<!-- Halaman ini hanya untuk uji coba menyunting dan dikosongkan secara berkala -->
{{Bakpasir}}
<!-- Uji coba dilakukan di baris di bawah garis ini -->
== '''Kamuflase di Alam Liar'''
==
Menghadapi ganasnya alam, satwa liar mengembangkan teknik bertahan hidup dengan nalurinya. Selain itu, mereka ternyata telah dilengkapi “piranti khusus” untuk mengelabui pemangsa atau musuhnya. Sesuatu yang dikenal sebagai kamuflase.
Kamuflase (penyamaran) satwa ini pernah dikemukakan Charles Darwin dan Abbot Thayer pada tahun 1919. Melalui buku “''Concealing Coloration in The Animal Kingdom, An Exploration of Laws of Disguise Through Color and Pattern''” mereka memaparkan hasil studi tentang kamuflase satwa. Suatu temuan menarik bahwa warna, pola, dan corak satwa ternyata “dirancang” khusus sesuai habitat dan ekosistemnya.
Memang teknik terbaik untuk menghindar dari serangan pemangsa adalah membuat dirinya tidak terlihat. Begitu menyadari adanya ancaman serangan, secara naluriah satwa biasanya segera mencari tempat persembunyian yang aman. Banyak tempat yang bisa dijadikan tempat persembunyian seperti rekahan batu, dahan pepohonan, rimbun semak dan dedaunan, lapisan tanah, lumpur, pasir, atau lubang dan liang-liang yang tak terjangkau pemangsa. Namun untuk bersembunyi dibutuhkan sekian waktu reaksi. Karena itu, perlindungan pertama dari ancaman tetaplah kamuflase.
Para ilmuwan meyakini, para penyamar alam liar ini mendapatkan kemampuan kamuflasenya dalam proses adaptasi puluhan ribu tahun. “Tumbuhan dan satwa terlindungi oleh warna khusus yang direproduksi oleh jenisnya,” demikian tulis Edward H Burtt Jr., Profesor Zoologi dari Ohio Wesleyan University, dalam artikel yang dimuat di World Book 2005.
Kamuflase pada dunia satwa cukup unik dan variatif. Ada yang pasif, ada yang reaktif. Yang pasif artinya warna, pola, dan corak tidak berubah alias tetap. Yang reaktif berarti warna, pola, dan corak bisa berubah sesuai warna benda di sekelilingnya.
Kamuflase pasif umumnya menampilkan paduan warna, pola, dan corak yang khas pada satwa. Racikan kamuflase yang melabur kulit, bulu, sisik, atau rambut satwa-satwa ini padu dengan lingkungan hidupnya. Ada yang dominan hijau, coklat, hitam, putih, loreng, tutul, dan sebagainya. Bahkan sebagian besar satwa dikenal karena hal ini. Katakanlah seperti harimau dengan pola garis loreng kuning hitam dan putih, zebra dengan garis hitam putih, jaguar dengan totol (dot) hitam kuning putih.
Klasifikasi warna, pola dan corak kamuflase ini dikelompokkan oleh peneliti dunia satwa menjadi ''cryptic coloration, disruptive coloration, mimicry'' dan ''warning coloration''.
'''''Cryptic coloration''''' berupa paduan corak dan warna yang menggabungkan unsur warna dasar habitat alami, seperti warna padang pasir, bebatuan, padang rumput, salju, atau hitam, putih, coklat, abu-abu. Kamuflase jenis ini akan mengelebaui mata pemangsa dan musuh sehingga sulit diidentifikasi. Contohnya beruang kutub yang memiliki bulu bening yang membiaskan warna salju.
'''''Disruptive coloration'''''. Polesan corak istimewa dari beberapa warna yang membentuk pola tertentu. Seperti loreng vertikal, loreng horisontal, loreng acak atau bintik dan garis berpola teratur maupun random. Warna yang membentuk pola tidak mengambil unsur warna alami habitat, tetapi menonjolkan kontras, ketajaman, dan bayangan (shade). Kamuflase berpola seperti ini tujuannya lebih kepada upaya membingungkan pemangsa/musuh. Satwa yang terkenal dengan pola disruptive coloration ini adalah zebra. Pola garis hitam putihnya akan memecah perhatian pemangsanya.
'''''Mimicry''''' lebih kepada warna perlindungan yang dimiliki satwa yang menjiplak pola warna bentukan alam yang sudah ada dari tetumbuhan atau binatang lainnya. Karena kamuflasenya yang menjiplak sesuatu, akan membuat pemangsa/musuh tak menyadari keberadaannya atau malah salah identifikasi. Misalnya jenis belalang yang bewarna kayu, kupu-kupu yang meniru warna zebra, ngengat yang mengambil corak bulu burung.
'''''Warning coloration'''''. Umumnya paduan warna-warna terang yang menyolok seperti merah, kuning terang, oranye menyala, biru terang, ungu kemilau. Warna dan pola bentukannya menjadi semacam signal dalam dunia fauna yang memberi peringatan bahwa mereka mengandung racun dan bisa yang berbahaya atau peringatan bahwa rasa mereka sangat pahit dan tidak enak dimakan. Biasanya terlihat pada serangga, katak, laba-laba, beberapa spesies kupu-kupu dan ngengat.
Kelemahan pada kamuflase pasif ini, jika satwa tersebut berada di wilayah yang bukan habitatnya justru menjadi fokus yang menarik perhatian. Sementara untuk jenis kamuflase ''warning coloration'', pemangsa yang belum berpengalaman justru tertarik untuk menyerangnya.
Berbeda dengan kamuflase reaktif. Berdasarkan hasil penelitian, teknik kamuflase reaktif bisa terjadi lewat proses ''biochromes'' secara mikroskopis. Proses ini terjadi di dalam lapisan sel kulit yang disebut chromatophore. Penjelasannya, biokimia tubuh satwa merangsang pigmen kulit untuk menyesuaikan diri dengan warna yang terpantul dari lingkungan sekitar. Warna yang muncul merupakan kombinasi gelombang cahaya yang memantul di kulit. Kombinasi warna yang dihasilkan bisa berubah-ubah tergantung perubahan kondisi dan gelombang cahaya di sekitarnya. Satwa yang tersohor dengan teknik kamuflase ini adalah bunglon. Satwa inilah yang menjadi penyamar paling ulung di dunia satwa. Lalu ada temuan lain bahwa katak ''cryptic'' dari Papua dan katak ''Paradoxophyla palmata'' dari Madagaskar juga memiliki kemampuan kamuflase kulit yang reaktif.
Selain itu masih ada lagi tipe kamuflase satwa yang mengadopsi dua warna kamuflase saja, biasanya kuning dan biru serta warna paduan keduanya secara reaktif. Hewan berkemampuan seperti ini bisa menonjolkan warna tertentu dan kemudian berubah menjadi kombinasi warna yang lain. Kemampuan ini dimiliki beberapa spesies reptil, amfibi, dan ikan. Mereka memiliki dua lapisan pigmen kulit aktif, satu yang kuning dan satu lagi yang biru.
Para penyamar ulung dari alam liar ini terbukti cukup ampuh untuk mempertahankan dirinya, walau tidak selamanya berhasil. Setidaknya kamuflase itu justru bisa membikin satwa itu bertahan dalam seleksi alam. *
|