Jawanisasi: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
OrophinBot (bicara | kontrib) |
|||
(116 revisi perantara oleh 30 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{More citations needed|date=Januari 2022}}
[[Berkas:TMII Sasono Utomo.JPG|jmpl|ka|340px|''Sasono Utomo'' bangunan utama di [[Taman Mini Indonesia Indah]] menampilkan arsitektur [[joglo]] Jawa, berdiri di depan [[alun-alun]] Pancasila. Secara halus mengisyaratkan dominasi budaya Jawa di Indonesia. Taman ini dibangun oleh [[Tien Soeharto]], mantan ibu negara dan istri dari [[Soeharto]].]]
'''Jawanisasi''' atau '''penjawaan''' adalah proses
Dalam pengertian modern, dalam perspektif sosial, budaya dan politik Indonesia, Jawanisasi bisa berarti hanya sebagai penyebaran penduduk [[suku Jawa]] dari pedesaan Jawa yang berpenduduk padat ke bagian yang kurang penduduknya di pulau lainnya di [[Nusantara]].<ref>Lihat Program [[Transmigrasi]] Indonesia, di mana kebijakan pemerintah untuk memukimkan orang Jawa yang miskin pindah ke pulau lain di Indonesia. Dalam beberapa kasus hal ini tidak disambut baik oleh penduduk asli, terutama apabila para pendatang baru itu alih-alih malah menjadi mayoritas di sana.</ref> Sedangkan untuk pihak lain, itu juga bisa berarti penerapan — sadar atau tidak sadar — pola pikir dan perilaku Jawa di berbagai tempat di Indonesia, dalam arti penjajahan budaya, hal ini lebih terfokus pada cara pemikiran dan
Akan tetapi, istilah "Penjawaan"
Penggalakan dan penyebaran unsur-unsur budaya Jawa
== Perwujudan ==
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Wajangfiguur van karbouwenhuid voorstellende een pauzeteken TMnr 4551-27.jpg|
Hegemoni atau dominasi budaya Jawa ini bisa terwujud dalam berbagai aspek. Seperti fisik melalui penyebaran permukiman diaspora Jawa di luar tanah air tradisional mereka di Jawa. Dalam aspek spiritual dan perilaku, proses Jawanisasi meliputi penerapan budaya dan nilai-nilai Jawa; seperti obsesi akan kehalusan dan keanggunan (Jawa: ''alus''), sopan santun, ketidaklangsungan, enggan berterus terang, pengendalian emosional, dan perhatian akan status sosial seseorang. Nilai-nilai Jawa menjunjung tinggi keselarasan dan keteraturan tatanan sosial, mereka membenci konflik langsung dan perselisihan. Nilai-nilai Jawa ini sering disebarkan melalui ekspresi budaya Jawa, seperti [[tari Jawa]], [[gamelan]], [[wayang]], [[Keris]] dan [[batik]] sebagai kebudayaan nasional Indonesia. Hal ini juga yang diperkuat melalui kepatuhan terhadap
Dalam aspek bahasa, seperti penggunaan [[Bahasa Jawa|bahasa]], istilah, idiom, dan kosakata Jawa di luar wilayah bahasa tradisional Jawa. Misalnya, kini lazim bagi warga Indonesia menggunakan istilah Jawa untuk menyapa orang lain, seperti ''Mas'' (terhadap laki-laki sebaya atau yang sedikit lebih tua), ''Kang'' atau Kakang (terhadap laki-laki yang lebih tua) dan ''
Dalam sosial dan politik, contoh Jawanisasi dirasakan seperti [[Presiden Indonesia]] yang selalu berasal dari [[
== Sejarah awal ==
[[Berkas:Majapahit Empire id.svg|
Pulau [[Jawa]] telah menjadi panggung [[sejarah Indonesia]] selama berabad-abad, dan [[orang Jawa]] sebagai [[Suku bangsa di Indonesia|kelompok etnis]]
Pada tahap awal, budaya Jawa sangat dipengaruhi oleh peradaban [[Hindu]]-[[Buddha]] dari India. Contoh dari proses ini adalah
Contoh-contoh awal Jawanisasi adalah perluasan kesenian Jawa [[Sailendra]]
Pada periode klasik awal, selama [[Kerajaan Medang]] periode Jawa Timur
Perluasan
Diikuti oleh ekspansi
Juga selama periode terakhir dari Majapahit pada abad ke-15, unsur gaya asli [[Austronesia]] pra-Hindu Jawa dihidupkan kembali, seperti yang ditunjukkan dalam bentuk [[Candi Sukuh]] dan [[Candi Cetho]]. Gaya patung dan relief tokoh wayang yang kaku, dan struktur [[piramida bertingkat]] menggantikan bentuk candi klasik Hindu yang menjulang. Ini kebalikan dari proses [[Indianisasi]], yang juga disebut "Jawanisasi" purwarupa Hindu-Buddha pada kesenian Jawa.<ref>{{cite book|url=https://books.google.co.id/books?id=CFW1tNel8m0C&pg=PA71&lpg=PA71&dq=Javanization&source=bl&ots=E4SrD0Pago&sig=RwZThSnQGDtcE-B6E7m45cItOBk&hl=id&sa=X&ei=QcN7Ut7CFIHBrAfe8YCYBQ&ved=0CE4Q6AEwBjgK#v=onepage&q|title=From Majapahit and Sukuh to Megawati Sukarnoputri: Continuity and Change in Pluralism of Religion, Culture and Politics of Indonesia from the XV to the XXI Century|last=Fic|first=Victor M.|date=2003|publisher=Abhinav Publications}}</ref>
== Sejarah zaman madya ==
[[Berkas:Tropenmuseum Royal Tropical Institute Objectnumber 60006336 Portret van een Javaanse vrouw met ee.jpg|jmpl|lurus|Diaspora orang Jawa seperti ke [[Suriname]] pada masa kolonial Hindia Belanda turut menyebarkan kebudayaan Jawa.]]
Setelah jatuhnya Majapahit, [[Kesultanan Demak]] menggantikan hegemoninya di Sumatera Selatan dengan menunjuk bupati Jawa untuk memerintah [[Palembang]]. Pada awal abad ke-17, [[Kesultanan Palembang]] didirikan oleh Ki Gede ing Suro, ningrat Jawa yang melarikan diri dari intrik politik Demak setelah kematian Trenggana Sultan Demak. Kesultanan Palembang dikenal sebagai paduan dari berbagai budaya; Melayu, Jawa, Islam, dan Tionghoa. Proses Jawanisasi kehidupan istana Kesultanan Palembang terlihat jelas dalam penyerapan kata-kata dan kosakata Jawa ke dalam [[bahasa Musi|bahasa Melayu dialek Palembang]], seperti ''wong'' (orang) dan ''banyu'' (air).
[[Kesultanan Mataram]] pada masa pemerintahan [[Sultan Agung]] yang ambisius, di paruh pertama abad ke-17, budaya Jawa semakin diperluas. Sebagian besar ke wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur. Ekspedisi militer Mataram di kerajaan Jawa Timur seperti Surabaya dan Pasuruan, memperluas pengaruh budaya Jawa Mataraman. Ekspansi Mataram meliputi wilayah [[orang Sunda|Sunda]] di dataran tinggi [[Priangan]], dari Galuh Ciamis, Sumedang, Bandung, dan Cianjur. Selama periode inilah, orang-orang Sunda mulai terpapar dan menyerap lebih lanjut budaya Jawa ''[[Kejawen|Kejawèn]]''. [[Wayang golek]] adalah kesenian wayang versi Sunda yang banyak menyerap pengaruh budaya [[wayang kulit]]. Budaya yang dimiliki bersama seperti [[gamelan]] dan [[batik]] juga berkembang. Mungkin pada saat itulah [[bahasa Sunda]] mulai mengadopsi [[Tatakrama bahasa Sunda|tingkat unggah-ungguh]] kehalusan istilah dan kosakata untuk menunjukkan kesopanan, sebagaimana tecermin dalam [[bahasa Jawa]]. Selain itu, [[aksara Jawa]] juga digunakan untuk menulis bahasa Sunda sebagai ''[[Cacarakan]]''.
Pengaruh dan ide-ide asing seperti agama dan kepercayaan, kadang-kadang secara sadar dan sengaja mengalami perubahan dan adaptasi, menjadi "dijawakan" agar dapat diterima oleh khalayak Jawa. Contoh-contoh seperti proses yang terjadi pada abad ke-15 dijuluki sebagai "[[Islamisasi]] Jawa dan Jawanisasi Islam". [[Wali Songo]] seperti [[Sunan Kalijaga]] diketahui menggunakan ekspresi seni budaya Jawa seperti [[gamelan]] dan wayang untuk menyebarkan ajaran Islam. [[Wayang Sadat|Wayang sadat]] adalah varian dari wayang yang digunakan dalam tablig dan [[dakwah]] untuk menyebarkan pesan-pesan Islam. Contoh lain Jawanisasi Islam di Jawa adalah pembangunan atap tumpang bertingkat pada masjid Jawa. Pada masjid Jawa awalnya tidak terdapat kubah, menara, melainkan mengadopsi pertukangan kayu bangunan [[pendopo]] dan atap meru — seperti yang berasal dari seni arsitektur Jawa pra-Islam sebelumnya. Contoh dari masjid jenis ini adalah [[Masjid Agung Demak]] dan [[Masjid Gedhe Kauman]] Yogyakarta.
{| class="wikitable" align="center" style="margin: 0 auto; font-size: 80%; width: 100%;"
|-
|align="center"|
<gallery mode="packed">
Berkas:DSC00253 Java Bromo Temple Indou Laotian Pasir (6226529310).jpg|[[Pura Luhur Ponten]], dekat Kawah [[Gunung Bromo|Bromo]].
Berkas:Candi Mendut 1.jpg|Wihara Mendut, biara Buddha dekat [[Candi Mendut]], [[Magelang]].
Berkas:Masjid Agung Demak.jpg|[[Masjid Agung Demak]] yang beratapkan meru bertingkat.
Berkas:Ganjuran Church, exterior 01.jpg|[[Gereja Ganjuran]] di [[Bantul]], dibangun dalam arsitektur tradisional Jawa.
Berkas:Kelenteng Sam Poo Kong.jpg|[[Kelenteng Sam Poo Kong]] di [[Semarang]] yang beratapkan joglo.
</gallery>
|}
Iman [[Katolik]] sebagai contoh, juga menggunakan kosakata dan kerangka acuan Jawa dengan menggunakan istilah ''"Romo"'' (Jawa: ''bapak'') untuk merujuk [[Pastor]] Katolik. Penyebaran ajaran Katolik juga menggunakan seni wayang tradisional untuk menyebarkan pesan mereka, seperti [[wayang wahyu]], digunakan untuk menceritakan kisah Injil. Dalam arsitektur, gereja Katolik juga mengadopsi gaya arsitektur Jawa dan untuk gereja mereka, seperti [[Gereja Ganjuran]] di Bantul, Yogyakarta, yang membangun candi untuk Yesus dalam gaya [[candi]] Jawa kuno. Contoh lain termasuk [[Gereja Pohsarang]] di Kediri yang dibangun dalam arsitektur tradisional Jawa.
Selama periode kolonial [[Hindia Belanda]], terdapat sejumlah orang Jawa yang bermigrasi ke [[Suriname]] sebagai pekerja perkebunan. Di Nusantara, orang Jawa juga bermigrasi ke beberapa tempat seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Johor di Semenanjung Malaya. Daerah-daerah seperti [[DKI Jakarta]], [[Jawa Barat]] utara dan [[Lampung]] juga diketahui dihuni sejumlah besar pendatang Jawa. Bahkan beberapa tempat di luar Jawa memiliki nama Jawa atau "Kampung Jawa", misalnya [[Kampung Jawa, Tondano Utara, Minahasa|Kampung Jawa]] di Tondano, Sulawesi Utara, dan [[Tanah Jawa, Simalungun|Tanah Jawa]] di Simalungun, Sumatera Utara. Bahkan di [[Bangkok]], [[Thailand]], terdapat Kampung Jawa yang dihuni keturunan para pengukir dan pengrajin Jawa yang dibawa Raja [[Chulalongkorn]] hijrah ke Thailand pada tahun 1896.<ref>{{cite web|title=Keramahan Khas Indonesia ala Kampung Jawa di Tengah Kota Bangkok |author=Fajar Pratama|date=1 Maret 2013|publisher=detikNews |url=https://news.detik.com/read/2013/03/01/080705/2182890/10/1/keramahan-khas-indonesia-ala-kampung-jawa-di-tengah-kota-bangkok|accessdate=1 Januari 2014}}</ref>
== Sejarah modern ==
[[Berkas:Masjid Suharto di dekat Museum Imam Bonjol.jpg|al=|jmpl|Sebuah masjid di [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]], [[Sumatera Barat]]. Rezim Orde Baru Soeharto menyeponsori pembangunan ratusan [[masjid di Indonesia]] dengan gaya atap tumpang bertingkat Jawa.|ka]]
Setelah [[revolusi Indonesia]] (1945–1949) dan kemerdekaan Indonesia, banyak simbol nasional Indonesia yang berasal dari warisan [[Majapahit]], sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa pada ke-14 hingga 15. [[Bendera Indonesia]] menampilkan warna Majapahit, merah dan putih, semboyan nasional [[Bhinneka Tunggal Ika]] dan ideologi negara [[Pancasila]] juga menunjukkan warisan Majapahit. Bapak pendiri Indonesia, terutama [[Soekarno]] memang menggali ke sejarah Indonesia untuk mencari filsafat dan kearifan lokal untuk merumuskan kebangsaan baru bangsa Indonesia. Tentu saja, budaya Jawa sebagai salah satu elemen yang paling berpengaruh dalam budaya Indonesia turut menyumbangkan pengaruhnya.
Selama rezim Orde Baru [[Soeharto]] (1966–1998), budaya politik Indonesia agak dianggap telah "dijawakan". Tingkat administrasi juga diatur dalam gaya dan idiom Jawa, seperti ''[[kabupaten|kabupatèn]]'' dan ''[[desa|désa]]'', istilah yang awalnya tidak akrab di beberapa provinsi di Indonesia, seperti [[Sumatera Barat]] (menggunakan istilah "nagari") dan [[Papua]] (menggunakan istilah "distrik"). Dalam kehidupan politik Indonesia pasca-kemerdekaan, istilah "Jawanisasi" digunakan untuk menggambarkan proses di mana [[orang Jawa|etnis Jawa]] dan individu yang dijawakan, secara bertahap menjadi mayoritas dan tidak proporsional dari elite pemerintahan di era pasca-kemerdekaan Indonesia.<ref>{{cite book|url=https://circle.ubc.ca/handle/2429/33606|title=Javanization of Indonesian politics|last=Thornton|first=David Leonard|date=1972|website=cIRcle UBC|publisher=The University of British Columbia}}</ref>
Setelah masa kemerdekaan, Indonesia lazim menerapkan [[neologisme]] untuk penamaan baru, dengan menggunakan kata serapan dari bahasa [[Sanskerta]] melalui perantara bahasa Jawa Kuno ([[bahasa Kawi]]). Maka dinamailah kota [[Jayapura]] untuk menggantikan nama "Soekarnapura" (yang digunakan [[Demokrasi Terpimpin]] untuk nama baru kota "Hollandia") karena kebijakan anti-Soekarno Orde Baru. Demikian pula dengan nama seperti [[Pegunungan Jayawijaya]], [[Penghargaan Kalpataru]], [[Bintang Mahaputra]], Piala [[Adipura]], serta istilah yang memiliki asal Sanskerta-Jawa seperti adibusana, lokakarya, dasawarsa, pranala, unggah, unduh, dan lain-lain.
Ibu kota Indonesia yang baru yang berlokasi di Kalimantan Timur, diberi nama [[Nusantara]], sebuah frase yang berasal dari bahasa Jawa Kuno.<ref>{{cite news |title=Sejarawan UGM Kritik Nusantara Jadi Nama Ibu Kota Negara |url=https://yogya.inews.id/berita/sejarawan-ugm-kritik-nusantara-jadi-nama-ibu-kota-negara. |website=Inews.id |date=22 Januari 2022 |accessdate=27 Januari 2022 }}{{Pranala mati|date=Januari 2023 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref><ref>{{cite news |title = Sejarawan Kritik Nama Ibu Kota Baru, Bisa Mereduksi Makna Nusantara |url=https://katadata.co.id/ameidyonasution/berita/61e57cfee3518/sejarawan-kritik-nama-ibu-kota-baru-bisa-mereduksi-makna-nusantara |author=Rizky Alika |editor=Ameidyo Daud Nasution |date=17 Januari 2022 |accessdate=27 Januari 2022}}</ref>
== Kritik ==
{{Original research}}
[[Berkas:Suharto and wife in Javanese attire.jpg|jmpl|lurus|[[Soeharto]] dan istri, [[Tien Soeharto|Tien]], dalam busana tradisional Jawa. Pemerintahannya yang otoriter dikecam sebagai "Penjawaan" politik Indonesia.]]
Isu Jawanisasi telah menjadi isu sensitif yang penting dalam persatuan nasional [[Indonesia]]. [[Buya Hamka]] pernah menyatakan dengan resah bahwa Jawanisasi adalah ancaman persatuan nasional Indonesia.<ref>{{Cite book|last=Rush|first=James R.|date=2020-05-28|url=https://books.google.com/books?id=K9bnDwAAQBAJ&newbks=0&printsec=frontcover&pg=PA155&dq=PRRI+%22jawanisasi%22&hl=id|title=Adicerita Hamka|publisher=Gramedia Pustaka Utama|isbn=978-602-06-4406-6|language=id}}</ref> Dominasi Jawa dianggap tidak hanya pada ranah budaya, tetapi juga sosial, politik dan ekonomi. Rezim [[Orde Baru]] [[Soeharto]] dikritik telah sedemikian rupa menjawakan politik Indonesia selama puluhan tahun. Dalam perspektif politik, administrasi, wewenang dan pelayanan sipil, proses Jawanisasi ini kadang-kadang dianggap negatif karena mengandung unsur-unsur terburuk dari budaya Jawa, seperti kekakuan hierarki sosial, [[otoritarianisme]], dan kesewenang-wenangan. Sebuah kecenderungan yang kadang-kadang disebut sebagai "[[Kesultanan Mataram|Mataramisasi]]" dan "[[feodalisme|feodalisasi]]", disertai dengan kegemaran memamerkan status sosial dan keangkuhan,<ref>{{cite book|url=https://books.google.co.id/books?id=i4RKmz2aJiEC&pg=PA51&lpg=PA51&dq#v=onepage&q&f=false|title=Chapter 3. Javanization, Inside Indonesian Society: Cultural Change in Java|last=Mulder|first=Niels|date=2005|publisher=Kanisius|page=53|access-date=2020-07-02|archive-date=2020-07-03|archive-url=https://web.archive.org/web/20200703011753/https://books.google.co.id/books?id=i4RKmz2aJiEC&pg=PA51&lpg=PA51&dq#v=onepage&q&f=false|dead-url=yes}}</ref> suatu penggambaran sisi negatif khas [[priyayi]] yang kerap berperilaku selayaknya golongan Jawa kelas atas.
Program [[transmigrasi]] yang memindahkan masyarakat dari pulau Jawa yang padat penduduk ke pulau-pulau lain di Indonesia, seperti [[Sumatra]], [[Kalimantan]], [[Sulawesi]], dan [[Papua]], juga dikritik telah mempercepat proses Jawanisasi Indonesia. Masalah ini juga diperkeruh dengan isu-isu ketimpangan pembangunan, kecemburuan di mana pulau-pulau lainnya merasa tidak puas dengan pembangunan dan kesejahteraan sosial di wilayah mereka, berbeda dengan pembangunan infrastruktur dan distribusi kekayaan yang tampaknya terfokus di Jawa.{{cn}}
Namun, kini di era otonomi daerah tidak relevan untuk menghubungkan program transmigrasi terhadap isu-isu Jawanisasi, karena proses migrasi juga dilakukan secara internal di Jawa, atau dalam provinsi tertentu.<ref>{{cite web|url=http://bto.depnakertrans.go.id/trans_update/artikel.php?aid=247|title=Transmigrasi Enyahkan Paradigma Jawanisasi|date=23 Desember 2005|website=Bursa Transmigrasi|publisher=Ministry of Work Force and Transmigration|language=Indonesian|access-date=6 November 2013|archive-date=2013-11-06|archive-url=https://archive.today/20131106170012/http://bto.depnakertrans.go.id/trans_update/artikel.php?aid=247|dead-url=yes}}</ref> Misalnya di Indonesia Timur seperti di [[Maluku]] dan Papua, sebagian besar kaum pendatang berasal dari Sulawesi ([[Bugis]]-Makassar dan [[Buton]]) dan Maluku itu sendiri, dan bukan dari Jawa. Program transmigrasi harus secara hati-hati mencermati potensi ekonomi, serta dampak sosial dan budaya di daerah tersebut. Hal ini juga didasarkan pada kenyataan bahwa provinsi yang membuka diri untuk [[pluralisme]] dan menerima pemukim antarprovinsi biasanya berkembang lebih cepat dibandingkan dengan mereka yang mengisolasi diri. Hal yang juga penting untuk dicatat, bahwa Jawa itu sendiri telah menarik kaum perantau dan pekerja dari seluruh Nusantara, maka dengan demikian demografi Jawa tidaklah homogen.{{cn}}
== Lihat pula ==
* [[Kebangkitan Nasional Indonesia|Indonesianisasi]]
* [[Melayuisasi]]
== Referensi ==
{{reflist}}
{{asimilasi budaya}}
[[Kategori:Asimilasi budaya]]
[[Kategori:Budaya Jawa]]
|