Macapat: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k ←Suntingan 180.254.245.56 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Pai Walisongo |
RaFaDa20631 (bicara | kontrib) −Kategori:Budaya Jawa; +Kategori:Macapat menggunakan HotCat |
||
(85 revisi perantara oleh 55 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
[[Berkas:Gamelan Performance by Pasinaon Omah Kendeng 02.jpg|ka|jmpl|350px|Anak-anak dari Pasinaon Omah Kendheng membawakan macapat pada Festival Cipta Media Ekspresi di Taman Budaya Yogyakarta.]]
'''Macapat''' ({{lang-jv|ꦩꦕꦥꦠ꧀}}) adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut ''gatra'', dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (''guru wilangan'') tertentu, dan berakhir pada bunyi sajak akhir yang disebut ''guru lagu''.<ref>Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan</ref> Macapat dengan nama lain juga bisa ditemukan dalam kebudayaan [[Bali]],<ref>Hinzler (1994:v-vi)</ref> [[Lombok|Sasak]],<ref name="meij170">{{Harvnb|Van der Meij|2002|p=170}}</ref> [[Suku Madura|Madura]],<ref>Sudjarwadi et al (1980)</ref><ref>{{Cite journal|last=Effendy|first=Moh Hafid|date=2021-01-30|title=Nilai Religius pada Kearifan Lokal Tembang Macapat Madura|url=https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/kt/article/view/10959|journal=Khazanah Theologia|volume=3|issue=1|pages=1–12|doi=10.15575/kt.v3i1.10959|issn=2715-9701}}</ref> dan [[Sunda]]. Selain itu macapat juga pernah ditemukan di Palembang<ref>Drewes (1977:198-217)</ref> dan Banjarmasin.<ref>Koroh et al. (1977:27-29) dikutip dari Arps (1992:7)</ref> Biasanya macapat diartikan sebagai ''maca papat-papat'' (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata.<ref name="arps62">{{Harvnb|Arps|1992|p=62-63}}</ref> Namun ini bukan satu-satunya arti, penafsiran lainnya ada pula.<ref name="arps62"/> Macapat diperkirakan muncul pada akhir [[Majapahit]] dan dimulainya pengaruh [[Walisanga]], tetapi hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di [[Jawa Tengah]].<ref name="pigeaud20">{{Harvnb|Pigeaud|1967|p=20}}</ref> Sebab, di [[Jawa Timur]] dan [[Bali]] macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.<ref name="pigeaud20"/>
Karya-karya kesusastraan klasik Jawa dari masa [[Mataram Baru]], pada umumnya ditulis menggunakan metrum macapat.<ref name="ras309">{{Harvnb|Ras|1982|p=309}}</ref> Sebuah tulisan dalam bentuk prosa atau ''gancaran'' pada umumnya tidak dianggap sebagai hasil karya sastra namun hanya semacam 'daftar isi' saja.<ref name="ras309"/> Beberapa contoh karya sastra Jawa yang ditulis dalam tembang macapat termasuk ''[[Serat Wedhatama]]'',<ref>Ras 1982:313</ref> ''[[Serat Wulangreh]]'',<ref>Ras 1982:314</ref> dan ''[[Serat Kalatidha]]''.<ref>{{cite web|url=http://www.muurgedichten.nl/ranggawarsita.html|title=Ranggawarsita , serat Kalatidha - Een duistere tijd|accessdate=2010-05-2|archive-date=2010-04-26|archive-url=https://web.archive.org/web/20100426091041/http://www.muurgedichten.nl/ranggawarsita.html|dead-url=yes}}</ref>
Puisi tradisional Jawa atau tembang biasanya dibagi menjadi tiga kategori: ''tembang cilik'', ''tembang tengahan'' dan ''tembang gedhé''.<ref name="arps14">{{Harvnb|Arps|1992|p=14-15}}</ref> Macapat digolongkan kepada kategori ''tembang cilik'' dan juga ''tembang tengahan'', sementara ''tembang gedhé'' berdasarkan [[kakawin]] atau puisi tradisional Jawa Kuno, tetapi dalam penggunaannya pada masa Mataram Baru, tidak diterapkan perbedaan antara suku kata panjang ataupun pendek.<ref name="arps14"/> Di sisi lain ''tembang tengahan'' juga bisa merujuk kepada ''[[kidung]]'', puisi tradisional dalam [[bahasa Jawa]] Pertengahan.<ref>Arps (1996:51)</ref>
Kalau dibandingkan dengan [[kakawin]], aturan-aturan dalam macapat berbeda dan lebih mudah diterapkan menggunakan bahasa Jawa karena berbeda dengan kakawin yang didasarkan pada [[bahasa Sanskerta]], dalam macapat perbedaan antara suku kata panjang dan pendek diabaikan.<ref name="arps14"/>
Baris 12:
Selain yang telah disebut di atas ini, arti lainnya ialah bahwa ''-pat'' merujuk kepada jumlah tanda diakritis (''sandhangan'') dalam [[aksara Jawa]] yang relevan dalam penembangan macapat.<ref name="arps62"/>
Kemudian menurut ''[[Serat Mardawalagu]]'', yang dikarang oleh [[Ranggawarsita]], macapat merupakan singkatan dari frasa ''maca-pat-lagu'' yang artinya ialah "melagukan nada keempat".<ref name="arps62"/> Selain ''maca-pat-lagu'', masih ada lagi ''maca-sa-lagu'', ''maca-ro-lagu'' dan ''maca-tri-lagu''.<ref name="arps62"/> Konon ''maca-sa'' termasuk kategori tertua dan diciptakan oleh para Dewa dan diturunkan kepada pandita Walmiki dan diperbanyak oleh sang pujangga istana Yogiswara dari Kediri.<ref name="arps62"/> Ternyata ini termasuk kategori yang sekarang disebut dengan nama ''[[kakawin|tembang gedhé]]''.<ref name="arps62"/> ''Maca-ro'' termasuk tipe ''tembang gedhé'' di mana jumlah bait per pupuh bisa kurang dari empat sementara jumlah sukukata dalam setiap bait tidak selalu sama dan diciptakan oleh Yogiswara.<ref name="arps62"/> ''Maca-tri'' atau kategori yang ketiga adalah ''tembang tengahan'' yang konon diciptakan oleh Resi Wiratmaka, pandita istana Janggala dan disempurnakan oleh Pangeran Panji Inokartapati dan saudaranya.<ref name="arps62"/> Dan akhirnya, ''macapat'' atau ''tembang cilik'' diciptakan oleh [[Sunan Bonang]] dan diturunkan kepada semua wali.<ref name="arps62"/>
== Sejarah macapat ==
Secara umum diperkirakan bahwa macapat muncul pada akhir masa [[Majapahit]] dan dimulainya pengaruh [[Walisanga]],
Sementara itu mengenai usia macapat, terutama hubungannya dengan [[kakawin]], mana yang lebih tua, terdapat dua pendapat yang berbeda. Prijohoetomo berpendapat bahwa macapat merupakan turunan kakawin dengan tembang gedhé sebagai perantara.<ref>{{Harvnb|Prijohoetomo|1934|p=?}}</ref> Pendapat ini disangkal oleh Poerbatjaraka dan Zoetmulder. Menurut kedua pakar ini macapat sebagai metrum puisi asli Jawa lebih tua usianya daripada kakawin. Maka macapat baru muncul setelah pengaruh India semakin pudar.
== Struktur macapat ==
Sebuah karya sastra macapat biasanya dibagi menjadi beberapa ''pupuh'', sementara setiap ''pupuh'' dibagi menjadi beberapa ''pada''.<ref name="ras309"
Jumlah ''pada'' per ''pupuh'' berbeda-beda, tergantung terhadap jumlah teks yang digunakan.<ref name="ras309"/> Sementara setiap pada dibagi lagi menjadi ''larik'' atau ''gatra''.<ref name="ras309"/> Sementara setiap ''larik'' atau ''gatra'' ini dibagi lagi menjadi suku kata atau ''wanda''.<ref name="ras309"/> Setiap ''gatra'' jadi memiliki jumlah suku kata yang tetap dan berakhir dengan sebuah vokal yang sama pula.<ref name="ras309"/>
Aturan mengenai penggunaan jumlah suku kata ini diberi nama ''guru wilangan''.<ref name="ras309"/> Sementara aturan pemakaian vokal akhir setiap ''larik'' atau ''gatra'' diberi nama ''guru lagu''.<ref name="ras309"/>
Baris 28:
== Jenis metrum macapat ==
Jumlah metrum baku macapat ada limabelas buah. Lalu metrum-metrum ini dibagi menjadi tiga jenis, yaitu ''tembang cilik'', ''tembang tengahan'' dan ''tembang gedhé''. Kategori ''tembang cilik'' memuat sembilan metrum, ''tembang tengahan'' enam metrum dan ''tembang gedhé'' satu metrum.
Ada beberapa jenis tembang macapat. masing-masing jenis tembang tersebut memiliki aturan berupa guru lagu dan guru wilangan masing-masing yang berbeda-beda. Yang paling dikenal umum ada 11 jenis tembang macapat. Yaitu, Pucung, Megatruh, Pangkur, Dangdanggula, dll. Lebih lengkap nya sebagai berikut,
# Pangkur biasa dipakai di nama kepunggawaan dalam kalangan kependetaan jawa islam dan beberapa kebudayaan hindu seperti tercantum dalam piagam-piagam berbahasa jawa kuno. Dalam Serat Purwaukara, Pangkur berarti buntut atau ekor. Pangkur juga erat kaitannya dengan kata "mungkur" yang bermakna membelakangi, karena dalam filosofi jawa adakalanya manusia itu harus membelakangi segala hiruk pikuk dunia atau amalan yang cenderung tidak disukai Tuhan Yang Maha Kuasa. Ciri khas dari tembang jawa klasik Pangkur ini terkadang cenderung diberi sasmita atau isyarat yang di letakan di awal atau di tengah atau di akhir lagu yang ditembangkan. Contoh dari beberapa Sasmita tersebut adalah tut pungkur (mengekor), tut wuntat (mengikuti), mingkar-mingkur (bolak-balik), mingkar-mungkur (berbalik dan membelakangi sekuat tenaga), dan lain sebagainya yang masih terdapat kata yang cenderung sama bunyi atau sama istilah artinya (homofun & homonim) dengan kata Pangkur.
# Maskumambang berasal dari dua kata yakni "Mas" (Emas- Bahasa Jawa) dan "Kumambang" dari kata Kambang (Mengambang- Bahasa Jawa). Sementara itu dalam ritus kebudayaan hindu Mas dimaknai dari kata "Premas" yaitu punggawa dalam upacara Shaministis. Kumambang dari kata Kambang dengan sisipan – um. Kambang dari kata Ka- dan Ambang. Kambang selain berarti terapung, juga berarti Kamwang atau kembang. Ambang ada kaitannya dengan Ambangse yang berarti menembang atau mengidung. Dengan demikian, Maskumambang dapat diberi arti punggawa yang melaksanakan upacara Shamanistis, mengucap mantra atau lafal dengan menembang disertai sajian bunga. Dalam Serat Purwaukara, Maskumambang diberi arti Ulam Toya yang berarti ikan air tawar, sehingga kadang-kadang di isyaratkan dengan lukisan atau ikan berenang. Sementara itu dalam filosofi hidup orang jawa, Maskumambang identik dengan kemunculan jabang bayi yang berharga yang bersemayam dalam perut ibunya. Hal tersebut disinyalir saking berharganya kehidupan yang akan muncul hingga ditafsirkan sebagai permata berharga yakni emas/ mas. Dan kumambang ditafsirkan mengambang/ bersemayam dalam suatu tempat yakni rahim ibu yang sedang mengandung embrio bayi tersebut.
# Sinom ada hubungannya dengan kata Sinoman, yaitu perkumpulan para pemuda untuk membantu orang yang berpunya pesta hajatan. Pendapat lain menyatakan bahwa Sinom ada kaitannya dengan upacara-upacara keagamaan bagi anak-anak muda zaman dahulu. Pun demukian, arti dan pemaknaan Sinom yang dewasa ini dikenal dalam kebudayaan jawa adalah berasal dari kata "Si" (Sang) dan "Nom" (Muda). Dan bilamana keduanya digabung, maka berkonotasi makna "Dia Sang Pemuda" atau "Dia yang masih muda". Oleh karenanya dalam filosofi kebudayaan jawa Sinom digambarkan sebagai watak dari pemuda yang ingin banyak tahu akan perkara dunia, tak kenal takut, dan selalu ceria. Dalam Serat Purwaukara, Sinom diberi arti sekaring rikma yang berarti anak rambut. Selain itu, Sinom juga diartikan daun muda sehingga kadang-kadang diberi isyarat dengan pelukisan daun muda.
# Asmaradana/ Asmaradhahana berasal dari kata "Asmara" (Gejalak Asmara/ Gelora Cinta- Baasa Jawa) dan "Dhana"/ "Dhahana" (Api- Bahasa Jawa). Dalam mitologi dan kebudayaan hindu Asmara atau Hyang Asmara adalah nama dewa percintaan ([[Wayang|pewayangan]] jawa-bali). Dhana berasal dari kata Dahana yang berarti api. Nama Asmaradana berkaitan denga peristiwa hangusnya dewa Asmara oleh sorot mata ketiga dewa Siwa seperti disebutkan dalam kakawin Smaradhana karya Mpu Darmaja. Dalam Serat Purwaukara, Smarandana diberi arti remen ing paweweh, berarti suka memberi. Dan dalam falsafah hidup orang jawa Asmaradana adalah suatu tembang yang menggambarkan gejolak cinta seorang pemuda yang kian membara/ berapi-api. Oleh karnanya di sepanjang pulau jawa, tembang jawa kuno Asmaradana tidak mungkin membawakan kisah kematian atau kesedihan karena bergesekan dengan pakem rasa orang jawa atau sudah menjadi selera paten orang jawa.
# Dandhanggula diambil dari nama kata raja Kediri, Prabu Dandhanggendis atau Rakai Prabu Dandhanggula yang terkenal sesudah prabu Jayabaya. Dalam Serat Purwaukara, Dandhanggula berarti ngajeng-ajeng kasaean (menanti-nanti kebaikan). Sementara itu dalam falsafah jawa dandhanggula bermakna panci dandhang yang berisi gula yang tentu akan mengundang semut. Merupakan suatu penggambaran apabila seseorang yang baik dalam rupa zhahir- bathin serta tingkah lakunya tentu akan dikerubungi/ diminati banyak orang.
# Durma dari kata jawa klasik yang berarti harimau. Sesuai dengan arti itu, tembang Durma berwatak atau biasa diguanakan dalam suasana seram. Pun demikian itu adalah beberapa versi yang kurang valid dan perlu dibuktikan kevalidannya. Kata "Durma" sangat identik dengan kata "Derma" (Memberi— Bahasa Jawa-Melayu). Dan dari penelusuran makna homofun tersebut adalah yang kian menguatkan alasan mengapa subtansi dari tembang Durma cenderung selalu petuah, nasehat, kabar menakutkan supaya taat agama, dsb. Durma ibarat, "hanya memberi tak harap kembali" atau pemaknaan yang lebih mengena adalah "anut sukur, ora anut—nyong ora rugi". Dalam falsafah jawa pun, tembang Durma ini identik ditembangkan oleh orang yang berumur kepada para pemuda supaya menjalani kehidupan dengan lebih baik dan benar serta tidak menyalahi larangan Tuhan Yang Maha Esa.
# Mijil dari kata Wijil (Biji - Bahasa Jawa). Mijil berarti biji yang keluar. Dalam metafora kebudayaan jawa adalah suatu pengibaratan bayi yang keluar dari gerbang rahim ibunya menuju dunia luar nan luas. Biji yang keluar adalah cikal bakal kehidupan yang berharga. Dari tidak ada kemudian diadakan hingga dilahirkan adalah suatu anugrah Tuhan yang amat besar. Oleh karena filosofi jawa-islam yang amat kental nan luhur tersebut Wijil/ Biji-bijian juga diartikan sebagai pintu/ gerbang tercatanya pahala dan lain sebagainya yang perlu dipupuk dan disemai air secukupnya hingga ia kanak-kanak dan beranjak dewasa dan siap menghadapi kehidupan.
# Kinanthi berarti menimang, bergandengan, berteman mesra. Dalam metafora jawa digambarkan sebagai kedua orang tua yang speechless namun bahagia sembari melihati buah hatinya setelah kelahirannya hingga sesaat sebelum ia mengalami keremajaan (ditandakan dengan aqil baligh dan munculnya romansa cinta). Yang tentunya dalam tatapan mereka berdua banyak harapan tertuang padanya supaya menjadi anak yang membanggakan & berbhakti kepada kedua orang tuanya, sukunya, bangsanya, dan tak luput juga negara dan agamanya. Sesuai dari semua arti itu, tembang Kinanthi berwatak suasana mesra dan senang penuh harap.
# Gambuh berarti Jumbuh (Tepat/ sêsuai sêléra hati–Bahasa Jawa). Adalah metafora dari anak berumuran SD yang cenderung lugu-polos dan punya banyak hobi serta tak suka dibantah keinginannya. Berkenaan dengan hal itu, tembang Gambuh memang berwatak suasana tidak ragu-ragu atau "ingin melakukan apa saja yang kamu inginkan sesuai katahatimu".
# Pucung/ Pocung adalah nama biji kepayang, Pucung adalah tetembangan yang digunakan untuk mengingat pada kematian, karena dekat dengan kata [[pocong]] yaitu pembungkusan mayat saat akan dikubur. Selain itu, pucung juga berarti woh-wohan (buah-buahan) yang memberikan kesegara. Dalam Serat Purwaukara, Pucung berarti ''"kudhuping gegodhongan"'' (kuncup dedaunan) yang biasanya tampak segar. Pun demikian, kata "Cung" dalam Pucung cenderung mengacu pada hal-hal yang bersifat lucu, yang menimbulkan kesegaran suasana. Misalnya kucung dan kacung. Sehingga tembang Pucung berwatak dasar ''flekibel (sah-sah saja dibawa kemanapun),'' santai, dan serta penuh keingintahuan. Dan itu sangat tepat dan presisi dalam beberapa syair tembang Pucung cenderung berisi tebak-tebakan yang sebelumnya sudah diberi klu/ petunjuk. Permainan tebak-tebakan jawa kuno cenderung menggunakan lagu Pucung sebagai pengantar petunjuknya untuk kemudian ditebak. Contohnya saja kamu disuruh menebak Gajah, Kereta, Gedung, Nama, dsb. Dan ketika dijadikan tebak-tebakan, cenderung selalu ada kata ''"Bapak Pocung"/ "Bapak Pucung"'' untuk mengawali lagu tebak-tebakkan tersebut.
# Megatruh berasal dari awalan am, pegat dan ruh. Pegat berarti putus, tamat, pisah, cerai. Dan ruh berarti roh. Dalam Serat Purwaukara, Megatruh diberi arti "mbucalken sarwa ala" (membuang semua yang serba jelek). Pegat ada hubungannya dengan peget yang berarti istana, tempat tinggal. Pameget atau pamegat yang berarti jabatan. Samgat atau samget berarti jabatan ahli, guru agama. Dengan demikian, Megatruh berarti petugas yang ahli dalam kerohanian yang selalu menghindari perbuatan jahat (Versi Kebudayaan Hindu Bali). Sementara itu dalam sudut pandang falsafah Jawa-Islam, Megatruh adaalah penggambaran lepasnya roh dari raga yang kemudian akan disiapkan untuk kehidupan selanjutnya ("akhir perjalanan dunia—awal perjalanan akhirat"). Yakni, apakah si roh akan memasuki "Alam barzah" (alam untuk orang beramalan biasa) atau memasuki "Alam Mulkiyyah" (alam untuk orang sholeh yang berbhakti kepada Allah Swt & Rosulnya) ataukah "Alam Nur" (alam untuk para Nabi & Rosul Allah Swt) yang notabene mereka bertinggal di sana hingga sebelum kiamat berlangsung. Dalam substansinya tembang ini berisi kabar gembia nan menyenangkan adapula versi lainnya yang semua itu cenderung lekat dengan penggambaran orang meninggal apakah "husnul khothimah" (berakhir bahagia) atau yang lainnya.
Dan dalam paket kebudayaan, kebudayaan Jawa—Islam lah yang kian lekat dan pantas memiliki tembang 11 macapat ini. Karena mereka menerapkan dan menjadikannya sebagai pedoman hidup, melegitimasi dengan kepercayaan yang mereka anut, menggambarkan/ memetaforakan dengan sangat complicated dan detail, serta targeting mereka lebih mengena di hati dan akal manusia ada umumnya. Pun demikian, mereka tidak berhenti sampai disitu mereka terus berkreasi dengan pakem yang ada dan menyesuaikan dengan konten kehidupan manusia dari awal eksistensinya sebagai jabang bayi hingga berpisahnya roh dengan raga.
Kesemuaan unsur sedari historis hingga falsafah Jawa–Islam itu sudah susah lepas dalam ingatan siapa pemilik 11 tembang macapat sebenarnya. Pun demikian itu masih belum selesai. 11 lagu macapat ini ters mengalami peremajaan dan penyegaran setelah dimasukkan kedalam kurrikulum mata pelajaran Bahasa Jawa untuk SD–Perguruan Tinggi di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sementara itu di lingkungan keraton seperti Keraton Ngayogyakarta — Yogyakarta sebagai contohnya saja, mobilitasnya lebih masif lagi dengan mengadakan event-event yang kental akan budaya.
Ada pula yang memasukkan tembang gede dan tembang tengahan ke dalam macapat. Tembang-tembang tersebut antara lain
# Wirangrong berarti trenyuh ( sedih ), nelangsa ( penuh derita ), kapirangu ( ragu-ragu ). Namun dalam teks sastra, Wirangrong justru digunakan dalam suasana berwibawa.
# Jurudemung berasal dari kata juru yang berarti tukang dan demung yang berarti nama sebuah perlengkapan gamelan. Dengan demikian, Jurudemung dapat berarti penabuh gamelan. Dalam Serat Purwaukara, Jurudemung diberi arti "lelinggir kang landep" atau "pisau yang tajam".
# Girisa berasal dari kata "Giris" (Ngeri- Bahasa Jawa). Dalam versi kebudayaan hindu Bali, Girisa berasal dari bahasa Sansekerta, Giriça ("c syadilag" dibaca "s") adalah nama lain Dewa Siwa yang bertahta di gunung atau Dewa Gunung, sehingga disebut Hyang Girinata. Dalam Serat Purwaukara, Girisa diberi arti "Boten sarwa wegah" (tidak serba enggan- Bahasa Jawa), sehingga mempunyai watak selalu ingat.
# Balabak, dalam Serat Purwaukara diberi arti kasilap atau terbenam. Apabila dihubungkan dengan kata bala dan baka, Balabak dapat berarti pasukan atau kelompok burung Bangau. Apabila terbang, pasukan burung Bangau tampak santai. Oleh karena itu tembang Balabak berwatak atau biasa digunakan dalam suasana santai.
== Tabel macapat ==
Supaya lebih mudah membedakan antara ''guru gatra'', ''guru wilangan'' lan ''guru lagu'' dari tembang-tembang tadi, maka setiap metrum ditata di dalam sebuah tabel seperti di bawah ini:<ref>Sesuai tabel yang diberikan oleh Ras (1982:310)</ref>
{| {{prettytable}}
Baris 104 ⟶ 130:
|<center>7</center>
|8i
|
|8é/o
|8a
|7a
Baris 283 ⟶ 309:
=== Maskumambang ===
Gereng-gereng Gathotkaca sru anangis<br />
Sambaté mlas arsa<br />
Luhnya marawayan mili<br />
Gung tinamêng astanira
=== Sinom ===
Pangéran Panggung saksana
Anyangking daluwang mangsi
Dènira manjing dahana
Alungguh sajroning geni
Èca sarwi nenulis
Ing jero pawaka murub
=== Asmaradana ===
Aja turu soré kaki
Ana Déwa nganglang jagad
Nyangking bokor kencanané
Isine donga tetulak
Sandhang kelawan pangan
Yaiku bagéyanipun
Wong melek sabar narima
=== Kinanthi ===
Baris 319 ⟶ 342:
Gelung rusak awor kisma,<br />
Ingkang iga-iga kêksi.
=== Gambuh ===
Sekar gambuh ping catur,<br />
Kang cinatur polah kang kalantur,<br />
Tanpa tutur katula tula katali,<br />
Kadaluwarsa katutuh,<br />
Kapatuh pan dadi awon.
=== Pangkur ===
Lumuh tukua pawarta,<br />
Tan saranta nuruti hardengati,<br />
Satata tansah tinemu,<br />
Kataman martotama,<br />
Kadarmaning narendra sudibya sadu,<br />
Wus mangkana kalih samya,<br />
Sareng manguswa pada ji.
(Haji Pamasa, [[Ranggawarsita]])
Mingkar mingkuring angkara,<br />
Akarana karenan mardi siwi,<br />
Mangka nadyan tuwa pikun,<br />
Yen tan mekani rasa,<br />
Yekti sepi sepa lir asepa samun,<br />
Samangsane pakumpulan,<br />
Gonyak ganyuk nglelingsemi.
=== Durma ===
Damarwulan aja ngucireng ngayuda
Baliya sun anteni
Mangsa sun mundura
Lah Bisma den prayitna
Katiban pusaka mami
Mara tibakna
Curiganira nuli
(Langendriyan)
=== Mijil ===
Jalak uren mawurahan sami
Samadya andon woh
Amuwuhi malad wiyadine
Ana manuk mamatuk sasari
Angsoka sulastri
Ruru karya gandrung
(Haji Pamasa, Ranggawarsita)
===
Sigra milir kang gèthèk sinangga bajul<br />
Kawan dasa kang njagèni<br />
Ing ngarsa miwah ing pungkur<br />
Tanapi ing kanan kéring<br />
Kang gèthèk lampahnya alon
(Babad Tanah Jawi, Yasadipura)
=== Pucung ===
Ngelmu iku kalakone kanthi laku<br />Lekase lawan kas<br />Tegese kas nyantosani<br />Setya budya pengekesing dur angkara
'''Contoh lain dalam versi tebak-tebakan jawa klasik:'''
Bapak Pocung, dudu watu, dudu gunung
''(Ayo tebak, dia bukan batu bukan pula gunung)''
Sabane ing sendhang
''(Dia suka tinggal di sungai)''
Ngon-ingone sang Bupati
''(Dipelihara orang kaya seperti Si Bupati)''
Yen lumaku si Pocung lembehan grono
''(Kalau berjalan Si Dia suka melambaikan hidung)''
Dan jawaban dari tebak-tebakan tembang pucung tersebut adalah Gajah. Inilah sebabnya tembang pucung amat populer dikalangan anak-anak. Karena menarik untuk dijadikan lagu permainan tebak-tebakkan. Pun demikian syarat pakem dari guru lagu dan guru wilangan harus tetap terpenuhi.
=== Jurudemung ===
Ni ajeng mring gandhok wétan<br />
Wus panggih lan Rara Mendut<br />
Alon wijilé kang wuwus<br />
Hèh Mendut pamintanira<br />
Adhedhasar adol bungkus<br />
Wus katur sarta kalilan<br />
Déning jeng kyai Tumenggung
(Serat Pranacitra)
Cirining serat iberan<br />
Kebo bang sungunya tanggung<br />
Saben kepi mirah ingsun<br />
Katon pupur lalamatan<br />
Kunir pita kasut kayu<br />
Wulucumbu Madukara<br />
Paran margane ketemu
(Serat Sekar-sekaran, [[Mangkunegara IV]])
=== Wirangrong ===
Wiwéka dipunwaspaos<br />
Aja-dumèh-dumèh bisa muwus<br />
Yèn tan pantes ugi<br />
Sanadyan mung sakecap<br />
Yèn tan pantes prenahira
(Serat Wulang Rèh, [[Pakubuwana IV]])
=== Balabak ===
Byar rahina Kèn Rara wus maring sendhang<br />
mamèt wé<br />
Turut marga nyambi reramban janganan<br />
antuké<br />
Praptêng wisma wusing nyapu atetebah<br />
jogané
(Serat Jaka Lodhang, Ranggawarsita)
Kabalabak jroning jagad gedhe ana<br />
yektine<br />
Jagad cilik sinorotan surya, kembar<br />
pandhane<br />
Soring surya ana gunung gung saguja<br />
blegere
(Ki Padmosukoco)
=== Girisa ===
Baris 507 ⟶ 502:
* {{en}} Th. Pigeaud, 1967, ''Literature of Java. Catalogue Raisonné of Javanese Manuscripts in the Library of the University of Leiden and other public collections in the Netherlands. Volume I. Synopsis of Javanese Literature 900 - 1900 A.D.'' The Hague: Martinus Nyhoff
* {{jv}} Poerbatjaraka, 1952, ''Kapustakan Djawi''. Djakarta: Djambatan
* {{nl}} Prijohoetomo, 1934, '' Nawaruci
* {{nl}} J.J. Ras, 1982, ''Inleiding tot het modern Javaans''. Leiden: KITLV uitgeverij. ISBN 90-6718-073-4
* {{id}} I.C. Sudjarwadi et al., 1980, ''Seni macapat Madura: laporan penelitian. Oleh Team Penelitian Fakultas Sastra, Universitas Negeri Jember''. Jember: Universitas Negeri Jember.
* Effendy, Moh Hafid (2021-01-30). "Nilai Religius pada Kearifan Lokal Tembang Macapat Madura". ''Khazanah Theologia''. '''3''' (1): 1–12. [[Digital object identifier|doi]]:10.15575/kt.v3i1.10959. [[International Standard Serial Number|ISSN]] 2715-9701
[[Kategori:Sastra Jawa]]
[[Kategori:
|