Suku Badui: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Ayah hafeedz (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(227 revisi antara oleh lebih dari 100 100 pengguna tak ditampilkan)
Baris 1:
{{no footnotes|date=Juli 2021}}
{{Ethnic group|
{{Ethnic group |
|group=Kanekes<br />Baduy/Badui
|group =Orang Badui
|image = [[Berkas:Baduy-erin014-25.jpg|220px]]
|native_name = {{small| ''Urang Kanékés''}}
|image_caption = Keluarga Kanekes
|image = Raiyani Muharramah-Pakaian badui luar DSCF2964.jpg
|poptime= 5.000 - 8.000
|caption = Kelompok suku Badui luar
|popplace= [[Banten]], [[Indonesia]]
|poptime =
|langs= Dialek Baduy dari [[Bahasa Sunda|Sunda]]
|region =[[Kabupaten Lebak]]
|rels= [[Hinduisme]] ([[Sunda Wiwitan]]), [[Islam]], [[Buddha]] ([[Minoritas]])
|relatedlangs =[[SukuBahasa SundaBadui|Bahasa Sunda Badui]]
|rels = {{•}} 99% [[Berkas:Kembang Cakra Symbol.svg|17px]] [[Sunda Wiwitan]]<br>{{•}} 1% [[Berkas:Allah-green.svg|15px]] [[Islam|Islam Sunni]]
}}
|related =[[Suku Banten|Sunda Banten]]{{•}}[[Suku Sunda|Sunda Priangan]]
'''Orang Kanekes''' atau '''orang Baduy'''/'''Badui''' adalah suatu kelompok masyarakat adat [[orang Sunda|Sunda]] di wilayah [[Kabupaten Lebak]], [[Banten]]. Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan [[isolasi]] dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan [[tabu]] untuk difoto.
|population=|region1=[[Banten]]|pop1={{circa}} 26.000 jiwa}}
'''Suku Badui''' {{aka}} '''Sunda Badui''' ([[Bahasa Badui]]: '''''Urang Kanékés''''', '''''Urang Cibéo''''',{{Efn|Tergantung wilayah yang mereka tinggali.}} atau kadang hanya sering disebut '''Badui''', terkadang ditulis secara tidak baku sebagai '''Baduy''')<ref name="Hasil Pencarian - KBBI Daring">{{Cite web|url=https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Badui|title=Hasil Pencarian - KBBI Daring|website=kbbi.kemdikbud.go.id}}</ref> merupakan sekelompok masyarakat adat [[Suku Sunda|Sunda]] di wilayah pedalaman [[Kabupaten Lebak]], [[Banten|Provinsi Banten]]. Populasi mereka sekitar 26.000 orang, mereka merupakan salah satu kelompok masyarakat yang menutup diri mereka dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan [[tabu]] untuk didokumentasikan, khususnya penduduk wilayah [[Badui Dalam]].
 
Suku Badui termasuk sub-suku dari [[suku Sunda]], mereka dianggap sebagai masyarakat [[Suku Sunda|Sunda]] yang belum terpengaruh [[modernisasi]] atau kelompok yang hampir sepenuhnya terasing dari dunia luar.
 
Masyarakat Badui menolak istilah "[[Pariwisata|wisata]]" atau "[[pariwisata]]" untuk mendeskripsikan kampung-kampung mereka. Sejak 2007, untuk mendeskripsikan wilayah mereka serta untuk menjaga kesakralan wilayah tersebut, masyarakat Badui memperkenalkan istilah "[[Saba Budaya Badui]]", yang bermakna "Silaturahmi Kebudayaan Badui".<ref>{{Cite news|date=2020-07-20|title=Saba Budaya Baduy Gantikan Wisata Baduy, Apakah Itu?|url=https://travel.kompas.com/read/2020/07/20/150600227/saba-budaya-baduy-gantikan-wisata-baduy-apakah-itu-|work=[[Kompas.com]]|language=id|access-date=2021-08-07|editor-last=Cahya|editor-first=Kahfi Dirga}}</ref>
<!-- BUTUH UPDATE KHUSUS
== Demografi ==
Berdasarkan [[Sensus Penduduk Indonesia 2010|Sensus Penduduk tahun 2010]] oleh [[Badan Pusat Statistik]] [[Indonesia]], [[Baduy|Suku Badui]] bersama [[Suku Banten]] dikelompokan ke dalam ''Suku asal Banten'' dengan perkiraan estimasi total jumlah '''4.657.784''' jiwa. -->
 
== Etimologi ==
Sebutan "BaduyBadui" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti [[Belanda]] yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok [[Suku Badui (Arab)|Arab Badawi]] yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah ([[nomaden]]). Kemungkinan lain adalah karena adanya [[Sungai BaduyBadui]] dan [[Gunung BaduyBadui]] yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai ''[[urang Kanekes]]'' atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti ''[[Urang Cibeo]]'' (Garna, 1993).
 
Berdasarkan [[Kamus Besar Bahasa Indonesia]], penulisan yang tepat adalah "Badui", bukan "Baduy".<ref name="Hasil Pencarian - KBBI Daring"/>
 
== Wilayah ==
[[Berkas:Rumah Tradisional Warga Baduy Luar 2.jpg|jmpl|Bangunan rumah adat warga Badui Luar]]
Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20&nbsp;°C.
Suku Badui bermukim di wilayah di [[Kanekes, Leuwidamar, Lebak|Desa Kanekes]], [[Leuwidamar, Lebak|Kecamatan Leuwidamar]], [[Kabupaten Lebak]]. Permukimannya terpusat di [[daerah aliran sungai]] pada [[Ci Ujung|sungai Ciujung]] yang termasuk dalam wilayah Cagar Budaya [[Pegunungan Kendeng]].<ref>{{Cite book|last=BPS Provinsi Banten|date=2019|url=https://dmsppid.bantenprov.go.id/upload/dms/52/buku-pbda-2019-final.pdf|title=Pariwisata Banten dalam Angka Tahun 2019|publisher=Dinas Pariwisata Provinsi Banten|pages=51|url-status=live}}</ref> Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng yang berjarak sekitar 40&nbsp;km dari Ibu Kota Kabupaten Lebak, yaitu [[Rangkasbitung|Kecamatan Rangkasbitung]]. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20&nbsp;°C.{{Butuh rujukan}}
 
Tiga desa utama (Tangtu Telu) orang Kanekes Dalam adalah [[Cikeusik (Kanekes)|Cikeusik]], [[Cikertawana]], dan [[Cibeo]].{{Butuh Ketiga desa ini lajim disebut sebagai Baduy Jero (dalam), sadangkan yang di luar di sebut Panampingrujukan}}
 
== Bahasa ==
Bahasa yang mereka gunakan adalah [[Bahasa Badui|bahasa Sunda]] dialek Sunda–BantenBadui]]. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
 
Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era [[SuhartoSoeharto]] pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut. Akibatnya,Namun mayoritas orangmasyarakat Kanekes tidakmemiliki dapatcaranya sendiri untuk belajar serta mengembangkan wawasan mereka hingga sepadan dengan masyarakat di membacaluar atausuku menulisBadui.
 
== Kelompok masyarakat ==
[[Berkas:Kanekes people, 28-11-2010.jpg|jmpl|Orang Kanekes pada tahun [[2010]]]]
Orang Kanekes masih memiliki hubungan sejarah dengan [[orang Sunda]]. Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam.
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu ''tangtu'', ''panamping'', dan ''dangka'' (Permana, 2001).
 
Kelompok ''tangtu'' adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Badui Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua (warna [[tarum]]) serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing.
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu ''tangtu'', ''panamping'', dan ''dangka'' (Permana, 2001).
 
Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.
Kelompok ''tangtu'' adalah kelompok yang dikenal sebagai [[Baduy Dalam|Kanekes Dalam]] (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing.
 
Sebagian peraturan yang dianut oleh Orang Kanekes Dalam antara lain:
Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.
 
Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
* Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
* Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
* Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang ''Pu'un'' atau ketua adat)
* Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
* Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
 
Kelompok masyarakat kedua yang disebut ''panamping'' adalah mereka yang dikenal sebagai [[Baduy Luar|Kanekes Luar]] (BaduyBadui Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.biru gelap (warna [[tarum]]).
 
Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari [[adat]] dan wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:
 
* Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.
* Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
Baris 48 ⟶ 61:
 
Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar
 
* Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga Kanekes, termasuk warga Kanekes Luar. Mereka menggunakan peralatan tersebut dengan cara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan pengawas dari Kanekes Dalam.
* Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik.
* Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
* Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
* Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
* Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.
* Sebagian di antara mereka telah terpengaruh dan berpindah agama.
 
Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam ''buffer zone'' atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).
 
== Asal- usul ==
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Afgevaardigden van de Badui (oftewel Kanekes) bevolking TMnr 60016564.jpg|thumbka|rightjmpl|300px300x300px|Delegasi Kanekes sekitar tahun 1920]]
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes, mempunyai tugas bertapa atau ''asketik'' (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
 
Pendapat mengenai asal- usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan [[Kerajaan Sunda]] yang sebelum keruntuhannya pada [[abad ke-16]] berpusat di [[Pakuan Pajajaran]] (sekitar [[Bogor]] sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat [[pulau Jawa]] ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk UmumUmun menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
 
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang BaduyBadui merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara ''kabuyutan'' (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. ''Kebuyutan'' di daerah ini dikenal dengan ''kabuyutan'' Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (''wiwitan''=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah [[RakeyanSunda DarmasiksaWiwitan]].
[[Berkas:Baduy van de residentie Banten, West-Java, Jannes Theodorus Bik (attributed to), c. 1816 - c. 1846.jpg|jmpl|264x264px|Lukisan seorang Badui di [[Rijksmuseum]] [[Amsterdam]] sekitar tahun 1816 - 1846]]
<!-- tanpa sumber disembunyikan dulu
Ada versi lain dari sejarah suku Kanekes, dimulai ketika Kian Santang putra prabu siliwangi pulang dari arabia setelah berislam di tangan sayyidina Ali. Sang putra ingin mengislamkan sang prabu beserta para pengikutnya. Di akhir cerita, dengan 'wangsit siliwangi' yang diterima sang prabu, mereka berkeberatan masuk islam, dan menyebar ke penjuru sunda untuk tetap dalam keyakinannya. Dan Prabu Siliwangi dikejar hingga ke daerah lebak (baduy sekarang), dan bersembunyi hingga ditinggalkan. Lalu sang prabu di daerah baduy tersebut berganti nama dengan gelar baru Prabu Kencana Wungu, yang mungkin gelar tersebut sudah berganti lagi. Dan di baduy dalamlah prabu siliwangi bertahta dengan 40 pengikut setianya, hingga nanti akan terjadi perang saudara antara mereka dengan kita yang diwakili oleh ki saih seorang yang berupa manusia tetapi sekujur tubuh dan wajahnya tertutupi oleh bulu-bulu laiknya monyet.dan ki saih ini kehadirannya di kita adalah atas permintaan para wali kepada Allah agar memenangkan kebenaran.
-->
 
== Kepercayaan ==
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai ajaran [[Sunda Wiwitan]], ajaran leluhur turun temurun yang berakar pada pemujaanpenghormatan kepada arwah''karuhun'' nenekatau moyangarwah ([[animismeleluhur]]) yangdan padapemujaan perkembangankepada selanjutnyaroh jugakekuatan dipengaruhi olehalam ([[agama Buddha]], [[Hinduanimisme]], ). IntiMeskipun kepercayaansebagian tersebutbesar ditunjukkanaspek denganajaran adanyaini pikukuhadalah atauasli ketentuantradisi adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehariturun-haritemurun, orangpada Kanekesperkembangan (Garna,selanjutnya 1993).ajaran Isileluhur terpentingini darijuga 'pikukuh'sedikit (kepatuhan)dipengaruhi Kanekesoleh tersebutbeberapa adalahaspek konsepajaran "tanpa[[Hindu]], perubahan[[Agama apa pun"Buddha|Buddha]], ataudan perubahandi sesedikitkemudian mungkin:dari ajaran [[Islam]].
 
Bentuk penghormatan kepada roh kekuatan alam ini diwujudkan melalui sikap menjaga dan melestarikan alam; yaitu merawat alam sekitar (gunung, bukit, lembah, hutan, kebun, mata air, sungai, dan segala ekosistem di dalamnya), serta memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada alam, dengan cara merawat dan menjaga hutan larangan sebagai bagian dalam upaya menjaga keseimbangan alam semesta. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin:
:''Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.''
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
 
: ''Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung'' (panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung).
[[Tabu]] tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang [[pertanian]], bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan [[bajak]], tidak membuat [[terasering]], hanya menanam dengan [[tugal]], yaitu sepotong [[bambu]] yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
 
[[Tabu]] tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang [[pertanian]], bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan [[bajak]], tidak membuat [[terasering]], hanya menanam dengan [[tugal]], yaitu sepotong [[bambu]] yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes sering kali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
 
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah [[Arca Domas]], yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima'', yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli''. Hanya ''Pu'un'' atau ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).
Baris 80 ⟶ 94:
 
== Pemerintahan ==
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai ''jaro pamarentah'', yang ada di bawah [[camat]], sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "Pu'un".
[[Berkas:Struktur pemerintahan baduy.gif|pus|jmpl|Struktur pemerintahan Kanekes]]
 
[[Berkas:Struktur pemerintahan baduy.gif|thumb|center|Struktur pemerintahan Kanekes]]
 
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di tiga kampung ''tangtu''. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan ''Pu'un'' tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
 
== Mata pencaharian dan pemenuhan pangan ==
Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani [[budidayaPadi padi lahan keringgogo|padiPadi huma]]. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti [[durian]] dan [[asam keranji]], serta [[madu]] hutan. Bertani merupakan pekerjaan utama masyarakat Badui dan padi adalah tanaman utama yang dibudidayakan. Orang Badui menanam padi ladang atau ''ngahuma''. Mereka pantang menanam di sawah, sehingga tidak pernah menggunakan cangkul untuk mengolah tanah. Alat pertanian yang digunakan yaitu parang dan tunggak untuk memasukkan benih. Di ladang, orang Baduy akan menanam padi satu kali dalam setahun dengan benih lokal. Masa tanam hingga panen membutuhkan waktu selama lima bulan.<ref>{{Cite book|last=Arif|first=Ahmad|date=2021|title=Masyarakat Adat dan Kedaulatan Pangan|location=Jakarta|publisher=Kepustakaan Populer Gramedia|isbn=9786024814809|pages=251|url-status=live}}</ref>
 
== Interaksi dengan masyarakat luar ==
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya [[Kesultanan Banten]] yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan ''[[seba]]'' ke [[Kesultanan Banten]] (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati [[Kabupaten Lebak|Bupati Lebak]] di [[Rangkasbitung, Lebak|Kecamatan Rangkasbitung]]. Di bidang pertanian, penduduk Kanekes Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa-menyewa tanah, dan tenaga buruh.
 
Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara [[barter]], sekarang ini telah mempergunakan mata uang [[rupiah]] biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para [[tengkulak]]. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
 
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun, sampo atau odolsikat gigi dengan pasta gigi di sungai, tidak boleh membuang sampah sembarangan. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.
 
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Kanekes juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Kanekes sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
 
== Catatan ==
<references group="lower-alpha" responsive="1"></references>
 
== Rujukan ==
{{reflist}}
 
== Kepustakaan ==
* Adimihardja, K. (2000). Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia air pemelihara sungai, Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXIV, No. 61, Jan-Apr 2000, hal 47 – 59.
* Garna, Y. (1993). Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia, Editor: Koentjaraningrat & Simorangkir, Seri Etnografi Indonesia No.4. Jakarta: Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial dengan Gramedia Pustaka Utama.
* Iskandar, J. (1991). An evaluation of the shifting cultivation systems of the Baduy society in West Java using system modelling, Thesis Abstract of AGS Students, [http://216.239.33.104/search?q=cache:imZECmAZwHwJ:mccweb.agri.cmu.ac.th/gra]{{Pranala mati|date=Maret 2022 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}.
* Makmur, A. (2001). Pamarentahan Baduy di Desa Kanekes: Perspektif kekerabatan, [https://web.archive.org/web/20071113005030/http://www.geocities.com/puslitmasbud_unpad/ARTIKEL_PAMARENTAHAN_BADUY.htm].
* Nugraheni, E. & Winata, A. (2003). Konservasi lingkungan dan plasma Nutfah menurut kearifan tradisional masyarakat kasepuhan Gunung Halimun, Jurnal Studi Indonesia, Volume 13, Nomor 2, September 2003, halaman 126-143.
* Permana, C.E. (2001). Kesetaraan gender dalam adat inti jagat Baduy, Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
* Permana, C.E. (2003). Arca Domas Baduy: Sebuah referensi arkeologi dalam penafsiran ruang masyarakat megalitik, Indonesian Arheology on the Net, [http://www.arkeologi.net/index1.php?id=view_news&ct_news=238]
* Permana, C.E. (2003). Religi dalam tradisi bercocok tanam sederhana, Indonesian Arheology on the Net, [httphttps://www.arkeologifappin.netcom/ilmu-pelet-dan-pengasihan-dari-suku-baduy-banten-dalam/index1.php?id=view_news&ct_news=45]
* Ascher, Robert, 1971 Analogy in Archaeological Interpretation, dalam James Deetz (ed.) Mans Imprint from the Past. Boston: Little Brown. Hal: 262271.
* Danasasmita, Saleh dan Anis Djatisunda,., 1986 Kehidupan Masyarakat Kanekes. Bandung: Sundanologi.
Baris 120 ⟶ 139:
* Permana, R. Cecep Eka, 1996 Tata Ruang Masyarakat Baduy. Tesis Antropologi Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
* Pleyte, C.M., 1909 Artja Domas, het zielenland der Badoejs. Tijdschrift voor Indishe Taal, land en Volkenkunde. LI:Afl. 6: 494-526.
* {{cite book|surname1=Sucipto|given1=Toto (Drs.)|surname2=Limbeng|given2=Julianus, S.Sn., M.Si.|year=2007|url=https://books.google.co.id/books?id=qgLFCgAAQBAJ&dq=bibliogroup%3A|title=Studi Tentang Religi Masyarakat Baduy di Desa Kanekes Provinsi Banten|place=Jakarta|publisher=Departemen Kebudayaan dan Pariwisata; Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film; Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa|isbn=|editor=Dra. Siti Maria|series=Seri pengungkapan nilai-nilai kepercayaan komunitas adat|ref=harv}}
* Tricht, B. van, 1929 Levende Antiquiteiten in West-Java. Djawa IX: 43-120.
* {{Cite book|last=Rahardjo|first=D.M.|first2=Y.S.|last3=Rahayu|year=2002|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/10756/|title=Urang kanekes di Banten Kidul|location=Jakarta|publisher=Badan pengembangan kebudayaan dan pariwisata|oclc=993742641|ref=harv|url-status=live}}
 
== Lihat pula ==
* [[Amish|Orang Amish]] di AS yang sama-sama mengisolasi diri.
 
== Pranala luar ==
{{GambarLuar|[http://teweraut.multiply.com/photos/album/27/SITUS_MEGALITIK_ARCA_DOMAS Arca Domas]}}
 
* Zanten, W. van. [http://www.visitbaduyvillage.com/index.php/baduy-articles/29-the-life-of-kanekes/54-baduymusic Aspects of Baduy Music].
* Zanten, W. van. [http://www.visitbaduyvillage.com/index.php/baduy-articles/29-the-life-of-kanekes/54-baduymusic Aspects of Baduy Music] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20100821075623/http://visitbaduyvillage.com/index.php/baduy-articles/29-the-life-of-kanekes/54-baduymusic |date=2010-08-21 }}.
* [http://permenkaretmolor.multiply.com/journal/item/69/ARCA_DOMAS_BADUY Arca Domas Baduy]
* [http://permenkaretmolor.multiply.com/journal/item/69/ARCA_DOMAS_BADUY Arca Domas Baduy] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20110316230952/http://permenkaretmolor.multiply.com/journal/item/69/ARCA_DOMAS_BADUY |date=2011-03-16 }}
* {{en}} [http://visitbaduyvillage.com/baduy-villages/ Visit Baduy Village]
* (Indonesia) [https://www.anttour.id/blog/bersama-suku-baduy-yang-unik Bersama suku Baduy yang unik]
* {{en}} [http://www.balitouring.com/culture/baduy.html The Baduy People]
* (Indonesia) [https://cultura.id/bersinergi-dengan-alam-di-tanah-baduy Bersinergi Dengan Alam di Tanah Baduy]
 
{{authority control}}
{{DEFAULTSORT:Kanekes}}
 
[[Kategori:Suku bangsa di Indonesia]]
{{DEFAULTSORT:Badui, Suku}}
[[Kategori:Suku bangsa di Banten]]
[[Kategori:MasyarakatSuku adatSunda]]
[[Kategori:Kabuyutan Sunda]]
 
[[Kategori:Suku Badui| ]]
[[en:Baduy]]
[[fa:بدوئی]]
[[fr:Baduy]]
[[hr:Badui]]
[[jv:Wong Baduy]]
[[lt:Badujai]]
[[nl:Badui]]
[[ru:Бадуй]]
[[su:Baduy]]
[[uk:Бадуї]]