Perjanjian Giyanti: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Den maze (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Bimo K.A. (bicara | kontrib)
 
(170 revisi perantara oleh 75 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Infobox treaty
[[Berkas:Jawa Setelah Perjanjian Giyanti.png|thumb|Peta pembagian Mataram setelah Perjanjian Giyanti dan didirikannya Mangkunagaran pada tahun 1757]]
|name=Perjanjian Giyanti
'''Perjanjian Giyanti''' adalah kesepakatan antara [[VOC]], pihak [[Mataram II|Mataram]] (diwakili oleh [[Sunan Pakubuwana III]]), dan pihak pemberontak dari kelompok [[Pangeran Mangkubumi]] yang menjadi solusi bagi salah satu kerusuhan yang terus terjadi di Mataram sepeninggal [[Sultan Agung]]. Perjanjian yang ditandatangani pada bulan [[17 Maret]] [[1755]] ini secara ''de facto'' dan ''de jure'' menandai berakhirnya Kerajaan [[Mataram]] yang sepenuhnya independen. Nama ''Giyanti'' diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian ini, yaitu di Desa Giyanti (ejaan [[Belanda]], sekarang tempat itu berlokasi di Desa Janti) di tenggara kota [[Karanganyar, Karanganyar|Karanganyar]], [[Jawa Tengah]].
|image=MsGiyanti.jpg
|image_size=250px
|caption=Dokumen Perjanjian Giyanti (1755) tersimpan di [[Perpustakaan Nasional Republik Indonesia]]
|context=[[Perang Takhta Jawa Ketiga]]
|date_signed=13 Februari 1755
|language=[[Bahasa Jawa|Jawa]] dan [[Bahasa Belanda|Belanda]]
|location_signed=Dukuh Kerten, [[Jantiharjo, Karanganyar, Karanganyar|Desa Jantiharjo]], [[Kabupaten Karanganyar]], [[Jawa Tengah]]
|mediators=[[Berkas:VOC.svg|20px]] [[Perusahaan Hindia Timur Belanda]] (VOC)<hr>
|parties=
* {{negara|Kesultanan Mataram}} [[Kesultanan Mataram]]
* Kelompok [[Hamengkubuwana I|Pangeran Mangkubumi]]
}}
 
'''Perjanjian Giyanti''' ({{lang-jv|''Prajanjèn ing Janti''}}, {{lang-nl|Verdrag van Gijanti}}, {{lit}} "Perjanjian di Janti") adalah sebuah perjanjian antara [[VOC]] dengan [[Pangeran Mangkubumi]].<ref name="talk">[https://www.youtube.com/watch?v=lvbjV-fzb9c Talk Show "NILAI-NILAI SENI BUDAYA KARATON SURAKARTA HADININGRAT" narasumber GKR. Wandansari]</ref> Perjanjian tersebut secara resmi membagi kekuasaan [[Kesultanan Mataram]] kepada [[Pakubuwana III|Sunan Pakubuwana III]] dan Pangeran Mangkubumi.<ref name=Brown63>{{harvnb|Brown|2003|loc=p. 63: "Pada tanggal 13 Februari 1755 ditandatangani Perjanjian Giyanti yang membagi sisa Kesultanan Mataram menjadi dua bagian. Satu bagian dengan ibu kotanya di Surakarta dipimpin oleh putra [[Pakubuwana II|Sunan Pakubuwana II]], Sunan Pakubuwana III. Bagian lain, dengan ibu kotanya di Yogyakarta, diperintah oleh adik Pakubuwana II, Mangkubumi, yang bergelar Sultan Hamengkubuwana I."}}</ref><ref>{{harvnb|Pigeaud|1967|pp=164–169}}.</ref>
Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi dua: wilayah di sebelah timur Kali Opak (melintasi daerah [[Prambanan]] sekarang) dikuasai oleh pewaris tahta Mataram (yaitu Sunan Pakubuwana III) dan tetap berkedudukan di [[Surakarta]], sementara wilayah di sebelah barat (daerah Mataram yang asli) diserahkan kepada [[Pangeran Mangkubumi]] sekaligus ia diangkat menjadi [[Sultan Hamengkubuwana I]] yang berkedudukan di [[Yogyakarta]]. Di dalamnya juga terdapat klausul, bahwa pihak VOC dapat menentukan siapa yang menguasai kedua wilayah itu jika diperlukan.
 
[[Mangkunegara I|Raden Mas Said]] alias Pangeran Sambernyawa tidak ikut dalam perjanjian ini. Setelah perjanjian damai ditandatangani, Pangeran Mangkubumi yang sudah bergelar Sultan Hamengkubuwana I kemudian ikut memerangi kelompok Pangeran Sambernyawa. Mereka kemudian juga akan menandatangi perjanjian damai dalam kesepakatan selanjutnya, yaitu [[Perjanjian Salatiga]], pada tahun [[1757]].
 
Nama "Giyanti" diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian, yaitu di Desa Janti, dalam [[ejaan van Ophuijsen]] menjadi Gijanti. Kini terletak di Dusun Kerten, [[Jantiharjo, Karanganyar, Karanganyar|Desa Jantiharjo]], [[Kabupaten Karanganyar|Karanganyar]], [[Jawa Tengah]].<ref> {{cite web|title= Hari Ini dalam Sejarah, Perjanjian Giyanti Memecah Wilayah Mataram Islam|author= Aswab Nanda Pratama|year= 2019|accessdate= 20 Januari 2021|website= Kompas.com|url= https://nasional.kompas.com/read/2019/02/13/13035281/hari-ini-dalam-sejarah-perjanjian-giyanti-memecah-wilayah-mataram-islam?page=all}} </ref>
 
== Latar belakang ==
== Perundingan pembagian Kerajaan Mataram ==
 
Perjanjian ini merupakan hasil utama dari [[Perang Takhta Jawa Ketiga]] pada tahun [[1749]]-[[1757]]. [[Pakubuwana II|Sunan Pakubuwana II]], [[susuhunan|sunan alias susuhunan]] Mataram, telah mendukung pemberontakan Tionghoa melawan Belanda.{{sfn|Ricklefs|1983|p=274}} Pada tahun [[1743]], sebagai konsekuensi untuk pemulihan kekuasaannya, sunan terpaksa menyerahkan pantai utara [[Jawa]] dan [[Madura]] kepada [[Perusahaan Hindia Timur Belanda]].
Menurut dokumen register harian '''N. Hartingh''' (Gubernur [[VOC]] untuk Jawa Utara), pada 10 September [[1954]] N. Hartingh berangkat dari [[Semarang]] untuk menemui [['''Pangeran Mangkubumi''']]. Pertemuan dengan [[Pangeran Mangkubumi]] sendiri baru pada 22 September 1954. Pada hari berikutnya diadakan perundingan yang tertutup dan hanya dihadiri oleh sedikit orang. [[Pangeran Mangkubumi]] didampingi oleh '''Pangeran Notokusumo''' dan '''Tumenggung Ronggo'''. Hartingh didampingi '''Breton''', Kapten '''Donkel''', dan sekretaris '''Fockens'''. Sedangkan yang menjadi juru bahasa adalah '''Pendeta Bastani'''.
 
[[Pakubuwana III|Sunan Pakubuwana III]] didukung [[VOC|Kompeni]] menggantikan takhta setelah wafatnya Sunan Pakubuwana II, namun ia harus menghadapi saingan ayahnya, Pangeran Sambernyawa, yang pernah menduduki suatu daerah bernama Sukawati, sekarang [[Sragen]]. Pada tahun [[1749]], [[Hamengkubuwana I|Pangeran Mangkubumi]], adik Sunan Pakubuwana II, yang tidak puas dengan kedudukannya yang lebih rendah, bergabung dengan Pangeran Sambernyawa dalam menentang Pakubuwana III. VOC mengirim pasukan untuk membantu Pakubuwana III, tetapi pemberontakan terus berlanjut. Baru pada tahun [[1755]], Pangeran Mangkubumi melepaskan diri dari Pangeran Sambernyawa dan menerima tawaran perdamaian di Giyanti, yang menyebabkan Mataram terbagi menjadi dua bagian.<ref>{{Cite web|url=https://www.britannica.com/event/Gianti-Agreement|title=Gianti Agreement {{!}} Indonesia [1755]|website=Encyclopedia Britannica|language=en|access-date=2020-01-08}}</ref> Pangeran Sambernyawa baru menandatangani perjanjian dengan VOC pada tahun [[1757]] melalui [[Perjanjian Salatiga]], yang memberinya hak untuk memerintah sebagian ''siti lungguh'' ([[apanase|tanah apanase]]) di wilayah ''nagara agung'' (wilayah inti) Mataram bagian timur.<ref name="mangkunegaran">Wasino. (2014) ''Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944''. Jakarta: Kompas Media Nusantara.</ref> Ia kemudian bergelar sebagai [[Mangkunegara I|Adipati Mangkunegara I]].<ref name="mangkunegaran"/>
 
== Perundingan ==
Pembicaraan pertama mengenai pembagian Mataram. N. Hartingh menyatakan keberatan karena tidak mungkin ada dua buah matahari. Mangkubumi menyatakan di [[Cirebon]] ada lebih dari satu Sultan. Hartingh menawarkan [[Mataram]] sebelah timur. Usul ini ditolak sang Pangeran. Perundingan berjalan kurang lancar karena masih ada kecurigaan diantara mereka. Akhirnya setelah bersumpah untuk tidak saling melanggar janji maka pembicaraan menjadi lancar. Kembali Gubernur [[VOC]] mengusulkan agar Mangkubumi jangan menggunakan gelar Sunan, dan menentukan daerah mana saja yang akan dikuasai oleh beliau. Mangkubumi berkeberatan melepas gelar Sunan karena sejak 5 tahun lalu diakui rakyat sebagai Sunan. (Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sunan [Yang Dipertuan] atas kerajaan [[Mataram]] ketika [[Paku Buwono II]] wafat di daerah '''Kabanaran''', bersamaan [[VOC]] melantik Adipati Anom menjadi [[Paku Buwono III]]).
 
[[Berkas:Location of Treaty of Giyanti.jpg|jmpl|300px|Lokasi penandatanganan Perjanjian Giyanti di Karanganyar, Jawa Tengah.|al=|kiri]]
 
Menurut catatan harian Nicolaas Hartingh, [[gubernur]] [[VOC]] untuk Jawa Utara, pada tanggal [[10 September]] [[1754]] ia berangkat dari [[Semarang]] untuk menemui Pangeran Mangkubumi. Pertemuan dengan Pangeran Mangkubumi sendiri baru terlaksana pada tanggal [[22 September]] [[1754]]. Pada hari berikutnya, diadakan perundingan tertutup yang hanya dihadiri oleh beberapa orang. Pangeran Mangkubumi didampingi oleh [[Paku Alam I|Pangeran Natakusuma]] dan Tumenggung Rangga. Hartingh sendiri didampingi oleh Breton, Kapten C. Donkel, dan sekretarisnya, W. Fockens. Adapun yang menjadi juru bahasa adalah pendeta Bastani.<ref>{{Cite web|url=https://www.annedoedens.com/wp-content/uploads/2017/05/Over-Hendrik-Breton-de-VOC-en-Zuid-Afrika.pdf|title=Over Hendrik Breton, de VOC, en Zuid-Afrika}}</ref>
Perundingan terpaksa dihentikan dan diteruskan keesokan harinya. Pada 23 September [[1754]] akhirnya tercapai '''nota kesepahaman''' bahwa '''Pangeran Mangkubumi''' akan memakai gelar '''Sultan''' dan mendapatkan setengah Kerajaan. Daerah '''Pantai Utara Jawa''' (orang [[Jawa]] sering menyebutnya dengan '''daerah pesisiran''') yang telah diserahkan pada [['''VOC''']] (orang Jawa sering menyebut dengan '''Kumpeni''') tetap dikuasai [[VOC]] dan ganti rugi atas penguasaan Pantura Jawa oleh [[VOC]] akan diberikan setengah bagiannya pada Mangkubumi. Terakhir, Pangeran memperoleh setengah dari pusaka-pusaka istana. Nota kesepahaman tersebut kemudian disampaikan pada [[Paku Buwono III]]. Pada 4 November tahun yang sama, [[Paku Buwono III]] menyampaikan surat pada '''Gubernur Jenderal [[VOC]] Mossel''' atas persetujuan beliau tehadap hasil perundingan Gubernur [[Jawa]] Utara dan Mangkubumi.
 
Pada pembicaraan pertama mengenai pembagian Kesultanan Mataram, Hartingh menyatakan keberatan karena tidak mungkin ada dua pemimpin dalam satu kerajaan. Sementara, Mangkubumi berpendapat bahwa di [[Kesultanan Cirebon]] saja terdapat lebih dari satu [[sultan]]. Hartingh pun menawarkan wilayah Mataram sebelah timur, yang ditolak oleh Mangkubumi. Perundingan berjalan kurang lancar karena masih ada kecurigaan di antara mereka. Akhirnya, setelah bersumpah untuk tidak saling melanggar janji, maka pembicaraan dapat berjalan lancar. Hartingh kembali mengusulkan agar Mangkubumi tidak menggunakan gelar [[susuhunan]] dan menentukan daerah mana saja yang akan dikuasai olehnya.
 
Semula, Mangkubumi keberatan melepas gelar susuhunan, karena sebagian rakyat Mataram telah mengakuinya sebagai susuhunan sejak lima tahun sebelumnya. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai susuhunan di daerah Kabanaran ketika [[Pakubuwana II]] wafat, bersamaan saat VOC melantik Adipati Anom menjadi [[Pakubuwana III]].
Berdasarkan perundingan 22-23 September 1754 dan surat persetujuan [[Paku Buwono III]] maka pada 13 Maret [[1755]] ditandatangani '''Perjanjian di Giyanti'' yang kurang lebih poin-poinnya, seperti dikemukakan [[Soedarisman Poerwokoesoemo]], sebagai berikut:
 
Perundingan terpaksa dihentikan dan diteruskan keesokan harinya. Pada tanggal [[23 September]] [[1754]], akhirnya tercapai nota kesepahaman bahwa Pangeran Mangkubumi akan memakai gelar [[sultan]] dan mendapatkan setengah bagian Kesultanan Mataram. Daerah pantai utara Jawa atau daerah ''pasisiran'' yang telah diserahkan pada VOC akan tetap dikuasai oleh VOC, dan setengah bagian ganti rugi atas penguasaan tersebut akan diberikan kepada Mangkubumi. Selain itu, Mangkubumi juga akan memperoleh setengah pusaka-pusaka istana. Nota kesepahaman tersebut kemudian disampaikan kepada [[Pakubuwana III]]. Pada tanggal [[4 November]] [[1754]], [[Pakubuwana III]] menyampaikan surat kepada [[Gubernur Jenderal]] [[VOC]], [[Jacob Mossel]], mengenai persetujuannya tehadap hasil perundingan antara Hartingh dan Pangeran Mangkubumi.
 
Berdasarkan perundingan yang dilakukan pada tanggal 22-23 September [[1754]] dan surat persetujuan [[Pakubuwana III|Sunan Pakubuwana III]], maka pada tanggal [[13 Februari]] [[1755]] ditandatanganilah '''Perjanjian di Giyanti'''.<ref>{{Cite book|title=Sejarah Indonesia Modern|last=Ricklefs|first=M.C.|publisher=Gadjah Mada University Press|year=1991|location=Yogyakarta}}</ref>
 
== Isi perjanjian ==
"Pasal 1
 
[[Berkas:Jawa Setelah Perjanjian Giyanti.png|jmpl||300px|Peta pembagian Mataram pada tahun [[1757]], sebagai hasil dari Perjanjian Giyanti dan [[Perjanjian Salatiga]].]]
Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai '''Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah''' di atas separo dari Kerajaan Mataram, yang diberikan kepada beliau dengan hak turun temurun pada warisnya, dalam hal ini '''Pangeran Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro'''.
 
Secara garis besar isi Perjanjian Giyanti adalah membagi Kesultanan Mataram menjadi dua bagian, yakni [[Kesunanan Surakarta]] di bawah kepemimpinan [[Pakubuwana III|Sunan Pakubuwana III]] dan [[Kesultanan Yogyakarta]] di bawah kepemimpinan Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar [[Hamengkubuwana I|Sultan Hamengkubuwana I]]. Sebelumnya, [[Keraton Surakarta]] telah berdiri terlebih dahulu pada kurun waktu kekuasaan [[Pakubuwana II|Sunan Pakubuwana II]] sebagai pengganti [[Keraton Kartasura]] yang hancur lantaran serangan orang-orang Tionghoa di bawah kepemimpinan [[Amangkurat V|Sunan Amangkurat V]].<ref> {{cite journal|title= Keruntuhan Birokrasi Tradisional di Kasunanan Surakarta|author= Muhammad Anggie Farizqi Prasadana, Hendri Gunawan|journal= Handep|volume= 2|number= 2|year= 2019|issn= 2614-0209|page= 190|url= http://handep.kemdikbud.go.id/index.php/handep/article/view/36}} </ref>
 
Perjanjian Giyanti memuat 10 pasal, antara lain:<ref> {{cite book|title= Kadipaten Pakualaman|author= Soedarisman Poerwokoesoemo|publisher= Gadjah Mada University Press|year= 1985}} </ref><ref>{{Cite book|last=Asmorojati|first=Anom Wahyu|date=2020-11-18|url=https://books.google.co.id/books?id=ZPAUEAAAQBAJ&lpg=PA143&ots=gfWJdGR6v_&dq=JJ%20Steenmulder&hl=id&pg=PA142#v=onepage&q=JJ%20Steenmulder&f=false|title=Hukum Pemerintahan Daerah dan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Bingkai NKRI|publisher=UAD Press|isbn=978-602-0737-82-9|pages=142-143|language=id|url-status=live}}</ref>
 
=== Pasal 21 ===
Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengkubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah di atas separuh dari Kesultanan Mataram yang diberikan kepada beliau dengan hak turun-temurun pada pewarisnya, dalam hal ini Pangeran Adipati Anom Bandara Raden Mas Sundara.
 
=== Pasal 2 ===
Akan senantiasa diusahakan adanya kerjasama antara rakyat yang berada dibawah kekuasaan Kumpeni dengan rakyat Kasultanan.
Akan senantiasa diusahakan adanya kerja sama antara rakyat yang berada di bawah kekuasaan VOC dengan rakyat kesultanan.
 
=== Pasal 3 ===
Sebelum Pepatih Dalem (''Rijksbestuurder'') dan para bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada VOC di tangan gubernur. Pepatih Dalem adalah pemegang kekuasaan eksekutif sehari-hari dengan persetujuan dari [[residen]] atau [[gubernur]].
 
=== Pasal 4 ===
Sri Sultan tidak akan mengangkat atau memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati sebelum mendapatkan persetujuan dari VOC.
 
=== Pasal 35 ===
Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang memihak VOC dalam peperangan.
 
=== Pasal 6 ===
Sebelum Pepatih Dalem (''Rijks-Bestuurder'') dan para Bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada Kumpeni di tangan Gubernur.
Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas [[Pulau Madura]] dan daerah-daerah pesisiran yang telah diserahkan oleh [[Pakubuwana II|Sri Susuhunan Pakubuwana II]] kepada VOC dalam kontraknya tertanggal [[18 Mei]] [[1746]]. Sebaliknya, VOC akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan sebesar 10.000 real tiap tahunnya.
 
=== Pasal 7 ===
Sri Sultan akan memberi bantuan kepada [[Pakubuwana III|Sri Susuhunan Pakubuwana III]] sewaktu-waktu jika diperlukan.
 
=== Pasal 8 ===
Sri Sultan berjanji akan menjual bahan-bahan makanan dengan harga tertentu kepada VOC.
 
=== Pasal 49 ===
Sultan berjanji akan menaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara penguasa Mataram terdahulu dengan VOC, khususnya perjanjian-perjanjian yang dilakukan pada tahun [[1705]], [[1733]], [[1743]], [[1746]], dan [[1749]].
 
=== Penutup ===
Sri Sultan tidak akan mengangkat/memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati, sebelum mendapatkan persetujuan dari Kumpeni.
Perjanjian ini dari pihak VOC ditandatangani oleh N. Hartingh, W. H. van Ossenberch, J. J. Steenmulder, C. Donkel, dan W. Fockens.
 
== Polemik ==
 
Perjanjian Giyanti belum mengakhiri konflik yang sedang terjadi, karena dalam perjanjian ini kelompok Pangeran Sambernyawa tidak diikutsertakan. Seperti yang diketahui, dalam Perjanjian Giyanti, [[Pangeran Sambernyawa]] adalah rival [[Pangeran Mangkubumi]] untuk menjadi penguasa Mataram. Perjanjian Giyanti merupakan bentuk persekongkolan untuk mengalahkan pemberontak, yaitu Pangeran Sambernyawa. Karena itu, Perjanjian Giyanti dilaksanakan dengan tujuan membangun aliansi kekuatan baru untuk menumpas pemberontak dan mengurangi kekuatan pemberontak dengan menggandeng salah satu kekuatannya.
 
Di sisi lain, Perjanjian Giyanti hanya merundingkan tentang wilayah yang diterima tanpa membagi identitas kebudayaan, sehingga kedua keraton saling mengakui budaya peninggalan Kesultanan Mataram. Pembagian dasar kebudayaan kedua keraton baru dirundingkan dua hari setelah Perjanjian Giyanti, dimana perjanjian pembagian tersebut dikenal dengan [[Perjanjian Jatisari]].<ref name="talk"/>
Pasal 5
 
== Referensi ==
Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang selama dalam peperangan memihak Kumpeni.
 
=== Kutipan ===
 
{{reflist|2}}
 
=== Sumber ===
Pasal 6
 
*{{cite book|last=Brown|first=Colin|year=2003|title=A Short History of Indonesia: The Unlikely Nation?|location=Crows Nest, Australia|publisher=Allen & Unwin|isbn=978-1-86508-838-9|url=https://books.google.com/books?id=uGrIdxXzupYC}}
Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas pulau [[Madura]] dan daerah-daerah pesisiran, yang telah diserahkan oleh Sri Sunan [[Paku Buwono II]] kepada Kumpeni dalam ''Contract''-nya pada tanggal 18 Mei [[1746]]. Sebaliknya Kumpeni akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan 10.000 real tiap tahunnya.
*{{cite book|editor-last1=Frederick|editor-first1=William H.|editor-last2=Worden|editor-first2=Robert L.|year=1993|title=Indonesia: A Country Study|location=Washington|publisher=GPO for the Library of Congress|url=http://countrystudies.us/indonesia/}}
*{{cite book|last=Pigeaud|first=Theodore Gauthier Th.|year=1967|title=Literature of Java: Synopsis of Javanese Literature, 900-1900 A.D.|location=The Hague|publisher=Martinus Nijhoff|url=https://books.google.com/books?id=70DgAAAAMAAJ}}
*{{cite journal|last=Ricklefs |first=Merle Calvin |title=The crisis of 1740–1 in Java: the Javanese, Chinese, Madurese and Dutch, and the Fall of the Court of Kartasura |journal=Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde |volume=139 |issue=2/3 |year=1983 |pages=268–290 |doi=10.1163/22134379-90003445}}
{{refend}}
 
== Bacaan lanjutan ==
 
* [[M.C. Ricklefs]]. [[1991]]. ''Sejarah Indonesia Modern''. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
* Purwadi. [[2007]]. ''Sejarah Raja-Raja Jawa''. Yogyakarta: Media Ilmu.
 
{{DEFAULTSORT:Giyanti}}
 
[[Kategori:Traktat yang melibatkan Hindia Belanda]]
Pasal 7
[[Kategori:Peristiwa 1755]]
 
[[Kategori:Sejarah Kota Surakarta]]
Sri Sultan akan memberi bantuan pada Sri Sunan [[Paku Buwono III]] sewaktu-waktu diperlukan.
[[Kategori:Sejarah Yogyakarta]]
 
[[Kategori:Sejarah Jawa]]
 
 
Pasal 8
 
Sri Sultan berjanji akan menjual kepada Kumpeni bahan-bahan makanan dengan harga tertentu.
 
 
 
Pasal 9
 
Sultan berjanji akan mentaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara raja-raja [[Mataram]] terdahulu dengan Kumpeni, khususnya perjanjian-perjanjian [[1705]], [[1733]], [[1743]], [[1746]], [[1749]].
 
 
 
Perjanjian ini dari pihak VOC ditanda tangani oleh ''N. Hartingh'', ''W. van Ossenberch'', ''J.J. Steenmulder'', ''C. Donkel'', dan ''W. Fockens''. "
 
 
 
Perlu ditambahkan Pepatih Dalem (''Rijks-Bestuurder/Chief of Administration Officer'') dengan persetujuan residen/gubernur adalah pemegang kekuasaan eksekutif sehari hari yang sebenarnya (bukan di tangan Sultan).
 
 
 
== Badai belum berlalu ==
 
Perjanjian Giyanti belum mengakhiri kerusuhan karena kelompok [[Pangeran Sambernyawa]] (Raden Mas Said) masih terus melakukan perlawanan terhadap Pakubuwana III. Latar belakang perjanjian ini pada waktu selanjutnya diabadikan dalam bentuk [[babad]] yang dinamakan ''[[Babad Giyanti]]''.
 
[[Kategori: Sejarah Indonesia]]
 
[[en:Treaty of Giyanti]]