Kesultanan Gowa: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
(434 revisi antara oleh lebih dari 100 100 pengguna tak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Infobox Former Country
| conventional_long_name = Kesultanan Gowa - Tallo
| common_name = Kesultanan Makassar
| native_name = ᨀᨀᨑᨕᨙᨂ ᨆᨀᨔᨑ
| life_span = 1320–1905<br />1936–1957
| continent = Asia, Oseania
| region = Asia Tenggara
| image_flag = Flag of the Sultanate of Gowa.svg
| image_map = 72741188_635861553612999_6923888748925026304_n.jpg
| image_map_alt =
| image_map_caption = Wilayah yang berada di bawah pengaruh Kesultanan Gowa-Tallo pada abad ke-17
| country = Indonesia
| religion = [[Islam Sunni]] (pada 1607)</br>
| official_languages = [[Bahasa Makassar|Makassar]]
| date_event10 = 1936<ref>{{Cite thesis|last=Akbar|title=Jaringan Pelayaran dan Perdagangan Beras di Sulawesi Selatan pada Tahun 1946-1950|date=2019|degree=|publisher=hlm. 47|first=Adil}}</ref>
| year_end = 1957|event_start
| p1 = 9 kerajaan kecil yang menjadi cikal bakal bate salapang
| flag_p1 =
| s1 = Hindia Belanda
| flag_s1 = Flag_of_the_Netherlands.svg
| capital = [[Tamalate, Makassar|Tamalate]]<br>(1320–1548)<br>[[Somba Opu, Gowa|Somba Opu]]<br>(1548–1670)<br>[[Kalegowa, Somba Opu, Gowa|Kalegowa]]<br>(1670–1680)<br>[[Ujung Tanah, Makassar|Ujung Tanah]]<br>(1680–1684)<br>[[Mangallekana, Labakkang, Pangkajene dan Kepulauan|Mangallekana]]<br>(1684–1692)<br>[[Kalegowa, Somba Opu, Gowa|Kalegowa]]<br>(1692–1702)<br>Balla Kiria<br>(1702–1720)<br>[[Katangka, Somba Opu, Gowa|Katangka]]<br>(1720–1722)<br>Pabineang<br>(1722–1727)<br>Mallengkeri<br>(1727–1753)<br>[[Kalegowa, Somba Opu, Gowa|Kalegowa]]<br>(1753–1895)<br>[[Jongaya, Tamalate, Makassar|Jongaya]]<br>(1895–1906)<br>[[Balla Lompoa|Sungguminasa]]<br>(1936–1957)
| government_type = [[Monarki absolut]]
| title_leader = [[Sultan]], ''ᨔᨚᨅᨐ ᨑᨗ ᨁᨚᨓ = Sombayya ri Gowa''
| leader1 = [[Tumanurung bainea]]
| year_leader1 = ±1320
| leader2 = [[Sultan Hasanuddin|I Mallombasi Daeng Mattawang Muhammad Baqir Karaeng Bonto Mangngape '''Sultan Hasanuddin''' ''Tumenanga ri Balla'pangkana'']]
| year_leader2 = 1653-1669
| leader3 = [[Andi Idjo daeng mattawang Karaeng laloang sultan Muhammad abdul Kadir aiduddin tumenanga ri jongaya]]
| year_leader3 = 1956–1978
(Menyatakan diri sebagai somba terakhir)
| today = {{flag|Indonesia}}<br>{{flag|Filipina}}<br>{{flag|Malaysia}}<br>{{flag|Timor-Leste}}<br>{{flag|Australia}}
| flag_s2 = Flag of Indonesia.svg
| s2 = Republik Indonesia
| p2 =
| flag_p2 = }}
{{Sejarah Indonesia|Kerajaan Islam}}
[[File:Tamalate Palace of Gowa Kingdom.jpg|thumb|Tamalate Palace in Sungguminasa, Gowa Regency. The palace was where the kings of Gowa kingdom governed its territories from. Local people call it Balla' Lompoa (The House of Greatness)| Istana Tamalate yang berada di [[Sungguminasa]], [[Gowa]], [[Sulawesi Selatan]]]]
'''Kesultanan Gowa''' (kadang disebut Kerajaan Gowa atau Kerajaan Gowa Tallo''') atau [[Kesultanan Makassar]]''' ([[bahasa Makassar]]: {{script|Makassar|ᨀᨙᨔᨘᨒᨘᨈᨊ ᨁᨚᨓ}})
adalah sebuah [[Kesultanan]] yang berpusat di daerah [[Sulawesi Selatan]], tepatnya di jazirah selatan dan pesisir barat [[Semenanjung Selatan, Pulau Sulawesi|semenanjung]] yang didiami oleh [[suku Makassar]]. Wilayah inti bekas kerajaan ini sekarang berada di bawah [[Kabupaten Gowa]], [[Kota Makassar|Kotamadya Makassar]], [[Kabupaten Takalar]], [[kabupaten Maros]], sebagian [[kabupaten Pangkep]], [[kabupaten Bantaeng]], [[kabupaten jeneponto]], [[kabupaten Sinjai]], [[kabupaten Bulukumba]], [[kabupaten Selayar|kabupaten Selayar]], serta beberapa kerajaan bawahan dan taklukan hampir seluruh kawasan [[timur Indonesia]], sebagian Utara [[Australia]], dan ujung selatan Philipina, 1/3 pulau Borneo.
Berawal dari ''[[chiefdom]]'' yang didirikan pada awal abad ke-14 (1320). Kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaannya bersama [[Kerajaan Tallo]] sekitar tahun 1511 hingga 1669, ketika kerajaan ini memegang hegemoni militer dan perdagangan atas wilayah timur Nusantara, termasuk di antaranya sebagian besar Sulawesi, beberapa bagian dari Maluku dan Nusa Tenggara, pesisir timur Kalimantan hingga [[Wilayah Utara]]. Dalam prosesnya menjadi kekaisaran maritim, Kerajaan Gowa mengembangkan berbagai inovasi dalam bidang pemerintahan, ekonomi dan militer. Perubahan sosial budaya yang drastis juga terjadi seiring mengeratnya hubungan antara Kerajaan Gowa dan dunia luar, terutama setelah Kerajaan Gowa mengadopsi Islam sebagai agama resmi pada awal 1607.
Kekalahan Kerajaan Gowa dalam [[Perang Makassar]] yang terjadi pada tahun 1669 mengakibatkan lepasnya wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa di luar Sulawesi Selatan, sementara sebagian kecil wilayahnya diberikan kepada [[VOC]]. Meski begitu, Kerajaan Gowa tetap bertahan sebagai negeri merdeka hingga awal abad ke-20, ketika [[Hindia Belanda|pemerintah kolonial Belanda]] mengalahkan Gowa dalam [[Ekspedisi Sulawesi Selatan]] dan menjadikannya daerah koloni mereka.
== Warisan Kesultanan Gowa ==
# [[Balla Lompoa]]
# [[Masjid Katangka]]
# [[Paotere|Palabuhan Paotere]]
# [[Fort Rotterdam|Benteng Ujung Pandang]]
# [[Makam Sultan Hasanuddin|Makam raja-raja Gowa]]
# [[Makam raja-raja Tallo]]
# [[Baju Bodo]]
# [[Pinisi|Perahu Palari]]
# [[Songkok Guru]]
# [[Coto Makassar]]
# [[Aksara Lontara|Lontara Makassar]]
# [[Patorani|Perahu Patorani]]
# [[Benawa|Perahu Banawa]]
== Sejarah ==
=== Sejarah awal ===
{{utama|Sejarah awal Gowa dan Tallo}}
[[Berkas:Makassar historical record.jpg|250px|jmpl|Catatan sejarah Gowa yang ditulis dalam [[bahasa Makassar|bahasa]] dan [[aksara Makassar]]]]
Naskah [[Kronik Gowa|''Lontara Patturioloang'' Gowa]] menyebutkan bahwa keturunan penguasa Kerajaan/Kesultanan Gowa berawal dari perkawinan ''Tumanurung'' yang secara harfiah dapat diartikan orang tidak diketahui asal muasalnya secara pasti dengan seorang bangsawan yang hanya dikenali dengan Karaeng Bayo",{{sfnp|Cummings|2002|pp=25, 149–153}}{{sfnp|Abidin|1983}} sebagai perkawinan antara wanita bangsawan setempat dan penguasa.{{sfnp|Bulbeck|1992|pp=32–34}}{{sfnp|Bulbeck|2006|p=287}} Bangsawan-bangsawan ''Bate Salapanga'' di Gowa pun bersepakat membentuk negeri dan mengangkat mereka berdua suami-istri sebagai penguasa.{{sfnp|Cummings|2002|p=25}} Bukti genealogis dan arkeologis mengisyaratkan bahwa pembentukan negeri Gowa terjadi pada sekitar tahun 1320 Masehi.{{sfnp|Bulbeck|1992|pp=34, 231, 473, 475, antara lain}}{{sfnp|Bulbeck|1993}} Para ahli mengaitkan kemunculan Kerajaan Gowa dan negeri-negeri di Sulawesi Selatan lainnya dengan [[pertanian intensif|intensifikasi pertanian]] dan [[pemerintahan terpusat|pemusatan pemerintahan]] besar-besaran pada abad ke-14, yang dipicu oleh naiknya permintaan luar bagi beras Sulawesi Selatan.{{sfnp|Bulbeck|Caldwell|2000|p=107}}{{sfnp|Druce|2009|pp=34–36}}{{sfnp|Pelras|1996|pp=100–103}} Kepadatan penduduk turut meningkat seiring dengan pergantian dari budaya [[peladangan|meladang]] kepada budi daya [[sawah|padi lahan basah]] secara intensif. Hutan-hutan di pedalaman semenanjung pun [[deforestasi|dibuka]] untuk memberi tempat bagi pemukiman-pemukiman agraris baru,{{sfnp|Pelras|1996|pp=98–100}} termasuk Gowa yang awalnya juga merupakan ''[[chiefdom]]'' pedalaman yang berbasiskan budi daya padi.{{sfnp|Bulbeck|1993}}
Dalam perang tahta antara dua putra "Sombaya ri Gowa" atau Raja di Kerajaan Gowa yang ke-enam bernama [[tunatakalopi]] atau [[Harya Tarunaba|Harya tarunaba]]<ref>{{Cite web|date=2020-07-13|title=PARA KETURUNAN PRABU BRAWIJAYA V (MAJAPAHIT) MENJADI PARA PENGUASA NUSANTARA, DAN MENURUNKAN PARA RAJA JAWA SELANJUTNYA (DEMAK, PAJANG, MATARAM, DAN SETERUSNYA)|url=https://globalcybernews.com/2020/07/13/para-keturunan-prabu-brawijaya-v-majapahit-menjadi-para-penguasa-nusantara-dan-menurunkan-para-raja-jawa-selanjutnya-demak-pajang-mataram-dan-seterusnya/|website=Global Cyber News|language=en-GB|access-date=2023-07-06}}</ref> <ref>{{Cite web|last=Kebumen|first=Pemerintah Kabupaten|title=SILSILAH RAJA MAJAPAHIT: INILAH DAFTAR 117 ANAK PRABU BRAWIJAYA V {{!}} Diantaranya Mungkin Leluhur Anda|url=https://tepakyang.kec-adimulyo.kebumenkab.go.id/index.php/web/artikel/4/309|website=Website Resmi Desa Tepakyang Kecamatan ADIMULYO Kabupaten Kebumen|language=id|access-date=2023-07-06}}</ref>yang masih putra brawijaya V menikahi putri gowa sehingga memiliki putra bergelar [[Batara Gowa|Bhatara Gowa]]. pada akhir abad ke-15, [[Batara Gowa Tuniawanga ri Parallakkenna]] mengalahkan saudaranya [[Karaeng Loe ri Sero']]. Karaeng Loe ri Sero' kemudian menuju ke muara Sungai Tallo dan mendirikan negeri baru yang dikemudian hari dinamakan Tallo,{{sfnp|Cummings|2007b|pp=100–105}}{{sfnp|Bulbeck|1992|pp=430–432}} yang kemudian berkembang menjadi negara maritim berbasis niaga.{{sfnp|Reid|1983}}{{sfnp|Cummings|2007a|pp=2–5, 83–85}} Hingga abad ke-16, bagian barat Sulawesi Selatan terdiri dari negeri-negeri sama kuat yang saling bersekutu dan bersaing satu sama lain, tanpa ada satu pun yang mampu menguasai keseluruhannya.{{sfnp|Bulbeck|1992|pp=123–125}} Putra Batara Gowa, [[Sejarah awal Gowa dan Tallo#Masa pemerintahan Karaeng Tumapa'risi Kallonna (sekitar 1511–1546)|Karaeng Tumapaʼrisiʼ Kallonna]] (berkuasa sekitar 1511–1546), memecahkan keadaan ''status quo'' ini dengan menaklukkan pesisir Garassi' serta menyerang setidaknya tiga belas negeri [[Suku Makassar|bersuku Makassar]] lainnya.{{sfnp|Cummings|2007a|pp=32–33}}{{sfnp|Druce|2009|pp=241–242}}{{sfnp|Bulbeck|1992|p=125}} Pada akhir 1530-an atau awal 1540-an, Kerajaan Gowa memenangkan perang melawan Kerajaan Tallo dan sekutu-sekutunya.{{sfnp|Bulbeck|1992|pp=117–118}}{{sfnp|Cummings|2000|p=29}} Kerajaan Gowa pun menjadi negeri paling dominan di tanah suku Makassar dan diakui sebagai saudara tua oleh Kerajaan Tallo.{{sfnp|Cummings|2014|pp=215–218}}{{sfnp|Bulbeck|1992|pp=127–131}} Sombaya Tumapaʼrisiʼ Kallonna mengembangkan birokrasi kerajaan dengan menunjuk [[Daeng Pamatte|Daeng Pamatteʼ]] sebagai ''[[syahbandar|sabannaraʼ]]'' (syahbandar) pertama.{{sfnp|Bulbeck|1992|pp=105–107}} Penyusunan catatan sejarah serta hukum tertulis kerajaan juga dimulai pada masa pemerintahannya.{{sfnp|Cummings|2002|p=216}}{{sfnp|Cummings|2007a|pp=32–33}} Ia juga kemungkinan merupakan penguasa Kerajaan Gowa yang pertama kali membangun [[benteng Somba Opu]].{{sfnp|Cummings|2007a|p=57}}{{sfnp|Bulbeck|1992|p=126}}
Penguasa Kerajaan Gowa berikutnya, [[Sejarah awal Keraiaan Gowa dan Kerajaan Tallo#Masa pemerintahan Kara3ng Tunipalangga (sekitar 1546–1565)|Karaeng Tunipalangga]] (memerintah sekitar 1546–1565) memperluas pengaruh Kerajaan Gowa melalui serangkaian agresi militer. Ia juga melakukan inovasi dalam bidang teknologi persenjataan dan pertahanan.{{sfnp|Cummings|2007a|pp=33–36, 56–59}}{{sfnp|Andaya|1981|pp=25–26}}{{sfnp|Bulbeck|1992|p=126}} Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Gowa mengalahkan seluruh pesaingnya di pesisir barat dan memperluas pengaruhnya hingga ke wilayah [[Sulawesi Tengah]].{{sfnp|Druce|2009|pp=232–235, 244}}{{sfnp|Bougas|1998|p=92}} Sombaya Tunipalangga juga menerima orang-orang Melayu dan Nusantara Barat lainnya untuk bermukim dan sekaligus berniaga di negerinya.{{sfnp|Sutherland|2004|p=79}} Ia bahkan mengadakan perjanjian dengan salah satu pemimpin mereka dan memperbolehkan mereka untuk tinggal secara permanen di dalam wilayah Kerajaan Gowa tanpa harus mengikuti hukum adat setempat.{{sfnp|Cummings|2007a|p=34}}{{sfnp|Andaya|1981|p=27}}{{sfnp|Cummings|2014|pp=219–221}} Para pedagang ini kemungkinan juga turut terlibat dalam reformasi ekonomi yang berkontribusi pada kemajuan pesat Kerajaan Gowa sebagai bandar persinggahan utama di Nusantara bagian timur kala itu.{{sfnp|Andaya|2011|pp=114–115}} Sombaya Tunipalangga juga mengembangkan birokrasi Keraiaan Gowa lebih lanjut dengan menciptakan jabatan ''Tumilalang atau Tumailalang'' yang artinya "orang di dalam" (menteri dalam negeri???{{sfnp|Gibson|2007|p=45}}) untuk mengambil alih tugas-tugas nondagang ''sabannaraʼ'',{{sfnp|Cummings|2002|p=112}}{{sfnp|Bulbeck|1992|p=107}} serta mengangkat ''Tumakkajannangngang'' atau kepala pengrajin yang bertugas mengawasi pekerjaan ??? (Dari versi lain, jabatan "Tumakkajannangngang" atau lengkapnya "Anrongguru Lompona Tukkajannangnganga" adalah jabatan Panglima Angkatan perang Kerajaan/Kesultanan Gowa yang di masa pemerintahan Raja (Sultan) atau Sombaya ri Gowa ke 15, jabatan tersebut diduduki oleh putra Beliau yaitu I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla'pangkana yang dijuluki oleh admiral VOC Cornelius Spellman dengan julukan De Haantjes van Het Osten atau Ayam Jantan dari Timur, dalam bahasa Makassarnya; Jangang Pallakina Butta Irayayya, dan juga pada masa akhir Kesultanan Gowa para masa pemerintahan Sombaya ri Gowa XXXVI Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aiduddin Tumenanga ri Jongaya yang dijabat oleh salah satu kerabatnya yang bernama Andi Laoddanriu Karaeng Bontonompo) [[gilda|serikat-serikat pengrajin]] di Makassar.{{sfnp|Gibson|2005|p=45}}{{sfnp|Bulbeck|2006|p=292}}
Perluasan pengaruh Kerajaan Gowa di pesisir barat memicu respons agresif dari Kerajaan Bone di sebelah timur. Perang meletus pada awal 1560-an, dan baru berakhir pada 1565 dengan kekalahan Gowa. [[Karaeng Tunibatta]], saudara dan penerus Sombaya Tunipalangga, mati dipenggal (Nibatta) oleh musuh.{{sfnp|Cummings|2007a|p=36}}{{sfnp|Pelras|1996|pp=131–132}}{{sfnp|Andaya|1981|p=29}} Selepas kematian Tunibatta, penguasa Kerajaan Tallo [[I Mappatakangkang Tana Daeng Padulung Tuminanga ri Makkoayang|I Mappatakangkang Tana Daeng Padulung Tumenanga ri Makkoayang]] naik sebagai ''[[Tuma'bicara butta]] atau juru bicara negeri'' (perdana menteri???) pertama Gowa??? dan mengangkat [[Tunijallo|Karaeng Tunijalloʼ]], putra Karaeng Tunibatta, sebagai penguasa Gowa.{{sfnp|Reid|1981}}{{sfnp|Bulbeck|1992|p=102}} Sejak saat itu, penguasa Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo berbagi posisi dalam memimpin keseluruhan negeri Gowa dan negeri Tallo secara bersama-sama.{{sfnp|Cummings|1999|pp=109–110}}{{sfnp|Cummings|2007a|p=86}} Karaeng Tunijalloʼ mengakhiri peperangan dengan menandatangani Perjanjian Caleppa atau "Ulu Kanaya ri Caleppa" antara Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone,{{sfnp|Pelras|1996|pp=131–132}}{{sfnp|Andaya|1981|p=29}} yang mempertahankan kedamaian di semenanjung selama kurang lebih enam belas tahun berikutnya.{{sfnp|Druce|2014|p=152}} Selama itu pula, Sombaya Tunijalloʼ dan Karaeng Tumenanga ri Makkoayang melanjutkan kebijakan-kebijakan pro-perniagaan penguasa sebelumnya dan mengikat persahabatan dengan negeri-negeri lain di Nusantara.{{sfnp|Cummings|2007a|p=41}}{{sfnp|Cummings|2002|p=22}}{{sfnp|Pelras|1994|p=139}}
<!--
=== Perang melawan ''Tellumpoccoe'' dan masa pemerintahan Tunipasulu (1582–1593) ===
[[Berkas:Gowa-Tallo vs Tellumpoccoe 1590 id.png|jmpl|kiri|Peta geopolitik Sulawesi Selatan sekitar tahun 1590, yang menggambarkan terbelahnya semenanjung antara Kerajaan Gowa dan persekutuan ''Tellumpoccoe''.]]
Bone merasa terancam oleh pengaruh Kerajaan Gowa yang kian berkembang. Sementara, perlakuan semena-mena Kerajaan Gowa terhadap negeri-negeri suku Bugis yang menjadi vasalnya, Soppeng dan Wajo, membuat mereka merasa kehilangan kedaulatan.{{sfnp|Pelras|1996|p=133}} Maka, pada tahun 1582, Bone, Wajo, dan Soppeng menandatangani Perjanjian Timurung (Lamung patue ri Timurung) yang menetapkan hubungan ketiga negara sebagai persekutuan antarsaudara, dengan Bone sebagai saudara tuanya.{{sfnp|Andaya|1981|p=30}} Aliansi pimpinan Bone ini disebut [[Persekutuan Tellumpoccoe|''Tellumpoccoe'']] (secara harfiah bermakna "Tiga Puncak" atau "Tiga Kekuatan"), yang bertujuan mengukuhkan kembali kedaulatan kerajaan-kerajaan Bugis ini dan menghentikan perluasan wilayah Kerajaan Gowa.{{sfnp|Andaya|1981|p=30}}{{sfnp|Pelras|1996|p=133}}{{sfnp|Druce|2009|p=246}} Merasa diprovokasi, Kerajaan Gowa mengirimkan serentetan serangan ke timur (beberapa di antaranya dibantu oleh Kerajaan Luwu, suatu negeri lainnya{{sfnp|Pelras|1996|p=133}}), dimulai dengan penyerbuan Wajo pada 1583 yang berhasil dihalau oleh pasukan gabungan ''Tellumpoccoe''.{{sfnp|Andaya|1981|p=30}} Kampanye militer terhadap Bone pada tahun 1585 dan 1588 juga sama gagalnya.{{sfnp|Andaya|1981|p=30}} Pada saat yang sama, dalam perlawanan mereka terhadap Kerajaan Gowa, ''Tellumpoccoe'' berusaha merintis koalisi seluruh Kerajaan-Kerajaan Bugis dengan mempertalikan dinasti mereka pada negeri-negeri Bugis di Aja'tappareng melalui pernikahan.{{sfnp|Druce|2009|p=246}} Sombaya Tunijallo memutuskan untuk menyerang Wajo sekali lagi pada 1590, tetapi ia mati [[amuk|diamuk atau Nijallo' dalam bahasa Makassar]] seorang bawahannya ketika memimpin armada perang Kerajaan Gowa di lepas pantai barat Sulawesi Selatan.{{sfnp|Cummings|2007a|p=38}}{{sfnp|Pelras|1996|p=133}} Pada tahun 1591, Perjanjian Caleppa diperbarui untuk mengembalikan kedamaian di semenanjung.{{sfnp|Andaya|1981|p=30}} Kejadian ini juga menandai kesuksesan persekutuan ''Tellumpoccoe'' dalam menghalau supremasi Kerajaan Gowa.
Pada kurun waktu yang sama, perubahan-perubahan besar terjadi dalam panggung perpolitikan di tanah suku Makassar. Karaenga ri Tallo Tuminanga ri Makkoayang mangkat pada 1577{{sfnp|Bulbeck|1992|p=30}} dan digantikan oleh putrinya (Karaeng Bainea) I Sambo Daeng Niasseng Karaeng Pattingalloang, yang juga merupakan istri/permaisuri Sombaya Tunijallo.{{sfnp|Cummings|2007a|p=87}} ''Kronik Tallo'' menyebutkan bahwa Sombaya Tunijallo dan Karaeng Bainea memimpin Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo secara bersama-sama,{{sfnp|Cummings|2007a|p=87}} walaupun tampaknya Karaeng Bainea lebih banyak menuruti kemauan suaminya{{sfnp|Cummings|2014|p=217}} dan tidak punya pencapaian bermakna yang tercatat selain inovasi dalam pembuatan hasta karya.{{sfnp|Bulbeck|1992|p=103}} Setelah Sombaya Tunijallo terbunuh pada tahun 1590, [[Karaeng Matoaya]] I Mallingkaang Daeng Mannyonri, putra Karaeng Tuminanga ri Makkoayang dan saudara laki-laki Karaeng Bainea{{sfnp|Cummings|2007a|p=94}} yang berusia 18 tahun, dilantik sebagai ''tumabicara butta???'' (bali empona Sombaya ri Gowa) yang baru. Karaeng Matoaya lalu mengangkat [[Tunipasulu]], putra Tunijallo yang masih berusia 15 tahun, sebagai Sombaya ri Gowa.{{sfnp|Bulbeck|1992|p=103}} Namun, Karaeng Tunipasulu juga mengklaim tahta Kerajaan Tallo, walaupun dirinya sudah menjadi penguasa Keraiaan Gowa.{{efn|Klaim Sombaya Tunipasulu didasarkan pada statusnya sebagai putra dari penguasa Kerajaan Gowa, Karaeng Tunijallo, dan penguasa Kerajaan Tallo, Karaeng Bainea (Ratu; Permaisuri). Meskipun pemerintahannya di Kerajaan Gowa diakui, usahanya untuk mengklaim tahta Lerajaan Tallo dianggap tidak sah dan hanya disebut sekilas di dalam ''Kronik/Lontara' Tallo''.{{sfnp|Cummings|2007a|p=94}}}}{{sfnp|Cummings|2005b}} Ia juga sempat mengambil alih secara paksa tahta negara vasal Marusu' setelah kematian penguasanya.{{sfnp|Cummings|2000}} Kejadian ini memperluas wilayah kekuasaan langsung raja Gowa hingga mencapai skala terbesar dalam sejarah.{{sfnp|Bulbeck|2006|p=306}} Merasa percaya diri dengan posisinya, Sombaya Tunipasulu berusaha memusatkan kekuatan kepada dirinya seorang.{{sfnp|Cummings|2005b}}{{sfnp|Cummings|1999|pp=110–111}}{{sfnp|Gibson|2005|p=154}} Ia memindahkan pusat tahta kerajaan ke Benteng Somba Opu{{sfnp|Gibson|2005|p=154}} serta menyita properti, mengasingkan, bahkan mengeksekusi kalangan aristokrat demi melemahkan perlawanan mereka terhadap kuasa prerogatifnya.{{sfnp|Reid|1981}}{{sfnp|Cummings|2005b}} Banyak kalangan bangsawan dan komunitas Melayu yang kabur dari dalam wilayah Kerajaan Gowa karena takut akan pemerintahan Sombaya Tunipasulu yang semena-mena.{{sfnp|Cummings|2005b}}
Karaeng Tunipasulu ditumbangkan pada tahun 1593 dalam sebuah gerakan dalam istana yang kemungkinan diawali oleh Karaeng Matoaya, orang yang sama yang telah menobatkan Sombaya Tunipasulu.{{sfnp|Cummings|2005b|p=46}} Mantan Sombaya ri Gowa ini lalu mengasingkan diri hingga kematiannya di timur [[Pulau Buton|Buton]] pada tahun 1617, meskipun selama sisa hidupnya ia mungkin terus menjalin hubungan dengan para pendukungnya di Kerajaan Gowa.{{sfnp|Cummings|2005b|p=42}} Posisi Karaeng Matoaya sebagai " Karaenga ri Tallo " dikukuhkan, dan ia menobatkan putra mahkota yang masih berusia tujuh tahun, [[Sultan Alauddin|I Mangnga'rangi Daeng Manrabbia]] (di kemudian hari digelari Sultan Alauddin) sebagai Sombaya ri Gowa.{{sfnp|Cummings|2007a|pp=6, 43}} Jabatan Karaeng Marusu' (Maros) dikembalikan setelah kekosongan tahta selama beberapa tahun.{{sfnp|Cummings|2000}} Insiden pengusiran Tunipasulu' (Dikeluarkan) memastikan otonomi bagi para bangsawan, menggariskan batasan bagi wewenang Sombaya ri Gowa, serta mengembalikan keseimbangan pengaruh antara Kerajaan Gowa, Kerajaan Tallo, dan negeri negeri suku Makassar lainnya.{{sfnp|Cummings|2005b}} Sejak saat itu, wilayah-wilayah di dalam kekuasaan Kerajaan Gowa dipimpin oleh gabungan dinasti-dinasti yang berkuasa. Dalam sistem ini, wangsa kerajaan Gowa berperan sebagai ''[[primus inter pares]]'' ("yang pertama di antara yang setara"), meskipun Kerajaan Tallo, tempat asal para ''tumabicara butta'', sering kali merupakan negeri paling dominan secara ''de facto''.{{sfnp|Bulbeck|2006|p=288}} Selama empat dasawarsa berikutnya, Karaeng Matoaya mempelopori perkembangan syi'ar Islam di Sulawesi Selatan serta ekspansi pesat Kesultanan Gowa hingga ke [[Kepulauan Maluku|Maluku]] dan [[Nusa Tenggara]].{{sfnp|Reid|1981}} Dapat dikatakan bahwa pengusiran Sombaya Tunipasulu' dan bermulanya pemerintahan perwalian Karaeng Matoaya menandai akhir dari ekspansi permulaan Kesultanan Gowa dan awal dari sebuah era baru dalam sejarah daerah suku Makassar.{{sfnp|Bulbeck|2006}}{{sfnp|Bulbeck|1992}}
-->
=== Masa kesultanan ===
{{sect-stub}}
[[Berkas:Stamps of Indonesia, 053-06.jpg|jmpl|250px|Gambar [[Sultan Hasanuddin]] dalam perangko yang diterbitkan tahun [[2006]].]]
Pada tahun [[1666]], di bawah pimpinan [[Cornelis Speelman|Laksamana Cornelis Speelman]], [[VOC]] berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil di [[Sulawesi]], tetapi belum berhasil menundukkan Kesultanan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik tahta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan [[VOC]] (Kompeni).
Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal [[18 November]] [[1667]] bersedia mengadakan [[Perdamaian Bungaya|Perjanjian Bungaya]] di [[Bungaya, Gowa|Bungaya]]. Gowa merasa dirugikan, karena itu [[Sultan Hasanuddin]] mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke [[Batavia]]. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Sultan Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan [[VOC]], hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos [[benteng]] terkuat milik Kesultanan Gowa yaitu [[Benteng Somba Opu]] pada tanggal [[12 Juni]] [[1669]]. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari tahta kerajaan dan wafat pada tanggal [[12 Juni]] [[1670]].
Kesultanan Gowa telah mengalami pasang surut dalam perkembangan sejak Raja Gowa ke-1, Tumanurung, hingga mencapai puncak keemasannya pada abad ke-17, hingga kemudian mengalami masa penjajahan di bawah kekuasaan [[Belanda]]. Dalam pada itu, sistem pemerintahan mengalami transisi pada masa Raja Gowa ke-36, Andi Idjo Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin, menyatakan Kesultanan Gowa bergabung menjadi bagian [[Republik Indonesia]] yang merdeka dan bersatu, dan berubah bentuk dari kerajaan menjadi Daerah Tingkat II [[Kabupaten Gowa]]. Sehingga dengan perubahan tersebut, Andi Idjo pun tercatat dalam sejarah sebagai Raja Gowa terakhir dan sekaligus Bupati [[Kabupaten Gowa]] pertama.
== Budaya dan masyarakat ==
[[Berkas:Taopere.jpg|jmpl|250px|Deretan kapal ''[[Pinisi]]'' di Pelabuhan [[Paotere]].]]
Sebagai negara maritim, maka sebagian besar masyarakat Gowa adalah nelayan dan pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan tidak jarang dari mereka yang merantau untuk menambah kemakmuran hidupnya. Walaupun masyarakat Gowa memiliki kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap sakral. Norma kehidupan masyarakat diatur berdasarkan adat dan agama [[Islam]] yang disebut ''Pangadakkang''. Dan masyarakat Gowa sangat percaya dan taat terhadap norma-norma tersebut.
Di samping norma tersebut, masyarakat Gowa juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan ''Anakarung'' atau ''Karaeng'', sedangkan rakyat kebanyakan disebut ''to Maradeka'' dan masyarakat lapisan bawah disebut dengan golongan ''Ata''.<ref>{{Cite web |url=http://vracarsa.blogspot.com/2015/05/kerajaan-gowa-tallo-kesultanan-makassar.html |title=Kerajaan Gowa-Tallo / Kesultanan Makassar (Lengkap). |access-date=2015-08-10 |archive-date=2015-06-10 |archive-url=https://web.archive.org/web/20150610055834/http://vracarsa.blogspot.com/2015/05/kerajaan-gowa-tallo-kesultanan-makassar.html |dead-url=yes }}</ref>
Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Gowa banyak menghasilkan benda-benda budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang Gowa dikenal dengan nama ''Pinisi'' dan ''Lombo''. Kapal ''Pinisi'' dan ''Lombo'' merupakan kebanggaan rakyat [[Sulawesi Selatan]] dan terkenal hingga mancanegara.
== Ekonomi ==
{{sect-stub}}
Kerajaan Makassar adalah kerajaan Maritim dan berkembang sebagai pusat perdagangan di wilayah Indonesia bagian Timur. Hal ini ditunjang oleh beberapa faktor yaitu : letak yang strategis, mempunyai pelabuhan yang baik jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 yang menyebabkan banyak pedagang yang pindah ke Indonesia Timur.
Sebagai pusat perdagangan. Makassar berkembang menjadi pelabuhan internasional yang banyak disinggahi pedagang asing seperti Portugis, Inggris, Denmark dan sebagainya yang datang untuk berdagang di Makassar.
== Penguasa Gowa ==
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Mangi Mangi Karaëng Bontonompo koning van Gowa luistert naar de installatierede van waarnemend gouverneur van Celebes en Onderhorigheden de heer Bosselaar TMnr 10001592.jpg|jmpl|280px|I Mangngimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo Sultan Muhammad Thahir Muhibuddin Tumenanga ri Sungguminasa (bertahta [[1936]]-[[1946]]) mendengarkan pidato pengangkatan pejabat gubernur Celebes, Tn. Bosselaar (awal tahun [[1930]]-an).]]
[[Berkas:Museum-balla-lompoa-gowa.jpg|jmpl|280px|Istana Balla Lompoa di [[Sungguminasa]], [[Kabupaten Gowa]] pada tahun [[2013]].]]
Penguasa Gowa menggunakan gelar ''Karaeng Sombayya ri Gowa'' yang artinya "Raja yang disembah di Gowa", biasa disingkat menjadi Karaeng Gowa, Somba Gowa, KaraengE ri Gowa, KarangE. Penggunaan kata somba sudah ada sejak zaman Tumanurung Baine.<ref name="Batang 1988">{{Cite book|last=Bantang|first=Siradjuddin|date=1988|url=https://repositori.kemdikbud.go.id/30174/|title=Sinrilik Kappalah Tallung Batuwa|location=Jakarta|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan|url-status=live}}</ref>
===Tingkatan gelar===
1. Somba (raja/sultan Gowa) : adalah gelar yg hanya di peruntukkan untuk raja kerajaan Gowa yg memerintah.
2. Karaeng/kare/andi (bangsawan tinggi/Adipati) : adalah gelar bangsawan tinggi yg menguasai suatu daerah tertentu yg berada di dalam kerajaan, dan juga di gunakan oleh orang orang yg berada di dalam garis keturunan raja. Dalam praktik nya, Gelar ini sama dengan ''duke'' yg di gunakan oleh bangsawan Inggris.
3. Daeng (bangsawan menengah) : adalah gelar bangsawan yang di gunakan oleh bangsawan yg tidak mengendalikan suatu wilayah tapi mempunyai garis keturunan yg dekat dengan raja, belakangan gelar ini di gunakan oleh orang Makassar sebagai penanda jati diri.
4. To maradeka (orang yg merdeka) : adalah orang orang kebanyakan yg tidak memiliki gelar.
5. Ata (budak) : adalah hamba sahaya/budak
===Daftar Somba Gowa===
# Tumanurung Bainea (±[[1300an]])
# Tumassalangga Barayang
# I Puang Loe Lembang
# I Tuniata Banri
# Karampang ri Gowa
#
# Batara Gowa
# I Pakere Tau Tunijallo ri Passukki
# I Daeng Matanre Karaeng Manguntungi '''[[Tumapaqrisiq Kallonna|Tumapa'risi' Kallonna]]''' (
# I
# I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data
# I Manggorai Daeng
# I Tepukaraeng Daeng Parabbung
# I
# I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiyung, Muhammad Said '''Sultan Malikussaid'''
# [[Sultan Hasanuddin|I
# I Mappasomba Daeng
# I Mappaosong Daeng Mangngewai Karaeng Bisei Sultan Muhammad Ali ''Tumatea ri Jakattara''. Lahir 29 November 1654 berkuasa mulai 3 Oktober 1674 sampai 27 Juli 1677 (di kudeta oleh [[Hindia Belanda|VOC Belanda]] bersama Sekutunya lokalnya). Diasingkan ke [[Batavia]], ([[Jayakarta]]) - Jakattara 16 September 1678 dan wafat 15 Maret 1681.
# I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone 𝐒𝐮𝐥𝐭𝐚𝐧 𝐀𝐛𝐝𝐮𝐥 𝐉𝐚𝐥𝐢𝐥 ''Tumamenanga ri Lakiyung''. Berkuasa pada 27 Juli 1677- hingga wafatnya 17- September 1709.
# La Pareppa Tosappewalie Karaeng Anak Moncong '''Sultan Ismail Muhtajuddin ''' ''Tumenanga ri Somba Opu. Berkuasa 16 Februari 1710, di keluarkan sebagai Raja di Gowa 24 Agustus 1712.''
# I Mappau'rangi Karaeng Boddia '''Sultan Sirajuddin''' ''Tumenanga ri Pasi. Berkuasa 31 Agustus 1712.''
# I
# I Mappaurangi Karaeng Boddia '''Sultan Sirajuddin''' ''Tumenanga ri Pasi''; Menjabat untuk kedua kalinya pada tahun [[1735]]
# I Mallawagau '''Sultan Abdul Chair Al Manshur''' ([[1735]]-[[1742]])
# I
# Amas Madina '''Sultan Usman Fakhruddin''' Batara Gowa II (diasingkan oleh [[Belanda]] ke [[Sri Lanka]]) ([[1747]]-[[1795]])
# I Mallisujawa Daeng Riboko Arungmampu '''Sultan Imaduddin''' ''Tumenanga ri Tompobalang'' ([[1767]]-[[1769]])
# I Temassongeng I Makkaraeng Karaeng Katangka '''Sultan Zainuddin''' Tumenanga ri Mattoanging ([[1770]]-[[1778]])
# I
# I Mappatunru' I Manginnyarrang Karaeng Lembangparang '''Sultan Abdul Rauf''' ''Tumenanga ri Katangka'' ([[1816]]-[[1825]])
# I
# I Kumala Daeng Parani Karaeng Lembangparang '''Sultan Abdul Kadir''' '''Muhammad Aidid''' ''Tumenanga ri Kakoasanna'' ([[1826]] - wafat [[30 Januari]] [[1893]])
# I
# I
#I Mangngimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo '''Sultan Muhammad Thahir Muhibuddin''' ''Tumenanga ri Sungguminasa'' (1936 - 1946)
#Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang '''Sultan Muhammad Abdul Kadir Aiduddin''' ''Tumenanga ri Jongaya'' (1956 - 1978) sekaligus raja Gowa terakhir <ref>{{Cite web|title=SEJARAH KABUPATEN GOWA – Website Resmi Pemerintah Kabupaten Gowa|url=http://gowakab.go.id/sejarah-kabupaten-gowa/|language=en-US|access-date=2021-11-01}}</ref>dan menjadi bupati pertama kabupaten Gowa saat bergabung menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setelah bergabung menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia kerajaan tetap mempertahankan eksistensi dalam bentuk lembaga kebudayaan atau adat sehingga raja-raja setelahnya berstatus sebagai simbol budaya dan adat
37. Andi Maddusila Andi Idjo I Maddusila Daeng Mannyonri Karaeng Katangka Sultan Aluddin II ( 2016 - 2018 )
38. Andi Kumala Idjo Daeng Sila Karaeng Lembang Parang Sultan Malikussaid II Batara Gowa III ( 2018 - 2024 )
#
== Lihat pula ==
* [[Suku Makassar]]
* [[Kesultanan Aceh]]
* [[Kesultanan Banten]]
* [[Kesultanan Bolango|Kesultanan B]] ( 2018 - 2024 )[[Kesultanan Bolango|olango]]
* [[Kesultanan Gorontalo]]
* [[Kesultanan Kutai Kertanegara ing Martapura|Kesultanan Kutai]]
* [[Kesultanan Tidore]]
* [[Kesultanan Ternate]]
* [[Kesultanan Lingga]]
== Rujukan ==
=== Sitiran ===
{{reflist|20em}}
=== Daftar pustaka ===
{{refbegin|30em|indent=yes}}
: {{cite journal |last=Abidin |first=Andi' Zainal |year=1983 |title=The Emergence of Early Kingdoms in South Sulawesi: A Preliminary Remark on Governmental Contracts from the Thirteenth to the Fifteenth Century |journal=Southeast Asian Studies |volume=20 |issue=4 |pages=1–39 |doi=10.14724/jh.v2i1.14 |ref=harv |issn = 2302-1683}}
: {{cite book |last=Andaya|first=Leonard Y. |year=1981 |title=The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century |location=Ann Arbor |publisher=University of Michigan |isbn=9789024724635|ref=harv}}
: {{cite book |last=Andaya |first=Leonard Y. |author-mask=3 |editor-last=Halikowski Smith |editor-first=Stephan C. A. |title=Reinterpreting Indian Ocean Worlds: Essays in Honour of Kirti N. Chaudhuri |publisher=Cambridge Scholars Publishing |year=2011 |pages=107–141 |chapter=Chapter 6: Eastern Indonesia: A Study of the Intersection of Global, Regional, and Local Networks in the 'Extended' Indian Ocean |isbn=9781443830447|ref=harv}}
: {{cite journal|last=Bougas |first=Wayne A. |year=1998 |title=Bantayan: An Early Makassarese Kingdom, 1200–1600 A.D. |journal=Archipel |volume=55 |issue=1 |pages=83–123 |doi=10.3406/arch.1998.3444 |ref=harv}}
: {{cite thesis |last=Bulbeck |first=Francis David |year=992 |title=A Tale of Two Kingdoms: The Historical Archaeology of Gowa and Tallok, South Sulawesi, Indonesia |type=Ph.D. |publisher=Australian National University |ref=harv}}
: {{cite journal|last=Bulbeck |first=Francis David |author-mask=3 |year=1993 |title=New Perspectives on early South Sulawesi History |journal=Baruga: Sulawesi Research Bulletin |volume=9|pages=10–18|ref=harv}}
: {{cite book |last1=Bulbeck |first1=Francis David |author-mask1=3 |last2=Caldwell|first2=Ian|year=2000 |title=Land of iron: the Historical Archaeology of Luwu and the Cenrana valley : Results of the Origin of Complex Society in South Sulawesi Project (OXIS) |publisher=University of Hull Centre for South-East Asian Studies |isbn=9780903122115|ref=harv}}
: {{cite book |last=Bulbeck |first=Francis David |author-mask=3 |editor-last=Fox |editor-first=James J. |title=Origins, Ancestry and Alliance: Explorations in Austronesian Ethnography |location=Canberra |publisher=ANU Press |year=2006 |pages=283–319 |chapter=Chapter 13: The Politics of Marriage and the Marriage of Polities in Gowa, South Sulawesi, During the 16th and 17th Centuries |isbn=9781920942878|ref=harv}}
: {{cite journal|last=Cummings|first=William P.|year=2000|title=Reading the Histories of a Maros Chronicle|jstor=27865583|journal=Bijdragen Tot de Taal-, Land- en Volkenkunde|volume=156|issue=1|pages=1–31|doi=10.1163/22134379-90003851 |ref=harv}}
: {{cite book |last=Cummings |first=William P. |author-mask=3 |year=2002 |title=Making Blood White: Historical Transformations in Early Modern Makassar |location=Honolulu |publisher=University of Hawaii Press |isbn=9780824825133|ref=harv}}
: {{cite book |last=Cummings |first=William P. |author-mask=3 |year=2007a |title=A Chain of Kings: The Makassarese Chronicles of Gowa and Talloq |location=Leiden |publisher=KITLV Press |isbn=9789067182874 |ref=harv}}
: {{cite journal |last=Cummings |first=William P. |author-mask=3 |year=2007b |title=Islam, Empire and Makassarese Historiography in the Reign of Sultan Ala'uddin (1593–1639) |jstor=20071830 |journal=Journal of Southeast Asian Studies |volume=38 |issue=2 |pages=197–214 |doi=10.1017/S002246340700001X |ref=harv}}
: {{cite book |last=Cummings |first=Wiliam P. |author-mask=3 |editor-last=Wade |editor-first=Geoff |publisher=Routledge |year=2014 |title= Asian Expansions: The Historical Experiences of Polity Expansion in Asia|pages=214–232 |chapter=Chapter 10: Re-evaluating state, society, and the dynamics of expansion in precolonial Gowa |isbn=9781135043537 |ref=harv}}
: {{cite book|last=Druce |first=Stephen C. |year=2009|title=The Lands West of the Lakes: A History of the Ajattappareng Kingdoms of South Sulawesi, 1200 to 1600 CE |location=Leiden |publisher=Brill|isbn=9789004253827|ref=harv}}
: {{cite book|last=Druce|first=Stephen C. |author-mask=3 |editor-last=Ampuan Haji Brahim bin Ampuan Haji Tengah |title=Cetusan minda sarjana: Sastera dan budaya |location=Bandar Seri Begawan |publisher=Dewan Bahasa dan Pustaka |year=2014 |pages=145–156 |chapter=Dating the tributary and domain lists of the South Sulawesi kingdoms |isbn=9789991709604|ref=harv}}
: {{cite book |last=Gibson |first=Thomas |year=2005|title=And the Sun Pursued the Moon: Symbolic Knowledge and Traditional Authority among the Makassar |url=https://archive.org/details/andsunpursuedmoo0000gibs |location=Honolulu |publisher=University of Hawaii Press |isbn=9780824828653|ref=harv}}
: {{cite book |last=Gibson |first=Thomas |author-mask=3 |year=2007 |title=Islamic Narrative and Authority in Southeast Asia: From the 16th to the 21st century |location=New York |publisher=Springer Publishing |isbn=9780230605084 |ref=harv}}
: {{cite journal |last=Pelras |first=Christian |year=1994 |title=Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South-Sulawesi |journal=Indonesia |volume=57 |issue=1 |pages=133–154 |ref=harv}}
: {{cite book |last=Pelras |first=Christian |author-mask=3 |year=1996 |title=The Bugis |url=https://archive.org/details/bugis0000pelr |location=Oxford |publisher=Blackwell Publishers |isbn=9780631172314 |ref=harv}}
: {{cite journal|last=Reid|first=Anthony|year=1981|title=A Great Seventeenth-Century Indonesian Family: Matoaya and Pattingalloang of Makassar|journal=Masyarakat Indonesia|volume=8|issue=1|pages=1–28|ref=harv}}
: {{cite book |last=Sutherland |first=Heather |editor-last=Barnard |editor-first=Timothy |title=Contesting Malayness: Malay Identity Across Boundaries |publisher=NUS Press |year=2004 |pages=76–106 |chapter=The Makassar Malays: Adaptation and Identity, c.1660–1790 |isbn=9789971692797 |ref=harv}}
<ref> {{id}}[https://pahami.id/sejarah/kerajaan-islam-di-pulau-sulawesi-289 Kerajaan Islam di Pulau Sulawesi]</ref>
{{refend}}
{{Kerajaan di Sulawesi}}
[[Kategori:Kesultanan Gowa| ]]
[[Kategori:Kerajaan di Nusantara]]
[[Kategori:Kerajaan di Sulawesi Selatan]]
[[Kategori:Negara prakolonial di Indonesia]]
|