Sair Tjerita Siti Akbari: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Mengembalikan suntingan oleh Errems46 (bicara) ke revisi terakhir oleh Rachmat04
Tag: Pengembalian
 
(43 revisi perantara oleh 17 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{artikel pilihan}}
{{terjemahan|en|Sair Tjerita Siti Akbari|version=}}
{{Infobox book
<!-- |italic title = (see above) -->
| name = Sair Tjerita Siti Akbari
| image = [[FileBerkas:Sair Tjerita Siti Akbari.jpg|200px|alt=Cover]]
| captionimage_caption = ThirdCetakan printingketiga, 1922
| author = [[Lie Kim Hok]]
| title_orig =
Baris 29:
| followed_by =
}}
'''''Sair Tjerita Siti Akbari''''' ([[EYD]]: '''''Syair Cerita Siti Akbari''''' ; juga dikenal hanya sebagai '''''Siti Akbari''''' {{efn|Untuk artikel ini, judul singkat ''Siti Akbari'' digunakan}}) adalah [[syair]] ber[[bahasa Melayu|berbahasa Melayu]] tahun 1884 karyakarangan [[Lie Kim Hok]] yang diterbitkan pada tahun 1884. Diadaptasi langsung dari ''[[Sjair Abdoel Moeloek]]'', syair ini bercerita tentang seorang wanita yang menyamar sebagai lelaki untuk membebaskan suaminya dari [[Sultan]] [[Hindustan]] yang menangkapnya dalam serangansaat dimenyerang kerajaan mereka.
 
Ditulis selama beberapa tahun dan dipengaruhi oleh sastra Eropa, ''Siti Akbari'' berbeda dari syair-syair sebelumnya dalam penggunaan penegangan dan penekanan pada [[prosa]] ketimbang bentuk puitis. Syair ini juga menggunakan [[realisme sastra]] Eropa untuk memperluas aliran syair, meskipun mempertahankan beberapa keunggulan dari syair-syair tradisional. Pendapat-pendapat kritis telah menggarisbawahi berbagai aspek cerita syair ini, menemukan: dalam karya ini ditemukan sebuah empati yang berkembang bagi pemiikiran dan perasaan wanita, panggilan untuk adanya bahasa pemersatu di [[Hindia Belanda]] (sekarang [[Indonesia]]), dan polemik mengenai hubungan antara tradisi dan modernitas.
 
''Siti Akbari'' meraup sukses baik secara komersilkomersial maupun secara kritis, sehingga mengalami dua kali cetak ulang. dan sebuahSebuah [[Siti Akbari|adaptasi film adaptasi]] juga digarap pada tahun 1940. Ketika pengaruh ''Sjair Abdoel Moeloek'' menjadi jelas pada tahun 1920, Lie kemudian dikritik sebagai penulis yang tidak orisinal. Namun, ''Siti Akbari'' tetap menjadi salah satu syair yangkarangan lebihpenulis dikenalTionghoa yang ditulispaling oleh seorang penulis etnis Tionghoaterkenal. Lie kemudian dikenang sebagai "bapak [[sastra Melayu Tionghoa]]".{{sfn|Tio|1958|p=87}}
 
== Alur ==
Sultan Hindustan Bahar Oedin menjadi marah setelah pamannya, Safi, seorang pedagang, meninggal saat dipenjaradipenjarakan di Barbari. Karena Abdul Aidid, Sultan Barbari, memiliki kekuatan militer yang lebih besar, Bahar Oedin menunggu waktu sambil berencana membalas dendam. Sementara itu, putra Abdul Aidid, Abdul Moelan, menikahi sepupunya, Siti Bida Undara. Dua tahun kemudian, setelah Abdul Aidid meninggal, Abdul Moelan pergi dalam sebuah perjalanan laut yang panjang, dan meninggalkan istrinya di rumah.
 
DiSetelah tiba di kerajaan Ban yang dekat, Abdul Moelan bertemu dan jatuh cinta dengan Siti Akbari, putri Sultan Ban. Keduanya segera menikah, dan setelah enam bulan di Ban, mereka kembali ke Barbari. Siti Bida Undara, yang pada awalnya marah padakarena pemikiranharus berbagi suaminyasuami, segera menjadi teman dekat dengan Siti Akbari. Tak lama kemudian Bahar Oedin mengambil langkah balas dendamnya, menangkap Abdul Moelan dan Siti Bida Undara. Ketika sultan mencoba untuk menangkap Siti Akbari, ia menemukan mayat di kamarnya dan percaya bahwa itu adalah diaincarannya. DiaBahar Oedin kemudian membawa tawanannya kembali ke Hindustan dan memenjarakan mereka.
 
Tanpa diketahuinya, Siti Akbari yang sedang hamil telah memalsukan kematiannya dan melarikan diri. Setelah beberapa bulan dia menemukan perlindungan di bawah Syaikh ([[Syekh]]) Khidmatullah, yang melatihnya ilmu [[silat]] (seniagar bela diri tradisional) sehingga diaia bisa membebaskan suaminya. MeninggalkanSetelah meninggalkan anaknya dalam perawatan Khidmatullah, diaSiti Akbari memulai perjalanannya. Ketika sekelompok tujuh orang menyapa danpria berusaha memperkosanyauntuk memerkosanya, diaSiti Akbari membunuh mereka., Mengambillalu mengambil pakaian mereka dan memotong rambutnya,. Setelah itu ia menyamar sebagai seorang pria dan mengambil nama Bahara. Setelah tibaSetibanya di Barbam, ia menghentikan perang antara dua pengingin takhta kekuasaan daerah tersebut. DiaIa membunuh si perampas, kemudian mengambil kepalanya untuk pewaris sah tahta, Hamid Lauda. Sebagai tanda terima kasih, Hamid Lauda menghadiahkan "Bahara" (Siti Akbari) dengan kekuasaan untuk memerintah Barbam dan mengizinkan "Bahara"mengizinkannya untuk menikahi adiknya, Siti Abian.
 
Siti Akbari, sebagai "Bahara", meninggalkan Barbam untuk pergi ke Hindustan dan mengambilmenyelamatkan suaminya. Dengan bantuan dari dua penasehatpenasihat yang telah dibencidiusir Sultan, diaia mampu mengintai situasi daerah. Dia akhirnya mengambil alih Hindustan dengan pasukannya, menaklukkan kesultanan tersebut sendirian, membunuh Bahar Oedin, dan membebaskan Abdul Moelan dan Siti Bida Undara. Sementara masih dalam penyamaran, Siti Akbari menyangkal Siti Abian dan memberikan Abdul Moelan padanya sebelum mengungkapkan identitas aslinya. Kerajaan yang berbeda tersebut kemudian dibagi di antara protagonis laki-laki, sementara Siti Akbari kembali ke perannya sebagai seorang istri. {{efn|DerivedBerasal fromdari thesinopsis synopses byoleh {{harvtxt|Koster|1998|pp=97–98}} anddan {{harvtxt|Benitez|2004|pp=209–212}}}}
 
== Latar belakang dan penulisan ==
[[Berkas:Lie Kim Hok.JPG|thumbjmpl|[[Lie Kim Hok]], penulis ''Sair Tjerita Siti Akbari''.]]
''Siti Akbari'' ditulis oleh [[Lie Kim Hok]], seorang [[peranakan Tionghoa]] kelahiran [[Bogor]] yang dididik oleh misionaris Belanda. Para misionaris memperkenalkannya pada sastra Eropa, {{sfn|Koster|1998|pp=95, 105}} termasuk karya-karya [[Sastra Belanda|penulis Belanda]] seperti [[Anna Louisa Geertruida Bosboom-Toussaint]] dan [[Jacob van Lennep]], {{sfn|Koster|1998|p=102}} serta karya [[Sastra Prancis|penulis Prancis]] seperti [[Jules Verne]], [[Alexandre Dumas]], dan [[Pierre Alexis Ponson du Terrail]].{{sfn|Salmon|1994|p=127}} Dalam tesis doktoratnya, J. Francisco B. Benitez menunjukkan bahwa Lie mungkin juga telah dipengaruhi oleh [[tradisi lisan]] Melayu dan [[Bahasa Jawa|Jawa]], seperti rombongan teater-keliling ''[[bangsawanWayang (teater)Bangsawan|bangsawan]]'' Melayu atau kesenian [[wayang]] Jawa. {{sfn|Benitez|2004|pp=76, 218, 263}}
 
Bukti yang ditemukan setelah kematian Lie pada tahun 1912 {{sfn|Koster|1998|p=95}} berkesan bahwa ''Siti Akbari'' sangat dipengaruhi oleh ''[[Sjair Abdoel Moeloek]]'' (1847), yang terbitdikarang sebelumnya, dengan berbagai akreditasi kepadaoleh [[Raja Ali Haji]] atau saudara perempuannya Saleha.{{efn|Belum ada kepastian siapa pengarang ''Sjair Abdoel Moeloek'' yang sesungguhnya.}} Kisah ini diterjemahkanditransliterasi oleh Arnold Snackey, kemudian diterjemahkan ke dalam [[bahasa Sunda]]. {{sfn|Tio|1958|p=100}} SumberVersi yang menjadi sumber inspirasi Lie tidak disetujui adaoleh padapara penerjemahan inipeneliti. Dokumentarian [[Christiaan Hooykaas]], menulis dalam sebuah surat kepada kritikus sastra [[Nio Joe Lan]], berpendapat bahwa inspirasi Lie datang dari versi ''Sjair Abdoel Moeloek'' yang disimpan di ''[[Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen]]'' di [[Batavia]].{{sfnm|1a1=Nio|1y=1962|1p=29|2a1=Koster|2y=1998|2p=98}} Sementara itu, penulis biografi [[Tio Ie Soei]] berpendapat bahwa versi yang menginspirasi Lie diterjemahkan pada tahun 1873 oleh guru Lie, [[Sierk Coolsma]]. Menurut Tio, Coolsma telah mendasarkan terjemahannya dari sebuah pertunjukan teater panggung dan menulisnya dengan buru-buru, sehingga hampir tak terbaca. Karena ia memiliki tulisan tangan yang lebih baik, Lie konon menyalin cerita tersebut untuk Coolsma dan menyimpan aslinya dalam koleksi pribadinya. {{sfn|Tio|1958|p=100}} Sejarawan sastra Monique Zaini-Lajoubert menulis bahwa tidak satupun dari versi perantara tersebut telah ditemukan. {{sfn|Zaini-Lajoubert|1994|p=103}}
 
Penulisan ''Siti Akbari'' diselesaikan dalam periode beberapa tahun. Lie menyatakan bahwa cerita itu memakan waktu tiga tahun, dengan penulisan secara sporadis. BagaimanapunNamun, Tio melaporkan rumor bahwa penulisan karya ini memakan waktu sekitar tujuh tahun, dengan Lie kadang-kadang mengambil istirahat panjang dan kadang-kadang menulis dalam semangat, menulis dari fajar sampai senja.{{sfn|Tio|1958|p=101}}
 
== Gaya penulisan ==
==Tema==
Kritikus sastra G. Koster menulis bahwa saat menulis ''Siti Akbari'', Lie Kim Hok dibatasi oleh formulasi [[Cerita Panji|Cerita Pandji]] dan puisi [[syair]] yang umum dalam sastra Melayu pada saat itu. Koster mencatat kesamaan struktural mendasar antara ''Siti Akbari'' dan bentuk-bentuk puisi yang ada.{{sfn|Koster|1998|pp=99–100}} Karya ini mengikuti [[arketip]] dari seorang tokoh atau pahlawan yang pergi dari kerajaan yang menaati hukum, menuju ke pengasingan, kemudian ke dalam kerajaan yang kacau; ini, menurut pendapat Koster, merupakan simbol dari siklus [[hukum lisan]].{{sfn|Koster|1998|pp=99–100}} Arketip dan formula semacam ini digunakan dalam karya-karya kontemporer seperti ''[[Syair Siti Zubaidah Perang Cina]]''.{{sfn|Zaini-Lajoubert|1994|p=104}} Perangkat alur di mana seorang wanita menyamarkan dirinya sebagai seorang pria untuk terjun ke dalam perang adalah juga umum dalam [[sastra Melayu]] dan [[sastra Jawa]].{{sfn|Zaini-Lajoubert|1994|pp=104–105}} Lie menyimpang jauh dari tradisi yang mapan,{{sfn|Koster|1998|p=111}} mencampurkan pengaruh sastra Eropa dan [[pribumi]].{{sfn|Benitez|2004|p=207}}
Benitez menulis bahwa pasar dalam ''Siti Akbari'' "menyediakan kemungkinan untuk pertukaran dan koneksi" antara orang-orang dari semua budaya dan latar belakang, menghubungkan mereka. Dia menjelaskan bahwa ini merupakan representasi dari [[heteroglossia]] ditawarkan oleh [[bahasa Melayu Rendah|bahasa Melayu pasar]], yang berasal dari pasar. {{sfn|Benitez|2004|p=253}} Karena Lie juga menulis buku tentang [[Malajoe Batawi|tata bahasa Melayu pasar]], Benitez berpendapat bahwa Lie mungkin berharap supaya dialek ini menjadi ''[[lingua franca]]'' di [[Hindia Belanda]].{{sfn|Benitez|2004|p=261}}
 
Cerita ini terdiri dari 1.594 kuatrain [[sajak tunggal]] yang dibagi menjadi dua [[bait]], dengan masing-masing bait terdiri dari dua baris, dan tiap baris terdiri dari dua setengah-garis yang dipisahkan oleh [[penggalan (sastra)|penggalan]].{{sfnm|1a1=Benitez|1y=2004|1p=207|2a1=Koster|2y=1998|2p=109}} Sebagian besar baris ini adalah unit sintaksis lengkap, baik [[klausa]] atau [[kalimat]].{{sfn|Koster|1998|p=109}} Koster mencatat bahwa bentuk ini lebih bebas daripada dalam karya-karya yang tradisional, dan sebagai hasilnya syair ini menjadi semacam [[puisi prosa]].{{sfn|Koster|1998|p=110}} Seorang narator yang tidak disebutkan namanya menceritakan kisah dari sudut pandang [[Gaya naratif|orang ketiga yang mahatahu]];{{sfn|Koster|1998|p=103}} tidak seperti karya kontemporer kebanyakan, narator "mengasumsikan otoritas pada dirinya sendiri" dengan menempatkan dirinya dan ide-idenya ke depan, alih-alih bertindak sebagai pihak yang tidak terlibat.{{sfn|Koster|1998|p=105}}
Benitez menganggap puisi ini menyoroti ketegangan antara "subjektivitas monadik dan otonom" budaya Eropa dan "subjektivitas sosial" "[[adat]]", atau tradisi, dengan karakter Siti Akbari sebagai "sebuah tempat ketidakstabilan yang membuat nyata baik kemungkinan transformasi sosial, serta kecemasan atas kemungkinan reproduksi sosial yang kacau ". {{sfn|Benitez|2004|p=213}} Sebagai individu, Siti Akbari mampu melawan musuh-musuhnya dan merebut kembali suaminya. Namun pada akhirnya, dia memilih untuk kembali ke hubungan poligaminya dengan Abdul Moelan, sebuah penegasan bahwa tradisi ada di atas modernisme. {{sfn|Benitez|2004|p=253}} Dalam oposisi terhadap Siti Akbari, pedagang Safi Oedin menolak untuk hidup sesuai dengan adat istiadat setempat, sementara ia berada dalam tanah asing dan akhirnya mati. Benitez menulis bahwa ini "dapat dibaca sebagai peringatan bagi mereka yang menolak untuk hidup sesuai dengan ''[[adat]]'' setempat." {{sfn|Benitez|2004|p=229}} Koster mencatat bahwa - seperti syair pada umumnya - ''Siti Akbari'' bekerja untuk meningkatkan kesadaran atas ''adat'' dan sistem nilai tradisional.{{sfn|Koster|1998|pp=99–100}}
 
''Siti Akbari'' berbeda dari karya-karya kontemporer dengan memunculkan perasaan [[ketegangan]]. Koster memberikan identitas pedagang Hindustani sebagai contoh: identitas pria itu sebagai paman Sultan tidak diungkap sampai setelah saat yang nyaman dalam cerita. Koster menjelaskan periode di mana pembaca percaya Siti Akbari sudah mati, yang mencakup beberapa halaman, sebagai ciri di luar tradisi yang paling luar biasa dari karya ini. Dia mencatat bahwa, berbeda dari kebanyakan karya-karya kontemporer, syair ini dimulai dengan kutipan,{{sfn|Koster|1998|pp=101–102}} alih-alih sebuah doa kepada [[Allah]] yang umum di kala syair Melayu kala itu.{{sfn|Koster|1998|p=104}} Kutipan ini akhirnya ditunjukkan sebagai ramalan yang terpenuhi:
Zaini-Lajoubert berpendapat bahwa cerita ini mempromosikan perlakuan terhadap kaum perempuan sebagai orang dengan perasaan dan opini, yang bertentangan dengan pandangan [[patriarkial]] yang umum selama periode terbitnya buku tersebut, bahwa perempuan adalah benda tidak berperasaan. Dia menemukan bahwa karakter-karakter wanita dalam cerita ini merasakan kesedihan dan kegembiraan, mengutip beberapa bagian, termasuk salah satu di mana Siti Akbari mengaku bahwa dia merasa bahwa dia telah menunggu "puluhan tahun" {{efn|Asli: "''... belasan tahon...''"}} untuk Abdul Moelan. Zaini-Lajoubert mencatat bahwa karakter-karakter perempuan tidak semuanya berpendapat yang sama: meskipun Siti Akbari bersedia untuk menjalani suatu hubungan poligami, Siti Bida Undara harus dibujuk. Namun pada akhirnya, dia menemukan bahwa ''Siti Akbari'' menyampaikan pesan bahwa perempuan harus setia kepada suami mereka.{{sfn|Zaini-Lajoubert|1994|pp=117–118}}
 
{| cellpadding=6
==Kritik==
|-
[[berkas:Syair Abdul Muluk.jpg|thumb|160px|Lie meminjam banyak dari ''[[Sjair Abdoel Moeloek]]''.]]
| style="width:50%;"| '''''Tulisan asli'''''
Meskipun ''Sjair Abdoel Moeloek'' dan ''Siti Akbari'' sering ditampilkan di atas panggung, kesamaan di antara keduanya tidak ditemukan selama beberapa tahun.{{sfn|Tio|1958|p=100}} Zaini-Lajoubert menulis bahwa Tio Ie Soei menemukan kesamaan ini saat bekerja sebagai wartawan surat kabar Tionghoa-Melayu ''[[Lay Po]]'' pada tahun 1923. Kwee Tek Hoay mengikuti artikel ini dengan diskusi lain dari asal-usul karya tersebut pada tahun 1925.{{sfn|Zaini-Lajoubert|1994|p=103}} Penulis-penulis yang selanjutnya mengkritik karya-karya lain Lie sebagai adaptasi terang-terangan.{{sfn|Koster|1998|p=114}} Tan Soey Bing dan Tan Oen Tjeng, misalnya, menulis bahwa tak satu pun dari karya-karyanya yang orisinal. Tio Ie Soei, dalam tanggapannya, menyatakan bahwa Lie telah mengubah cerita-cerita yang telah diadaptasi olehnya, dan dengan demikian menunjukkan orisinalitas.{{sfn|Tio|1958|pp=90–91}}
| style="width:50%;"| '''''[[Ejaan Yang Disempurnakan]]'''''
|- style="vertical-align:top; white-space:nowrap;"
| style="width:50%;"|
Faedahnja hoedjan ini, Toewankoe sri Baginda<br/>
Melainkan bri satoe alamat, atawa soewatoe tanda,<br/>
Satoe hal amat adjaib, satoe hal jang tida tida,<br/>
Lantaran sang Poetri, nanti mendjadi ada
| style="width:50%;"|
Faedahnya hujan ini, Tuanku Sri Baginda<br/>
Melainkan beri satu alamat, atau suatu tanda,<br/>
Satu hal amat ajaib, satu hal yang tidak-tidak,<br/>
Lantaran sang Puteri, nanti menjadi ada
|}
Koster melihat kesan-kesan [[Realisme sastra|realisme]] dalam karya ini, terutama realisme idealis yang dipegang kuat pada saat itu di Belanda.{{sfn|Koster|1998|p=111}} Dia mencatat bahwa motif dan [[kausalitas]] lebih ditekankan dalam narasi cerita ini dibandingkan sebagian besar karya-karya kontemporer saat itu. Dia mengamati bahwa ini juga tercermin dalam penokohan cerita ini. Tokoh - meskipun dari kaum bangsawan dan orang suci - diberikan ciri-ciri orang yang bisa ditemukan di kehidupan nyata [[Batavia]] (sekarang [[Jakarta]]). Penggunaan [[tanda baca]], hal lain yang jarang ditemukan dalam literatur lokal kala itu, mungkin juga telah berguna untuk memberikan kesan bacaan yang lebih realistis{{sfn|Koster|1998|pp=107–108}} dan mencerminkan asal karya ini sebagai naskah tertulis, dan bukan dari [[sastra lisan]].{{sfn|Koster|1998|p=110}} Tio Ie Soei menggambarkan ritme karya ini sebagai lebih mirip sebuah pidato daripada sebuah lagu.{{sfn|Koster|1998|p=109}}
 
== Tema ==
Dalam mengeksplorasi kesamaan antara ''Sjair Abdoel Moeloek'' dan ''Siti Akbari'', Zaini-Lajoubert mencatat bahwa nama-nama kerajaan dalam ''Siti Akbari'', kecuali Barham ("Barbam" di Siti Akbari), diambil langsung dari karya yang terbit sebelumnya tersebut. Nama-nama karakter seperti Abdul Muluk ("Abdul Moelan" di ''Siti Akbari'') dan Siti Rapiah ("Siti Akbari"), hanya diganti, meskipun beberapa karakter minor hadir dalam satu cerita dan bukan yang lainnya.{{sfn|Zaini-Lajoubert|1994|p=107}} Elemen plot utama dalam kedua cerita tersebut adalah sama; beberapa unsur, seperti kelahiran dan masa kecil Abdul Muluk dan petualangan putra Siti Rapiah selanjutnya, hadir dalam satu cerita dan bukan yang lainnya - atau dibeberkan lebih detail.{{sfn|Zaini-Lajoubert|1994|p=109}} Namun keduanya sangat berbeda dalam gaya mereka, terutama penekanan Lie pada deskripsi dan realisme.{{sfn|Zaini-Lajoubert|1994|pp=110–112}}
Benitez menulis bahwa pasar dalam ''Siti Akbari'' "menyediakan kemungkinan untuk pertukaran dan koneksi" antara orang-orang dari semua budaya dan latar belakang: pasar menghubungkan mereka. Dia menjelaskan bahwa ini merupakan representasi dari [[heteroglossia]] yang ditawarkan oleh [[bahasa Melayu Rendah|bahasa Melayu pasar]], yang berasal dari pasar.{{sfn|Benitez|2004|p=253}} Karena Lie juga menulis buku tentang [[Malajoe Batawi|tata bahasa Melayu pasar]], Benitez berpendapat bahwa Lie mungkin berharap supaya dialek ini menjadi ''[[lingua franca]]'' di [[Hindia Belanda]].{{sfn|Benitez|2004|p=261}}
 
Benitez menganggap puisi ini menyoroti ketegangan antara "subjektivitas monadik dan otonom" budaya Eropa dan "subjektivitas sosial" [[adat]], dengan tokoh Siti Akbari sebagai "sebuah tempat ketidakstabilan yang membuat nyata baik kemungkinan transformasi sosial, serta kecemasan atas kemungkinan reproduksi sosial yang kacau ".{{sfn|Benitez|2004|p=213}} Sebagai individu, Siti Akbari mampu melawan musuh-musuhnya dan merebut kembali suaminya. Namun pada akhirnya, dia memilih untuk kembali ke hubungan poligaminya dengan Abdul Moelan, sebuah penegasan bahwa tradisi ada di atas modernisme.{{sfn|Benitez|2004|p=253}} Dalam oposisi terhadap Siti Akbari, pedagang Safi Oedin menolak untuk hidup sesuai dengan adat istiadat setempat, sementara ia berada dalam tanah asing dan akhirnya mati. Benitez menulis bahwa ini "dapat dibaca sebagai peringatan bagi mereka yang menolak untuk hidup sesuai dengan adat setempat."{{sfn|Benitez|2004|p=229}} Koster mencatat bahwa - seperti syair pada umumnya - ''Siti Akbari'' bekerja untuk meningkatkan kesadaran atas adat dan sistem nilai tradisional.{{sfn|Koster|1998|pp=99–100}}
==Catatan kaki==
 
Zaini-Lajoubert berpendapat bahwa cerita ini mempromosikan perlakuan terhadap kaum perempuan sebagai orang dengan perasaan dan opini, yang bertentangan dengan pandangan [[patriarkial]] yang umum saat buku ini diterbitkan, bahwa perempuan adalah benda yang tidak berperasaan. Dia menemukan bahwa tokoh-tokoh wanita dalam cerita ini merasakan kesedihan dan kegembiraan; ia mengutip satu bagian di mana Siti Akbari mengaku bahwa dia merasa sudah menunggu "belasan tahon" untuk Abdul Moelan. Zaini-Lajoubert mencatat bahwa tokoh-tokoh perempuan tidak semuanya berpendapat yang sama: meskipun Siti Akbari bersedia untuk menjalani suatu hubungan poligami, Siti Bida Undara harus dibujuk. Namun pada akhirnya, dia menemukan bahwa ''Siti Akbari'' menyampaikan pesan bahwa perempuan harus setia kepada suami mereka.{{sfn|Zaini-Lajoubert|1994|pp=117–118}}
 
== Penerimaan dan warisan ==
[[Berkas:Siti Akbari postcard 2.jpg|jmpl|Sebuah gambar cuplikan promosi dari film ''[[Siti Akbari]]'' (1940).]]
''Siti Akbari'' pertama kali diterbitkan dalam empat [[Jilid (penerbitan)|jilid]] pada tahun 1884. Karya ini terbukti menjadi karya Lie yang paling populer,{{sfnm|1a1=Setiono|1y=2008|1p=235|2a1=Tio|2y=1958|2p=84}} dan yang paling banyak dicetak ulang dari semua karyanya yang diterbitkan.{{sfn|Tio|1958|p=101}} Cetakan ulang pertamanya adalah pada tahun 1913 oleh Hoa Siang Di Kiok, dan yang kedua adalah pada tahun 1922 oleh Kho Tjeng Bie. Kedua cetakan baru tersebut terdiri dari hanya satu jilid,{{sfn|Tio|1958|p=84}} dan menurut Tio, mengandung banyak ketidakakuratan.{{sfn|Tio|1958|p=102}}
 
Cerita ini diterima dengan baik oleh pembacanya, dan meskipun kala itu Lie bukan satu-satunya etnis Tionghoa yang menulis dalam bentuk puisi syair tradisional Melayu, ia menjadi salah satu yang lebih ulung.{{sfn|Klein|1986|p=62}} Lie menganggap karya ini sebagai salah satu karyanya yang terbaik.{{sfn|Tio|1958|p=100}} Pada tahun 1923, [[Kwee Tek Hoay]] - juga seorang penulis ulung - menulis bahwa ia telah terpesona oleh cerita ini saat ia seorang anak, sampai "separoh dari isinya [ia] sudah fahamken di luwar kapala".{{sfn|Tio|1958|p=101}} Kwee menganggap karya ini "banyak berisi ujar pepatah dan nasihat yang begitoe bagus", yang tidak tersedia di tempat lain.{{sfn|Tio|1958|p=101}} Nio Joe Lan menggambarkannya sebagai "ratna manikam dalam persajakan Melayu-Tionghoa", dengan kualitas jauh lebih tinggi daripada puisi Melayu yang ditulis Tionghoa lainnya - baik kontemporer maupun yang sesudahnya.{{sfn|Nio|1962|pp=142–147}}
 
Cerita ini diadaptasi menjadi drama panggung segera setelah dipublikasi, ketika itu ditampilkan oleh kelompok bernama ''Siti Akbari'' di bawah pimpinan Lie.{{sfn|Setiono|2008|p=235}} Lie juga membuat versi yang disederhanakan untuk rombongan aktor remaja yang ia pimpin di Bogor.{{sfn|Tio|1958|pp=42–43}} Pada tahun 1922, cabang [[Sukabumi]] dari ''Shiong Tih Hui'' menerbitkan adaptasi panggung lain dengan judul ''Pembalesan Siti Akbari''; sebelum tahun 1926 drama ini sudah ditampilkan oleh ''[[Miss Riboet]]'', sebuah rombongan teater yang dipimpin oleh Tio Tik Djien.{{efn|Adaptasi ini dicetak ulang oleh [[Yayasan Lontar]] tahun 2006 dengan [[EYD]]{{harv|Lontar Foundation|2006|p=155}}.}} <ref>{{harvnb|De Indische Courant 1928, Untitled}};{{harvnb|Lontar Foundation|2006|p=155}}</ref> Cerita ini tetap populer sampai akhir 1930-an, dan mungkin juga menginspirasi film ''[[Siti Akbari]]'' dari [[Joshua Wong|Joshua]] dan [[Othniel Wong]], yang dibintangi [[Roekiah]] dan [[Rd. Mochtar]]. Tingkat pengaruh karya ini tidak pasti, dan film ini mungkin telah hilang.<ref>{{harvnb|Filmindonesia.or.id, Siti Akbari}};{{harvnb|Biran|2009|p=212}};{{harvnb|Bataviaasch Nieuwsblad 1940, Cinema: Siti Akbari}}</ref>
 
Lie terus bereksperimen dengan prosa bergaya Eropa. Pada tahun 1886 ia menerbitkan ''[[Tjhit Liap Seng]]'' ("Tujuh Bintang"), yang oleh Claudine Salmon dari ''[[École des hautes études en sciences sociales]]'' Prancis dianggap sebagai novel Melayu-Tionghoa pertama.{{sfn|Salmon|1994|p=126}}<!-- Karya ini juga merupakan adaptasi dengan penambahan dari ''Klaasje Zevenster'' karya [[Jacob van Lennep]] (1865) dan ''[[Les Tribulations d'un Chinois en Chine]]'' karya [[Jules Verne]] (1879).--> Lie kemudian menerbitkan empat novel lain, serta beberapa karya terjemahan.{{sfn|Tio|1958|pp=85–86}} Ketika penulis etnis Tionghoa menjadi umum di Hindia Belanda awal 1900-an, para pakar sastra menamakan Lie sebagai "bapak sastra Melayu-Tionghoa" karena kontribusinya, termasuk ''Siti Akbari'' dan ''Tjhit Liap Seng''.{{sfn|Tio|1958|p=87}}
 
Setelah munculnya [[Kebangkitan Nasional Indonesia|gerakan nasionalis]] dan upaya pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk menggunakan [[Balai Pustaka]] dalam mempublikasikan karya sastra untuk konsumsi kaum pribumi, karya ini mulai terpinggirkan. Pemerintah kolonial Belanda menggunakan [[Bahasa Melayu|bahasa Melayu "tinggi"]] sebagai "bahasa administrasi", bahasa untuk urusan sehari-hari, sedangkan kaum nasionalis Indonesia menyesuaikan bahasa tersebut untuk sebagai alat bantuan dalam pembangunan budaya nasional. Sastra Melayu-Tionghoa yang ditulis dalam bahasa Melayu "rendah" menjadi kian terpinggirkan. Benitez menulis bahwa, sebagai akibatnya, hanya ada sedikit analisis ilmiah modern dari ''Siti Akbari''.{{sfn|Benitez|2004|pp=15–16, 82–83}} Meskipun demikian, ahli kebudayaan Tionghoa [[Leo Suryadinata]] menulis pada tahun 1993 bahwa ''Siti Akbari'' tetap merupakan salah satu ''syair'' paling terkenal yang ditulis oleh etnis Tionghoa di Hindia Belanda.{{sfn|Suryadinata|1993|p=103}}
 
== Kritik ==
[[Berkas:Syair Abdul Muluk.jpg|jmpl|160px|Lie meminjam banyak dari ''[[Sjair Abdoel Moeloek]]''.]]
Meskipun ''Sjair Abdoel Moeloek'' dan ''Siti Akbari'' sering ditampilkan di atas panggung, kesamaan di antara keduanya tidak ditemukan selama puluhan tahun.{{sfn|Tio|1958|p=100}} Zaini-Lajoubert menulis bahwa Tio Ie Soei menemukan kesamaan ini saat bekerja sebagai wartawan surat kabar Melayu-Tionghoa ''[[Lay Po]]'' pada tahun 1923. Kwee Tek Hoay mengikuti artikel ini dengan diskusi lain dari asal usul karya tersebut pada tahun 1925.{{sfn|Zaini-Lajoubert|1994|p=103}} Penulis-penulis yang selanjutnya mengkritik karya-karya lain Lie sebagai adaptasi terang-terangan.{{sfn|Koster|1998|p=114}} Tan Soey Bing dan Tan Oen Tjeng, misalnya, menulis bahwa tak satu pun dari karya-karyanya yang orisinal. Tio Ie Soei, dalam tanggapannya, menyatakan bahwa Lie telah mengubah cerita-cerita yang telah diadaptasi olehnya, dan dengan demikian menunjukkan orisinalitas.{{sfn|Tio|1958|pp=90–91}}
 
Dalam mengeksplorasi kesamaan antara ''Sjair Abdoel Moeloek'' dan ''Siti Akbari'', Zaini-Lajoubert mencatat bahwa nama-nama kerajaan dalam ''Siti Akbari'', kecuali Barham ("Barbam" dalam Siti Akbari), diambil langsung dari karya yang terbit sebelumnya tersebut. Nama-nama tokoh seperti Abdul Muluk ("Abdul Moelan" dalam ''Siti Akbari'') dan Siti Rapiah ("Siti Akbari"), hanya diganti, meskipun beberapa tokoh minor hadir dalam satu cerita dan bukan yang lainnya.{{sfn|Zaini-Lajoubert|1994|p=107}} Elemen plot utama dalam kedua cerita tersebut adalah sama; beberapa unsur, seperti kelahiran dan masa kecil Abdul Muluk dan petualangan putra Siti Rapiah selanjutnya, hadir dalam satu cerita dan bukan yang lainnya - atau dibeberkan lebih detail.{{sfn|Zaini-Lajoubert|1994|p=109}} Namun keduanya sangat berbeda dalam gaya mereka, terutama penekanan Lie pada deskripsi dan realisme.{{sfn|Zaini-Lajoubert|1994|pp=110–112}}
 
== Catatan kaki ==
{{notelist}}
{{clear}}
 
== Referensi ==
{{reflist|30em}}
 
== Daftar pustaka ==
==Rujukan==
{{refbegin|40em}}
* {{cite thesis
|url=http://sunzi.lib.hku.hk/ER/detail/hkul/3516232
|type=tesis Ph.D. thesis
|first=J. Francisco B.
|last=Benitez
|title=''Awit'' and ''Syair'': Alternative Subjectivities and Multiple Modernities in Nineteenth Century Insular Southeast Asia
|publisher=University ofUniversitas Wisconsin
|location=Madison
|year=2004
|ref=harv
}} {{subscription required}}
* {{cite book
|title=[[Sejarah Film 1900–1950: Bikin Film di Jawa]]
|language=Indonesia
|trans_title=History of Film 1900–1950: Making Films in Java
|last=Biran
|language=Indonesian
|first=Misbach Yusa
|last=Biran
|firstauthor-link=Misbach Yusa Biran
|location=Jakarta
|author-link=Misbach Yusa Biran
|publisher=Komunitas Bamboo bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta
|location=Jakarta
|year=2009
|publisher=Komunitas Bamboo working with the Jakarta Art Council
|isbn=978-979-3731-58-2
|year=2009
|ref=harv
|isbn=978-979-3731-58-2
|ref=harv
}}
* {{cite newspaper
|title=Cinema: Siti Akbari
|language=DutchBelanda
|newspaper=[[Bataviaasch Nieuwsblad]]
|location=Batavia
|date=1 May 1940
|url=http://kranten.kb.nl/view/article/id/ddd%3A011123090%3Ampeg21%3Ap003%3Aa0057
|ref={{sfnRef|Bataviaasch Nieuwsblad 1940, Cinema: Siti Akbari}}
|publisher=Kolff & Co.
|access-date=2013-07-18
|archive-date=2013-12-02
|archive-url=https://web.archive.org/web/20131202183352/http://kranten.kb.nl/view/article/id/ddd%3A011123090%3Ampeg21%3Ap003%3Aa0057
|dead-url=yes
}}
* {{cite book
|url=http://books.google.ca/books?id=RCxkAAAAMAAJ
|title=Far Eastern literatures in the 20th century: A guide
|trans-title=Sebuah Panduan Sastra Timur Jauh Abad ke-20
|isbn=978-0-8044-6352-2
|isbn=978-0-8044-6352-2
|location=New York
|location=New York
|publisher=Ungar
|publisher=Ungar
|ref=harv
|ref=harv
|author1=Klein
|author1=Klein
|first1=Leonard S
|first1=Leonard S
|year=1986
|year=1986
}}
* {{cite journal
|last=Koster
|first=G.
Baris 130 ⟶ 171:
|url=http://kitlv.library.uu.nl/index.php/btlv/article/viewFile/3207/3968
|pages=95–115
}}{{Pranala mati|date=Maret 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}
* {{cite book
|title=Antologi Drama Indonesia 1895–1930
|language=Indonesia
|editor1-last=Yayasan Lontar
|editor1-link=Yayasan Lontar
|publisher=Yayasan Lontar
|year=2006
|location=Jakarta
|isbn=978-979-99858-2-8
|ref=harv
}}
* {{citeCite book
|title=Antologi DramaSastera Tionghoa-Indonesia 1895–1930
|language=Indonesia
|trans_title=Anthology of Indonesian Dramas 1895–1930
|oclc=3094508
|language=Indonesian
|ref=harv
|editor1-last=Lontar Foundation
|publisher=Gunung Agung
|editor1-link=Lontar Foundation
|location=Jakarta
|publisher=Lontar Foundation
|author1=Nio
|year=2006
|author-link=Nio Joe Lan
|location=Jakarta
|first1=Joe Lan
|isbn=978-979-99858-2-8
|year=1962
|ref=harv
}}
*{{Cite book
|title=Sastera Indonesia-Tionghoa
|trans_title=Indonesian-Chinese Literature
|language=Indonesian
|oclc=3094508
|ref=harv
|publisher=Gunung Agung
|location=Jakarta
|author1=Nio
|author-link=Nio Joe Lan
|first1=Joe Lan
|year=1962
}}
* {{cite journal
|last=Salmon
|first=Claudine
|chaptertitle=Aux origines du roman malais moderne: ''Tjhit Liap Seng'' ou les «"Pléiades»" de Lie Kim Hok (1886–87)
|trans_chaptertrans-title=OnAsal theMula OriginsNovel of theMelayu Modern Malay Novel: ''Tjhit Liap Seng'' or theatau 'Pleiades' ofoleh Lie Kim Hok (1886–1887)
|language=FrenchPrancis
|pages=125–156
|journal=Archipel
Baris 170 ⟶ 209:
|year=1994
|ref=harv
}}
* {{cite book
| language = IndonesianIndonesia
| title = Tionghoa dalam Pusaran Politik
|last1 = Setiono
| trans_title = Indonesia's Chinese Community under Political Turmoil
| last1first1 = SetionoBenny G.
| first1year = Benny G.2008
|publisher = TransMedia Pustaka
| year = 2008
|location = Jakarta
| publisher = TransMedia Pustaka
|isbn = 978-979-96887-4-3
| location = Jakarta
|ref = harv
| isbn = 978-979-96887-4-3
| ref = harv
}}
* {{cite web
| title = Siti Akbari
| language = IndonesianIndonesia
| url = http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-s010-39-092079_siti-akbari
| work = filmindonesia.or.id
| publisher = KonfidenYayasan FoundationKonfiden
| location = Jakarta
| accessdate = 24 JulyJuli 2012
| archiveurl = httphttps://www.webcitation.org/69ORNyFQG?url=http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-s010-39-092079_siti-akbari
| archivedate = 24 July 2012-07-24
| ref = {{sfnRef|Filmindonesia.or.id, Siti Akbari}}
| dead-url = no
}}
* {{Cite book
|url=http://books.google.co.id/books?id=ZvBs66bD5mcC
|title=Chinese Adaptation and Diversity: Essays on Society and Literature in Indonesia, Malaysia & Singapore
|trans-title=Adaptasi dan Keragaman Tionghoa: Esai perihal Masyarakat dan Sastra di Indonesia, Malaysia & Singapura
|isbn=978-9971-69-186-8
|isbn=978-9971-69-186-8
|ref=harv
|ref=harv
|publisher= Singapore University Press
|locationpublisher=Singapore University Press
|location=Singapura
|author1=Suryadinata
|author1=Suryadinata
|first1=Leo
|first1=Leo
|year=1993
|year=1993
}}
* {{cite book
|last=Tio
|first= Ie Soei
|authorlink=Tio Ie Soei
|title=Lie Kimhok 1853–1912
|language=IndonesianIndonesia
|publisher=Good Luck
|location=Bandung
|year=1958
|ref=harv
|oclc= 1069407
}}
* {{cite news
|title=(untitledtanpa judul)
|language=DutchBelanda
|work=De Indische Courant
|publisher= Mij tot Expl. van Dagbladen
|date=19 OctoberOktober 1928
|url=http://kranten.kb.nl/view/paper/id/ddd%3A010221317%3Ampeg21%3Ap004%3Aa0051
|ref={{sfnRef|De Indische Courant 1928, Untitled}}
|access-date=2013-07-18
|archive-date=2013-11-04
|archive-url=https://web.archive.org/web/20131104212407/http://kranten.kb.nl/view/paper/id/ddd%3A010221317%3Ampeg21%3Ap004%3Aa0051
|dead-url=yes
}}
* {{cite journal
|last=Zaini-Lajoubert
|first=Monique
|chaptertitle= Le Syair Cerita Siti Akbari de Lie Kim Hok (1884) ou un avatar du Syair Abdul Muluk (1846)
|trans_chaptertrans-title=Syair Cerita Siti Akbari byoleh Lie Kim Hok (1884), oratau ansebuah AdaptationAdaptasi ofdari Syair Abdul Muluk (1846)
|language=FrenchPrancis
|pages=103–124
|journal=Archipel
Baris 241 ⟶ 285:
|year=1994
|ref=harv
}}
{{refend}}
 
[[Kategori:Buku tahun 1884]]
[[Kategori:Sastra Tionghoa Melayu Tionghoa]]
[[Kategori:Puisi Indonesia]]
[[Kategori:Syair]]