Ibnu Qutaibah: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: BP2014 |
k →top: Menambah kotak info |
||
(26 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
[[Berkas:Al Ma'arif.jpg|jmpl|ka|300px|Al Ma'arif merupakan karangan terkenal milik Ibnu Qutaibah]]
▲{{Infobox Historian |
Dari keluarga berkebangsaan [[Persia]] yang menetap di Kota [[Marw]], Ibnu Qutaibah tumbuh dan besar di Kota [[Baghdad]].{{sfn|Syamsuddin|1431 H}} Ibnu Qutaibah berguru kepada ulama-ulama besar, seperti [[Ishaq bin Rahawaih|Ibnu Rahawaih]].{{sfn|Syamsuddin|1431 H}} Karya tulisnya mencapai lebih dari lima puluh judul.{{sfn|Syamsuddin|1431 H}} Di antaranya adalah ''Ta’wīl Musykil al-Qur’ān'' dalam masalah [[Tafsir Al-Qur'an|tafsir]]{{sfn|Syamsuddin|1431 H}} dan ''al-Ma‘ārif'' yang merupakan ensiklopedia pertama berbahasa Arab (terdiri dari empat volume).<ref name="Wahid">Wahid, Abdurrahman (2001).''Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren''. Yogyakarta: LKiS. Hal 220</ref> Ibnu Qutaibah mendapat nisbah dengan kota Dinawar, tempat dia tinggal dalam waktu lama untuk menjabat sebagai hakim.{{sfn|Al-Kinani|n.d.|loc=I/7-8}}
== Pemikiran ==
Ibnu Qutaibah hidup semasa dengan
=== Konsep tentang Qadha ===▼
Menurut Ibnu Qutaibah, [[qadha]] ialah [[hukum]], ciptaan, kepastian, dan penjelasan.<ref name="Ezza">
▲Ibnu Qutaibah adalah seorang ahli sejarah politik.<ref name="Ilmy"> Ilmy, Bachrul (2007).''Pendidikan Agama Islam''.Bandung:PT Grafindo Media Pratama.Hal 142 </ref> Dia juga adalah seorang [[cendekiawan]] [[Islam]] dan pakar [[bahasa]] [[Arab]] serta pembela ahli hadits.<ref name="Ilmy"/> <ref name="Ainol"> Radzi, Khusyairi Ainol (2005).''Cerita-cerita Motivasi untuk Iman''.Kuala Lumpur:PTS Millennia.SDN. BHD. Hal64 Cet.3 </ref> <ref name="Ismail"> Ismail, Nurjannah (2003).''Perempuan dalam pasungan:Bias laki-laki dalam penafsiran''.Yogyakarta:LKiS. Hal 99 </ref> Ibnu Qutaibah lahir pada tahun 828 M dan meninggal pada tahun 889 M.<ref name="Ismail"/> Namun, para sejarawan berbeda pendapat mengenai tempat kelahirannya.<ref name="Ibnu"> Qutaibah, Ibnu.''www.pondokpesantren.net'' </ref> Menurut Ibnu Khalikan, dia lahir di Baghdad, sedangkan menurut an-Nadim dan Ibnu al-Anbar dia lahir di Kufah pada awal Rajab tahun 313 H.<ref name="Ibnu"/> Salah satu karya Ibnu Qutaibah yang terkenal adalah [[Kitab]] Al Ma'arif (setebal empat jilid) yang merupakan ensiklopedia pertama berbahasa Arab. <ref name="Wahid"> Wahid, Abdurrahman (2001).''Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren''.Yogyakarta:LKiS. Hal 220 </ref>
=== Konsep
Ibnu Qutaibah tidak hanya berhenti sampai di situ saja, tetapi pembahasannya juga sampai kepada [[pluralitas]] [[jalan]] menuju Allah.<ref name="Ibnu"/> Baginya, [[jalan]] menuju Allah tidak tunggal dan kebaikan bukan hanya sebatas [[shalat]] malam, [[puasa]] terus menerus, mengetahui mana yang [[halal]] dan mana yang [[haram]], tetapi jalan menuju Allah adalah sangat banyak dan pintu kebaikan terbuka lebar-lebar.<ref name="Ibnu"/> Kemaslahatan [[agama]] terkait dengan kemaslahatan [[zaman]], kemaslahatan zaman terkait dengan kemasalahatan yang disertai bimbingan dan pengajaran yang baik.<ref name="Ibnu"/>▼
▲Ibnu Qutaibah hidup semasa dengan al-Jahith, seorang teolog terkemuka dari kalangan Muktazilah.<ref name="Ismail"/> Kendatipun demikian, dia berseberangan dengan al-Jahith, sebab dia bukanlah seseorang yang berpaham Muktazilah melainkan pengikut paham Ahli [[Sunnah]] sebagaimana yang dikatakan oleh [[Ibnu Taimiyah]].<ref name="Ismail"/>
Sehingga menurut Ibnu Qutaibah, ibadah kepada Allah bukan hanya sebatas [[shalat]], [[puasa]], dan [[zakat]], tetapi berperilaku yang baik kepada sesama juga termasuk jalan menuju Allah.<ref name="Ibnu"/> Dengan kata lain, [[etika]] yang baik adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan ini dan merupakan kebaikan yang bisa menghantarkan kita [[wushul ilallah]] (sampai kepada Allah).<ref name="Ibnu"/>▼
▲===Konsep tentang Qadha===
▲Menurut Ibnu Qutaibah, [[qadha]] ialah [[hukum]], ciptaan, kepastian, dan penjelasan.<ref name="Ezza"> Ezza, Abu (2012).''Setiap Doa Pasti Allah Kalbukan''.Jakarta:Qultum Media.Hal 58 </ref> Asal maknanya adalah memutuskan, memisahkan, menentukan sesuatu, mengukuhkannya, menjalankaannya, dan menyelesaikannya.<ref name="Ezza"/> Qadha terbagi menjadi dua, yakni ''qadha mahtum'' (definitif)dan ''qadha ghairu mahtum'' (tidak definitif).<ref name="Ezza"/> Qadha mahtum adalah sebuah [[takdir]] pasti yang tidak bisa dirubah, [[Allah]] bukan tidak bisa merubahnya melainkan itu memang suatu kebijakan yang telah ditentukan-Nya.<ref name="Ezza"/> Hal ini misalnya disebutkan dalam [[Surat]] Al Kahfi [[ayat]] 29: ''Allah menciptakan [[manusia]] sebagai [[makhluk]] yang bebas dalam bertindak dan menetukan [[nasib]]nya sendiri.<ref name="Ezza"/> Kemudian qadha ghairu mahtum adalah sebuah ketentuan yang masih bisa berubah karena bersifat tidak pasti, tetapi hal ini tidak bisa dilakukan secara instan karena Allah akan merubah takdir seseorang jika terpenuhinya syarat-syarat tertentu.<ref name="Ezza"/>
[[Al Iktiwa]] adalah memanaskan [[besi]] dengan menggunakan [[api]] dengan tujuan pengobatan.<ref name="Adnan">
▲===Konsep Ibadah===
=== Konsep Penafsiran AlQuran ===▼
▲Ibnu Qutaibah tidak hanya berhenti sampai di situ saja, tetapi pembahasannya juga sampai kepada pluralitas jalan menuju Allah.<ref name="Ibnu"/> Baginya, [[jalan]] menuju Allah tidak tunggal dan kebaikan bukan hanya sebatas [[shalat]] malam, [[puasa]] terus menerus, mengetahui mana yang [[halal dan mana yang [[haram]], tetapi jalan menuju Allah adalah sangat banyak dan pintu kebaikan terbuka lebar-lebar.<ref name="Ibnu"/> Kemaslahatan [[agama]] terkait dengan kemaslahatan zaman, kemaslahatan zaman terkait dengan kemasalahatan yang disertai bimbingan dan pengajaran yang baik.<ref name="Ibnu"/>
Ibnu Qutaibah telah menjelaskan dalam
▲Sehingga menurut Ibnu Qutaibah, ibadah kepada Allah bukan hanya sebatas shalat, puasa, dan [[zakat]], tetapi berperilaku yang baik kepada sesama juga termasuk jalan menuju Allah.<ref name="Ibnu"/> Dengan kata lain, [[etika]] yang baik adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan ini dan merupakan kebaikan yang bisa menghantarkan kita wushul ilallah (sampai kepada Allah).<ref name="Ibnu"/>
==
{{reflist}}▼
== Daftar pustaka ==
▲Al Iktiwa adalah memanaskan [[besi]] dengan menggunakan [[api]] dengan tujuan pengobatan.<ref name="Adnan"> Tharsyah, Adnan (2006).''Yang Disukai Nabi SAW dan yang Tidak Disukai''.Jakarta:Gema Insani. Hal 442-443 </ref> Menurutnya iktiwa itu terbagi dalam dua macam.<ref name="Adnan"/> Pertama, iktiwa pada anggota tubuh yang sehat di mana seseorang berharap bagian tersebut tidak mengalami sakit.<ref name="Adnan"/> Dia mengungkapkan bahwa hal semacam ini tidak diperbolehkan karena keadaannya tidak sakit melainkan [[sehat]].<ref name="Adnan"/> Kedua, iktiwa yang dilakukan pada anggota tubuh yang mengalami pembusukan atau kerusakan, maupun anggota tubuh yang terpotong.<ref name="Adnan"/> Hal inilah yang memperbolehkan dilakukannya iktiwa.<ref name="Adnan"/> Apabila iktiwa dilaksanakan hanya sebagai rekaan belaka, maka itu bertolak belakang terhadap hal yang utama, di mana menggunakan [[api]] untuk pengobatan pada anggota [[tubuh]] yang belum jelas sakitnya.<ref name="Adnan"/>
{{refbegin}}
* {{cite book |ref={{harvid|Al-Kinani|n.d.}} |last=Al-Kinani |first=Ibn Muthraf |title=Al-Qurṭain |year=n.d. |location=Beirut |language=Arab |publisher=Darul Ma'rifah}}
* {{cite book |ref={{harvid|Syamsuddin|1431 H}} |last=Syamsuddin |first=Ibrahim |year=1431 H |title=Ta’wīl Musykil al-Qur’ān |section=Tarjamah Ibn Qutaybah al-Daynawari |publisher=Darul Kutubil 'Ilmiyyah |url=https://www.noor-book.com/%D9%83%D8%AA%D8%A7%D8%A8-%D8%AA%D8%A7%D9%88%D9%8A%D9%84-%D9%85%D8%B4%D9%83%D9%84-%D8%A7%D9%84%D9%82%D8%B1%D8%A7%D9%86-%D9%84%D8%A7%D8%A8%D9%86-%D9%82%D8%AA%D9%8A%D8%A8%D9%87-%D8%A7%D8%A8%D8%B1%D8%A7%D9%87%D9%8A%D9%85-%D8%B4%D9%85%D8%B3-%D8%A7%D9%84%D8%AF%D9%8A%D9%86-pdf}}
{{refend}}
{{Authority control}}
[[Kategori:Islam]]
▲===Konsep Penafsiran AlQuran===
[[Kategori:Ilmuwan]]
▲Ibnu Qutaibah telah menjelaskan dalam kitabnya ''Takwil Musykilu AlQur'an'' tentang penafsiran AlQuran menggunakan rasio. <ref name="Yusuf"> {{ar}} Qaradawi, Yusuf (1999).''Berinteraksi dengan AlQur'an''.Jakarta:Gema Insani Press. Terj. Abdul Hayyie Hal 1298-1299 Cet. 1 </ref> Ada [[hadits]] [[Nabi]] yang menerangkan bahwa penafsiran dengan menggunakan rasio adalah perbuatan yang dilarang.<ref name="Yusuf"/> Dalam sebuah riwayat juga disebutkan bahwa [[sahabat ]]dan para pembesar [[ulama]]' tabiin sangat takut untuk menafsirkan AlQuran sembarangan, padahal mereka adalah orang-orang yang kadar ke[[ilmu]]wan dan ke[[taqwa]]annya sudah tinggi. <ref name="Yusuf"/> Lantas kenapa kita harus masuk kubangan masalah tersebut jika orang-orang dahulu telah meninggalkannya dan justru takut untuk memasukinya. <ref name="Yusuf"/>
▲{{reflist}}
|