Orang Indo: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
k Etnik |
||
(84 revisi perantara oleh 43 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{refimprove|date=Oktober 2018}}
{{ethnic group|
|group=Indo <
|image =COLLECTIE TROPENMUSEUM Portret van een Indo-Europese familie op Sumatra voor een wandkast of scherm TMnr 60011339.jpg
|caption = Keluarga Indo di Sumatra
|poptime=sekitar 1.000.000 di Indonesia (pendugaan), sekitar 500.000 di Belanda
|popplace=[[Belanda]], [[Indonesia]], [[Amerika Serikat]], [[Australia
|langs=[[Bahasa Belanda|Belanda]], [[Bahasa Indonesia|Indonesia]], [[Bahasa Pecok|Pecok]], [[Bahasa Javindo|Javindo]], [[Bahasa Melayu|Melayu]], [[Daftar bahasa di Indonesia|Bahasa Daerah di Indonesia]], [[Bahasa Inggris|Inggris]], [[Bahasa Portugis|Portugis]], [[bahasa Spanyol|Spanyol]], [[bahasa Jerman|Jerman]]
|rels='''Mayoritas'''<br>[[Kristen]] ([[Protestan]] terutama [[Lutheran]]; [[Katolik Roma]])<br>'''Minoritas'''<br>[[Islam]]
|related=[[Bangsa Belanda|Belanda]]
}}
{{Spoken Wikipedia|ORANG INDO wikipedia.ogg|12 Desember 2016}}
'''Orang
[[Perang Dunia Kedua]] dan sesudahnya menjadi titik awal [[diaspora]] bagi kaum Indo, sehingga saat ini keturunan mereka banyak dijumpai di Belanda, Indonesia, [[Amerika Serikat]] (AS), [[Australia]], [[Selandia Baru]], [[Kanada]], serta beberapa negara lain. Di Belanda, kaum Indo sekarang dianggap sebagai kelompok minoritas terbesar (total sekitar 500.000 orang). Mereka dikenal dengan beberapa istilah, seperti '''Indisch Nederlander''' atau '''Indisch''' saja. Secara budaya mereka berhubungan dekat dengan kelompok [[etnik Maluku di Belanda]]. Di AS mereka dikenal sebagai '''Dutch Indonesian''' atau '''Indonesian Dutch''' dan kebanyakan bermukim di [[California]]. Di Indonesia sendiri jumlah mereka sedikit dan kebanyakan keturunannya terintegrasi/melebur dengan berbagai kelompok etnis lain walaupun kebiasaan berbahasa Belanda masih dijalankan di dalam keluarga.
Istilah "orang Indo" dalam penggunaan [[bahasa Indonesia]] masa kini mengalami pergeseran arti dan dipakai secara taksa (ambigu). Sebutan ini juga digunakan untuk menyebut semua orang Indonesia — sebagai kependekan dari "orang Indonesia" — sekaligus juga untuk menyebut peranakan campuran orang Indonesia dengan bangsa lain, tanpa melihat latar belakang asal
== Sejarah ==
Baris 21 ⟶ 22:
=== Periode awal pembentukan: Era Portugis dan Spanyol (1500-1600) ===
Penjelajah dari [[Eropa]] mulai ramai datang ke [[Nusantara]] pada awal [[abad ke-16]], sebagai konsekuensi dari [[Zaman Penjelajahan]] (''Age of Exploration'') yang melanda Eropa.<ref>{{Cite book|last=Goor|first=Jurrien van|last2=Goor|first2=Foskelien van|date=2004|url=https://books.google.co.id/books?id=XORpOFX5o80C&lpg=PP1&pg=PA57#v=onepage&q&f=false|title=Prelude to Colonialism: The Dutch in Asia|location=|publisher=Uitgeverij Verloren|isbn=978-90-6550-806-5|pages=57|language=en|url-status=live}}</ref> Banyak di antara mereka yang tertarik untuk atau terpaksa menetap di negeri tujuan. Mereka adalah orang [[Portugis]] dan [[Spanyol]] beserta budak-budak mereka dari [[India]], [[Sri Lanka]], [[Malaka]], atau Nusantara bagian timur (seperti Maluku, Bali, atau Gowa/Bugis). Misi Eropa berdatangan karena bisnis dan perdagangan, namun ada pula yang menetap karena tugas keagamaan (misi). Cukup banyak yang kemudian menikah atau bahkan memiliki anak tanpa ikatan pernikahan dengan penduduk setempat, mengingat pendatang dari Eropa semuanya lelaki. Di [[Malaya]], keturunan mereka saat ini disebut sebagai '''Melayu Eropa'''. Di Indonesia, sisa-sisa dari masyarakat campuran ini dapat ditemukan di Maluku, Flores, Kampung Tugu ([[Cilincing, Jakarta Utara]]) serta Kampung Lamno Jaya, [[Aceh Barat]].
Walaupun periode relatif ini singkat, terdapat banyak warisan budaya masyarakat ini yang masih dapat dilihat hingga sekarang. Cara bergaul orang Portugis yang relatif terbuka dan tidak [[rasisme|rasis]] membuat budayanya banyak terserap secara mudah. Berbagai tanaman asal Amerika tropis, beberapa jenis kue (terutama bolu), sejumlah produk rumah tangga umum, serta berbagai permainan dan hiburan dari Eropa mulai dikenal masyarakat Nusantara melalui pendatang ini dan keturunannya. Laporan Belanda pada abad ke-19 bahkan menyatakan bahwa bahasa Portugis bahkan masih dipakai oleh orang-orang keturunan campuran Eropa (mestizo) di [[Batavia]]. Musik [[keroncong]] adalah bentuk musik dari masyarakat campuran warisan masa ini dan kelak menjadi salah satu penciri kultur Eropa-Indonesia
=== Menjadi kelas masyarakat tersendiri : Di bawah VOC (1600-1799) ===
Penulis sejarah Belanda, Vlekke, banyak menggambarkan peri kehidupan masyarakat Eropa-Indonesia pada abad ke-17 hingga ke-18.<ref name="Vlekke">Vlekke BHM 2008. ''Nusantara: Sejarah Indonesia.'' KP Gramedia Jakarta. Bab 9.</ref> Pada masa itu, orang berdarah Eropa terpusat di [[Batavia]] dengan jumlah tidak mencapai 10.000 orang, namun berkuasa. Kehidupan mereka sulit, terlihat dari banyaknya yang meninggal beberapa bulan setelah tinggal di Batavia. Praktis semua beragama Kristen. Bahasa yang mereka pakai adalah campuran [[bahasa Belanda|Belanda]], [[bahasa Portugis|Portugis]], dan [[bahasa Melayu|Melayu (Pasar)]].
Mereka dapat dipisahkan dalam dua kelompok: '''''trekkers''''' dan '''''blijvers'''''. ''Trekkers'' (atau masa kini disebut [[ekspatriat]]) adalah orang Eropa yang segera berkeinginan kembali ke Eropa setelah tugasnya selesai dan ''blijvers'' adalah mereka yang mampu beradaptasi, lalu menetap di Hindia Belanda. Blijvers ini banyak yang beristri orang setempat (dijuluki ''Nyai'', seperti dalam legenda [[Nyai Dasima]]) atau orang [[Tionghoa]]. Kedua kelompok ini juga berbeda orientasinya. Para trekkers cenderung mempertahankan nilai-nilai Eropa (barat) sehingga selalu eksklusif dan elitis, sementara para blijvers cenderung meleburkan diri ke dalam nilai-nilai lokal, meskipun mereka tetap merupakan representasi kultur Eropa. Namun
Mereka inilah yang menjadi inti masyarakat kelas menengah berciri kosmopolitan di Batavia pada masa itu. Orang-orang ini takut mandi, suka minum-minum (arak Batavia terkenal terbaik di seluruh Asia), dan suka bertaman. Contoh dari orang Eropa-Indonesia adalah [[Pieter Elberfeld]] (Erberfeld, menurut Vlekke<ref name="
Pengaruh VOC sebenarnya hanya kuat di Batavia, sebagian Jawa, serta di Maluku & Minahasa. Di wilayah-wilayah ini mulai muncul perbedaan kelas sosial berdasarkan warna kulit, meskipun belum dilembagakan secara hukum. Masyarakat Eropa dan keturunannya menempati kawasan terpisah dari kelompok lainnya. Di dalam masyarakat ini juga mulai terjadi segregasi. Kaum trekkers serta blijvers yang tidak memiliki darah campuran (disebut "Belanda totok") menganggap dirinya lebih "tinggi" daripada mereka yang memiliki darah campuran. Kaum campuran (''miesling'') ini biasanya dipekerjakan di kantor-kantor dagang untuk membantu tugas-tugas pencatatan atau lapangan. Pendidikan mereka kurang diperhatikan dan banyak bergaul dengan para budak. Sebagai akibatnya, mereka banyak menyerap budaya lokal dan kurang memiliki kemampuan ber[[bahasa Belanda]] yang memadai. Bahkan tercatat bahwa pada akhir abad ke-18 banyak keturunan Belanda/Eropa yang lebih fasih berbahasa kreol-Portugis atau Melayu Pasar daripada bahasa Belanda. Dari mereka ini kemudian muncul dialek bahasa Belanda yang khas: [[Indisch Nederlands]], dan sejenis bahasa kreol yang dikenal sebagai [[bahasa Pecok]].
=== Masa keemasan : Hindia
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Gezinsportret van een Europese vader een Indische moeder en vier kinderen TMnr 60019708.jpg|
Perubahan besar yang terjadi di Eropa pada awal abad ke-19 ([[perang Napoleon]]) dan diberlakukannya ''Cultuurstelsel'' oleh Gubernur Jenderal [[van den Bosch]] membuat orang Eropa-Indonesia mulai menyebar ke berbagai tempat di Nusantara, terutama di Jawa dan sebagian Sumatera, terutama sebagai untuk mengurus [[perkebunan]]-perkebunan. Banyak pendatang, sebagian besar berasal dari Belanda ditambah beberapa orang [[Jerman]] dan Inggris. Untuk pengaturan ketertiban hukum, pemisahan ke dalam tiga kelompok, ''[[Europeanen]]'' (orang Eropa), ''[[Vreemde Oosterlingen]]'' (Timur Asing), dan ''[[Inlanders]]'' (pribumi) diberlakukan semenjak 1854 (''Regeringsreglement'', "Undang-undang Administrasi Hindia") yang mempertegas pemisahan orang Eropa-Indonesia dari komponen masyarakat Indonesia lainnya. Ironisnya, walaupun undang-undang ini memasukkan kaum Eurasia ke dalam kelompok orang Eropa, tetapi mempertegas pula segregasi di dalam kalangan Europeanen, dan secara tidak langsung merugikan kalangan campuran. Ini terjadi karena mulai berdatangannya orang-orang dari Eropa (terutama Belanda) untuk berusaha. Akibatnya, kalangan "totok" (orang Eropa-Indonesia yang bukan campuran) mulai meningkat proporsinya dibandingkan kalangan campuran. Orang keturunan campuran (pada masa inilah istilah "Indo", kependekan dari Indo-Europeanen, mulai dipakai) seringkali dianggap lebih rendah oleh orang Eropa totok meskipun mereka dapat memiliki hak, privilese, dan kewajiban yang sama apabila ayahnya 'mengakui'nya sebagai orang Eropa.<ref name="vanderVeur">van der Veur, PW 2006. ''The lion and the gadfly. Dutch colonialism and thes spirit of E.F.E. Douwes Dekker''. KITLV Press. Leiden. Penulis buku ini pun adalah seorang Indo yang bermukim di Amerika Serikat.</ref> Sesuai aturan yang berlaku masa itu pula, Europeanen tidak dapat memiliki lahan secara pribadi, tetapi dapat menyewa dari orang pribumi. Di sisi lain, kaum Indo menurut aturan dibayar per jamnya lebih rendah daripada orang totok dan trekkers karena memiliki latar belakang pendidikan yang lebih rendah. Hal ini memunculkan ketidakpuasan di kalangan Indo.▼
▲Perubahan besar yang terjadi di Eropa pada awal abad ke-19 ([[perang Napoleon]]) dan diberlakukannya ''Cultuurstelsel'' oleh Gubernur Jenderal [[van den Bosch]] membuat orang Eropa-Indonesia mulai menyebar ke berbagai tempat di Nusantara, terutama di Jawa dan sebagian
Gerakan liberalisme membuat banyak orang Eropa-Indonesia mulai berasosiasi menurut ideologi, dan pada abad ke-20 menjadi pembangkit gerakan nasionalisme di Hindia-Belanda. Secara politis, orang Eropa-Indonesia pada awal abad ke-20 terpecah menjadi dua kelompok: mereka yang tetap ingin mempertahankan hubungan penuh dengan Belanda (kolonial) dan mereka yang memiliki aspirasi otonomi. Sejumlah orang Eropa dan Indo jelas-jelas mendukung [[Boedi Oetomo]], organisasi pergerakan bercorak nasionalis pertama. Orang-orang Indo maupun "totok" pun mulai terkonsolidasi. Pada tahun 1912 dibentuk [[Indische Partij]] (IP) oleh [[E.F.E. Douwes Dekker]] dengan dukungan banyak orang Eropa dengan tujuan kemerdekaan penuh bagi Hindia-Belanda. Organisasi radikal ini dibungkam setahun kemudian oleh pemerintahan Gubernur Jenderal [[A.W.F. Idenburg]] karena dianggap membahayakan koloni. Kalangan orang Indo mayoritas yang pro-Belanda kemudian mendirikan pula organisasi untuk menandingi radikalisme IP, yaitu [[Indo-Europees Verbond]] (IEV) pada tahun 1919 oleh [[Karel Zaalberg]]. IEV sangat didukung oleh pemerintah koloni dan segera menjadi fraksi dominan dalam [[Volksraad]] yang sudah berdiri pada tahun 1916.▼
▲Gerakan liberalisme membuat banyak orang Eropa-Indonesia mulai berasosiasi menurut ideologi, dan pada abad ke-20 menjadi pembangkit gerakan nasionalisme di Hindia
Pada tahun 1930 diketahui terdapat 246.000 orang Eropa-Indonesia (Europeanen), termasuk Indo. Jumlah ini mencakup sekitar 0,4% dari total 60,7 juta penduduk Hindia Belanda. Dari jumlah itu, 87% berkewarganegaraan Belanda. Seperempat dari warganegara Belanda ini lahir di Belanda.<ref name="cbs">Centraal Bureau voor de Statistiek 2003. ''Bevolkingstrends. Statistisch kwartaalblad over de demografie van Nederland''. Jaargang 51 – 1e kwartaal 2003. Heerlen/Voorburg. Nederland. hal. 58</ref>
=== Masa suram: Pendudukan Jepang dan Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1939-1950) ===
Sejak masa ini mulai terjadi emigrasi besar-besaran orang Eropa-Indonesia ke luar Indonesia.
Pada [[Perang Dunia Kedua]], orang Indo mengalami masa yang suram, baik yang tinggal di [[Eropa]] maupun [[Asia]]. Di [[Eropa]], [[Jerman Nazi]] menduduki banyak [[negara]] dan memusuhi mereka yang bukan "Arya" asli (Eropa asli).{{Butuh rujukan}} Selama Perang Dunia II, Koloni Eropa di Asia Tenggara, termasuk Hindia Belanda, diserang dan dianeksasi oleh [[Kekaisaran Jepang]].<ref>{{Cite web|last=|first=|date=|title=The Dutch East Indies Campaign 1941-1942|url=https://dutcheastindies.webs.com/index.html|website=dutcheastindies.webs.com|access-date=23 September 2020|archive-date=2019-04-10|archive-url=https://web.archive.org/web/20190410231954/https://dutcheastindies.webs.com/index.html|dead-url=yes}}</ref> Tentara Jepang memperlakukan penduduk jajahannya dengan kejam, terlebih-lebih orang-orang dari [[Eropa]] (termasuk Indo). Semua orang Eropa asli dimasukkan ke dalam [[kamp konsentrasi Jepang]],<ref>{{Cite book|last=Smith|first=Andrea L.|date=2003|url=https://www.jstor.org/stable/j.ctt46mxq8.4|title=Europe's Invisible Migrants|location=Amsterdam|publisher=Amsterdam University Press|isbn=978-90-5356-571-1|editor-last=Smith|editor-first=Andrea L.|pages=16|url-status=live}}</ref> sementara orang Indo yang dapat membuktikan hubungan kekerabatan dengan pribumi dikenakan pembatasan-pembatasan tertentu.<ref>{{Cite web|last=Croix|first=Humphrey de la|date=|title=World War II and Bersiap Period (1945-1949) {{!}} Buitenkampers: Ignored and Untold stories {{!}}|url=http://www.indischhistorisch.nl/tweede/oorlog-en-bersiap/world-war-ii-and-bersiap-period-1945-1949-buitenkampers-ignored-and-untold-stories/|website=www.indischhistorisch.nl|access-date=23 September 2020}}</ref> Anak laki-laki berusia 15 tahun ke atas dipisahkan dari ibunya dan dimasukkan ke dalam kamp bersama dengan laki-laki dewasa. Sementara itu, perempuan diasingkan bersama anak-anak di kamp perempuan.<ref>{{Cite news|last=|first=|date=19 October 2014|title=The forgotten women of the 'war in the East'|url=https://www.bbc.com/news/magazine-29665232|work=|newspaper=BBC News|language=en-GB|access-date=23 September 2020}}</ref> Semua laki-laki usia kerja [[Kerja paksa|dipaksa kerja]] tanpa dibayar.<ref>{{Cite web|last=|first=|date=|title=Information about the Prisoners of War of the Japanese 1939-1945|url=https://www.forces-war-records.co.uk/prisoners-of-war-of-the-japanese-1939-1945|website=www.forces-war-records.co.uk|access-date=23 September 2020|archive-date=2022-03-08|archive-url=https://web.archive.org/web/20220308184617/https://www.forces-war-records.co.uk/prisoners-of-war-of-the-japanese-1939-1945|dead-url=yes}}</ref>
Banyak di antara mereka yang dapat melarikan diri, pergi ke negara-negara seperti [[Amerika Serikat]], [[Inggris]] (salah satu negara Eropa yang tidak diduduki [[tentara]] [[Nazi]]), [[Australia]] (mengabaikan kebijakan ras- [[White Australia Policy]]), [[Selandia Baru]] dan [[Kanada]] karena mereka dapat diterima sebagai [[pelarian perang]].
Situasi sangat sulit dialami oleh mereka yang terkait dengan Jerman. Di periode awal (1939-1942) mereka ditangkapi oleh pemerintah Hindia Belanda dan diusir. [[Walter Spies]], seorang seniman terkenal, menjadi korban pada masa ini. Situasi agak membaik tetapi tetap buruk ketika Jepang masuk. Mereka dibebaskan (karena yang ditangkapi kemudian adalah orang-orang dari negara Sekutu, seperti Belanda, Inggris atau === Pasca-kemerdekaan Indonesia dan diaspora (1945-1965) ===
[[Berkas:Arrivalrotterdam.jpg|
Perlawanan [[Indonesia]] terhadap Belanda yang mencoba menguasai [[Indonesia]] kembali menimbulkan perasaan permusuhan di kalangan pribumi Indonesia terhadap mereka yang pro-Belanda. Mereka mencurigai siapa saja yang menyerupai orang [[Eropa]] (semua orang kulit putih dianggap pro-Belanda) atau yang mendukung penjajahan kembali. Orang Indo
Antara tahun 1945 dan 1965 diperkirakan terdapat 300.000 orang Belanda, Indo, ataupun orang Indonesia yang memilih pergi/kembali ke Belanda. Migrasi ini terjadi secara bergelombang. Banyak di antara mereka belum pernah ke Belanda sama sekali.
Paling tidak terjadi migrasi dalam lima tahap:
Baris 64 ⟶ 67:
== Kiprah budaya kaum Indo sebelum diaspora ==
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM De families Schalkwijk en Mertens aan tafel met een drankje in broeken en rokken met Indische druk TMnr 60050699.jpg|
Kaum Indo memiliki ciri-ciri budaya percampuran dari [[kebudayaan Barat]] (Eropa) dan kebudayaan Timur (Indonesia atau Tionghoa). Percampuran budaya ini sedikit banyak berkaitan dengan derajat "ketercampuran" rasial masing-masing individu dan latar belakang etnis keluarga mereka. Hal ini membuat kelompok ini sukar didefinisikan, bahkan oleh anggotanya sendiri, sehingga mereka sulit menyatukan diri sebagai satu kekuatan politik. Situasi ini menjadi bencana bagi mereka ketika terjadi [[Perang Pasifik]] dan masa-masa awal Revolusi Kemerdekaan Indonesia.
Kaum Eurasia (''Mesties'') mendominasi penampilan fisik kelompok etnik ini. Sensus penduduk tahun 1930 menunjukkan bahwa sekitar 75% golongan Europeanen memiliki garis keturunan campuran. Sisanya adalah orang Eropa ''totok'' ("murni") serta orang kelompok etnik lain yang dianggap layak sebagai anggota golongan legal ini.<ref name="cbs"/> Kerumitan latar belakang rasial ini membentuk suatu rentang [[fenotipe]] (penampilan luar) yang luas, meskipun tidak semua anggota golongan orang Eropa mengidentifikasi diri sebagai etnik Indo, terutama dari kalangan ''trekkers'' (ekspatriat). Muncul kemudian berbagai istilah untuk menyebutkan derajat kepekatan warna kulit, seperti ''koffie met melk'' ("kopi susu"), ''kwart over zes'' (pukul enam kurang seperempat), ''half zeven'' ("pukul setengah tujuh"), ''bijna zeven uur'' ("hampir pukul tujuh"), hingga ''zo zwart als mijn schoen'' ("segelap warna sepatuku") yang paling "kelam".<ref name="veur2">van der Veur, PW. 1968. [http://www.jstor.org/stable/3350710 Cultural aspect of The Eurasian Community in Indonesian Colonial Society]. ''Indonesia'' 6:38-53.</ref>
Di kalangan Indo telah umum diketahui, semakin tinggi "derajat keeropaan" seseorang, semakin tinggi derajat sosialnya. Maka tidak mengherankan bahwa sebagian besar berusaha mengidentifikasi diri sebagai orang Eropa. Kaum perempuannya bercita-cita untuk menikah dengan orang Eropa.<ref name="veur1">Veur, P. van der. 1969. [http://www.jstor.org/stable/3350669 Race and Color in Colonial Society: Biographical Sketches by a Eurasian Woman concerning Pre-World War II Indonesia]. ''Indonesia'' 8:69-79.</ref> Aspek budaya lokal dianggap lebih "rendah" atau "kasar".<ref name="veur1"/>
Kaum Indo digunakan oleh penjajahan Belanda sebagai "penyangga" kultural agar tidak terjadi pergesekan yang menyebabkan kekacauan politik. Nasib yang sama dialami oleh kaum [[Tionghoa-Indonesia]], yang menjadi "bemper" ekonomi jajahan. Mereka dipandang rendah oleh kaum Belanda totok, tetapi juga memandang rendah kalangan pribumi yang dianggap tidak cakap dan malas. Orang Belanda totok memiliki ejekan bagi orang Indo: kata "Indo" dianggap sebagai singkatan dari ''indolent'' (pemalas).<ref name="veur1"/>
<!-- Peran kelompok Eropa-Indonesia sebagai satuan budaya lebih terlihat pada masa penguasaan Belanda di Indonesia serta beberapa tahun setelahnya. Masa paling nyata yang mencatat peran mereka barangkali adalah sejak paruh akhir abad ke-19 hingga berakhirnya [[Perang Pasifik]]. Pada periode awal Indonesia, sebagian besar orang Eropa (terutama [[Belanda]]) atau Indo terpaksa atau dipaksa meninggalkan Indonesia.
-->
Garis politik sebagian besar kalangan Eropa-Indonesia masa penjajahan cenderung pada ''status quo'': mereka menghendaki kekuasaan Belanda di Hindia Belanda. Hal ini dilatarbelakangi oleh kecenderungan sosial seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Namun
Hubungan yang intens dengan budaya lokal banyak membawa pengaruh kultural dalam kehidupan masyarakat Eropa-Indonesia, dan sebaliknya. Van der Veur (1968) membahas banyak kebiasaan (customs) kalangan Indo.<ref name="veur2"/>
Kebanyakan dari mereka adalah penganut [[agama Kristen]], namun mempercayai pula berbagai takhyul lokal dan juga
Bahasa yang digunakan oleh kalangan Indo pada masa [[VOC]] adalah [[bahasa Portugis|bahasa pijin Portugis]] yang bercampur dengan [[bahasa Melayu Pasar]]. Hal ini diketahui dari suatu catatan seminari dari paruh kedua abad ke-18. Masuknya imigran dan pekerja perkebunan dari Belanda pada abad ke-19 mendorong menguatnya pemakaian bahasa Belanda, namun terjadi banyak "pelanggaran" gramatika oleh mereka, seperti pengalihan fonem, pencampuran dengan kata-kata atau struktur bahasa Melayu, dan pengabaian gender kata. Meningkatnya kesadaran politik akan etnik ini bahkan mendorong tokoh Indo, Ploegman, untuk menjadikan bahasa Belanda varian Indisch ini sebagai bahasa "yang menyatukan berbagai kelompok masyarakat dalam kehidupan budaya sehari-hari".
Dalam dunia sastra, beberapa karya tulis bermutu dihasilkan oleh penulis-penulis seperti [[C.F. Winter]], [[Herman Neubronner van der Tuuk|van der Tuuk]], [[Ernest Douwes Dekker]], Ucee (S.H. Coldenhoff), [[Louis Couperus]], [[Hans van de Wall]], dan [[E. du Perron]]. Dari periode setelah Perang Dunia Kedua muncul nama-nama seperti J. Boon (Vincent Mahieu/[[Tjalie Robinson]]), [[Rob Nieuwenhuys
Di bidang [[seni lukis]] [[Jan Toorop]] adalah nama yang paling menonjol. Pelukis-pelukis Indo adalah pendukung aliran lukisan ''Mooi Indië/Indonesië'' yang menggambarkan romantisme alam dan kehidupan sehari-hari Indonesia. [[Walter Spies]] (walaupun ia adalah ''totok'' namun amat menyukai budaya Bali) dikenal sebagai pengembang aliran lukisan dekoratif Bali yang khas.
Orang Indo dikenal berbakat di bidang [[seni musik]] dan [[seni pertunjukan]]. Dalam seni musik orientasi ke musik barat cukup kental, bahkan boleh dikatakan kalangan Indo kelas menengah dan bawah adalah duta musik barat bagi masyarakat non-Eropa di Hindia Belanda/Indonesia. Bentuk musik [[keroncong]], berakar dari musik Portugis, dilestarikan oleh kaum Indo dan memperoleh gaung yang kuat di seluruh lapisan masyarakat di awal abad ke-20 melalui pertunjukan sandiwara [[komedi stambul]]. Komedi stambul diperkenalkan oleh [[August Mahieu]], seorang Indo yang menghimpun beberapa orang Indo lainnya untuk menyelenggarakan teater hibrida: bergaya Eropa tetapi dengan kostum a la Timur Tengah. Pertunjukan ini populer di semua kalangan masyarakat (bawah) Hindia Belanda, dan melahirkan berbagai epigon yang juga kemudian populer. Kalangan Indo juga kemudian yang memperkenalkan musik [[jazz]] di Hindia Belanda. [[Jack Lesmana]] (Jack Lemmers), seorang Indo yang menjadi tokoh utama jazz Indonesia, telah mengenal bentuk musik ini sejak masa kecilnya.
Dari segi [[boga]], seni masak Eropa di tangan kaum Indo menjadi kaya rempah-rempah dan memiliki cita rasa yang khas. Orang Indo sangat menyukai masakan lokal, bahkan menikmati rujak.<ref name="veur1"/>
Dari sisi busana, muncul pada abad ke-19 [[kebaya]] yang khas dipakai perempuan Eropa; bahkan kemudian muncul [[batik]] Belanda, batik dengan motif-motif pengaruh Eropa.<ref>[http://www.aboutbatik.com/backtobatik.php Back To Batik] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20100804005504/http://www.aboutbatik.com/backtobatik.php |date=2010-08-04 }}. An article in aboutbatik.com</ref>
== Orang Indo masa kini ==
Semenjak [[Orde Baru]], orang Eropa-Indonesia di Indonesia hanya merupakan bagian yang sangat kecil dari penduduk Indonesia. Peraturan imigrasi yang ketat, praktis tidak memungkinkan masuknya orang Eropa ke Indonesia tanpa melalui naturalisasi yang memakan waktu bertahun-tahun. Secara kultural mereka biasanya terserap ke dalam kultur kosmopolitan Jakarta, atau kultur lokal tempat mereka tinggal. Mereka dapat dikatakan bukan merupakan subkultur yang khas di Indonesia.
Keadaan yang agak berbeda terjadi di Belanda. Badan statistik Belanda, CBS, pada tahun 1990 mencatat 472.600 orang penduduk Belanda memiliki keturunan Indonesia, 187.700 di antaranya lahir di Hindia Belanda/Indonesia. Menurut laporan demografi tahun 2003, pada tahun 2001 tercatat 458.000 orang yang merupakan generasi pertama dan kedua keturunan Hindia Belanda. Di Belanda mereka merupakan kelompok minoritas yang signifikan dan memiliki kekhasan budaya tersendiri. Secara statistik mereka masih dipisahkan dan dianggap sebagai kelompok minoritas terbesar, sekaligus sebagai kelompok minoritas yang paling terintegrasi.<ref>[http://www.kiemnet.nl/nieuws/2006/04/Indische-Nederlander-voorbeeld-integratie_1013.html Indische Nederlander voorbeeld integratie]{{Pranala mati|date=Mei 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}. NICIS Institute, edisi 20-04-2006.</ref> Festival tahunan Pasar Malam Besar merupakan kegiatan besar dari masyarakat Eropa-Indonesia di Belanda. Krancher, seorang warga negara AS keturunan Eropa-Indonesia
Keturunan Eropa-Indonesia juga tersebar di seluruh dunia, baik langsung dari Indonesia
=== Masa depan ===
Banyak kalangan memperkirakan bahwa Eropa-Indonesia sebagai etnik dengan ciri-ciri khas tersendiri akan menghilang, bahkan dari kalangan mereka sendiri. Penyebab yang paling jelas adalah karena tidak ada lagi dorongan untuk
<blockquote>"...posisi kaum Indo ... dalam masyarakat kolonial kita ini telah berubah. Seiring berjalannya waktu, kaum Indo secara perlahan-lahan menjadi orang Indonesia, atau dapat pula dikatakan bahwa orang Indonesia secara bertahap mencapai taraf yang sama dengan orang Indo. Perubahan yang terjadi dalam proses transformasi di dalam masyarakat kita ini pertama-tama menempatkan kaum Indo dalam posisi yang menguntungkan, dan sekarang proses yang sama mengambil keuntungan itu. Bahkan jika mereka mempertahankan status keeropaan mereka berdasarkan hukum, mereka tetap akan sejajar dengan orang Indonesia, karena semakin lama akan lebih banyak orang Indonesia yang terdidik daripada orang Indo. Posisi yang menguntungkan mereka kehilangan landasan sosialnya, dan sebagai hasilnya posisi itu akan lenyap." (Sutan Sjahrir, 1937)<ref>
== Tokoh-tokoh ==
{{unreferenced section|date=Oktober 2018}}
Tokoh-tokoh dari kalangan Indo cukup banyak jumlahnya, baik di Indonesia, Belanda, maupun Amerika Serikat.
Baris 138 ⟶ 142:
* {{nl}} [http://www.indischhistorisch.nl/ Informasi tentang warga Indo-Eropa di Belanda dari www.indischhistorisch.nl]
* {{en}} Schuyf, Judith. [http://www.oorlogsgetuigen.nl/Silence/uk/chapter_2/introduction/d_2.html The Occupation of the Dutch East Indies - How Civilians Were Affected]. Commemoration of the end of WW-III in 4th of May.
* [http://www.knaw.nl/indonesia/pdf/osm2003/ssh21.pdf Indo-europeans and The Challenge of Identity from Colonialism to Independence]{{Pranala mati|date=Mei 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}. Abstrak.
* {{de}} Kortendick, O. 1990. [http://lucy.ukc.ac.uk/lien/gliederung.html Indische Nederlanders und Tante Lien: eine Strategie zur Konstruktion ethnischer Identität] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20100502075253/http://lucy.ukc.ac.uk/lien/gliederung.html |date=2010-05-02 }}. Tesis master.
{{Orang Indo}}
{{Suku bangsa di Indonesia}}
{{Diaspora Indonesia}}
[[Kategori:Orang Indo| ]]
[[Kategori:
[[Kategori:Suku bangsa di
|