren'' lahir seorang putera bernama '''Si
Barau''' dan seorang puteri bernama '''Simun Luwan'''.
Pada masa akhir hidupnya, ''Lahai Bara'' mengamanatkan kepada anak-anaknya
supaya “''Lungun''” yaitu peti matinya diletakkan di sebelah hilir [[sungai
Kipah]]. Lahai Bara mewariskan tiga macam benda pusaka, yaitu [[ani-ani]]
(''kerkapan''). ''Kedabang'', sejenis tutup kepala dan sebuah dayung
(''bersairuk''). Tiga jenis barang warisan ini menimbulkan perselisihan
antara Si Barau dan saudaranya, '''Simun Luwan'''. Akhirnya Simun Luwan
berhasil mengambil dayung dan pergi membawa serta peti mati Lahai Bara.
 
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Groepsportret met Maulana Mohamad Djalaloeddin Sultan van Boeloengan op zijn troon TMnr 60041528.jpg|jmpl|ka|210px|Para kerabat Kesultanan Bulungan]]
Karena kesaktian yang dimiliki oleh Simun Luwan, hanya dengan
Sejak pemerintahan Datuk Mencang inilah berdirinya Kerajaan Bulungan. Datuk Mencang adalah salah seorang putera Raja Brunei di [[Kalimantan Utara]] yang telah mempunyai bentuk pemerintahan teratur. Datuk Mencang berlabuh di muara sungai Kayan karena kehabisan persediaan air minum. Dengan sebuah perahu kecil Datuk Mencang dan Datuk Tantalani menyusuri sungai Kayan mencari air tawar, tetapi suku bangsa Kayan sudah siap menghadang kedatangan mereka. Pihak Datuk Mencang dan Datuk Tantalani cukup bijaksana dapat mengatasi keadaan dan berhasil mengadakan perdamaian dengan penduduk asli sungai Kayan. Dari hasil perdamaian ini akhirnya Datuk Mencang kawin dengan Asung Luwan, salah seorang puteri keturunan Jauwiru.
menggoreskan ujung dayung pada sebuah tanjung dari sungai Payang, maka
tanjung itu terputus dan hanyut ke hilir sampai ke tepi Sungai Kayan,
yang sekarang terletak di kampung Long Pelban. Di Hulu kampung Long
Pelban inilah peti mati Lahai Bara dikuburkan. Menurut kepercayaan
seluruh keturunan Lahai Bara, terutama keturunan raja-raja Bulungan,
dahulu tidak ada seorangpun yang berani melintasi kuburan Lahai Bara
ini, karena takut kutukan Si Barau ketika bertengkar dengan Simun
Luwan. Bahwa siapa saja dari keturunan Lahai Bara bila melewati peti
matinya niscaya tidak akan selamat. ''Tanjung hanyut itu'' sampai sekarang
oleh suku-suku bangsa Dayak Kayan dinamakan ''Busang Mayun'', artinya ''Pulau
Hanyut''.
 
Menurut legenda, lamaran Datuk Mencang atas Asung Luwan ditolak, kecuali pangeran dari Brunei itu sanggup mempersembahkan maskawin berupa kepala Sumbang Lawing, pembunuh Sadang, kakaknya. Melalui perjuangan, ketangkasan dan kecerdasan, akhirnya Datuk Mencang dapat mengalahkan Sumbang Lawing. Perang tanding dilakukan dengan uji ketangkasan membelah jeruk yang bergerak dengan senjata. Datuk Mencang lebih unggul dan memenangkan uji ketangkasan tersebut.
Kepergian '''Simun Luwan''' disebabkan oleh perselisihan dengan saudaranya
sendiri, saat itu merupakan permulaan perpindahan suku-suku bangsa
Kayan, meninggalkan tempat asal nenek moyang mereka di sungai Payang
menuju sungai Kayan, dan menetap tidak jauh dari [[Kota Tanjung Selor]], ibu
kota [[Kabupaten Bulungan]] sekarang. Suku bangsa Kayan hingga sekarang masih
terdapat di beberapa perkampungan di sepanjang sungai Kayan, di hulu
Tanjung Selor, di Kampung [[Tanjung Palas Barat, Bulungan|Long Mara]], [[Antutan, Tanjung Palas, Bulungan|Antutan]] dan [[Pimping, Tanjung Palas Utara, Bulungan|Pimping]].
''Simun Luwan'' mempunyai suami bernama ''Sadang'', dan dari perkawinan mereka
lahir seorang anak perempuan bernama ''Asung Luwan''. Asung Luwan kawin
dengan seorang bangsawan dari [[Brunei]], yaitu '''Datuk Mencang'''.
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Groepsportret met Maulana Mohamad Djalaloeddin Sultan van Boeloengan op zijn troon TMnr 60041528.jpg|thumb|right|210px|Para kerabat Kesultanan
Bulungan]]
Sejak pemerintahan Datuk Mencang inilah timbulnuya '''kerajaan Bulungan'''.
Datuk Mencang adalah salah seorang putera Raja Brunei di [[Kalimantan Utara]] yang telah mempunyai bentuk pemerintahan teratur. Datuk Mencang
berlabuh di muara sungai Kayan Karena kehabisan persediaan air minum.
Dengan sebuah perahu kecil Datuk Mencang dan ''Datuk Tantalani'' menyusuri
sungai Kayan mencari air tawar, tetapi suku bangsa Kayan sudah siap
menghadang kedatangan mereka. Mujur pihak Datuk Mencang dan Datuk
Tantalani cukup bijaksana dapat mengatasi keadaan dan berhasil
mengadakan perdamaian dengan penduduk asli sungai Kayan. Dari hasil
perdamaian ini akhirnya Datuk Mencang kawin dengan Asung Luwan, salah
seorang puteri keturunan Jauwiru.
 
Setelah Asung Luwan menikah dengan Datuk Mencang ([[1555]]-[[1594]]), berakhirlah masa pemerintahan di daerah Bulungan yang dipimpin oleh kepala adat/suku karena sejak Datuk Mencang memimpin daerah [[Bulungan]], pemimpinnya disebut sebagai Kesatria/Wira.
Menurut legenda, lamaran Datuk Mencang atas Asung Luwan ditolak,
kecuali Pangeran dari Brunei itu sanggup mempersembahkan mas kawin
berupa kepala ''Sumbang Lawing'', pembunuh '''Sadang''', kakaknya. Melalui
perjuangan, ketangkasan dan kecerdasan, akhirnya Datuk Mencang dapat
mengalahkan Sumbang Lawing. Perang tanding dilakukan dengan uji
ketangkasan membelah jeruk yang bergerak dengan senjata. Datuk Mencang
lebih unggul dan meme-nangkan uji ketangkasan tersebut.
 
Setelah ''Asung Luwan'' menikah dengan ''datuk Mencang'' ([[1555]]-[[1594]]),
berakhirlah masa pemerintahan di daerah Bulungan yang dipimpin oleh
Kepala Adat/Suku, karena sejak ''Datuk Mencang'' memimpin daerah [[Bulungan]],
pemimpinnya disebut sebagai ''Kesatria/Wira''.
 
== Sultan Bulungan ==
Berikut adalah daftar Sultan Bulungan, daftar berikut masih belum sempurna, karena ada tahun yang hilang serta nama yang tidak diketahui.<ref>{{en}}[http://www.rulers.org/indotrad.html Indonesian traditional polities]</ref>
=== Masa Pemerintahan Yangyang Dipimpin Oleholeh Seorang Kesatria/Wira ===
Seorang [[bangsawan]] dari [[Brunei Darussalam|Kesultanan Brunei]] bernama Datuk Mencang menjadi pendiri Kerajaan Bulungan. Ia menikah dengan Asung Luwan.<ref>{{Cite journal|last=Koestoer|first=Raldi Hendro|date=2017|title=Geo-Ekonomi Politik Nunukan dalam Konstelasi Perbatasan: Studi Kasus Pembangunan Nunukan, Kalimanta Utara dan Implikasinya pada Kemampuan Bela Negara|url=https://www.kemhan.go.id/wp-content/uploads/2018/01/wiraindowebnovdeskomplit.pdf|journal=Wira|publisher=Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan|volume=69|issue=53|pages=29|issn=1693-0231}}</ref> Masa kekuasaan Datuk Mencang dimulai pada tahun 1555 M dan berakhir pada tahun 1594 M.
* [[Datuk Mencang]] (Seorang bangsawan dari Brunei), beristrikan Asung Luwan(1555-1594)
* [[Singa Laut]], Menantu dari Datuk Mencang (1594-1618)
* Wira Kelana, Putera Singa Laut (1618-1640)
* Wira Keranda, Putera Wira Kelana (1640-1695)
* Wira Digendung, putraPutera Wira Keranda (1695-1731)
* Wira Amir, Putera Wira Digendung Gelar Sultan Amiril Mukminin (1731-1777)
 
=== Masa Pemerintahan Yangyang Dipimpin Oleholeh Seorang Sultan ===
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Datoe Mansoei eerste rijksgrote van Boeloengan Borneo TMnr 10001681.jpg|jmpl|ka|Datu Mansyur (1925-1930)]]
* Aji Muhammad/Sultan Alimuddin bin Muhammad Zainul Abidin/Sultan Amiril Mukminin/Wira Amir (1877-1817)
* Aji Muhammad/Sultan Alimuddin bin Muhammad Zainul Abidin/Sultan Amiril Mukminin/Wira Amir (1777-1817)
* Muhammad Alimuddin Amirul Muminin Kahharuddin I bin Sultan Alimuddin (jabatan ke-1) (1817-[[1861]])
* Muhammad Jalaluddin bin Muhammad Alimuddin ([[1861]]-[[1866]])
Baris 124 ⟶ 89:
* Muhammad Khalifatul Adil bin Maoelanna ([[1873]]-[[1875]])
* Muhammad Kahharuddin II bin [[Maharaja Lela]] ([[1875]]-1889)
* Sultan Azimuddin bin Sultan Amiril Kaharuddin (1889-1899).
* Pengian Kesuma (1899-1901). Ia adalah istri Sultan Azimuddin.
* Sultan Kasimuddin
* Datu Mansyur (1925-[[1930]]), Pemangku jabatan sultan
* Maulana Ahmad Sulaimanuddin (1930-[[1931]]) menikah dengan Tengku Lailan Syafinah binti alm. Tuanku Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rakhmat Shah (Sultan [[Kabupaten Langkat|Langkat]])<ref>[http://www.lenteratimur.com/malam-jahanam-di-bulungan/ Malam Jahanam di Bulungan ]</ref>
* Maulana Muhammad Jalaluddin ([[1931]]-1958)
 
OrangPenjajah Belanda menaklukkan [[Kesultanan Berau]] pada tahun 1834.<ref>{{Cite book|last=FInandar, F.,dkk.|date=1983|url=https://repositori.kemdikbud.go.id/14101/1/Sejarah%20perlawanan%20terhadap%20imperialisme%20dan%20kolonialisme%20di%20kalimantan%20timur.PDF|title=Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan dikenakanKolonialisme kedaulatandi BelandaKalimantan terhadapTimur|publisher=Departemen KutaiPendidikan padadan tahunKebudayaan|editor-last=Leirissa, 1848R. Z., Kutoyo, S., dan Kartadarmadja, M. S.|pages=81|url-status=live}}</ref> Penaklukkan kemudian terhadapberlanjut Bulunganhingga yang[[Kesultanan ditandatanganiKutai denganKertanegara Sultaning BulunganMartapura|Kesultanan KontrakKutai]] Politiktakluk pada tahun 1848 dan Kesultanan Bulungan pada tahun 1850 menandatangani kontrak politik antara Sultan Bulungan dengan Belanda. Bersemangat untuk memerangi pembajakan dan perdagangan budak, dan bersedia untuk melawan pembajakan dan perdagangan budak, merekaBelanda mulai untuk campur tangan di wilayah iniBulungan.
 
Dalam tahun 1853, Bulungan sudah dimasukkan dalam wilayah pengaruh Belanda.<ref>[http://books.google.co.id/books?id=j8kZAQAAIAAJ&dq=adji%20mandoera&pg=RA1-PA357#v=onepage&q&f=true {{nl}} Verhandelingen en Berigten Betrekkelijk het Zeewegen, Zeevaartkunde, de Hydrographie, de Koloniën, Volume 13, 1853]</ref> Sampai tahun 1850, [[Bulungan]] berada di bawah [[Kesultanan Sulu]].<ref name="indonesianhistory.info" /> Selama periode ini, kapal Sulu pergi ke [[Tarakan]] dan kemudian di Bulungan untuk perdagangan langsung dengan [[Tidung]]. Pengaruh ini berakhir pada [[1878]] dengan penandatanganan perjanjian antara Inggris dan Spanyol ([[Protokol Madrid 1885]]) yang dirancang untuk menghilangkan pengaruh Kesultanan Sulu.
 
Pada 1881, Perusahaan ''North Borneo Chartered'' dibentuk, yang sekarang merupakan wilayah Sabah, di bawah yurisdiksi Inggris, tetapi Belanda mulai menolak. Kesultanan itu akhirnya dimasukkan dalam pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1880-an. Belanda mendirikan sebuah pos pemerintah di [[Tanjung Selor]] pada tahun [[1893]]. Pada tahun 1900-an, seperti banyak negara-negara kerajaan lain di kepulauan ini, Sultan terpaksa menandatangani ''Korte Verklaring'', pernyataan "singkat" yang mengharuskan Sultan menjual sebagian besar kekuasaannya atas tanah hulu.
Sampai tahun 1850, [[Bulungan]] berada di bawah [[Kesultanan Sulu]].<ref>{{en}} (2007){{cite web|url=http://www.indonesianhistory.info/map/borneo1850.html?zoomview=1|title=Borneo in 1850|publisher=Robert Cribb|date= |work= Digital Atlas of Indonesian History|accessdate=1 August 2011}}</ref> Selama periode ini, kapal Sulu pergi ke [[Tarakan]] dan kemudian di Bulungan untuk perdagangan langsung dengan [[Tidung]]. Pengaruh ini berakhir pada [[1878]] dengan penandatanganan perjanjian antara Inggris dan Spanyol yang dirancang untuk Sulu.
 
Orang Belanda akhirnya mengakui perbatasan antara dua wilayah hukum pada tahun [[1915]]. Kesultanan ini diberikan status sebagai wilayah ''zelfbestuur'' ([[swapraja]]) pada tahun 1928, seperti banyak kerajaan-kerajaan lain di Nusantara yang dikuasai Belanda. Penemuan minyak oleh [[Bataafsche Petroleum Maatschappij]] (BPM) di [[Pulau Bunyu]] dan [[Tarakan]] telah memberikan kontribusi sangat penting bagi perekonomian Bulungan, terutama untuk orang Belanda, yang menjadikan Tarakan sebagai pusat industri minyak pada saat itu.
Pada 1881, Perusahaan Kalimantan Utara Chartered dibentuk, yang merupakan Borneo utara di bawah yurisdiksi Inggris, tetapi Belanda mulai menolak. Kesultanan itu akhirnya dimasukkan dalam kerajaan Hindia Belanda pada tahun 1880-an kolonial. Orang Belanda menginstal sebuah pos pemerintah di [[Tanjung Selor]] pada tahun [[1893]]. Pada tahun 1900-an, seperti banyak negara-negara kerajaan lain di kepulauan ini, Sultan terpaksa menandatangani Korte verklaring, pernyataan "singkat" oleh yang menjual sebagian besar kekuasaannya atas tanah hulu.
 
Setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia dari Kerajaan Belanda, wilayah Bulungan menerima status sebagai Wilayah [[Swapraja]] Bulungan atau "wilayah otonom" di Republik Indonesia pada tahun 1950, yaitu Daerah Istimewa setingkat kabupaten pada tahun 1955. Sultan terakhir, Jalaluddin, meninggal pada tahun 1958. Kesultanan Bulungan dihapuskan secara sepihak pada tahun 1964 dalam peristiwa berdarah yang dikenal sebagai [[Tragedi Bultiken]] (Bulungan, Tidung, dan Kenyah) dan wilayah Kesultanan Bulungan hanya menjadi kabupaten yang sederhana.
Orang Belanda akhirnya mengakui perbatasan antara dua wilayah hukum pada tahun [[1915]]. Kesultanan ini dikenakan status Zelfbestuur, "administrasi sendiri", pada tahun 1928, lagi-lagi seperti banyak negara pangeran Hindia Belanda.
 
Penemuan minyak di BPM (Bataafse Petroleum Maatschappij) di [[pulau Bunyu]] dan Tarakan akan memberikan sangat penting bagi Bulungan untuk orang Belanda, karena Tarakan ibukota daerah.
 
Setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia dari Kerajaan Belanda, wilayah menerima status Wilayah Swapraja Bulungan atau "wilayah otonom" di Republik Indonesia pada tahun 1950, maka Wilayah Istimewa atau "wilayah khusus " pada tahun 1955. Sultan terakhir, Jalaluddin, meninggal pada tahun 1958. kesultanan itu dihapuskan pada tahun 1959 dan wilayah itu menjadi kabupaten yang sederhana.
 
== Referensi ==
{{reflist}}
 
=== Lihat pula ===
* [[Kabupaten Bulungan]]
* [[Kabupaten Nunukan]]
* [[Kabupaten Malinau]]
* [[Kabupaten Tana Tidung]]
* [[Kota Tarakan]]
* [[Suku Tidung]]
* [[Kerajaan Tidung]]
 
=== Pranala luar ===
* {{id}} [http://www.bulungan.go.id/v01/pariwisata/pariwisata/sejarah-dan-ziarah.html Wisata Sejarah di Kabupaten Bulungan] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20070616012620/http://www.bulungan.go.id/v01/pariwisata/pariwisata/sejarah-dan-ziarah.html |date=2007-06-16 }}
* {{id|}}[http://sugeng-arianto.blogspot.com/2007/10/sejarah-kerajaan-bulungan.html SEJARAH KERAJAAN BULUNGAN]
 
{{Kerajaan di Kalimantan}}
{{indo-sejarah-stub}}
 
[[Kategori:Kesultanan Bulungan| ]]
[[Kategori:Kerajaan di Nusantara|Bulungan]]
[[Kategori:Kerajaan di Kalimantan TimurUtara|Bulungan]]
[[Kategori:Kesultanan Bulungan| ]]
[[Kategori:Kabupaten Bulungan]]
[[Kategori:Kabupaten Nunukan]]
Baris 171 ⟶ 131:
[[Kategori:Kota Tarakan]]
[[Kategori:Bekas negara di Borneo]]
 
[[en:Sultanate of Bulungan]]
[[fr:Sultanat de Bulungan]]