<!-- Halaman ini hanya untuk uji coba menyunting dan dikosongkan secara berkala -->
VALIDITAS CT SCAN PADA EVALUASI KARSINOMA NASOFARINGS PASCA TERAPI
Ima Dewi R, Bambang HW, Anton Christanto
Bagian THT FK UGM-RS Dr Sardjito Yogyakarta
Abstrak
Pendahuluan : Dengan adanya kelemahan pada biopsi sebagai baku emas, perlu dipikirkan alat diagnostik alternatif baru yang harus divalidasi. Untuk kepentingan tersebut peneliti akan melakukan uji diagnostik atau sensitifitas dan spesifitas CT Scan pada evaluasi pasca terapi karsinoma nasofarings
Metodologi : Penelitian ini merupakan uji diagnostik untuk menentukan sensitifitas dan spesifitas CT Scan potongan koronal extended sentrasi nasofarings sebagai alat diagnosis pada evaluasi pasien pasca terapi karsinoma nasofarings (KNF). Sampel adalah bagian dari populasi terjangkau yang dipilih dengan cara tertentu. Teknik pengambilan sampel dengan cara berurutan (consecutive sampling), yaitu setiap pasien KNF yang menjalani pemeriksaan dan pengobatan di RS Dr. Sardjito Yogyakarta dan memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Kriteria inklusi penelitian ini adalah 1) penderita terdiagnosis KNF pasca terapi, 2) menjalani terapi lengkap sesuai protokol, 3) hasil biopsi nasofarings pasca terapi sesuai kriteria WHO, 4) dilakukan CT Scan pasca terapi (potongan coronal extended sentrasi nasofarings). Kriteria eksklusi yang digunakan: 1) biopsi dilakukan sebelum 8 minggu, 2) CT Scan dilakukan sebelum 8 minggu, 3) data tidak lengkap.
Hasil : Sensitivitas = 40% Spesifisitas = 66.67% Nilai duga positif = 66.67% Nilai duga negatif = 40% Rasio kecenderungan positif = 1.33 Rasio kecenderungan negatif = 0.91
Kesimpulan : Pemeriksaan CT Scan pada evaluasi pasca terapi KNF mempunyai sensitifitas 40% dan spesifitas 66.7%. CT Scan rutin tidak mendatangkan keuntungan secara klinis karena memiliki nilai positif prediktif yang tinggi, sehingga biopsi nasofarings diperlukan meskipun hasil CT Scan menunjukkan hasil yang normal
Kata kunci : Biopsi, Uji diagnostik, CT Scan , Karsinoma nasofarings
VALIDITAS CT SCAN PADA EVALUASI KARSINOMA NASOFARINGS PASCA TERAPI
Ima Dewi R, Bambang HW, Anton Christanto
Bagian THT FK UGM-RS Dr Sardjito Yogyakarta
PENDAHULUAN
Karsinoma nasofarings (KNF) merupakan salah satu keganasan di bidang Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok (THT) yang banyak mendapatkan perhatian, karena angka kematiannya yang masih relatif tinggi.1 Dilaporkan oleh Lin dan Jan (1999) pada penderita karsinoma nasofarings yang telah mendapat terapi definitif dan menunjukkan hasil respon komplit (complete response), 5 year actuarial survival hanya sebesar 38,1%.2
Karsinoma nasofarings di RS Dr Sardjito, Yogyakarta setiap tahun selalu mengalami peningkatan, pada tahun 1992 sekitar 28,23%, tahun 1993 sekitar 34,07%, tahun 1994 sekitar 37%.3
Pengobatan untuk karsinoma nasofarings saat ini terutama adalah radioterapi, karena jenis histopatologi karsinoma tak terdeferensiasi (WHO tipe III) sangat radiosensitif. Pemilihan radioterapi atau kombinasi dengan kemoterapi dilaporkan dapat memperbaiki kemampuan hidupnya.4 Radioterapi sebagai tindakan kuratif, umumnya ditujukan pada tumor yang luas, tetapi eksistensinya masih terbatas (lokoregional), sedangkan untuk tumor yang sudah bermetastasis jauh diberikan sebagai tindakan paliatif.5,6 Pada penderita stadium awal keberhasilan penyembuhan dengan radioterapi sampai 80%, dan semakin menurun pada stadium yang lebih lanjut. Pemberian kemoterapi biasanya ditujukan untuk karsinoma nasofarings stadium lanjut atau keadaan kambuh. Sementara itu tindakan operatif masih kontroversial dan terus dikembangkan.6,7
Pengobatan yang dilaksanakan di RS Dr Sardjito tergantung jenis histopatologi dan stadium penderita yaitu radioterapi, dan kemoradiasi yang merupakan kombinasi kemoterapi dan radiasi.8
Seperti dijelaskan diatas bahwa terapi utama untuk karsinoma nasofarings adalah radiasi dan karsinoma nasofarings diketahui radiosensitif serta potensial untuk disembuhkan. Evaluasi pasca terapi untuk mengetahui gejala persisten atau kekambuhan adalah hal yang harus dilakukan oleh ahli THT dalam manajemen karsinoma nasofarings. Lee et al memperkirakan bahwa 8,3% pasien masih memiliki bukti dari penyakitnya 8-12 minggu setelah terapi.9 Deteksi dini atau evaluasi pasca terapi yang efektif dapat menjadi panduan untuk menentukan terapi lanjutan misalnya dengan brakiterapi agar membuat penyakit karsinoma nasofarings tetap terlokalisir. Dengan demikian metode yang efektif untuk evaluasi setelah terapi adalah penting dan mutlak harus dilakukan. Alat ukur diagnostik yang saat ini sering digunakan untuk evaluasi pasca terapi pasien dengan karsinoma nasofarings adalah pemeriksaan fisik, CT Scan dan biopsi nasofarings.
Saat ini, biopsi nasofarings merupakan baku emas untuk mendeteksi atau evaluasi pasca terapi yang efektif dapat menjadi panduan untuk menentukan terapi lanjutan karsinoma nasofarings. Tetapi, biopsi nasofarings ini merupakan prosedur yang invasif dan sakit/tidak nyaman bagi pasien, disamping itu dalam pelaksanaannya biopsi nasofarings memerlukan waktu yang relatif lama. Prosedur tersebut juga tidak memungkinkan untuk dilakukan pada setiap kali kunjungan pasien untuk evaluasi.10
Dengan adanya kelemahan pada biopsi sebagai baku emas, perlu dipikirkan alat diagostik alternatif baru yang harus divalidasi. Untuk kepentingan tersebut peneliti akan melakukan uji diagnostik atau sensitifitas dan spesifitas CT Scan pada evaluasi pasca terapi karsinoma nasofarings.
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi karsinoma Nasofarings
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel nasofarings. Penelitian menunjukkan bahwa tumor berasal dari sel epitel skuamosa. Di Cina KNF disebut juga sebagai penyakit Guangdong.13
Kasus karsinoma nasofarings banyak terjadi di Singapura, Malaysia, Hongkong, Taiwan dan Indonesia (Asia Tenggara), sedangkan negara lain yang mempunyai resiko tinggi adalah Alaska (Eskimo), Greenland, Yunani, Afrika Utara (Aljazair, Tunisia). Keganasan ini sangat jarang di benua Amerika (0,5-2 kasus per 100.000 penduduk), maupun di Asia Barat (0,70 per 100.000 populasi).4,14,15
Nasional Cancer Institute di Amerika Serikat melaporkan bahwa pada tahun 1991 terdapat 6 juta penderita tumor ganas, insidensi karsinoma sel basal dan karsinoma sel skuamosa sebanyak 600.000 penderita. Jumlah penderita tumor ganas kepala leher sebanyak 78.000 orang, dan lebih dari 75% adalah karsinoma sel skuamosa , 10% penderita meninggal dunia dalam tahun pertama terdiagnosis, diantaranya 3-4% adalah penderita keganasan kepala leher.7
Frekuensi karsinoma nasofarings adalah 60% dari seluruh keganasan kepala leher, sebagian besar berasal dari sel epitel nasofarings, karsinoma nasofarings selalu berada dalam urutan lima besar kanker di Indonesia (berdasarkan data laboratorium patologi anatomi).7
Di beberapa rumah sakit di Indonesia karsinoma nasofarings selalu menduduki urutan pertama selama kurang lebih dua dekade (tabel 1)
Tabel 1. Urutan tiga besar tumor ganas THT di beberapa RS di Indonesia
Tempat Tahun Urutan I Urutan II Urutan III
Jakarta 1980-1984 KNF (57,59%) KHS (13,87%) KL (12,8%)
Jakarta 1990-2001 KNF (62,13%) KHS (8,92%) KL (6,23%)
Yogyakarta 1988-1992 KNF (41,47%) KRM (20,6%) KL (13,71%)
Yogyakarta 1991-1995 KNF (45,35%) KRM (22,6%) KL (14,88%)
Semarang 1991-1995 KNF (56,25%) KHS (11,46%) KL (9,03%)
Surabaya 1991-1995 KNF (59,3%) KHS (12,8%) KL (10,2%)
Bandung 1993-1994 KNF (48,4%) KRM (12,9%) KL (11,07%)
Surabaya 2000-2001 KNF (67,72%) KHS (9,67%) KRM (9,24%)
Keterangan : KNF: Karsinoma Nasofarings, KHS: Karsinoma Hidung Sinus, KL: Karsinoma Larings, KRM: Karsinoma Rongga Mulut, KT: Kanker Tiroid
Karsinoma nasofarings di RS Dr Sardjito, Yogyakarta setiap tahun selalu mengalami peningkatan, pada tahun 1992 sekitar 28,23%, tahun 1993 sekitar 34,07%, tahun 1994 sekitar 37%.3,16
Tabel 2. Jumlah kunjungan penderita rawat jalan karsinoma nasofarings
di RS Dr Sardjito, Yogyakarta (1998-2002)
Tahun Kasus Lama Kasus Baru Jumlah
1998 218 62 (22,14%) 280
1999 387 90 (18,9%) 477
2000 402 119 (30,3%) 393
2001 733 127 (14,8%) 860
2002 908 131 (11,5%) 1143
(Sumber: rekam medik RS Dr Sardjito)
Tabel 3. Perbandingan jumlah rawat jalan dan rawat inap penderita karsinoma
nasofarings di RS Dr Sardjito, Yogyakarta (1998-2002)
Tahun Kasus Lama Rawat inap (lama+baru)
1998 280 68
1999 477 44
2000 393 69
2001 860 77
2002 1143 47
(Sumber: rekam medik RS Dr Sardjito)
Anatomi Nasofarings KNF
Nasofarings adalah rongga faring bagian kranial yang berbentuk kubus terletak di belakang hidung dengan ukuran 4-5 cm, bagian anterior dibatasi oleh nares posterior yang berhubungan dengan kavum nasi, bagian inferior dibatasi oleh orofaring dan palatum molle, bagian lateral dibatasi oleh muara tuba auditiva dan fossa rossenmuller yang terletak di belakang torus tubarius.17
Secara histologis, World Health Organnization (WHO) mengklasifikasikan menjadi tiga tipe : (a) Tipe I karsinoma dengan diferensiasi baik sampai jelek dengan keratinisasi, (b) Tipe II karsinoma nonkeratinisasi, termasuk karsinoma transisional, (c) Tipe III karsinoma tak terdiferensiasi, termasuk limfoepithelioma, dengan varian seperti anaplastik, clear cell, dan spindle cell.18
Beberapa penelitian mendapatkan karsinoma nasofarings WHO 3 banyak terjadi pada usia lebih muda, bisa pada usia anak atau remaja. Pada usia yang lebih tua dapat terjadi ketiga jenis histopatologi. Secara keseluruhan jenis WHO 3 merupakan jumlah terbanyak.
Di daerah endemis, jenis WHO 2 dan WHO 3 didapatkan sebanyak 90%, sedangkan jenis WHO 1 kurang lebih 3% kasus. Secara keseluruhan jenis WHO 1 merupakan jumlah yang paling jarang. Indudharan (1997) melaporkan distribusi jenis histopatologi penderita KNF di Malaysia sebagai berikut : jenis WHO 1 sebanyak 13,1%; jenis WHO 13,1% dan jenis WHO 3 sebanyak 49,2%; sedangkan 6,6% diantaranya tidak bisa ditentukan jenis histopatologinya.19
Hutagalung et al. (1996) mendapatkan jenis histopatologi WHO 1 sebanyak 7,26%; jenis WHO 2 sebanyak 3,74% dan WHO 3 sebanyak 88,98%.16 Lusy, et al. (2001) mendapatkan jenis histopatologi WHO 3 sebanyak 82,4% dan WHO 2 sebanyak 16,5%. Tidak didapatkan jenis histopatologi WHO 1.20 Jenis histopatologi karsinoma nasofaring oleh Dahlia (2002) dilaporkan terbanyak adalah jenis WHO 3 (79,55%), jenis WHO 2 menempati urutan kedua (20,55%). Pada penelitian tersebut didapatkan jenis histopatologi WHO 1.21
Karsinoma nasofarings jenis WHO 1 bersifat kurang sensitive terhadap radioterapi. Jenis WHO 3 adalah yang paling sensitive terhadap radioterapi. Jenis WHO 2 dan WHO 3 sering dihubungkan dengan titer antibody terhadap virus Epstein-Barr. Pada jenis WHO 1 tidak terdapat hubungan yang bermakna dengan virus tersebut. Shanmugaratman, et al. (1978) mendapatkan adanya hubungan antara jenis histopatologi WHO 3 dengan stadium dalam hal prognosis. Pada jenis WHO 3, stadium I mempunyai angka survival sebesar 50 – 60%, stadium II angka survival 20 – 30% dan pada stadium III angka survival turun menjadi 5 – 20%.22
Manifestasi Klinis KNF
Gejala klinis karsinoma nasofarings berhubungan dengan posisi dan ukuran tumor di nasofarings, perluasan langsung keluar nasofarings dan penyebaran jauh (metastasis) tumor. Karena nasofarings merupakan organ kavernosa yang relative besar, pada stadium awal, tumor yang kecil dapat hanya menyebabkan gejala yang tidak jelas atau bahkan tidak menyebabkan gejala apapun. Kadang dengan bertambah besarnya tumor gejala-gejala yang terjadi tetap tidak spesifik dan membingungkan.
Gejala paling banyak dikeluhkan saat penderita dating adalah adanya benjolan di leher, dimana benjolan ini merupakan tanda adanya metastasis tumor ke limfonodi leher. Lifonodi yang sering terlibat adalah kelompok limfonodi subdigastrik dan kelompok limfonodi jugularis superior. Benjolan di leher bilateral sering didapatkan pada penderita saat diagnosis ditegakkan. Dilaporkan sebanyak 43,2% penderita KNF mengeluh adanya benjolan di leher. Gejala hidung di keluhkan sebanyak 30,7% penderita, sedangkan gejala telinga sebanyak 17,3% penderita.
Penelitian Indudharan (1997) di Malaysia pada tahun 1986 sampai tahun 1995 didapatkan 122 penderita karsinoma nasofarings dengan usia antara 15–82 tahun. Keluhan utama terbanyak adalah benjolan di leher, yaitu sebanyak 54,1%. Keluhan epistaksis terdapat pada 25,4% kasus, keluhan penurunan pendengaran pada 18,0% kasus. Keluhan lain yang juga menyebabkan penderita dating ke dokter adalah : gangguan mata (13,1%), tinitus (12,3%), kelumpuhan nevus kranialis (12,3%), sakit kepala (11,5%), obstruksi hidung (9,8%), keluhan lain – lain didapatkan pada 11,5% kasus.19
Penelitian di Singapura menunjukkan gejala karsinoma nasofarings yang bervariasi. Gejala benjolan di leher merupakan gejala terbanyak, yaitu sebesar 68,6% kasus. Gejala telinga sebanyak 49,7% kasus, epistaksis sebanyak 37,4% kasus, obstruksi nasi sebanyak 16,4% kasus, nyeri kepala sebanyak 21,9% kasus, gangguan nervus kranialis pada 18,9% kasus, sebanyak 1,0% penderita tak menunjukkan adanya gejala.
Tjokronagoro (2000) pada penelitiannya pada 166 kasus karsinoma nasofarings yang datang di Rumah Sakit Dr. Sardjito pada kurun waktu tahun 1991 sampai dengan 1995 mendapatkan bermacam gejala dan tanda karsinoma nasofarings. Benjolan di leher didapatkan pada 96,3% penderita. Dilaporkan hanya 3,6% penderita tidak terdapat benjolan di leher. Tabel 4 menjelaskan bermacam tanda dan gejala KNF seperti dilaporkan Tjokronagoro.27
Tabel 4. Gejala dan tanda penderita karsinoma nasofarings dilaporkan oleh Tjokronagoro
Gejala dan tanda Ada (%) Tidak ada (%)
Benjolan di leher
Obstruksi kavum nasi
Infiltrasi ke kavum nasi
Epistaksis
Penurunan pendengaran
Infiltrasi ke sinus paranasal
Infiltrasi retrobulber
Destruksi basis kranii
Diplopia 96,3
41,6
41,6
28,9
60,8
48,2
1,8
28,9
17,5 3,6
58,4
58,4
71,1
39,2
51,8
98,2
77,1
82,5
Sumber: Tjokronagoro (2000)
Dahlia (2002) melaporkan beberapa keluhan utama yang mendorong penderita karsinoma nasofarings datang ke rumah sakit di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta. Keluhan yang paling banyak adalah benjolan di leher (50% penderita). Lebih jelas beberapa keluhan utama penderita KNF oleh Dahlia dapat dilihat pada tabel 5 di bawah.
Tabel 5. Keluhan utama penderita karsinoma nasofarings di bagian rawat jalan
Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta
Keluhan utama %
Benjolan di leher
Hidung tersumbat
Epistaksis
Sakit kepala
Penglihatan dobel
Hipoestesi pada pipi
Gangguan menelan
Tinnitus 50
18,18
11,36
2,27
6,82
2,27
6,82
2,27
Sumber: Dahlia (2002)
Gejala pada telinga yang sering dikeluhkan penderita karsinoma nasofarings adalah penurunan pendengaran satu sisi. Gejala ini merupakan gejala dini dari karsinoma nasofarings. Hal ini dikarenakan infiltrasi awal tumor pada otot–otot tuba auditiva, sehingga menyebabkan gangguan ventilasi telinga tengah dan terjadi efusi telinga tengah. Pada saat ini biasanya penderita mengeluh telinganya berdengung atau tinitus. Sifat ketuliannya adalah tuli konduksi. Dengan makin bertambahnya ukuran tumor, tuba auditiva dapat tertutup, dan pada stadium lanjut dapat mengenai telinga sisi kontralateral. Dilaporkan penurunan pendengaran satu sisi sebanyak 12% penderita KNF, sedangkan penurunan pendengaran dua sisi didapatkan pada 1,2% penderita.21
Indudharan et al. (1997) di Malaysia mendapatkan 18% penderita karsinoma nasofarings mengeluh penurunan pendengaran sebagai keluhan utama. Penurunan pendengaran dikeluhkan sebagai keluhan penyerta didapatkan pada 16,4% penderita. Tinitus dikeluhkan sebagai keluhan utama didapatkan pada 12,3% penderita karsinoma nasofarings dan sebagai keluhan penyerta terjadi pada 4,9% penderita.19 Pada penelitian di Rumah Sakit Queen Elizabeth di Hongkong pada tahun 1997, Lee mendapatkan penderita karsinoma nasofarings yang datang dengan keluhan di telinga berupa gangguan pendengaran dan tinitus sebanyak 62,4%. Sebanyak 19,1% sebagai gejala awal dan 1,1% sebagai gejala tunggal.26
Penelitian di Rumah Sakit Kariadi Semarang, keluhan gangguan pendengaran pada penderita karsinoma nasofarings hanya dilaporkan sebanyak 2,83%. Penelitian di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun 1995 mendapatkan frekuensi keluhan telinga berdenging merupakan keluhan tertinggi pada penderita karsinoma nasofarings, yaitu sebesar 92,29%. Penelitian oleh Hutagalung et al. (1996) juga melaporkan hasil yang sama yaitu sebesar 97,79%.16 Keluhan telinga berdengung atau tinitus di tempat yang sama dilaporkan oleh Lusy et al. (2001) sebesar 62,4% penderita karsinoma nasofarings. Penurunan pendengaran atau tuli konduksi didapatkan sebesar 51,8% dari penderita KNF.20
Gejala hidung yang sering dikeluhkan penderita karsinoma nasofarings dapat berupa hidung terasa tersumbat atau buntu, baik unilateral atau bilateral, discharge hidung dengan bercak darah, atau berkurangnya daya penghidu. Epistaksis yang nyata lebih jarang merupakan keluhan penderita karsinoma nasofarings. Gejala hidung terdapat sebanyak 30% dari seluruh keluhan.
Di Malaysia dilaporkan gejala dari hidung berupa epistaksis sebagai keluhan utama sebanyak 25,4% penderita karsinoma nasofarings. Sebanyak 17,2% dilaporkan sebagai keluhan penyerta. Gejala hidung tersumbat sebagai keluhan utama dilaporkan sebanyak 9,8% penderita karsinoma nasofarings dan sebagai keluhan penyerta sebanyak 9,8% ( Indudharanet al., 1997).19 Di Rumah sakit Queen Elizabeth, Hongkong dilaporakan oleh Lee keluhan berupa pilek, perdarahan dari hidung dan hidung tersumbat sebanyak 73,44% penderita karsinoma nasofarings. Sebanyak 35,4% gejala tersebut dikeluhkan sebagai gejala awal dan 1,4% sebagai gejala tunggal.20
Penelitian di Rumah sakit Kariadi Semarang pada tahun 1995 melaporkan epistaksis sebagai keluhan pada penderita karsinoma nasofarings sebesar 4,25%.23 Penelitian di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun 1995 didapatkan frekuensi keluhan hidung pada penderita karsinoma nasofarings berupa epistaksis sebesar 74,70%. Keluhan hidung tersumbat dilaporkan sebesar 18,23%.3 Oleh Hutagalung et al. (1996) dilaporkan frekuensi keluhan epistaksis paada penderita karsinoma nasofarings sebesar 94,05% dan keluhan hidung tersumbat sebesar 26,65%. 16Keluhan hidung buntu oleh Lusy et al. (2001) dilaporkan sebesar 48,2%, sedangkan epistaksis didapatkan sebesar 48,2%.20
Gejala pada mata yang sering dikeluhkan penderita karsinoma nasofarings adalah penglihatan dobel atau diplopia dan penurunan ketajaman penglihatan. Gejala pada mata diakibatkan oleh infiltrasi tumor pada nervus kranialis, yaitu pada nervus kranialis II dan nervus kranialis III, IV dan VI yang menginervasi otot–otot penggerak bola mata sehingga menyebabkan kelumpuhan otot – otot tersebut. Skinner et al. (1991) melaporkan diplopia pada 1,2% penderita KNF dan buta pada 0,2% penderita KNF. Indudharan et al. (1997) di Malaysia melaporkan sebanyak 13,1% penderita karsinoma nasofarings mengeluh gangguan pada mata sebagai keluhan utama dan 7,4% sebagai keluhan penyerta. Lee et al. (1997) di Rumah Sakit Queen Elizabeth Hongkong mendapatkan keluhan diplopia pada penderita karsinoma nasofarings sebanyak 10,7%. Sebanyak 0,1% sebagai gejala awal dan sebanyak 1,0% sebagai gejala tunggal.
Penelitian di Rumah Sakit Kariadi Semarang keluhan pada mata berupa gangguan pengelihatan dilaporkan hanya sebesar 0,71%.23 Di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta oleh Sastrowijoyo et al. (1995) didapatkan frekuensi keluhan pada mata berupa terganggunya gerakan bola mata didapatkan sebesar 4,11%.3 Penelitian oleh Hutagalung di tempat yang sama melaporkan hasil yang tidak berbeda, yaitu sebesar 6,82%. Keluhan yang sama oleh peneliti lain dilaporkan sebesar 31,8%.16
Gejala kelumpuhan syaraf penderita karsinoma nasofarings dapat dikarenakan infiltrasi tumor secara langsung pada nervus kranialis. Dilaporkan keterlibatan nervus kranialis terdapat pada 20% penderita KNF saat terdiagnosis. Gejala neurologis yang dikeluhkan dapat berupa diplopia dan ptosis. Nervus kranialis III–VI bisa terlibat apabila tumor menginfiltrasi sinus kavernosus. Nervus V terlibat apabila tumor menginfiltrasi di foramen ovale. Keterlibatan area parafarings menyebabkan terjadinya gangguan pada nervus kranialis IX sampai XII.24,25
Keterlibatan nervus kranialis oleh Indudharan dilaporkan sebagai berikut: Nervus I sebanyak 2,5%, nervus II (3,3%), nervus III (13,9%), nervus IV (8,2%), nervus V (14,8%), nervus VI (19,7%), nervus VII ( 2,5%), nervus VIII (1,6%), nervus IX (11,3%), nervus X (13,1%), nervus XI (0,8) dan nervus XII (14,8%). Kelumpuhan nervus kranialis VI adalah yang paling banyak terjadi.19
Keluhan lain pada penderita karsinoma nasofarings dapat berupa trismus dan nyeri kepala. Keluhan ini jarang. Dikatakan trismus dihubungkan dengan infiltrasi tumor pada muskulus pterygoideus dan nyeri kepala dikarenakan infiltrasi tumor ke basis kranii. Indudharan et al. (1997) di Malaysia mendapatkan keluhan nyeri kepala pada penderita karsinoma nasofarings sebanyak 11,5% sebagai keluhan utama dan sebanyak 5,7% sebagai keluhan penyerta.19 Lee di Hongkong mendapatkan penderita karsinoma nasofarings dengan keluhan nyeri kepala sebanyak 34,8%. Dikeluhkan sebagai gejala awal sebanyak 3,7% dan 0,3% sebagai gejala tunggal. Sedangkan keluhan trismus dilaporkan sebanyak 3,0%. 26
Penelitian di Rumah Sakit Kariadi Semarang, dilaporkan nyeri kepala sebesar 3,54%.23 Di Rumah Sakit Dr. sardjito Yogyakarta, oleh Sastrowijoyo et al. (1995) dilaporkan frekuensi nyeri kepala pada penderita karsinoma nasofarings sebesar 26,47%.3 Penelitian di tempat yang sama oleh Hutagalung et al. (1996) mendapatkan hasil sebesar 22,46%.16 Keluhan nyeri kepala oleh Lusy et al. (2001) dilaporkan sebesar 50,6%.20
Stadium dan staging KNF
Untuk menilai rencana terapi, prognosis dan evaluasi hasil terapi di kenal klasifikasi stadium dengan variabel TNM. Status T menggambarkan keadaan tumor primer dan perluasannya, status N menggambarkan metastasis tumor ke kelenjar limfe regional, status M menggambarkan ada tidaknya metastasis jauh. Stadium klinis penderita dinilai berdasarkan ketiga status tersebut.
Sistem klasifikasi stadium pada karsinoma nasofarings berbeda dengan sistem klasifikasi untuk karsinoma kepala leher (KKL) lainnya. Hal ini karena sifat khas karsinoma nasofarings dalam hal etiologi dan patologi, seperti dalam hubungannya dengan virus Epstain-Barr, jenis histopatologi yang dominan karsinoma tak terdiferensiasi. Serta sifat klinis KNF yang berbeda dengan KKL lain, dimana pada KNF berhubungan dengan insidensi tinggi metastasis regional dan sistemik.
Banyak terdapat sistem klasifikasi stadium karsinoma nasofarings yang digunakan di berbagai macam negara. Beberapa sistem klasifikasi stadium yang digunakan antara lain adalah menurut Union Internationale Contre le Cancer (UICC), American Joint Comite on Cancer (AJCC) dan sistem Ho. Pada tahun 1997 terdapat suatu kesepakatan sistem klasifikasi stadium antara UICC dan AJCC edisi ke-5 yang menggantikan edisi ke-4 (1988). Di bawah ini adalah sistem klasifikasi stadium karsinoma nasofarings menurut UICC 1997.
Tabel 6. Sistem klasifikasi stadium karsinoma nasofarings menurut UICC 1997.
Klasifikasi Keterangan
Tumor primer
T1
T2
T3
T4
Limfonodi Regional
N0
N1
N2
N3a
N3b
Metastasis jauh
M0
M1
Tumor terbatas pada nasofarings
Tumor meluas ke jaringan lunak orofarings dan / atau kavum nasi, T2a tanpa perluasan ke parafarings, T2b dengan perluasan ke parafarings
Tumor menginvasi struktur tulang dan / atau sinus paranasal
Tumor meluas ke intrakranial dan /atau melibatkan nervus kranialis, hipofarings, fossa infratemporalis, atau orbita
Tidak ada metastasis limfonodi regional
Metastasis unilateral dengan nodus <6 cm, di atas fossa supraklavikula
Metastasis bilateral dengan nodus <6 cm, di atas fossa supraklavikula
Metastasis nodus ukuran >6 cm, tidak ada perluasan ke fossa supraklavikula
Metastasis limfonodi ukuran >6 cm dengan perluasan ke fossa supraklavikula
Tidak terdapat metastasis jauh
Terdapat metastasis jauh
Sumber: UICC (1997)
Tabel 7. Pembagian stadium karsinoma nasofarings menurut UICC 1997
Stadium Keterangan
I
IIA
IIB
III
IVA
IVB
IVC T1N0M0
T2aN0M0
T1N1M0 atau T2aN1M0 atau T2bN0-1M0
T1-2N2M0 atau T3N0-2M0
T4N0-2M0
Setiap TN3M0
Setiap T, Setiap N, M1
Sumber: UICC (1997)
Terapi KNF
1. Radioterapi
Radioterapi merupakan terapi utama pada karsinoma nasofarings. Hal ini dilakukan karena letak tumor nasofarings yang sulit dicapai dengan pembedahan. Karsinoma nasofarings juga cenderung untuk menginfiltrasi jaringan sekitar sehingga operasi yang bersih sulit dilaksanakan. Di lain pihak tumor sangat radiosentif terutama untuk jenis karsinoma yang tak terdiferensiasi. Angka kesembuhannya sampai 80% pada pasien dengan stadium awal.pasien dengan kekambuhan lokal maka reiradiasi mempunyai salvoge rate kira–kira 30%.6
Radioterapi ada dua yaitu radiasi eksternal dan radiasi internal atau brakiterapi. Brakiterapi adalah memesukkan suatu alat berupa implan intertisial atau insersi intrakavitas secara temporal pada ruang nasofarings.
Radioterapi eksternal (konvensional) dengan cara fraksionasi terbagi diberikan dengan dosis 1 fraksi 1,8 sampai 2 Gy/hari seminggu 5 fraksi sampai mencapai 66 – 70 Gy dalam waktu 6 – 7 minggu untuk tumor primer dan untuk radiasi kelenjar leher yang membesar sampai 60 Gy. Radiasi dilakukan pada dua sisi lateral yang berlawanan, dengan atau tanpa lapangan anterior. Dikarenakan insidensi yang tinggi metastasis ke kelenjar limfonodi regional servikal walaupun dengan perabaan tidak terasa pembesaran (subklinis), maka radiasi profilakasis kadang dilakukan dengan dosis 50 Gy. Lin dan Jan mendapatkan angka respon tumor dari 179 pasien yang dilakukan radioterapi konvensional adalah 73,7% mengalami respon lengkap, 19,6% respon sebagian dan sisanya satu orang tidak respon, dua orang progresif dan sembilan tidak bias di evaluasi.
Suatu modifikasi radioterapi dengan hiperfraksionasi atau akselerasi dapat memperbaiki kontrol tumor. Tjokronagoro di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta melakukan uji klinis acak terkendali antara penderita karsinoma nasofarings stadium lanjut yang mendapat terapi konvesional dan terapi hiperflaksionasi. Radiasi hiperfraksionasi diberikan 10 kali seminnggu dengan dosis 1,5 Gy per fraksi dilakukan 2 fraksi sehari dengan interval waktu 4 sampai 6 jam, sampai mencapai dosis total 70 Gy. Setelah dosis mencapai 40 Gy daerah sumsum tulang belakang dihindarkan dari lapangan photon radiasi. Setelah dosis mencapai 51 Gy penderita diistirahatkan 1 minggu untuk memulihkanmukosistis yang terjadi pada mukosa orofarings. Radiasi hiperfraksionasi memberi hasil respon lengkap yang lebih baik dibanding dengan radiasi konvensional (87,3% melawan 58%;p=0,003).
Dengan radioterapi kemampuan hidup keseluruhan (overall survival) pasien karsinoma nasofarings berkisar 50%. Angka kemampuan hidup 5 tahun (5-years survival rate) pada stadium awal berkisar antara 50 – 90%, sedangkan untuk stadium lanjut (stadium III dan IV) angka kemampuan hidup 5 tahun bekisar antara 17 – 60% Teo et al. di Hongkong dengan menggunakan sistem klasifikasi stadium Ho setelah radio terapi didapatkan bahwa kemampuan hidup keseluruhan dalam jangka waktu 10 tahun untuk stadium I dan II adalah 85%, sedangkan untuk stadium III dan IV adalah 55%.
2. Kemoterapi
Karsinoma nasofarings memberi respon terhadap kemoterapi. Kemoterapi sebagai terapi tambahan ternyata dapat meningkatkan hasil terapi. Prasad et al. di Malaysia melakukan kemoterapi ajuvan pada penderita karsinoma nasofarings dengan derajad hispatologi WHO II (24,2%) dan WHO III (75,8%). Pasien mendapat 5-fluorouracil (5-FU) 1000 mg/m2/hari diberikan pada hari ke-1 sampai 4 dengan cis-diaminedimino-di-chloro-platium (CDDP atau cisplatin) 100 mg/m2 pada hari ke-1 diberikan 3x siklus setelah 3 minggu selesai radioterapi. Hasil didapatkan sebanyak 91,2% mengalami respon lengkap, 4,4% respon sebagian, 4,4% progresif dan angka respon keseluruhan adalah 95,6%. Hasil lain adalah angka kemampuan hidup keseluruhan 5 tahun 80,1%, disease free survival rate 76% dan locoregional control rate 85%.
Tabel 6. Uji klinis teracak kemoterapi ajuvan pada karsinoma nasofarings stadium lanjut.
Institusi Jumlah
pasien Kemoterapi Median
Follow-up
(bulan) Hasil
Prince of wales Hospital
82 Cisplatin + 5FU
2x siklus neoajuvan
4x siklus ajuvan 28,5 DFS tidak berbeda
OS tidak berbeda
Institute
Nationale Tumori
229 Vincristin, Cyclophosphamide, doxorubicin
6x siklus ajuvan 48 DFS tidak berbeda
OS tidak berbeda
International NPC Study Group 339 Bleomycin, epirubicin, cisplatin 3x siklus neoajuvan 49 DFS membaik
OS tidak berbeda
Asian Oceanian
Clinical Oncology
Association 334 Cisplatin, epirubicin
2-3x siklus neoajuvan
30 DFS tidak berbeda
OS tidak berbeda
Sun Yat Sen Hospital 456 Cisplatin, 5FU, bleomycin
2-3x siklus neoajuvan 62 DFS membaik
OS tidak berbeda
Keterangan: DFS: disease free survival, OS: overall survival (Sumber: Chan et al.)
Kemoterapi neoajuvan sering disebut dengan kemoterapi induksi. Beberapa sitostatika yang di pakai berupa kombinasi dari cis-diaminediamino-di-chloro-platinum (CCDP atau cisplatin) dengan 5-fluaroracil (5-FU) 2x siklus untuk kemterapi neoajuvan dan 4x siklus untuk ajuvan. Chan et al. melakukan uji klinis prospektif randomasasi pada 82 pasien karsinoma nasofarings dengan N3 menurut sistem klasifikasi stadium Ho dan keseluruhan jenis histopatologi WHO III. Sebanyak 37 pasien mendapat dua siklus induksi (cisplatin 100 mg/m² pada hari ke-1 dan 5-fluorouracil 1g/m² dilanjutkan infus pada hari ke-2, 3 dan 4) sebelum radiasi dan pada dimulai lagi 2 minggu dosis terakhir dari radioterapi, dengan 4 siklis kemoterapi. Radiasi dimulai setelah 4 minggu setelah selesai siklus ke-2 kemoterapi dengan dosis yang sama antara yang mendapat kemoterapi atau radiasi saja. Dosis adalah ekuivalen dengan 66 Gy pada nasofarings dan 58 Gy pada leher bawah secara fraksionisasi konfensional. Booster dilakukan pada pasien dengan perluasan ke parafaringeal. Pasien dengan residu pada nasofarings (dibuktikan dengan nasofaringoskop pada 4 minggu setelah radioterapi) dilakukan booster brakiterapi. Sebanyak 40 pasien mendapat radioterapi saja. Hasil tidak didapatkan perbedaan antara dua kelompok dalam hal angka kemampuan hidup keseluruhan 2 tahun, 2-year disease free survival, angka kekambuhan lokoregional, angka metastasis jauh dan median waktu kekambuhan.
International NPC Study group melakukan uji klinis terandomisasi pada 339 pasien karsinoma nasofarings dengan stadium N2 atau N3, M0 (uji klinis VUMCA). Sebanyak 91% pasien dengan jenis histopatologi WHO II dan WHO III. Pasien mendapat kemoterapi induksi BEC dengan 3 siklus pada hari ke-1, 21 dan 42. Berupa bleomisin 15 mg i.v. pada hari ke-1, diikuti 12 mg/m²/hari diteruskan i.v. pada hari 1 sampai 5; epirubisin 70 mg/m²/hari bolus i.v. lambat pada hari ke-1; cis platin 100 mg/m² lebih dari 1 jam pada hari ke-1. Setelah 3 minggu kemudian dilakukan radiasi dengan dosis 65-70 Gy selama lebih dari 6,5-7,5 minggu untuk tumor primer dan 65 Gy, untuk limfonodi yang terlibat klinis, serta 50 Gy untuk daerah servikal atau supraklavikular. Pasien yang mendapat radoterapi saja mendapat dosis yang sama.
Hasil didapatkan pasien yang mendapat kemoterapi induksi mempunyai perbaikan disease free survival yang bermakna disbanding yang mendapat radioterapi saja. Median follow-up 49 bulan, disease free survival pasien dengan induksi kemoterapi sebesar 67% melawan pasien yang mendapat radioterapi saja sebesar 45% ( p<0,01). Angka kemampuan hidup keseluruhan tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara dua kelompok. Pada kedua kelompok juga didapatkan persamaan dalam lokasi awal progresifitas penyakit pada yang mengalami kekambuhan, sehingga kemoterapi induksi mempunyai kesamaan pula dengan radioterapi dalam metastasis lokal, regional dan metastasis jauh.
Chua et al. Melakukan uji klinis prospektif randomisasi kemoterapi induksi (neoajuvan) diikuti radioterapi melawan radioterapi saja pada penderita nasofarings. Kriteria inklusi adalah penderita karsinoma nasofarings stadium lanjut (lokoregional atau N2 atau N3 menurut sistem klasifikasi stadium Ho) dengan jenis histopatologi karsinoma tak terdiferensiasi. Sebanyak 134 pasien mendapat cisplatin 60 mg/m² pada hari ke-1 dan epirubisin 110 mg/m² pada hari ke-1, diulang tiap 21 hari. Pada siklus ke-2 memberi hasil respon parsial akan diberi seri ke-3, sedangkan pasien yang memberi hasil respon yang kurang tidak diberi kemoterapi lanjutan. Pasien diberi radiasi dengan dosis 66-74 Gy pada tumor primer dan 60-76 Gy pada leher. Sebanyak 152 pasien hanya mendapat radioterapi saja.
Hasil didapatkan tidak ada perbedaan selama observasi pada 3-years disease free survival rate (48% dengan kemoterapi melawan 42% dengan radioterapi saja, p=0,45). Angka kemampuan hidup keseluruhan selama 3 tahun juga tidak didapati suatu perbedaan (78% dengan kemoterapi melawan 71% dengan radioterapi saja, p=57). Hasil juga menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna pola dari kegagalan terapi (baik insidensi atau distribusi relatif) antara yang mendapat kemoterapi dengan yang mendapat radioterapi saja.
Kemoterapi konkomitan dilakukan oleh Cheng et al. pada 149 pasien dengan pemberian cisplatin 60 mg/m² injeksi bolus pada hari ke-1 dan 5-FU 600mg/m²/hari hari ke-1 sampai 5 diberikan konkomitan dengan radiasi pada minggu 1 dan 6. kemoterapi konkuren ini dapat di tambah dengan kemoterapi ajuvan dengan cara diberikan cisplastin 100 mg/m² injeksi bolus pada hari ke-1 dan 5-FU 1000 mg/m²/24 jam terus – menerus dari hari ke-1 sampai 5 yang diberikan tiap bulannya untuk 2 kali siklus. Hasil didapatkan 5 years-overall survival rate 79% (95% CI 71-87%), disease free survival rate 74% (95% CI 65-83%) dan locoregional control rate 91% (95% CI 85-97%). Pada penelitian ini jenis histopatologi WHO I (1%), WHO II (36%) dan WHO III (28%). Kegagalan dari perbaikan hasil menurut Chang et al. adalah jenis hispatologi WHO II (p=0,054), klasifikasi T4 (p=0,02), klasifikasi N3 (p=0,01) semuanya dianalisis multivariate.
Penelitian kemoterapi konkuren oleh study intergroup 0099 di Amerika Utara dengan uji klinis terandomisasi mendapatkan hasil perbaikan yang bermakna. Pada penelitian ini adalah pasien karsinoma nasofarings stadium III dan IV (sistem klasifikasi AJCC / UICC 1987). Sebanyak 44% dengan jenis histopatologi WHO III pasien mendapat cisplatin 100 mg/m² i.v. bersama – sama dengan terapi radiasi pada hari ke-1, 22 dan 43, kemudian diikuti cisplatin ajuvan 80 mg/m² i.v. pada hari ke 71, 99 dan 127 ditambah 5-FU 1 gr/m²/hari dengan infus 96 jam pada hari ke-71-74, 99-102 dan 127-130 setelah radiasi komplit. Hasil didapatkan bahwa 3-years progression free survival mempunyai perbaikan bermakna pada lengan terapi kombinasi 64% melawan radio terapi saja 24% (p=0,001). Pada angka kemapuan hidup keseluruhan 3 tahun terapi kombinasi lebih baik 78% disbanding radioterapi saja 47% (p=0,005). Walaupun beberapa penelitian di atas terdapat perbaikan pada kontrol lokoregional, tetapi penelitian – penelitian tersebut masih belum memperbaiki overall survival (OS), sehingga pemberian kemoterapi ajuvan dan neoajuvan belum dapat dipakai sebagai terapi standar (tabel 6).
Evaluasi Pasca Terapi
Dilakukan pemeriksaan fisik THT, biopsi nasofarings dan CT Scan (potongan coronal extended sentrasi nasofarings) pada 8-12 minggu pasca terapi.
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan uji diagnostik untuk menentukan sensitifitas dan spesifitas CT Scan potongan koronal extended sentrasi nasofarings sebagai alat diagnosis pada evaluasi pasien pasca terapi Karsinoma nasofarings (KNF).
B. Populasi Penelitian
Populasi target pada penelitian ini adalah semua pasien dengan diagnosis karsinoma nasofarings yang telah menjalani terapi komplit. Populasi terjangkau penelitian ini adalah semua pasien dengan diagnosis karsinoma nasofarings yang telah menjalani terapi komplit di RS Dr. Sardjito.
C. Sampel Penelitian
Sampel adalah bagian dari populasi terjangkau yang dipilih dengan cara tertentu. Teknik pengambilan sampel dengan cara berurutan (consecutive sampling), yaitu setiap pasien KNF yang menjalani pemeriksaan dan pengobatan di RS Dr. Sardjito Yogyakarta dan memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Cara pemilihan sampel seperti ini adalah satu cara yang terbaik dalam penelitian klinik (Hulley dan Cumming, 1988).
D. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi penelitian ini adalah 1) penderita terdiagnosis KNF pasca terapi, 2) menjalani terapi lengkap sesuai protokol, 3) hasil biopsi nasofarings pasca terapi sesuai kriteria WHO, 4) dilakukan CT Scan pasca terapi (potongan coronal extended sentrasi nasofarings).
E. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi yang digunakan adalah : 1) biopsi dilakukan sebelum 8 minggu, 2) CT Scan dilakukan sebelum 8 minggu, 3) data tidak lengkap.
F. Cara Pengukuran
Tata urutan cara penelitian adalah sebagai berikut: 1) Semua penderita KNF pasca terapi yang memenuhi kriteria menjadi sampel pada penelitian dicatat identitasnya pada formulir penelitian, 2) Setelah 8-12 minggu pasca terapi dilakukan pemeriksaan CT Scan potongan coronal extended sentrasi nasofarings dan biopsi nasofarings.
G. Kerangka Penelitian
Gambar 1. Bagan alur penelitian dan analisis pada penelitian
H. Analisis Statistik
Analisis data dalam penelitian ini adalah sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, rasio kecenderungan positif, dan rasio kecenderungan negatif dari CT Scan. Penghitungan dari variabel dilakukan dengan memakai tabel 6 (Fletcher et al., 1988).
Tabel 1. Tabel penghitungan sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, akurasi, rasio kecenderungan positif, dan rasio kecenderungan negatif.
CT Scan
+ - Total
+
A B N1
- C D N2
Total N3 N4 N
Keterangan :
Sensitivitas = a/N3 x 100 %
Spesifisitas = d/N4 x 100 %
Nilai duga positif = a/N1 x 100 %
Nilai duga negatif = d/N2 x 100 %
Rasio kecenderungan positif = sensitifitas/ (b/(b + d))
Rasio kecenderungan negatif = (c/(a + c))/spesifisitas
HASIL PENELITIAN
A. Karakteristik subjek penelitian
Jumlah Sampel : 32 pasien
Jenis Kelamin : Laki-laki : 19 pasien
Perempuan : 13 pasien
Umur : <10 tahun : 0 pasien
10 - 20 tahun : 3 pasien
21 - 30 tahun : 3 pasien
31 - 40 tahun : 7 pasien
41 - 50 tahun : 16 pasien
51 – 60 tahun : 2 pasien
>60 tahun : 1 pasien
Demografi : DIY : 13
Luar DIY : Jawa : 18
Luar Jawa : 1
Ras : Jawa : 31 pasien
Cina : 0 pasien
Lainnya : 1 pasien
Staging : T1 : 6 pasien
T2 : 9 pasien
T3 : 16 pasien
T4 : 1 pasien
N 0 : 6 pasien
N 1 : 11 pasien
N2 : 8 pasien
N3 : 7 pasien
M0 : 31 pasien
M1 : 1 pasien
Stadium I : 0 pasien
II : 5 pasien
III : 19 pasien
IV : 8 pasien
Terapi yang diberikan : Radiasi : 5 pasien
Kemoradiasi : 27 pasien
B. Uji Diagnostik/Validasi CT Scan (Tabel 2)
Tabel 2. Penghitungan sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif,
akurasi, rasio kecenderungan positif, dan rasio kecenderungan negatif CT Scan
Biopsi Nasofarings CT Scan
+ - Total
+ A (8) b (4) N1 (12)
- c (12) d (8) N2 (20)
Total N3 (20) N4 (12) N (32)
Sensitivitas = a/N3 x 100 % = 8/20 x 100% = 40%
Spesifisitas = d/N4 x 100 % = 8/12 x 100% = 66.67%
Nilai duga positif = a/N1 x 100 % = 8/12x100%=66.67%
Nilai duga negatif = d/N2 x 100 % = 8/20 x100% = 40%
Rasio kecenderungan positif = sensitifitas/ (b/(b + d)) =0.4 / 0.3 = 1.33
Rasio kecenderungan negatif = (c/(a + c))/spesifisitas =0.6 / 0.66= 0.91
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini didapatkan 32 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dimana laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:2. Usia terbanyak dijumpai pada usia dekade keempat dimana 40% berdomisili di wilayah DIY dan 60% diluar DIY. Seluruh sampel merupakan ras melayu-jawa. Dari 32 sampel penelitian staging tumor yang paling banyak ditemukan adalah T3 (50%), N1 (34.4%), M0 (97%) dan Stadium terbanyak adalah stadium III (60%). Terapi yang diberikan pada ke 32 sampel penelitian adalah kemoradiasi (84%) dan radiasi (16%).
Pada evaluasi pasca terapi karsinoma nasofarings, CT Scan memiliki keuntungan/kelebihan yakni mudah diulang setiap kali kunjungan pasien dan dapat dilakukan dengan waktu yang relatif singkat, dapat didokumentasi, serta memberikan rasa yang lebih nyaman. Berbeda dengan biopsi yang membutuhkan persiapan dan tidak memberikan rasa nyaman pada pasien, sehingga tidak bisa dilakukan setiap kali kunjungan pasien.
Interpretasi dari hasil pemeriksaan nasofarings serta deteksi penyakit pasca terapi kadang-kadang sukar/sulit oleh karena adanya perubahan-perubahan morfologi pada jaringan lokal (nasofarings) pasca terapi. Tidak seperti halnya pada kasus baru sebelum di terapi dimana massa sering ditemukan, KNF pada awal pasca terapi hanya nampak berupa irregularitas mukosa ringan pada daerah nasofarings.
Contact bleeding seringkali digunakan sebagai penanda abnormalitas serta untuk memperkuat diagnosa KNF pada kasus baru, akan tetapi contact bleeding tidak dapat dipergunakan dalam evaluasi nasofarings pasca terapi sebab mukosa nasofaring mengalami peradangan/inflamasi. Berdasarkan pengalaman, contact bleeding seringkali ditemukan dalam evaluasi pasca terapi, sehingga adanya contact bleeding pada evaluasi pasca terapi dapat mempengaruhi keakuratannya sebagai tanda diagnostik.
Menurut penelitian Kwong et. al, sensitivitas dan sensitifitas untuk memprediksi penyakit persisten dengan fleksibel nasoendoskopi adalah 40,4 % dan 84,4 %. Prediksi nilai positif dan negatif adalah 16,3 % dan 95%. CT Scan memiliki sensitivities, spesifitas nilai prediksi negative lebih rendah daripada pemeriksaan nasoendoskopi. Interpretasi CT Scan setelah pengobatan KNF masih membingungkan karena adanya perubahan didaerah nasofarings yang asimetris pasca terapi. Gambaran daerah nasofarings yang asimetri merupakan hal yang tidak biasa setelah radiasi. Perbedaan antara jaringan normal dan jaringan yang sakit sering sulit dibedakan dan bersifat subyektif, meskipun begitu telah dikatakan bahwa asimetri di daerah nasofarings dengan straight margin seringkali jinak, dan jika lobulated appearance mengarah ke keganasan.
Gambaran CT Scan yang asimetri pada daerah nasofarings tidak selalu berarti ada tumor karena bisa jadi disebabkan oleh karena adanya fibrosis pasca radiasi, krusta dan endapan sediment, meskipun begitu keberadaan dari massa/asimetri pada daerah nasofarings sering diinterpretasikan sebagai tumor yang bisa menyebabkan nilai angka positif palsu (false positive) yang tinggi. Dari hal tersebut di atas maka perlu dilakukan uji diagnostik terhadan CT Scan.
Pemeriksaan CT Scan pada evaluasi pasca terapi KNF mempunyai sensitifitas 40% dan spesifitas 66,7%. Hal ini berarti hanya 40% kemungkinan seseorang benar benar positif masih terdapat sel ganas jika ditemukan CT Scan positif. Dan 66,7% kemungkinan subyek tidak didapatkan sel ganas apabila hasil CT scan ditemukan negatif.
Hasil penelitian menunjukkan 20 pasien yang tidak memiliki bukti penyakit dari specimen biopsinya (yang benar benar negatif/tidak terdapat sel ganas), didapatkan 8 yang menunjukkan gambaran CT Scan yang juga negatif pada evaluasi pasca terapi, hal tersebut menggambarkan bahwa pemeriksaan CT Scan memiliki nilai duga negatif yang rendah (40%). Dengan demikian jika hasil pemeriksaan CT Scan adalah negatif atau normal, ada kemungkinan terjadi persisten atau rekuren, sehingga tetap diperlukan biopsi pada pasien tersebut walaupun CT Scan dikatakan negatif/normal. Hal ini tidak dapat mencegah tindakan biopsi selama evaluasi pasca terapi. Biopsi nasofarings di awal pasca terapi diindikasikan dan menguntungkan hanya jika terdapat normalitas nasofarings yang terdeteksi pada pemeriksaan CT Scan normal.
KESIMPULAN
Pemeriksaan CT Scan pada evaluasi pasca terapi KNF mempunyai sensitifitas 40% dan spesifitas 66,7%
CT Scan rutin tidak mendatangkan keuntungan secara klinis karena memiliki nilai duga negatif yang rendah, sehingga biopsi nasofarings tetap diperlukan meskipun hasil CT Scan menunjukkan hasil yang normal.
Perlu dilakukan penelitian validitas nasoendoskopi nasofarings untuk evaluasi pasca terapi KNF
DAFTAR PUSTAKA
1. Neel III HB, Taylor WF, Pearson GR. 1985. Prognostic determinants and new view of
staging for patients with nasopharyngeal carcinoma. Ann Otol Rhinol Laryngol ; 94:
529 - 537.
2. Lin J, Jan J. 1999. Locally advanced nasopharyngeal cancer: long-term outcomes of ;.
therapy. Radiology ; 211: 513 - 518.
3. Sastrowijoto S. Losin K. Setiamika M. Tinjauan Retrospektif Karsinoma Nasofarings
di RSUP Dr. Sardjito selama Tiga Tahun (1992-1994). Kumpulan Naskah KONAS XI
PERHATI, Yogyakarta.1995. Hal. 1221- 1227.
4. Erkal HS, Serin M, Cakmak A. Nasopharyngeal carcinomas: analysis of patient,
Tumor and treatment characteristics determining outcome. J. Radiotheraphy and
Oncology. 2001; 161: 247-256
5. Sukardja IDG. Onkologi Klinik: Dasar-dasar Radioterapi. Airlangga University Press.
2000.
6. Wei WI, Sham JST. Present status of management of nasopharyngeal carcinoma.
Expert Rev Anticancer Ther.2001; 134 – 141.
7. Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan ed.
III. Balai penerbit FKUI, Jakarta. 1998: 135-153.
8. Hariwiyanto B. Simposium Kanker Tulip RS Dr. Sardjito, Yogyakarta. 2002.
9. Lee AVM, Ko WM, Foo W, Choi P, Tung Y, Sham J, et al. 1998. Nasopharyngeal
carcinoma-time lapse before diagnosis and treatment. HKMJ ; 4: 132 – 136.
10. Siew-Shuen Cao, Kwok-Seng Loh, Luk K.S. Tan. Modalities of surveillance in
treated nasopharyngeal cancer. Otolaryngol Head Neck Surg 2003; 129: 61-4.
11. Neel III HB, Taylor WF. 1990. Application of Ebstein-Barr Virus serologic testing
and a new staging system to North American patients with nasopharyngeal
carcinoma. Dalam : Diagnosis, staging, and management of nasopharyngeal cancer.
Head and neck cancer. American Society for head and neck surgery. BC Decker inc.
Toronto, Philadelphia: 153 – 155.
12. Nicholls JM, Chua D, Chiu PM, Kwong DLW. 1996. The detection of clinically
occult nasopharyngeal carcinoma in patients following radiotherapy – an analysis of
69 patients. Journal of Laryngology and Otology : 110: 496 – 499.
13. Wei WI, Sham JS. 1996. Cancer of the nasopharynx. Dalam: Cancer of the Head and
Neck. Third edition. Editor: Eugene N Myers & James Y Suen. WB Saunders
company. Philadelphia : 277 – 293.
14. Chia KS, Lee HP. Dalam: Nasopharyngeal Carcinoma. Chong VFH, Tsao SY.
Armour publishing Pte Ltd. Singapore. 1997: 1 – 5.
15. Su CK, Wang CC. Prognostic value of Chinese race in nasopharyngeal cancer. Int J
Rad Onc Biol Phys. 2002: 54: 752-758.
16. Hutagalung M, Cakra IGM, Daeng Y.Tinjauan lima besar tumor ganas THT di RSUP
Dr Sardjto selama lima tahun (1991-1995). Kumpulan Naskah PIT PERHATI. Batu-
Malang. 1996: 952-953.
17. Soetjipto D. Karsinoma nasofarings. Dalam: Iskandar N dkk, eds. Tumor Telinga,
Hidung dan Tenggorok. Diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta, Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran UI: 1989: 71-84.
18. Wang CC. Radiation theraphy for head and neck neoplasm. A John Wileys & sons,
Inc Publiction. New York-Chicester-Brisbane-Toronto-Singapore-Weinheim 1997:
257-280.
19. Indudharan R, Valuyeetham KA, Kannan T, Sidek DS. Nasopharyngeal carcinoma:
clinical trends. J Laryngol Otol 1997; 111: 724-729.
20. Lusy NLP, Samodra E, Wijayanto U. Pola epidemiologi klinis karsinoma nasofarings
di poliklinik THT RSUP Dr Sardjito tahun 2000. Makalah bebas pada PIT PERHATI.
Palembang. 2001.
21. Dahlia HL. Metoda penyikatan pada deteksi keganasan nasofarings. Karya akhir pada
Program Studi Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok PPDS-I. Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2002.
22. Shanmugaratnam K. 1978. Histological typing of upper respiratory tract tumours. In
Chr. WHO: 32-33.
23. Susilo N, Wiratno. 1995. Karsinoma nasofarings di SMF THT RSUP Dr. Kariadi
Semarang tahun 1990 – 1994. Dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah Konggres Nasional
XI PERHATI. Penyunting: Ketut Losin. Yogyakarta : 1229 – 1237.
24. Wei WI, Sham JS. 1996. Cancer of the nasopharynx. Dalam: Cancer of the Head and
Neck. Third edition. Editior: Eugene N Myers & James Y . WB Saunders company.
Philadelphia : 277 – 293.
25. Hasselt CAV. 1998. nasopharyngeal carcinoma. Dalam: Jones, Davion:d E Phillips,
Frans JM Hilgers. Published: Arnold. London: 297 – 307.
26. Lee AVM, Foo W, Law SCK, Poon YF, Sze WM, O SK, et al. 1997. Nasopharyngeal
carcinoma-presenting symptoms and duration before diagnosis. HKMJ ; 3: 355-361.
27. Tjokronagoro M. 2000. Randomized control trial of accelerated hyperfractionation
radiotheraphy versus convevtional radiotherapy for the treatment of local advance
undifferentiated nasopharyngeal carcinoma. BI Ked; 32: 263 -269.
|