Adipati Kuningan: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Nding masku (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan |
RaFaDa20631 (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan |
||
(19 revisi perantara oleh 11 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
'''Adipati Kuningan''', terlahir dengan nama '''Suranggajaya''', adalah penguasa wilayah sekitar [[Kabupaten Kuningan]] yang hidup dan memerintah pada masa penyebaran [[Islam]] di [[Cirebon]] ([[Jawa Barat]]) di abad ke-16 M. Ia adalah putra [[Ki Gedeng Luragung]] (seorang kepala daerah di [[Luragung, Kuningan|Luragung]]) yang bernama asli Jayaraksa. Jayaraksa juga memiliki saudara laki-laki yang memimpin daerah [[Winduherang, Cigugur, Kuningan|Winduherang]] bernama Bratawiyana atau Bratawijaya yang dijuluki [[Ki Gedeng Kamuning]] atau Arya Kamuning. Keduanya merupakan putra raja [[Kerajaan Sunda|Sunda]] [[Surawisesa]], juga cucu dari [[Sri Baduga Maharaja|Prabu Siliwangi]] dan Nyi Kentring Manik Mayang Sunda.
== Hubungan dengan Cirebon ==
Ketika [[Sunan Gunung Jati]] menyebarkan agama Islam, di antaranya sampai pula ke Luragung, ia disusul kedatangannya ke Luragung oleh istrinya bernama putri Ong Tien (asal [[Campa]]) yang juga bernama Nyai Rara Sumanding. Ketika itu sang istri sedang mengandung tua, dan di Luragung pulalah akhirnya Nyai Rara Sumanding melahirkan anak. Namun sayang putra yang baru dilahirkannya itu meninggal dunia. Untuk mengobati hati ia yang sedang berduka itu, kemudian Sunan Gunung Jati meminta kepada Ki Gedeng Luragung untuk memungut putranya yang kebetulan masih bayi untuk diangkat anak oleh Sunan Gunung Jati. Anak tersebut namanya Suranggajaya.
Dalam cerita rakyat Kuningan versi lainnya yang berbau mitos menyebutkan bahwa yang dilahirkan oleh Nyai Rara Sumanding bukanlah anak, tetapi sebuah bokor yang terbuat dari logam Kuningan. Bokor Kuningan inilah yang nantinya menjadi logo maskot Kota Kuningan, selain Kuda Kuningan. Juga ada yang menyebutkan bokor kuningan itu sebagai barang “panukeur” atawa “tutukeuranna” antara bayi dari Ki Gedeng Luragung yang ditukar dengan bokor kuningan dari Nyai Rara Sumanding. Cerita-cerita mitos ini memang banyak mewarnai dalam penelusuran sejarah Kuningan.
Setelah ke [[Luragung, Kuningan|Luragung]] perjalanan Sunan Gunung Jati diteruskan ke [[Winduherang, Cigugur, Kuningan|Winduherang]] (yang dulu diduga sebagai pusat pemerintahan [[Kerajaan Kuningan]] / [[Kajene]]) untuk menemui saudaranya Jayaraksa yaitu Bratawiyana yang rupanya telah lebih dulu masuk Islam. Sementara itu pemegang tampuk pemerintahan di Kerajaan Kuningan saat itu sedang diperintah oleh Nyai Ratu Selawati (putri Prabu Surawisesa). Ratu Selawati yang tadinya penganut [[Hindu]] menjadi penganut Islam setelah menikah dengan [[Syekh Maulana Arifin]] (putra dari [[Syekh Maulana Akbar]] putra Syekh Datuk Ahmad, sepupu [[Syekh Datuk Kahfi]]). Syekh Maulana Akbar sendiri adalah seorang ulama yang diduga asal [[Persia]] yang berhasil sampai ke Kuningan dan menyebarkan Islam di sana.
Kedatangannya ke Kuningan atas seijin Sunan Gunung Jati penguasa Kerajaan Islam Cirebon yang mulai tumbuh dan giat menyebarkan Islam. Kedatangan Syekh Maulana Akbar dapat dikatakan sebagai perintis penyebaran Islam ke Kuningan, sementara Sunan Gunung Jati lebih menyempurnakan lagi. Kurun waktu kedatangan Syekh Maulana Akbar menyebarkan Islam di Kuningan diperkirakan mulai terjadi tahun [[1450]]. Dari Pernikahan Syekh Maulana Arifin dengan Nyai Ratu Selawati dikaruniai putri Nyi Mas Kencanawati yang kemudian dinikahi oleh Adipati Kuningan keduanya merupakan cucu Prabu Surawisesa buyut [[Prabu Siliwangi]]
Ketika Sunan Gunung Jati sampai di [[Winduherang, Cigugur, Kuningan|Winduherang]], ia menitipkan putra angkatnya tersebut (Suranggajaya) untuk diasuh oleh Bratawiyana (Arya Kamuning). Selain itu Sunan Gunung Jati berpesan bahwa anak tersebut setelah dewasa kelak akan diangkat menjadi penguasa daerah Kuningan. Dalam masa pengasuhan Arya Kamuning ini bahkan anak yang dititipkan itu diberi nama panggilan Raden Kamuning, kiranya untuk lebih mendekatkan hubungan psikologis (batin) antara ayah (asuh) dengan putra (asuh)nya.
== Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari ==
Dalam sumber berita Cirebon (CPCN/Carita Purwaka Caruban Nagari) dan buku karya P.S. Sulendraningrat bahkan disebutkan lagi bahwa bersamaan dengan mengasuh putra angkat Sunan Gunung Jati, sebenarnya Bratawiyana (Arya Kamuning) juga punya anak yang sedang sama-sama dibesarkan (seusia dengan Suranggajaya) yaitu ''Ewangga''. Tetapi di sumber lain menyebutkan bahwa tokoh Dipati Ewangga adalah seorang bangsawan yang asalnya dari Parahyangan ([[Cianjur]]) yang pada awalnya ingin berguru/belajar agama Islam kepada Sunan Gunung Jati, lalu oleh Sunan Gunung Jati diperintahkan untuk pergi ke Kuningan saja membantu putra angkatnya (yaitu Suranggajaya) dalam mengelola pemerintahan di Kuningan.yang jelas keberadaan tokoh ''Dipati Ewangga'' kiprahnya banyak diceriterakan sebagai tokoh “panglima” tentara Kuningan yang pernah ikut membantu Cirebon dan [[Mataram]] ketika menyerang Belanda di Batavia (sehingga ada nama perkampungan [[Kuningan, Jakarta Selatan|Kuningan]] di [[Jakarta]]).
Setelah dewasa, menginjak usia 17 tahun, akhirnya janji Sunan Gunung Jati mengangkat putranya menjadi penguasa di Kuningan pun dilakukan. Suranggajaya kemudian dilantik menjadi pemimpin Kuningan dengan julukan populernya Sang Adipati Kuningan. Titimangsanya konon bertepatan dengan tanggal [[1 September]] [[1478]], yang diperingati sebagai ''hari lahirnya kota Kuningan''.
Namun bila dilihat secara politis, sebenarnya sejak saat itu sebenarnya “Kerajaan” Kuningan telah jatuh. Tidak lagi sebagai kerajaan yang berdaulat penuh atau merdeka, tetapi terikat menjadi daerah bawahan [[Kerajaan Cirebon]]. Berarti kalau kita lihat eksistensi perjalanan Kerajaan Kuningan sejak zaman Hindu dari awal kelahirannya, bernama Kerajaan Kuningan (raja: Sang Pandawa) - Kerajaan Saunggalah (raja: Demunawan / Rahangtang Kuku / Seuweukarma) merupakan kerajaan berdaulat penuh. Kemudian dibawahkan oleh [[Kerajaan Galuh]] (raja: Rhy Banga), lalu muncul lagi dijadikan pusat pemerintahan oleh putra Rakeyan Darmasiksa, yaitu Prabu Ragasuci / Sang Lumahing Taman. Selanjutnya di bawah penguasaan Sunda Padjajaran oleh [[Prabu Siliwangi]]. Lalu muncul Kerajaan Kuningan dengan sebutan Kajene zaman Prabu Langlangbuana / Langlangbumi dan diturunkan kepada Ratu Selawati (kerajaan kecil di bawah pengaruh [[Kerajaan Sunda]] [[Pajajaran]]), dan akhirnya ketika diperintah Sang Adipati Kuningan, pemerintahan kerajaan jatuh di bawah pengaruh Kerajaan Cirebon.
== Referensi ==
# [https://aditya69.wordpress.com/2010/10/13/silsilah-sang-adipati-kuningan/ Sejarah Kuningan] Oleh Adiyta guru [[SMA Negeri 1 Kuningan]]
# [http://www.kuningankab.go.id/sekilas-kuningan/kilas-sejarah Pemerintah Kabupaten Kuningan] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20140620033000/http://kuningankab.go.id/sekilas-kuningan/kilas-sejarah |date=2014-06-20 }} Situs resmi Kabupaten Kuningan
# [http://dodi-nurdjaja.blogspot.com/2013/06/untold-story-arya-kemuning-pangeran.html Untold story Arya Kemuning] oleh [https://www.facebook.com/dodi.nurdjaja Dodi Nurdjaja]
# Sejarah Kecamatan Cibingbin/Desa Cibingbin Kabupaten Kuningan—Oleh: Raya Langit Rokibbah
#
{{DEFAULTSORT:Adipati_Kuningan - Ki Suranggadipa Cibingbin}}
[[Kategori:Kabupaten Kuningan]]
[[Kategori:Sejarah Jawa Barat]]
|