Kya Kya Surabaya: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
(5 revisi perantara oleh 4 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{More citations needed}}
'''Kya-Kya Surabaya''' adalah tempat yang dulunya ramai sebagai [[pasar]] [[malam]] di kawasan [[pecinan]] kota [[Surabaya]]. Di sepanjang jalan Kembang Jepun didirikan kios-kios yang menjual berbagai macam [[makanan]] baik masakan [[Tionghoa]], makanan khas Surabaya maupun makanan lainnya. Kata kya-kya diambil dari salah satu dialek bahasa Tionghoa yang berarti jalan-jalan.
Baris 11 ⟶ 10:
Banyak pedagang asing yang menambatkan kapal-kapalnya di lokasi [[dimana]] kemudian menjadi Kota Surabaya. Di situ pulalah, perjalanan sejarah menorehkan garis membujur dari timur ke barat kota, Jalan Kembang Jepun. Tegak lurus dengan Kalimas, jalan ini juga menjadi ikon Kota Surabaya yang silih berganti tampil membawa perannya.
Pada zaman [[Belanda]], pemerintahan saat itu membagi kawasan menjadi Pecinan di selatan Kalimas, kampung [[Bangsa Arab|Arab]] dan [[Melayu]] di Utara kawasan itu, dengan Jalan Kembang Jepun sebagai pembatasnya. Bangsa Belanda sendiri tinggal di Barat Kalimas yang kemudian mendirikan komunitas "Eropa Kecil".
Jalan Kembang Jepun dulunya dinamakan Handelstraat (handel berarti perdagangan, straat artinya jalan), yang kemudian tumbuh sangat dinamis. Pada zaman pendudukan Jepang lah nama Kembang Jepun menjadi terkenal, ketika banyak serdadu [[Jepang]] (Jepun) memiliki teman-teman wanita (kembang) di sekitar daerah ini. Pada era [[dimana]] banyak pedagang Tionghoa menjadi bagian dari napas dinamika Kembang Jepun, sebuah Gerbang kawasan yang bernuansa arsitektur Tionghoa pernah dibangun di sini. Banyak fasilitas hiburan didirikan, bahkan ada yang masih bertahan hingga kini, seperti Restoran Kiet Wan Kie.
Baris 17 ⟶ 16:
== Lahirnya Kya-Kya ==
Pemerintah Kota Surabaya pernah berkeinginan untuk menjadikan kawasan Kembang Jepun menjadi semacam [[Malioboro]] tidak mendapat respons yang baik dari para pedagang kaki lima (PKL), bahkan oleh masyarakat Kota Surabaya sendiri. Akhirnya, kawasan ini mati kembali di malam hari, gelap gulita dan rawan kejahatan. Berbeda dengan keadaan siang hari yang sangat dinamis.
Melihat banyaknya ikon kota yang pelan-pelan meredup mati dan ditinggalkan warganya, muncullah ide untuk segera menyelamatkannya. Studi dan perencanaan awal hanya dilakukan 2 minggu, namun tidak mengurangi kualitas perancangan itu sendiri dengan melakukan studi lapangan dan studi literatur, diskusi dengan pemerintah kota, warga setempat, komunitas pedagang kaki lima bahkan studi banding ke luar negeri (Chinatown di Singapura). Studi-studi dan pelaksanaan dilakukan bersama-sama dengan tim eksklusif di bawah pimpinan Wali Kota Surabaya Bambang D. Hartono, demikian juga dengan pihak [[DPRD]] Surabaya di bawah pimpinan Armuji, dan PT Kya-Kya Kembang Jepun di bawah pimpinan [[Dahlan Iskan]].
Pusat Kya-kya ini akhirnya dirancang pada jalan sepanjang 730 meter, lebar 20 meter, menampung 200 pedagang (makanan dan nonmakanan), 2.000 kursi, 500 meja makan dengan memperhatikan studi keamanan. Selain itu, studi perilaku warga Kota Surabaya, studi parkir dan transportasi, studi budaya (arsitektur setempat, genius loci), studi kelayakan ekonomis, teknis, sistem kebersihan, utilitas (saluran air, drainage, listrik, sistem suara, sampah), pemanfaatan SDM setempat, kerja sama dengan warga, LSM, potensi-potensi wisata (bangunan kuno, monumen bersejarah), dan sebagainya secara terpadu.
Baris 28 ⟶ 27:
== Pranala luar ==
* {{id}}[http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0504/16/0903.htm Pikiran rakyat] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20070309180444/http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0504/16/0903.htm |date=2007-03-09 }}
[[Kategori:Pasar]]
|