Sair Tjerita Siti Akbari: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Pengembalian |
|||
(43 revisi perantara oleh 17 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{artikel pilihan}}
{{Infobox book
<!-- |italic title = (see above) -->
| name = Sair Tjerita Siti Akbari
| image =
|
| author = [[Lie Kim Hok]]
| title_orig =
Baris 29:
| followed_by =
}}
'''''Sair Tjerita Siti Akbari''''' ([[EYD]]: '''''Syair Cerita Siti Akbari'''''
Ditulis selama beberapa tahun dan dipengaruhi oleh sastra Eropa, ''Siti Akbari'' berbeda dari syair-syair sebelumnya dalam penggunaan penegangan dan penekanan pada [[prosa]] ketimbang bentuk puitis. Syair ini juga menggunakan [[realisme sastra]] Eropa untuk memperluas aliran syair, meskipun mempertahankan beberapa keunggulan dari syair-syair tradisional. Pendapat-pendapat kritis telah menggarisbawahi berbagai aspek cerita syair ini
''Siti Akbari'' meraup sukses baik secara
== Alur ==
Sultan Hindustan Bahar Oedin menjadi marah setelah pamannya, Safi, seorang pedagang, meninggal saat
Tanpa diketahuinya, Siti Akbari yang sedang hamil telah memalsukan kematiannya dan melarikan diri. Setelah beberapa bulan dia menemukan perlindungan di bawah Syaikh ([[Syekh]]) Khidmatullah, yang melatihnya ilmu [[silat]]
Siti Akbari, sebagai "Bahara", meninggalkan Barbam untuk pergi ke Hindustan dan
== Latar belakang dan penulisan ==
[[Berkas:Lie Kim Hok.JPG|
''Siti Akbari'' ditulis oleh [[Lie Kim Hok]], seorang [[peranakan Tionghoa]] kelahiran [[Bogor]] yang dididik oleh misionaris Belanda. Para misionaris memperkenalkannya pada sastra Eropa,
Bukti yang ditemukan setelah kematian Lie pada tahun 1912
Penulisan ''Siti Akbari'' diselesaikan dalam periode beberapa tahun. Lie menyatakan bahwa cerita itu memakan waktu tiga tahun, dengan penulisan secara sporadis.
== Gaya penulisan ==
Kritikus sastra G. Koster menulis bahwa saat menulis ''Siti Akbari'', Lie Kim Hok dibatasi oleh formulasi [[Cerita Panji|Cerita Pandji]] dan puisi [[syair]] yang umum dalam sastra Melayu pada saat itu. Koster mencatat kesamaan struktural mendasar antara ''Siti Akbari'' dan bentuk-bentuk puisi yang ada.{{sfn|Koster|1998|pp=99–100}} Karya ini mengikuti [[arketip]] dari seorang tokoh atau pahlawan yang pergi dari kerajaan yang menaati hukum, menuju ke pengasingan, kemudian ke dalam kerajaan yang kacau; ini, menurut pendapat Koster, merupakan simbol dari siklus [[hukum lisan]].{{sfn|Koster|1998|pp=99–100}} Arketip dan formula semacam ini digunakan dalam karya-karya kontemporer seperti ''[[Syair Siti Zubaidah Perang Cina]]''.{{sfn|Zaini-Lajoubert|1994|p=104}} Perangkat alur di mana seorang wanita menyamarkan dirinya sebagai seorang pria untuk terjun ke dalam perang adalah juga umum dalam [[sastra Melayu]] dan [[sastra Jawa]].{{sfn|Zaini-Lajoubert|1994|pp=104–105}} Lie menyimpang jauh dari tradisi yang mapan,{{sfn|Koster|1998|p=111}} mencampurkan pengaruh sastra Eropa dan [[pribumi]].{{sfn|Benitez|2004|p=207}}
Cerita ini terdiri dari 1.594 kuatrain [[sajak tunggal]] yang dibagi menjadi dua [[bait]], dengan masing-masing bait terdiri dari dua baris, dan tiap baris terdiri dari dua setengah-garis yang dipisahkan oleh [[penggalan (sastra)|penggalan]].{{sfnm|1a1=Benitez|1y=2004|1p=207|2a1=Koster|2y=1998|2p=109}} Sebagian besar baris ini adalah unit sintaksis lengkap, baik [[klausa]] atau [[kalimat]].{{sfn|Koster|1998|p=109}} Koster mencatat bahwa bentuk ini lebih bebas daripada dalam karya-karya yang tradisional, dan sebagai hasilnya syair ini menjadi semacam [[puisi prosa]].{{sfn|Koster|1998|p=110}} Seorang narator yang tidak disebutkan namanya menceritakan kisah dari sudut pandang [[Gaya naratif|orang ketiga yang mahatahu]];{{sfn|Koster|1998|p=103}} tidak seperti karya kontemporer kebanyakan, narator "mengasumsikan otoritas pada dirinya sendiri" dengan menempatkan dirinya dan ide-idenya ke depan, alih-alih bertindak sebagai pihak yang tidak terlibat.{{sfn|Koster|1998|p=105}}
''Siti Akbari'' berbeda dari karya-karya kontemporer dengan memunculkan perasaan [[ketegangan]]. Koster memberikan identitas pedagang Hindustani sebagai contoh: identitas pria itu sebagai paman Sultan tidak diungkap sampai setelah saat yang nyaman dalam cerita. Koster menjelaskan periode di mana pembaca percaya Siti Akbari sudah mati, yang mencakup beberapa halaman, sebagai ciri di luar tradisi yang paling luar biasa dari karya ini. Dia mencatat bahwa, berbeda dari kebanyakan karya-karya kontemporer, syair ini dimulai dengan kutipan,{{sfn|Koster|1998|pp=101–102}} alih-alih sebuah doa kepada [[Allah]] yang umum di kala syair Melayu kala itu.{{sfn|Koster|1998|p=104}} Kutipan ini akhirnya ditunjukkan sebagai ramalan yang terpenuhi:
{| cellpadding=6
|-
| style="width:50%;"| '''''Tulisan asli'''''
| style="width:50%;"| '''''[[Ejaan Yang Disempurnakan]]'''''
|- style="vertical-align:top; white-space:nowrap;"
| style="width:50%;"|
Faedahnja hoedjan ini, Toewankoe sri Baginda<br/>
Melainkan bri satoe alamat, atawa soewatoe tanda,<br/>
Satoe hal amat adjaib, satoe hal jang tida tida,<br/>
Lantaran sang Poetri, nanti mendjadi ada
| style="width:50%;"|
Faedahnya hujan ini, Tuanku Sri Baginda<br/>
Melainkan beri satu alamat, atau suatu tanda,<br/>
Satu hal amat ajaib, satu hal yang tidak-tidak,<br/>
Lantaran sang Puteri, nanti menjadi ada
|}
Koster melihat kesan-kesan [[Realisme sastra|realisme]] dalam karya ini, terutama realisme idealis yang dipegang kuat pada saat itu di Belanda.{{sfn|Koster|1998|p=111}} Dia mencatat bahwa motif dan [[kausalitas]] lebih ditekankan dalam narasi cerita ini dibandingkan sebagian besar karya-karya kontemporer saat itu. Dia mengamati bahwa ini juga tercermin dalam penokohan cerita ini. Tokoh - meskipun dari kaum bangsawan dan orang suci - diberikan ciri-ciri orang yang bisa ditemukan di kehidupan nyata [[Batavia]] (sekarang [[Jakarta]]). Penggunaan [[tanda baca]], hal lain yang jarang ditemukan dalam literatur lokal kala itu, mungkin juga telah berguna untuk memberikan kesan bacaan yang lebih realistis{{sfn|Koster|1998|pp=107–108}} dan mencerminkan asal karya ini sebagai naskah tertulis, dan bukan dari [[sastra lisan]].{{sfn|Koster|1998|p=110}} Tio Ie Soei menggambarkan ritme karya ini sebagai lebih mirip sebuah pidato daripada sebuah lagu.{{sfn|Koster|1998|p=109}}
== Tema ==
Benitez menulis bahwa pasar dalam ''Siti Akbari'' "menyediakan kemungkinan untuk pertukaran dan koneksi" antara orang-orang dari semua budaya dan latar belakang: pasar menghubungkan mereka. Dia menjelaskan bahwa ini merupakan representasi dari [[heteroglossia]] yang ditawarkan oleh [[bahasa Melayu Rendah|bahasa Melayu pasar]], yang berasal dari pasar.{{sfn|Benitez|2004|p=253}} Karena Lie juga menulis buku tentang [[Malajoe Batawi|tata bahasa Melayu pasar]], Benitez berpendapat bahwa Lie mungkin berharap supaya dialek ini menjadi ''[[lingua franca]]'' di [[Hindia Belanda]].{{sfn|Benitez|2004|p=261}}
Benitez menganggap puisi ini menyoroti ketegangan antara "subjektivitas monadik dan otonom" budaya Eropa dan "subjektivitas sosial" [[adat]], dengan tokoh Siti Akbari sebagai "sebuah tempat ketidakstabilan yang membuat nyata baik kemungkinan transformasi sosial, serta kecemasan atas kemungkinan reproduksi sosial yang kacau ".{{sfn|Benitez|2004|p=213}} Sebagai individu, Siti Akbari mampu melawan musuh-musuhnya dan merebut kembali suaminya. Namun pada akhirnya, dia memilih untuk kembali ke hubungan poligaminya dengan Abdul Moelan, sebuah penegasan bahwa tradisi ada di atas modernisme.{{sfn|Benitez|2004|p=253}} Dalam oposisi terhadap Siti Akbari, pedagang Safi Oedin menolak untuk hidup sesuai dengan adat istiadat setempat, sementara ia berada dalam tanah asing dan akhirnya mati. Benitez menulis bahwa ini "dapat dibaca sebagai peringatan bagi mereka yang menolak untuk hidup sesuai dengan adat setempat."{{sfn|Benitez|2004|p=229}} Koster mencatat bahwa - seperti syair pada umumnya - ''Siti Akbari'' bekerja untuk meningkatkan kesadaran atas adat dan sistem nilai tradisional.{{sfn|Koster|1998|pp=99–100}}
Zaini-Lajoubert berpendapat bahwa cerita ini mempromosikan perlakuan terhadap kaum perempuan sebagai orang dengan perasaan dan opini, yang bertentangan dengan pandangan [[patriarkial]] yang umum saat buku ini diterbitkan, bahwa perempuan adalah benda yang tidak berperasaan. Dia menemukan bahwa tokoh-tokoh wanita dalam cerita ini merasakan kesedihan dan kegembiraan; ia mengutip satu bagian di mana Siti Akbari mengaku bahwa dia merasa sudah menunggu "belasan tahon" untuk Abdul Moelan. Zaini-Lajoubert mencatat bahwa tokoh-tokoh perempuan tidak semuanya berpendapat yang sama: meskipun Siti Akbari bersedia untuk menjalani suatu hubungan poligami, Siti Bida Undara harus dibujuk. Namun pada akhirnya, dia menemukan bahwa ''Siti Akbari'' menyampaikan pesan bahwa perempuan harus setia kepada suami mereka.{{sfn|Zaini-Lajoubert|1994|pp=117–118}}
== Penerimaan dan warisan ==
[[Berkas:Siti Akbari postcard 2.jpg|jmpl|Sebuah gambar cuplikan promosi dari film ''[[Siti Akbari]]'' (1940).]]
''Siti Akbari'' pertama kali diterbitkan dalam empat [[Jilid (penerbitan)|jilid]] pada tahun 1884. Karya ini terbukti menjadi karya Lie yang paling populer,{{sfnm|1a1=Setiono|1y=2008|1p=235|2a1=Tio|2y=1958|2p=84}} dan yang paling banyak dicetak ulang dari semua karyanya yang diterbitkan.{{sfn|Tio|1958|p=101}} Cetakan ulang pertamanya adalah pada tahun 1913 oleh Hoa Siang Di Kiok, dan yang kedua adalah pada tahun 1922 oleh Kho Tjeng Bie. Kedua cetakan baru tersebut terdiri dari hanya satu jilid,{{sfn|Tio|1958|p=84}} dan menurut Tio, mengandung banyak ketidakakuratan.{{sfn|Tio|1958|p=102}}
Cerita ini diterima dengan baik oleh pembacanya, dan meskipun kala itu Lie bukan satu-satunya etnis Tionghoa yang menulis dalam bentuk puisi syair tradisional Melayu, ia menjadi salah satu yang lebih ulung.{{sfn|Klein|1986|p=62}} Lie menganggap karya ini sebagai salah satu karyanya yang terbaik.{{sfn|Tio|1958|p=100}} Pada tahun 1923, [[Kwee Tek Hoay]] - juga seorang penulis ulung - menulis bahwa ia telah terpesona oleh cerita ini saat ia seorang anak, sampai "separoh dari isinya [ia] sudah fahamken di luwar kapala".{{sfn|Tio|1958|p=101}} Kwee menganggap karya ini "banyak berisi ujar pepatah dan nasihat yang begitoe bagus", yang tidak tersedia di tempat lain.{{sfn|Tio|1958|p=101}} Nio Joe Lan menggambarkannya sebagai "ratna manikam dalam persajakan Melayu-Tionghoa", dengan kualitas jauh lebih tinggi daripada puisi Melayu yang ditulis Tionghoa lainnya - baik kontemporer maupun yang sesudahnya.{{sfn|Nio|1962|pp=142–147}}
Cerita ini diadaptasi menjadi drama panggung segera setelah dipublikasi, ketika itu ditampilkan oleh kelompok bernama ''Siti Akbari'' di bawah pimpinan Lie.{{sfn|Setiono|2008|p=235}} Lie juga membuat versi yang disederhanakan untuk rombongan aktor remaja yang ia pimpin di Bogor.{{sfn|Tio|1958|pp=42–43}} Pada tahun 1922, cabang [[Sukabumi]] dari ''Shiong Tih Hui'' menerbitkan adaptasi panggung lain dengan judul ''Pembalesan Siti Akbari''; sebelum tahun 1926 drama ini sudah ditampilkan oleh ''[[Miss Riboet]]'', sebuah rombongan teater yang dipimpin oleh Tio Tik Djien.{{efn|Adaptasi ini dicetak ulang oleh [[Yayasan Lontar]] tahun 2006 dengan [[EYD]]{{harv|Lontar Foundation|2006|p=155}}.}} <ref>{{harvnb|De Indische Courant 1928, Untitled}};{{harvnb|Lontar Foundation|2006|p=155}}</ref> Cerita ini tetap populer sampai akhir 1930-an, dan mungkin juga menginspirasi film ''[[Siti Akbari]]'' dari [[Joshua Wong|Joshua]] dan [[Othniel Wong]], yang dibintangi [[Roekiah]] dan [[Rd. Mochtar]]. Tingkat pengaruh karya ini tidak pasti, dan film ini mungkin telah hilang.<ref>{{harvnb|Filmindonesia.or.id, Siti Akbari}};{{harvnb|Biran|2009|p=212}};{{harvnb|Bataviaasch Nieuwsblad 1940, Cinema: Siti Akbari}}</ref>
Lie terus bereksperimen dengan prosa bergaya Eropa. Pada tahun 1886 ia menerbitkan ''[[Tjhit Liap Seng]]'' ("Tujuh Bintang"), yang oleh Claudine Salmon dari ''[[École des hautes études en sciences sociales]]'' Prancis dianggap sebagai novel Melayu-Tionghoa pertama.{{sfn|Salmon|1994|p=126}}<!-- Karya ini juga merupakan adaptasi dengan penambahan dari ''Klaasje Zevenster'' karya [[Jacob van Lennep]] (1865) dan ''[[Les Tribulations d'un Chinois en Chine]]'' karya [[Jules Verne]] (1879).--> Lie kemudian menerbitkan empat novel lain, serta beberapa karya terjemahan.{{sfn|Tio|1958|pp=85–86}} Ketika penulis etnis Tionghoa menjadi umum di Hindia Belanda awal 1900-an, para pakar sastra menamakan Lie sebagai "bapak sastra Melayu-Tionghoa" karena kontribusinya, termasuk ''Siti Akbari'' dan ''Tjhit Liap Seng''.{{sfn|Tio|1958|p=87}}
Setelah munculnya [[Kebangkitan Nasional Indonesia|gerakan nasionalis]] dan upaya pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk menggunakan [[Balai Pustaka]] dalam mempublikasikan karya sastra untuk konsumsi kaum pribumi, karya ini mulai terpinggirkan. Pemerintah kolonial Belanda menggunakan [[Bahasa Melayu|bahasa Melayu "tinggi"]] sebagai "bahasa administrasi", bahasa untuk urusan sehari-hari, sedangkan kaum nasionalis Indonesia menyesuaikan bahasa tersebut untuk sebagai alat bantuan dalam pembangunan budaya nasional. Sastra Melayu-Tionghoa yang ditulis dalam bahasa Melayu "rendah" menjadi kian terpinggirkan. Benitez menulis bahwa, sebagai akibatnya, hanya ada sedikit analisis ilmiah modern dari ''Siti Akbari''.{{sfn|Benitez|2004|pp=15–16, 82–83}} Meskipun demikian, ahli kebudayaan Tionghoa [[Leo Suryadinata]] menulis pada tahun 1993 bahwa ''Siti Akbari'' tetap merupakan salah satu ''syair'' paling terkenal yang ditulis oleh etnis Tionghoa di Hindia Belanda.{{sfn|Suryadinata|1993|p=103}}
== Kritik ==
[[Berkas:Syair Abdul Muluk.jpg|jmpl|160px|Lie meminjam banyak dari ''[[Sjair Abdoel Moeloek]]''.]]
Meskipun ''Sjair Abdoel Moeloek'' dan ''Siti Akbari'' sering ditampilkan di atas panggung, kesamaan di antara keduanya tidak ditemukan selama puluhan tahun.{{sfn|Tio|1958|p=100}} Zaini-Lajoubert menulis bahwa Tio Ie Soei menemukan kesamaan ini saat bekerja sebagai wartawan surat kabar Melayu-Tionghoa ''[[Lay Po]]'' pada tahun 1923. Kwee Tek Hoay mengikuti artikel ini dengan diskusi lain dari asal usul karya tersebut pada tahun 1925.{{sfn|Zaini-Lajoubert|1994|p=103}} Penulis-penulis yang selanjutnya mengkritik karya-karya lain Lie sebagai adaptasi terang-terangan.{{sfn|Koster|1998|p=114}} Tan Soey Bing dan Tan Oen Tjeng, misalnya, menulis bahwa tak satu pun dari karya-karyanya yang orisinal. Tio Ie Soei, dalam tanggapannya, menyatakan bahwa Lie telah mengubah cerita-cerita yang telah diadaptasi olehnya, dan dengan demikian menunjukkan orisinalitas.{{sfn|Tio|1958|pp=90–91}}
Dalam mengeksplorasi kesamaan antara ''Sjair Abdoel Moeloek'' dan ''Siti Akbari'', Zaini-Lajoubert mencatat bahwa nama-nama kerajaan dalam ''Siti Akbari'', kecuali Barham ("Barbam" dalam Siti Akbari), diambil langsung dari karya yang terbit sebelumnya tersebut. Nama-nama tokoh seperti Abdul Muluk ("Abdul Moelan" dalam ''Siti Akbari'') dan Siti Rapiah ("Siti Akbari"), hanya diganti, meskipun beberapa tokoh minor hadir dalam satu cerita dan bukan yang lainnya.{{sfn|Zaini-Lajoubert|1994|p=107}} Elemen plot utama dalam kedua cerita tersebut adalah sama; beberapa unsur, seperti kelahiran dan masa kecil Abdul Muluk dan petualangan putra Siti Rapiah selanjutnya, hadir dalam satu cerita dan bukan yang lainnya - atau dibeberkan lebih detail.{{sfn|Zaini-Lajoubert|1994|p=109}} Namun keduanya sangat berbeda dalam gaya mereka, terutama penekanan Lie pada deskripsi dan realisme.{{sfn|Zaini-Lajoubert|1994|pp=110–112}}
== Catatan kaki ==
{{notelist}}
{{clear}}
== Referensi ==
{{reflist|30em}}
== Daftar pustaka ==
{{refbegin|40em}}
* {{cite thesis
|url=http://sunzi.lib.hku.hk/ER/detail/hkul/3516232
|type=tesis Ph.D.
|first=J. Francisco B.
|last=Benitez
|title=''Awit'' and ''Syair'': Alternative Subjectivities and Multiple Modernities in Nineteenth Century Insular Southeast Asia
|publisher=
|location=Madison
|year=2004
|ref=harv
}}
* {{cite book
|language=Indonesia
|last=Biran
|first=Misbach Yusa
|location=Jakarta
|publisher=Komunitas Bamboo bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta
|year=2009
|isbn=978-979-3731-58-2
|ref=harv
}}
* {{cite newspaper
|access-date=2013-07-18
|archive-date=2013-12-02
|archive-url=https://web.archive.org/web/20131202183352/http://kranten.kb.nl/view/article/id/ddd%3A011123090%3Ampeg21%3Ap003%3Aa0057
|dead-url=yes
}}
* {{cite book
|trans-title=Sebuah Panduan Sastra Timur Jauh Abad ke-20
|isbn=978-0-8044-6352-2
|location=New York
|publisher=Ungar
|ref=harv
|author1=Klein
|first1=Leonard S
|year=1986
}}
* {{cite journal
|last=Koster
|first=G.
Baris 130 ⟶ 171:
|url=http://kitlv.library.uu.nl/index.php/btlv/article/viewFile/3207/3968
|pages=95–115
}}{{Pranala mati|date=Maret 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}
* {{cite book
|title=Antologi Drama Indonesia 1895–1930
|language=Indonesia
|editor1-last=Yayasan Lontar
|editor1-link=Yayasan Lontar
|publisher=Yayasan Lontar
|year=2006
|location=Jakarta
|isbn=978-979-99858-2-8
|ref=harv
}}
* {{
|language=Indonesia
|oclc=3094508
|ref=harv
|publisher=Gunung Agung
|location=Jakarta
|author1=Nio
|author-link=Nio Joe Lan
|first1=Joe Lan
|year=1962
}}
* {{cite journal
|last=Salmon
|first=Claudine
|
|
|language=
|pages=125–156
|journal=Archipel
Baris 170 ⟶ 209:
|year=1994
|ref=harv
}}
* {{cite book
|
|
|last1 = Setiono
|
|
|publisher = TransMedia Pustaka
|location = Jakarta
|isbn = 978-979-96887-4-3
|ref = harv
}}
* {{cite web
| title = Siti Akbari
| language =
| url = http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-s010-39-092079_siti-akbari
| work = filmindonesia.or.id
| publisher =
| location = Jakarta
| accessdate = 24
| archiveurl =
| archivedate =
| ref = {{sfnRef|Filmindonesia.or.id, Siti Akbari}}
| dead-url = no
}}
* {{Cite book
|trans-title=Adaptasi dan Keragaman Tionghoa: Esai perihal Masyarakat dan Sastra di Indonesia, Malaysia & Singapura
|isbn=978-9971-69-186-8
|ref=harv
|location=Singapura
|author1=Suryadinata
|first1=Leo
|year=1993
}}
* {{cite book
}}
* {{cite news
|access-date=2013-07-18
|archive-date=2013-11-04
|archive-url=https://web.archive.org/web/20131104212407/http://kranten.kb.nl/view/paper/id/ddd%3A010221317%3Ampeg21%3Ap004%3Aa0051
|dead-url=yes
}}
* {{cite journal
|last=Zaini-Lajoubert
|first=Monique
|
|
|language=
|pages=103–124
|journal=Archipel
Baris 241 ⟶ 285:
|year=1994
|ref=harv
}}
{{refend}}
[[Kategori:Buku tahun 1884]]
[[Kategori:Sastra
[[Kategori:Puisi Indonesia]]
[[Kategori:Syair]]
|