Pendidikan karakter: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
BP39Candra (bicara | kontrib) Tag: BP2014 |
Wiki Ridha (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan |
||
(347 revisi perantara oleh 43 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{rapikan}}
[[Berkas:Secretary Kerry and Palestinian Authority President Abbas Shake Hands Before Meeting in Paris (12641101294).jpg|jmpl|350px|Right|Bersalaman merupakan wujud rasa saling menghormati yang menunjukkan sikap moral dalam perwujudan pendidikan karakter]]
'''Pendidikan karakter''' adalah bentuk [[kegiatan]] [[manusia]] yang di dalamnya terdapat suatu tindakan yang mendidik dan diperuntukkan bagi generasi selanjutnya.<ref name="Kusuma A">Doni Kusumah A. 2007. Pendidikan Karakter. Jakarta:Grasindo.3-5</ref> Tujuan pendidikan karakter adalah untuk membentuk penyempurnaan diri individu secara terus-menerus dan melatih [[kemampuan]] diri demi menuju ke arah hidup yang lebih baik.<ref name="Kusuma A" /> Yudi Latif menyebutkan pendidikan karakter sebagai ilmu amal (terapan) yang hanya diberikan untuk diamalkan. Menurutnya, guru harus mendidik (membudayakan) karakter melalui keteladanan dan peserta didik mempelajarinya dengan secara langsung mempraktikkan perilaku terpuji. <ref>{{Cite book|last=Latif|first=Yudi|date=2020|url=https://books.google.co.id/books?id=224LEAAAQBAJ&printsec=copyright&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false|title=Pendidikan Yang Berkebudayaan|location=Jakarta|publisher=Gramedia Pustaka Utama|isbn=9786020647197|pages=153|url-status=live}}</ref> Konsep karakter dapat mengekspresikan berbagai atribut, termasuk kehadiran atau kurangnya [[kebajikan]] seperti [[empati]], [[keberanian]], [[:en:Cardinal virtues|ketabahan]], [[:en:Honesty|kejujuran]], dan [[kesetiaan]], atau perilaku atau [[:en:Habit|kebiasaan]] yang baik; atribut ini juga merupakan bagian dari [[:en:Soft skills|''soft skill'' seseorang]]. [[Karakter]] [[moral]] terutama mengacu pada kumpulan kualitas yang membedakan satu individu dari yang lain – meskipun pada tingkat budaya, kelompok perilaku moral yang dianut oleh kelompok sosial dapat dikatakan menyatukan dan mendefinisikannya secara budaya sebagai berbeda dari yang lain. Psikolog Lawrence Pervin mendefinisikan karakter moral sebagai "disposisi untuk mengekspresikan perilaku dalam pola fungsi yang konsisten di berbagai situasi"<ref>{{Cite book|last=Pervin|first=Lawrence A.|date=1994|url=http://dx.doi.org/10.1037/10143-014|title=Personality stability, personality change, and the question of process.|location=Washington|publisher=American Psychological Association|pages=315–330}}</ref> Sama seperti, filsuf Marie I. George menyebut karakter moral sebagai "jumlah dari kebiasaan dan watak moral seseorang" Aristoteles telah mengatakan, "kita harus mengambil sebagai tanda keadaan karakter kesenangan atau rasa sakit yang terjadi pada tindakan."<ref>{{Cite book|last=Aristotle|date=2002-02-28|url=http://dx.doi.org/10.1093/oseo/instance.00262116|title=Book II|publisher=Oxford University Press}}</ref>
== Pentingnya pendidikan karakter dalam meningkatkan kecerdasan emosional ==
Pendidikan karakter berperan penting dalam membentuk [[kecerdasan emosional]] karena ia menawarkan pelajaran moral dan nilai-nilai yang membimbing individu dalam menghadapi tantangan emosional dan sosial. Melalui program pendidikan karakter, individu diajarkan untuk menghargai integritas, tanggung jawab, kejujuran, dan empati. Pendidikan ini memberikan mereka alat dan keterampilan untuk mengelola emosi, baik saat merespon stres maupun konflik, serta bagaimana berkomunikasi dengan efektif dalam berbagai situasi.
Ungkapan dari psikolog terkenal Eijkman menyatakan bahwa "perasaan pertama aktif, kemudian baru pikiran rasional". Pernyataan ini menceminkan kenyataan psikologis bahwa reaksi emosional seseorang sering kali mendahului pemikiran rasional. Ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang penuh tekanan atau tantangan, respon emosional baik itu berupa ketakutan, kemarahan, atau kesedihan seringkali muncul secara otomatis sebelum individu memiliki waktu untuk memproses dan menganalisis situasi secara logis. Eijkman juga menyoroti bahwa kita tidak dapat memilih emosi yang melanda kita. Reaksi emosional adalah respon alami dan spontan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pengalaman masa lalu, pola pikir, dan keadaan fisiologis. Namun, meskipun seseorang tidak dapat memilih atau mengontrol munculnya emosi tertentu, mereka tetap dapat belajar untuk mengenali, mengelola, dan merespon emosi dengan cara yang lebih sehat dan adaptif. Disinilah pentingnya pendidikan karakter dan kecerdasan emosional berperan.<ref>{{Cite book|last=Goleman|first=Daniel|date=1996|title=EMOTIONAL INTELLIGENCE Kecerdasan Emosional Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ (terjemahan bahasa Indonesia)|location=Jakarta|publisher=Gramedia Pustaka Utama|isbn=978-602-03-2313-8|pages=414-416|url-status=live}}</ref>
Dalam lingkungan pendidikan modern, aspek emosional seringkali menjadi perhatian sekunder dibandingkan aspek intelktual. Namun, dengan semakin banyaknya penelitian yang menekankan pentingnya kecerdasan emosional dalam kesuksesan pribadi dan profesional, pendidikan karakter yang mengintegrasikan pembelajaran emosional menjadi semakin penting.
== Gambaran Umum ==
Kata "karakter" berasal dari kata Yunani Kuno "''charaktêr''", mengacu pada tanda yang terkesan pada koin. Kemudian itu berarti titik di mana satu hal diceritakan terpisah dari yang lain.<ref name=":0">{{Cite journal|last=TIMPE|first=KEVIN|date=2007-08-14|title=Truth-making and divine eternity|url=http://dx.doi.org/10.1017/s0034412507008918|journal=Religious Studies|volume=43|issue=3|pages=299–315|doi=10.1017/s0034412507008918|issn=0034-4125}}</ref> Ada dua pendekatan ketika berhadapan dengan karakter moral: [[:en:Normative ethics|Etika normatif]] melibatkan standar moral yang menunjukkan perilaku benar dan salah. Ini adalah ujian perilaku yang tepat dan menentukan apa yang benar dan salah. [[Etika terapan]] melibatkan isu-isu spesifik dan [[:en:Controversial|kontroversial]] bersama dengan pilihan moral, dan cenderung melibatkan situasi di mana orang-orang baik untuk atau menentang masalah tersebut.<ref name=":0" />
Pada tahun 1982 V. Campbell dan R. Bond mengusulkan hal-hal berikut sebagai sumber utama dalam mempengaruhi perkembangan karakter dan moral: [[:en:Heredity|keturunan]], pengalaman anak usia dini, [[:en:Role model|pemodelan]] oleh orang dewasa penting dan remaja yang lebih tua, [[:en:Peer influence|pengaruh teman sebaya]], lingkungan [[:en:Environment (biophysical)|fisik]] dan [[:en:Social environment|sosial]] umum, [[media komunikasi]], ajaran [[sekolah]] dan lembaga lain, dan situasi dan peran tertentu yang menimbulkan perilaku yang sesuai.<ref>{{Cite journal|date=1960-03|title=Brown, Stanley B., and Brown, Barbara M. The story of dinosaurs. Irvington-on-Hudson, New York: Harvey House, Publishers, 1958. $2.95|url=http://dx.doi.org/10.1002/sce.3730440230|journal=Science Education|volume=44|issue=2|pages=152–152|doi=10.1002/sce.3730440230|issn=0036-8326}}</ref>
Bidang [[etika bisnis]] mengkaji kontroversi moral yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial praktik bisnis [[:en:Capitalist|kapitalis]], status moral [[:en:Corporate entities|entitas perusahaan]], [[:en:Deceptive advertising|iklan yang menipu]], [[:en:Insider trading|perdagangan orang dalam]], [[:en:Employee rights|hak-hak karyawan]], [[:en:Job discrimination|diskriminasi pekerjaan]], [[tindakan afirmatif]], dan [[:en:Drug testing|pengujian narkoba]].
Di bidang militer, karakter dianggap sangat relevan di bidang pengembangan [[kepemimpinan]]. Para pemimpin militer seharusnya tidak hanya "mengetahui" secara teoritis nilai-nilai moral tetapi mereka harus mewujudkan nilai-nilai ini.<ref>{{Cite journal|last=Clark|first=Alex|last2=Chawner|first2=Brenda|date=2014-05-23|title=Enclosing the public domain: The restriction of public domain books in a digital environment|url=http://dx.doi.org/10.5210/fm.v19i6.4975|journal=First Monday|doi=10.5210/fm.v19i6.4975|issn=1396-0466}}</ref>
== Sejarah ==
Istilah [[karakter]] dalam konteks [[pendidikan]] baru muncul pada akhir abad ke 18.<ref name="Kusuma A" /> Berikut ini adalah gambaran perkembangan pendidikan karakter dalam kehidupan [[manusia]].<ref name="Kusuma A" />
=== Perang Melawan [[Lupa]] ===
Aktivitas [[pendidikan]] sejak awal telah dijadikan sebagai cara bertindak dari [[masyarakat]].<ref name="Kusuma A" /> [[Manusia]] mewariskan nilai yang menjadi bagian penting dari [[budaya]] [[masyarakat]] dimana tempat mereka hidup dan mewariskan nilai kepada generasi selanjutnya.<ref name="Kusuma A" /> [[Pendidikan]] memiliki peran penting karena [[pendidikan]] tidak hanya menentukan keberlangsungan [[masyarakat]], tetapi juga menguatkan identitas individu dalam [[masyarakat]].<ref name="Kusuma A" />
Dalam prosesnya berjuang melawan lupa dan berusaha membuat kenangan akan harta warisan [[kebudayaan]] merupakan awal kegiatan [[pendidikan]].<ref name="Kusuma A" />
===Pendidikan Karakter Romawi===
Pendidikan karakter ala [[Romawi]] lebih menekankan pada pentingnya aspek [[keluarga]] dalam hal pemberian nilai [[karakter]].<ref name="Kusuma A" /> Bentuk nyata dari pembentukan [[karakter]] itu dimulai dengan memberikan nilai [[moral]] seperti memberikan rasa hormat kepada tradisi leluhur kepada setiap generasi penerus.<ref name="Kusuma A" /> Unsur dasar pendidikan karakter ala [[Romawi]] ialah memberikan nilai seperti mengutamakan kebaikan, kesetiaan, dan berperilaku sesuai dengan norma dalam [[masyarakat]].<ref name="Kusuma A" />
=== Pendidikan Karakter di Indonesia ===
Pendidikan karakter bukan hal baru dalam [[tradisi]] [[pendidikan]] di [[Indonesia]].<ref name="Kusuma A" /> Beberapa pendidik [[Indonesia]] modern seperti [[Soekarno]] telah mencoba menerapkan semangat pendidikan karakter sebagai pembentuk kepribadian dan identitas [[bangsa]] yang bertujuan menjadikan [[bangsa]] [[Indonesia]] menjadi [[bangsa]] yang berkarakter.<ref name="Kusuma A" />
=== Pendidikan Karakter Menurut Nahdlatul Ulama ===
{{unreferenced section}}
Menurut [[Nahdlatul Ulama]] (NU), diperlukan adanya format baru pendidikan [[Islam]] untuk membentuk karakter paripurna/kamil peserta didik. Dimana tolak ukur utamanya adalah nilai yang bersumber dari nilai-nilai agama, dimana untuk menumbuhkan karakter yang kuat pada peserta didik, maka model yang ideal adalah kepribdian [[Muhammad|Nabi Muhammad SAW]], kemudian diambil dari budaya lokal dan dipadukan sebagai kurikulum berbasis karakter, dalam artian nilai-nilai yang terwujud sebagai [[akhlakul karimah]]/mahmudah, itulah yang disepakati sebagai karakter yang sudah mentradisi dan membudaya dalam kehidupan sehari-hari peserta didik. Oleh karena itu, harus ada paradigma baru dalam konsep pendidikan kita, yaitu paradigma yang bersifat holistik. Konsep pendidikan holistik sesungguhnya dapat kita gali dari kekayaan warisan pendidikan Islam, yang mana pendidikan harus dapat mendorong pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya; baik itu spritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa dan lain-lain. Dimana konsep pendidikan holistik Islami di sini adalah konsep pendidikan yang unggul dan terdepan untuk memberdayakan potensi manusia seutuhnya.Spirit pendidikan Islam sesungguhnya mendorong semua aspek kehidupan manusia tersebut menuju ke arah yang lebih baik untuk kemudian membentuk individu-individu yang tunduk kepada ajaran Allah SWT.
Pendidikan Islam sesungguhnya bertujuan untuk mengeksplorasi lebih jauh lagi seluruh aspek kemampuan/potensi yang dimiliki oleh manusia(dalam hal ini peserta didik), baik aspek kognitif, afektif maupun kognitif. Tujuan pendidikan ternyata memiliki kolerasi dengan tiga konsep fundamental dalam Islam, yaitu; Iman, Ihsan dan Islam. Pertama, Iman-Kognitif, artinya; Islam mengajarkan setiap muslim agar memiliki pengetahuan untuk meyakini sesuatu. Islam melarang umatnya mempercayai sesuatu tanpa pengetahuan yang benar dan dari sumber yang dapat dipercaya. Islam mengajarkan bahwa setiap aktivitas manusia sebagai perwujudan pengabdian kepada Allah SWT, haruslah dilandasi dengan pengetahuan yang benar dan dari sumber yang akurat. Oleh sebab itu pendidikan dalam Islam diarahkan untuk mengembangkan daya nalar yang dituntun oleh nilai-nilai tauhid. Pengenalan pertama dimulai dengan mengenal Allah SWT melalui nama dan sifat-Nya. Daya nalar ini berguna bagi manusia untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Daya nalar yang benar dan murni tidaklah bertentangan dengan konsep [[Al-Qur'an|Al-Quran]].
Kedua, komposisi Ihsan-afektif, dapat dipahami dengan melihat bahwa dalam pengembangkan unsur Ihsan dalam pribadi muslim menggunakan daya imajinasi yang tertuntun oleh nilai-nilai tauhid. Pribadi muslim dapat merasakan kehadiran Allah SWT, melalui penghayatan yang diperolehnya dari kerja intuisi di dalam dirinya. Sehingga, seluruh dorongan dan perasaan yang ada didalam dirinya tertuntun oleh adab-adab yang dibolehkan dan diatur dalam al-Quran. Sementara, pada nilai-nilai afektif yang dikembangkan dari psikologi pendidikan Barat itu, baru sampai pada tatanan kemanusiaannya saja. Sedangkan dimensi afektif dalam Islam, memiliki dua garis, yaitu; horizontal dan vertikal. Garis horizontal menghubungkan manusia dengan alam, sedangkan garis vertikal menghubungkan manusia dengan Allah SWT.
Ketiga, Komposisi Islam-konatif. Islam dalam perspektif ini adalah aktivitas dan implementasi seseorang yang mengacu pada nilai-nilai Islam. Sehingga Islam disini dimaknai dengan sikap dan perbuatan atau prilaku-prilaku Islami. Sementara, kalau makna konatif saja adalah aspek implementasi, atau perbuatan seseorang yang dihasilkan berdasarkan serangkaian pengetahuan, pemahaman dan penghayatannya terhadap ilmu pengetahuan yang diperolehnya.Hal inilah yang sebenarnya telah terjadi pada lembaga-lembaga pendidikan yang menggunakan paradigm Barat, dimana hanya mengenal dua kutub/aspek saja dari kajian tentang manusia, yaitu; Akal dan Jasmaninya saja dan tidak memasukkan kutub/aspek Ruhaniahnya. Maka, sebagai hasilnya lahirlah orang-orang yang cerdas secara intelektual saja, akan tetapi sayang seribu sayang…, amatlah minim dan miskin dari kutub/aspek moralnya.Maka, hal ini pulalah yang terjadi pada realitas sosial produk dari banyak lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia di zaman modern hingga kontemporer sekarang ini.Sehingga, tidak heran lagi, kalau realitas sosial masyarakat Indonesia kini dari tingkat akar rumput sampai kalangan pejabatnya adalah seperti yang kita saksikan pada banyak media pemberitaan yang hasilnya membuat kita miris, ngeri dan prihatin, karena memang banyak hal-hal yang tidak sepantasnya terjadi… .
Haruslah diketahui bahwa, manusia sebagaiproduk lembaga pendidikan seperti tersebut di atas sangatlah berbahaya, baik bagi dirinya sendiri, orang lain maupun lingkungan alam sekitarnya.Sebab, manusia seperti ini, kapan saja bisa menjadi ancaman dan mendatangkan malapetaka dalam berbagai bentuknya bagi hidup dan kehidupan manusia di muka Bumi.
=== Kelemahan Pendidikan Karakter di Indonesia ===
Persoalan pendidikan karakter di [[Indonesia]] sejauh ini menyangkut [[pendidikan]] [[moral]] dan dalam aplikasinya terlalu membentuk satu arah pembelajaran khusus sehingga melupakan mata pelajaran lainnya, dalam pembelajaran terlalu membentuk satu sudut [[kurikulum]] yang diringkas kedalam formula menu siap saji tanpa melihat hasil dari proses yang dijalani.<ref name="Hidayat">Komaruddin Hidayat. 2008. Reinventing Indonesia. Jakarta:Mizan.190-195</ref>
Guru/dosen pun cenderung mengarahkan prinsip [[moral]] umum secara satu arah, tanpa melibatkan partisipasi siswa untuk bertanya dan mengajukan pengalaman empiriknya.<ref name="Hidayat" /> Sejauh ini dalam proses [[pendidikan]] di [[Indonesia]] yang berorientasi pada Pembentukan [[karakter]] individu belum dapat dikatakan tercapai karena dalam prosesnya [[pendidikan]] di [[Indonesia]] terlalu mengedepankan penilian pencapaian individu dengan tolak ukur tertentu terutama logik-matematik sebagai ukuran utama yang menempatkan seseorang sebagai warga kelas satu.<ref name="Hidayat" /> Dalam prosesnya pendidikan karakter yang berorientasi pada [[moral]] dikesampingkan dan akibatnya banyak kegagalan nyata pada dimensi pembentukan [[karakter]] individu contohnya [[Indonesia]] terkenal di pentas dunia karena kisah yang buruk seperti [[korupsi]] dengan [[moralitas]] yang lembek.<ref name="Hidayat" />
'''Pendidikan Karakter di Sekolah'''
Pendidikan karakter merupakan aspek yang penting bagi generasi penerusnya.<ref name="Kusuma A" /> Seorang individu tidak cukup hanya diberi bekal pembelajaran dalam hal intelektual belaka, tetapi juga harus diberi dalam hal segi [[moral]] dan spiritualnya. Seharusnya pendidikan karakter harus diperhatikan seiring dengan perkembangan intelektualnya yang dalam hal ini harus dimulai sejak dini khususnya di lembaga [[pendidikan]].<ref name="Rukiyanto">Agus Rukiyanto. 2009. Pendidikan Karakter. Yogyakarta:Kanisius.64-67<nowiki></ref> Pendidikan karakter di [[sekolah]] bisa dilakukan dengan contoh yang dapat dijadikan teladan bagi murid dan diiringi pemberian pembelajaran seperti keagamaan dan kewarganegaraan sehingga dapat membentuk individu yang berjiwa [[sosial]], berpikir kritis, memiliki dan mengembangkan cita-cita luhur, mencintai dan menghormati orang lain, serta adil dalam segala hal.<ref name="Nasar">Nasar.2dikan Karakter. Jakarta:Grasindo.Kata Pengatar<nowiki></ref>
=== Tujuan ===
Lahirnya pendidikan karakter bisa dikatakan sebagai sebuah usaha untuk menghidupkan [[spiritual]] yang ideal.<ref name="Kusuma A" /> [[Foerster]], seorang ilmuwan, pernah mengatakan bahwa tujuan utama dari [[pendidikan]] adalah untuk membentuk [[karakter]] karena [[karakter]] merupakan suatu evaluasi seorang pribadi atau individu serta [[karakter]] pun dapat memberi kesatuan atas kekuatan dalam mengambil sikap di setiap situasi.<ref name="Kusuma A" /> Pendidikan karakter pun dapat dijadikan sebagai strategi untuk mengatasi pengalaman yang selalu berubah sehingga mampu membentuk identitas yang kokoh dari setiap individu dalam hal ini dapat dilihat bahwa tujuan pendidikan karakter ialah untuk membentuk sikap yang dapat membawa kita kearah kemajuan tanpa harus bertentangan dengan [[norma]] yang berlaku.<ref name="Kusuma A" />
Pendidikan karakter pun dijadikan sebagai wahana sosialisasi [[karakter]] yang patut dimiliki setiap individu agar menjadikan mereka sebagai individu yang bermanfaat seluas-luasnya bagi [[lingkungan]] sekitar.<ref name="Sunarti" /> Pendidikan karakter bagi individu bertujuan agar:<ref name="Sunarti">Euis Sunarti. 2005. Menggali Kekuatan Cerita. Jakarta:Elek Media Komputindo.3-8</ref>
* Mengetahui berbagai [[karakter]] baik [[manusia]].
* Dapat mengartikan dan menjelaskan berbagai [[karakter]].
* Menunjukkan contoh perilaku berkarakter dalam kehidupan sehari-hari.
* Memahami sisi baik menjalankan perilaku berkarakter.
=== Studi di Inggris Raya ===
Di Inggris, sekolah harus mengembangkan pendidikan karakter. Karakter didefinisikan sebagai konsep yang kompleks tetapi mencakup kebajikan seperti kepercayaan diri, keberanian, kejujuran, kemurahan hati, integritas dan keadilan. Pemerintah Inggris merekomendasikan agar tim kepemimpinan di sekolah mengembangkan karakter melalui promosi seperangkat nilai-nilai sekolah dan merencanakan semua pelajaran mata pelajaran untuk mengembangkan karakter. Studi penelitian menunjukkan bahwa pendidikan karakter dapat meningkatkan pencapaian pendidikan, kehadiran dan keterlibatan. Pendidikan karakter juga dapat meningkatkan kepercayaan diri, minat dalam bekerja, ketahanan dan membantu kesejahteraan mental. <ref name="UK Government: Department of Education">Character Education Framework Guidance. 2019. URL: https://assets.publishing.service.gov.uk/media/5f20087fe90e07456b18abfc/Character_Education_Framework_Guidance.pdf</ref>
== Pandangan agama ==
Karakter Kristen juga didefinisikan sebagai menyajikan "[[Buah Roh Kudus]]": kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kebaikan, kebaikan, kebaikan, kesetiaan, kelembutan dan pengendalian diri. Doktrin [[:en:Grace (Christianity)#Augustine versus Pelagius|kasih karunia]] dan [[Kerusakan total|kebejatan total]] menegaskan bahwa – karena [[dosa asal]] – umat manusia, seluruhnya atau sebagian, tidak dapat menjadi baik tanpa campur tangan Allah; jika tidak, yang terbaik, seseorang hanya bisa kera perilaku yang baik karena alasan egois.
== Eksperimen ilmiah ==
Dalam satu percobaan yang dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 1985, karakter moral seseorang didasarkan pada apakah seseorang telah menemukan [[:en:Dime (United States coin)|sepeser]] pun di [[:en:Public phone booth|bilik telepon umum]] atau tidak. Temuannya adalah bahwa 87% subjek yang menemukan sepeser pun di bilik telepon mengirimkan amplop tertutup dan ditujukan yang ditinggalkan di stan dalam kesalahan nyata oleh orang lain, sementara hanya 4% dari mereka yang tidak menemukan sepeser pun yang membantu. Beberapa orang <sup>merasa</sup> sangat meresahkan bahwa orang akan dipengaruhi oleh faktor-faktor [[:en:Trivia|moral yang sepele]] dalam pilihan mereka apakah akan memberikan [[bantuan]] berbiaya rendah kepada orang lain. John M. Doris mengangkat masalah [[:en:Ecological validity|validitas ekologis]] – apakah temuan eksperimental mencerminkan [[fenomena]] yang ditemukan dalam [[konteks]] alam. Dia menyadari bahwa hasil ini berlawanan dengan [[:en:Counterintuitive|intuisi dengan cara]] kebanyakan dari kita berpikir tentang perilaku yang relevan secara moral.<ref name=":1">{{Cite journal|last=Doenecke|first=Justus D.|date=1973-10|title=American Transcendentalism: An Anthology of Criticism|url=http://dx.doi.org/10.1080/03612759.1973.9947030|journal=History: Reviews of New Books|volume=2|issue=1|pages=15–15|doi=10.1080/03612759.1973.9947030|issn=0361-2759}}</ref>
Eksperimen lain yang dilakukan yang meminta [[mahasiswa]] di [[:en:Cornell|Cornell]] untuk memprediksi bagaimana mereka akan berperilaku ketika dihadapkan dengan salah satu dari beberapa [[:en:Moral dilemma|dilema moral]], dan untuk membuat [[:en:Prediction|prediksi]] yang sama untuk [[:en:Peer group|rekan-rekan]] mereka. Lagi dan lagi, orang-orang meramalkan bahwa mereka akan lebih [[:en:Generosity|murah hati]] dan [[:en:Kindness|baik]] daripada yang lain. Namun ketika dimasukkan ke dalam dilema moral, subjek tidak berperilaku murah hati atau sebaik yang mereka prediksi. Dalam istilah [[:en:Psychological terms|psikologis]], subjek eksperimen berhasil mengantisipasi tingkat dasar perilaku moral dan secara akurat memprediksi seberapa sering orang lain, secara umum, akan [[:en:Self sacrifice|mengorbankan diri]].<ref name=":1" />
== Kritik ==
Pada 1990-an dan 2000-an, sejumlah [[Filsafat|filsuf]] dan [[:en:Social scientists|ilmuwan sosial]] mulai mempertanyakan [[:en:Presuppositions|anggapan]] yang menjadi dasar teori karakter moral dan karakter moral. Karena pentingnya karakter moral untuk masalah-masalah dalam [[filsafat]], tidak mungkin perdebatan tentang sifat karakter moral akan berakhir dalam waktu dekat.<ref name=":2"/>
[[:en:Situationism (psychology)|Situasionisme]] dapat dipahami sebagai terdiri dari tiga klaim sentral:<ref name=":2">{{Cite book|date=2012-05-04|url=http://dx.doi.org/10.4324/9780203140109-8|title=Moral Philosophy|publisher=Routledge|isbn=978-0-203-14010-9|pages=43–58}}</ref>
* Klaim non-ketahanan: ciri-ciri karakter moral tidak konsisten di berbagai spektrum situasi yang relevan dengan sifat. Apa pun ciri-ciri karakter moral yang dimiliki individu adalah situasi yang spesifik.
* Klaim Konsistensi: sementara ciri-ciri karakter moral seseorang relatif stabil dari waktu ke waktu, ini harus dipahami sebagai konsistensi sifat-sifat spesifik situasi, bukan sifat-sifat yang kuat.
* Klaim Fragmentasi: ciri-ciri karakter moral seseorang tidak memiliki [[integritas]] [[:en:Evaluative|evaluatif]] yang disarankan oleh Klaim Integritas. Mungkin ada perpecahan yang cukup besar dalam karakter moral seseorang di antara sifat-sifat karakter khusus situasinya.
Menurut Situationists, [[bukti empiris]] lebih menyukai pandangan mereka tentang karakter moral daripada Pandangan Tradisional. Studi Hugh Hartshorne dan M. A. May tentang sifat [[:en:Honesty|kejujuran]] di antara [[Anak|anak-anak]] sekolah tidak menemukan [[korelasi]] lintas situasional. Seorang anak mungkin secara konsisten jujur dengan [[:en:Friendship|teman-temannya]], tetapi tidak dengan [[orang tua]] atau [[:en:Teachers|gurunya]]. Dari penelitian ini dan lainnya, Hartshorne dan May menyimpulkan bahwa ciri-ciri karakter tidak kuat melainkan "fungsi spesifik dari situasi kehidupan".<ref name=":2" />
Tantangan baru-baru ini terhadap Pandangan Tradisional tidak luput dari perhatian. Beberapa telah mencoba untuk memodifikasi Pandangan Tradisional untuk melindunginya dari tantangan-tantangan ini, sementara yang lain telah mencoba untuk menunjukkan bagaimana tantangan-tantangan ini gagal merusak Pandangan Tradisional sama sekali. Misalnya, Dana Nelkin (2005), Christian Miller (2003), [[:en:Gopal Sreenivasan|Gopal Sreenivasan]] (2002), dan John Sabini dan Maury Silver (2005), antara lain, berpendapat bahwa bukti empiris yang dikutip oleh Situationists tidak menunjukkan bahwa individu tidak memiliki sifat karakter yang kuat.<ref name=":2" />
Tantangan kedua terhadap pandangan tradisional dapat ditemukan dalam gagasan [[Keberuntungan moral|keberuntungan]] moral. Gagasan ini adalah bahwa keberuntungan moral terjadi ketika penilaian moral seorang [[agen]] tergantung pada faktor-faktor di luar kendali agen. Fiery Cushman mengklarifikasi bahwa ini adalah penilaian hasil yang terdiri dari karakter agen dan keadaan yang tidak terduga, bukan niat agen. Ada sejumlah cara agar keberuntungan moral dapat memotivasi kritik terhadap karakter moral. Ini mirip dengan "jenis masalah dan situasi yang dihadapi seseorang" Jika semua sifat karakter moral agen adalah spesifik situasi daripada kuat, sifat apa yang dimanifestasikan agen akan tergantung pada situasi di mana dia menemukan dirinya. Tetapi situasi apa yang dialami seorang agen seringkali di luar kendalinya dan dengan demikian merupakan masalah keberuntungan situasional. Apakah sifat-sifat karakter moral kuat atau spesifik situasi, beberapa orang menyarankan bahwa sifat karakter apa yang dimiliki seseorang itu sendiri adalah masalah keberuntungan. Jika kita memiliki sifat-sifat tertentu itu sendiri adalah masalah keberuntungan, ini tampaknya akan merusak tanggung jawab moral seseorang untuk karakter moral seseorang, dan dengan demikian konsep karakter moral sama sekali. Seperti yang ditulis [[:en:Owen Flanagan|Owen Flanagan]] dan Amélie Oksenberg Rorty:<ref name=":2" /><blockquote>Itu [moralitas dan makna hidup individu] akan bergantung pada keberuntungan dalam pengasuhan individu, nilai-nilai yang diajarkan kepadanya, kapasitas pengendalian diri dan konstruksi diri yang memungkinkan [[:en:Social environment|lingkungan sosialnya]] dan mendorongnya untuk berkembang, tantangan moral yang dia hadapi atau hindari. Jika semua karakternya, bukan hanya sifat dan [[watak]] [[:en:Temperamental traits|temperamental]] tetapi juga kapasitas refleksif untuk pengendalian diri dan konstruksi diri, adalah masalah keberuntungan, maka ide-ide karakter dan agensi berada dalam bahaya [[penguapan]].</blockquote>Sifat karakter moral adalah sifat karakter yang menjadi tanggung jawab agen secara moral. Namun, jika tanggung jawab moral tidak mungkin, maka agen tidak dapat dimintai pertanggungjawaban, tergantung pada usia, untuk ciri-ciri karakter mereka atau untuk perilaku yang mereka lakukan sebagai akibat dari sifat-sifat karakter tersebut.
Argumen serupa juga baru-baru ini diadvokasi oleh [[:en:Bruce Waller|Bruce Waller]]. Menurut Waller, tidak ada yang "bertanggung jawab secara moral atas karakter atau kekuatan musyawarahnya, atau atas hasil yang mengalir dari mereka .... Mengingat fakta bahwa dia dibentuk untuk memiliki karakteristik seperti itu oleh kekuatan [[:en:Environmental psychology|lingkungan]] (atau [[:en:Evolutionary psychology|evolusioner]]) yang jauh di luar kendalinya, dia tidak pantas [[:en:Blame|disalahkan]] [atau dipuji]".<ref name=":2" />
== Referensi ==
{{Reflist}}
[[Kategori:Pendidikan]]
[[Kategori:Karakter]]
[[Kategori:Moralitas]]
[[Kategori:Psikologi pendidikan]]
|