Tari Lumense: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Azrifin (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Yan29ti (bicara | kontrib)
Tag: pranala ke halaman disambiguasi
 
(16 revisi perantara oleh 10 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{tanpa_referensi|date=Maret 2013}}
Tari Lumense atau Tarian Lumense adalah tarian yang berasal dari [[Kabupaten Bombana]], [[Sulawesi Tenggara]]. Kata lumense sendiri berasal dari bahasa daerah setempat yakni lume yang berarti terbang dan mense yang berarti tinggi. Jadi, lumense bisa diartikan terbang tinggi. Tari lumense sendiri berasal dari kecamatan [[Kabaena]]. Suku Moronene merupakan penduduk asli dari wilayah ini. Nenek moyang suku ini adalah bangsa melayu tua yang dating dari hindia belakang pada zaman pra sejarah. Secara geografis, kecamatan kabaena merupakan pulau terbesar setelah buton dan Muna di Sulawesi tenggara. Menurut sejarah, dahulu kecamatan kabaena berada di bawah kekuasaan kerajaan Buton sehingga hubungan kekerabatan antara Kabaena dan buton pun sangat erat. Hal ini juga mempengaruhi perkembangan kebudayaan di wilayah Kabaena termasuk tari Lumense.
[[Berkas:Tari Lumense.jpeg|jmpl|Tarian Lumense yang di pertunjukkan di kaki gunung Sangia Wita, Desa Wisata Tangkeno dalam menyambut peserta Sail Indonesia 2015]]
'''Tari Lumense''' atau '''Tarian Lumense''' adalah tarian yang berasal dari [[Tokotu'a]], [[Kabupaten Bombana]], [[Sulawesi Tenggara]]. Kata lumense sendiri berasal dari bahasa daerah setempat yakni lume"lumee" yang berarti terbangMengais dan mensee'ense yang berarti tinggiLoncat. Jadi, lumense bisa diartikan terbangmengais tinggidengan meloncat-loncat. Tari lumense sendiri berasal dari kecamatan [[Kabaena]]. Suku Moronene merupakan penduduk asli dari wilayah ini. Nenek moyang suku ini adalah bangsa melayu tua yang dating dari hindia belakang pada zaman pra sejarah. Secara geografis, kecamatan kabaena merupakan pulau terbesar setelah buton dan Muna di Sulawesi tenggara. Menurut sejarah, dahulu kecamatan kabaena berada di bawah kekuasaan kerajaan Buton sehingga hubungan kekerabatan antara Kabaena dan buton pun sangat erat. Hal ini juga mempengaruhi perkembangan kebudayaan di wilayah Kabaena termasuk tari Lumense.
 
== Gerakan ==
Tari Lumense merupakan salah satu tradisi masyarakat [[Tokotu'a]] atau [[Kabaena]], [[Kabupaten Bombana]] dalam menyambut tamu pada pesta-pesta rakyat. Tarian ini dilakukan oleh kelompok perempuan yang berjumlah 12 orang, 6 orang berperan sebagai laki-laki dan 6 lainnya berperan sebagai permepuan. Para penari menggunakan busana adat [[TokotuaTokotu'a]] atau [[Kabaena]]. Untuk para penari yang berperan sebagai perempuan memakai rok berwarna merah maron dan atasan baju hitam. Baju ini disebut dengan taincombo dengan bagian bawah baju mirip ikan duyung. Untuk penari yang berperan sebagai laki-laki memakai taincombo yang dipadukan dengan selendang merah. Kelompok laki-laki memakai korobi (sarung parang dari kayu) yang disandang di pinggang sebelah kiri.
 
Tarian ini diawali dengan gerakan maju mundur, bertukar tempat kemudian membentuk konfigurasi huruf Z lalu berubah menjadi S, gerakan yang ditampilkan merupakan gerakan yang dinamis yang disebut moomani atau ibing. Klimaks dari tarian ini adalah ketika para penanari terus melakukan moomani kemudian menebaskan parang kepada pohon pisang, sampai pohon pisang itu jatuh bersamaan ke tanah. Penutup dari tarian ini adalah para penari membentuk konfigurasi setengah lingkaran sambil saling mengaitkan tangan lalu menggerakannya naik turun sambil mengimbangi kaki yang maju mundur. Tarian ini diiringi oleh musik yang berasal dari alat music gendang dan gong besar (tawa-tawa) dan gong kecil (ndengu-ndengu). Untuk mengiringi tarian ini hanya dibutuhkan tiga orang penabuh alat music tersebut sementara dalam memainkan tarian ini dibutuhkan beberapa anakan pohon pisang sebagai property pendukung.
 
== Asal usul ==
Tarian ini diawali dengan gerakan maju mundur, bertukar tempat kemudian membentuk konfigurasi huruf Z lalu berubah menjadi S, gerakan yang ditampilkan merupakan gerakan yang dinamis yang disebut moomani atau ibing. Klimaks dari tarian ini adalah ketika para penanari terus melakukan moomani kemudian menebaskan parang kepada pohon pisang, sampai pohon pisang itu jatuh bersamaan ke tanah. Penutup dari tarian ini adalah para penari membentuk konfigurasi setengah lingkaran sambil saling mengaitkan tangan lalu menggerakannya naik turun sambil mengimbangi kaki yang maju mundur. Tarian ini diiringi oleh musik yang berasal dari alat music gendang dan gong besar (tawa-tawa) dan gong kecil (ndengu-ndengu). Untuk mengiringi tarian ini hanya dibutuhkan tiga orang penabuh alat music tersebut sementara dalam memainkan tarian ini dibutuhkan beberapa anakan pohon pisang sebagai property pendukung.
Pada masa lalu Tari Lumense dilakukan dalam ritual pe-olia, yaitu ritual penyembahan kepada roh halus yang disebut kowonuano (penguasa/pemilik negeri). Lokasi untuk melakukan Tari Lumense adalah di tempat yang disebut "Tangkeno Mpeolia" yang terletak di kaki gunung Sangia Wita di Desa Wisata Tangkeno. Ritual ini dimaksudakan agar kowonuano berkenan mengusir segala macam bencana. Penutup dari ritual tersebut adalah penebasan pohon pisang.
 
Dulu, tidak sembarang orang yang dapat memainkan tarian ini, tapi berdasarkan garis keturunan yang disebut "Wolia". Saat tari dilakukan, penari mengalami kesurupan atau yang disebut dengan "wowolia" dan tak akan berhenti sampai semua pohon pisang ditebas, demikian juga dengan pemukul gendangnya harus berdasarkan garis keturunan. sejak islam masuk di Tokotu'a tari Lumense mulai dilarang terkait dengan persembahan terhadap roh halus. Sekarang ini Tarian Lumense yang sering dipertunjukkan adalah hasil dari "modifikasi" beberapa seniman Tokotu'a untuk melestarikan tarian tersebut walau dengan menghilangkan unsur "roh halus" termasuk gerakan-gerakannya dan sekarang lebih dikenal sebagai Tari Penyambutan
 
Dikisahkan oleh Ketua Lembaga Adat Moronene- Tokotu'a bapak Abdul Madjid Ege bahwa Zaman dahulu kala Kabaena diserang berbagai macam bencana alam dan penyakit yang tak kunjung bisa disembuhkan, kemudian seorang Pertapa setelah melakukan pertapaan selama berhari- hari di gunung Sangia Wita mendapatkan petunjuk dari "kowonuano" yang menuntunnya melakukan gerakan- gerakan "aneh" yang kemudian dikenal sebagai gerakan- gerakan dalam Tari Lumense. Olehnya itu Tarian Lumense dikategorikan sebagai tari yang "ditemukan" sehingga itu menjadi keunikan tersendiri dibanding tari-tarian lain yang pada umumnya "diciptakan" sebagai sarana hiburan.
Di masa lalu Tari Lumense dilakukan dalam ritual pe-olia, yaitu ritual penyembahan kepada roh halus yang disebut kowonuano (penguasa/pemilik negeri) dengan menyajikan aneka jenis makanan. Ritual ini dimaksudakan agar kowonuano berkenan mengusir segala macam bencana. Penutup dari ritual tersebut adalah penebasan pohon pisang. Tarian ini juga sering ditampilkan pada masa kekuasaan Kesultanan [[Buton]]. Seiring dengan perkembangan, fungsi tari Lumense pun mulai bergeser. Ada pendapat yang mengatakan bahwa tari Lumense bercerita tentang kondisi sosial masyarakat Kabaena saat ini. Corak produksi masyarakat Kabaena adalah bercocok tanam atau bertani, masyarakat masih melakukan pola tradisional yaitu membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Sementara parang yang dibawa oleh para pria menggambarkan para pria yang berprofesi sebagai petani. Simbol pohon pisang dalam tarian ini bermakna bencana yang bisa dicegah. Oleh karena itu klimaks dari tarian ini adalah menebang pohon pisang. Artinya, setelah pohon pisang tumbang bencana bisa dicegah.Kekinian tari Lumense sudah tidak lagi menjadi ritual pengusiran roh. Akan tetapi, tari Lumense masih dianggap memiliki nilai spiritual. Masyarakat setempat menganggap tari lumense adalah tari “ penyembuh”.
 
{{indo-tari-stub}}
{{Tarian di wilayah pulau Sulawesi|state=autocollapse}}
[[Kategori:Budaya Indonesia]]