Tari Bedaya Ketawang: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Arupako (bicara | kontrib)
k Beeyan memindahkan halaman Bedaya Ketawang ke Bedaya ketawang
Yan29ti (bicara | kontrib)
 
(35 revisi perantara oleh 19 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
[[FileBerkas:Sacred Dance Bedhoyo Ketawang A.JPG|thumbjmpl|SacredTari Dance BedhoyoBedhaya Ketawang Asaat dipertunjukkan di [[Keraton Surakarta|Sasana Sewaka, Keraton Surakarta]].]]
'''Tari Bedaya Ketawang''' ([[Bahasa Jawa]]: ''Bedhaya Ketawang'', ꦨꦼꦝꦪꦑꦼꦠꦮꦁ) adalah sebuah tarian kebesaran yang hanya dipertunjukkan ketika penobatan serta ''Tingalandalem Jumenengan'' [[Sunan Surakarta]] (upacara peringatan kenaikan tahta raja). Nama Bedhaya Ketawang sendiri berasal dari kata [[''bedhaya]]'' yang berarti penari [[wanita]] di [[istana]].<ref name="a"/><ref name="b"/> Sedangkan [[''ketawang]] berasal dari kata yang'' berarti langit, identik dengan mendhung atau awan tempatnya di atas, sesuatu yang di atas dinamakan tinggi, maknakeluhuran, simbolisnyadan yaitu [[luhur]]kemuliaan.<ref name="a">[http://library.uns.ac.id/Teks pranala],teks{{Pranala mati|date=Mei 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes tambahan}}</ref> Tari Bedhaya Ketawang menjadi tari suguhantarian sakral yang berarti suci yangkarena menyangkut [[Ketuhanan]], dimanadi mana segala sesuatu tidak akan terjadi tanpa kehendak [[Tuhan]]|Tuhan Yang Maha Esa]].<ref name="a"/>
 
== Sejarah ==
Ada beberapa sejarahlegenda yang mengungkapkan pembentukan tarian ini.<ref name="b">{{Cite web |url=http://www.karatonsurakarta.com/Teks |title=pranala],teks tambahan|access-date=2014-05-03 |archive-date=2020-06-07 |archive-url=https://web.archive.org/web/20200607121144/http://karatonsurakarta.com/Teks/ |dead-url=yes }}</ref>Yaitu Suatu ketika, [[Sultan Agung|Sultan Agung Hanyakrakusuma]] yang memerintah [[Kesultanan Mataram]] dari tahun [[1613]]-[[1645]], suatu harisedang melakukan laku ritual semedi''semadi''.<ref name="f">[http://www.reocities.com/Teks pranala],teks{{Pranala tambahanmati|date=Mei 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref> Dalam keheningan ciptaKonon, rasa,dalam dan karsa itu,keheningan sang raja mendengar suara ''tetembangan'' (senandung) dari arah [[''tawang]]'' atau langit.<ref name="f"/> DiaSultan Agung begitumerasa terkesima dandengan taksenandung mampu menyembunyikan keterpesonaannyatersebut.<ref name="f"/> Begitu selesai bersemedibertapa, diaSultan Agung memanggil empat orang pengiringnya yaitu [[Kanjeng Panembahan PurboyoPurbaya, Kyai Panjang Mas, Pangeran Karang Gayam II, dan Tumenggung Alap-alap]]Alap.<ref name="f"/> Sultan Agung mewedarkan hasilmengutarakan kesaksian batinnya pada mereka.<ref name="f"/> LaluKarena terilhami oleh pengalaman gaib yang ia alami, terciptalahSultan Agung sendiri menciptakan sebuah tarian yang kemudian diberi nama ''Bedhaya Ketawang''.<ref name="f"/>Dikisahkan pulaMenurut bahwaversi dalamyang pertapaanyalain, rajadikisahkan pertamapula ataubahwa pendahuludalam kerajaan Mataram yang bernamapertapaannya, [[Panembahan Senopati|Panembahan Senapati ing Alaga Sayiddin Panatagama]] bertemu dan melakukan cinta kasihbercinta dengan [[Ratu Kencanasari]] atau yang dikenal juga dengan sebutan [[Kanjeng Ratu Kidul|Kangjeng Ratu Kidul]] yang kemudian menjadi cikal bakal tarian ini.<ref name="b"/>
 
Setelah [[Perjanjian Giyanti]] pada tahun [[1755]], [[Pakubuwana III]] bersama [[Hamengkubuwana I]] melakukan pembagian harta warisan [[Kesultanan Mataram]], yang sebagian menjadi milik [[Kasunanan Surakarta]] dan sebagian lainnya menjadi milik [[Kesultanan Yogyakarta]]. Pada akhirnya Tari Bedhaya Ketawang menjadi milik istana [[Kasunanan Surakarta|Surakarta]], dan dalam perkembangannya sampai sekarang ini Tari Bedhaya Ketawang masih tetap dipertunjukkan saat penobatan dan upacara peringatan kenaikan takhta [[Sunan Surakarta]].
==Makna==
Tarian ini memiliki tiga makna yaitu
*Adat Upacara, menurut adatnya tarian ini hanya bisa dilakukan pada setahun sekali saja yaitu pada hari ulang tahun tahta kerajaan.<ref name="b"/>
*Sakral, Karena pencipta dari tarian ini berasal dari Ratu kidul, konon kabarnya beliau selalu hadir pada saat latihan ataupun pada saat tarian ini dipentaskan<ref name="b"/>
*Religius,karena tarian ini juga mengajarkan tentang filsafah hidup serta menanyakan untuk tujuan apa manusia hidup selama di dunia.<ref name="b"/>
 
== Seputar Tarian dan Makna Filosofis di Dalamnya ==
==Ritual==
Bedhaya Ketawang merupakan suatu tarian yang berfungsi bukan hanya sebagai hiburan, karena tarian ini hanya ditarikan untuk sesuatu yang khusus dan dalam suasana yang sangat resmi. Tari Bedhaya Ketawang menggambarkan hubungan asmara Kangjeng Ratu Kidul dengan raja-raja [[Kesultanan Mataram|Mataram]]. Semuanya diwujudkan dalam gerak-gerik tangan serta seluruh bagian tubuh, cara memegang ''sondher'' dan lain sebagainya. Semua kata-kata yang tercantum dalam ''tembang'' (lagu) yang mengiringi tarian, menunjukkan gambaran curahan asmara [[Kanjeng Ratu Kidul|Kangjeng Ratu Kidul]] kepada sang raja.
Sebelum melakukan pementasan baik penari maupun [[Keraton]] selalu memiliki kebiasaan atau ritual yang harus dijalankan, seperti:<ref name="b"/>
[[File:Kraton Yogyakarta2-5.JPG|thumb|Kraton Yogyakarta2-5]]
*Penari
Sebelum menarikan tarian ini kesembilan penari ini melakukan ritual [[puasa]] tertentu, harus suci lahir dan batin serta tidak dalam keadaan datang bulan.<ref name="b"/> Untuk itu disiapkan penari cadangan untuk menggantikan para penari yang tiba-tiba mendapat halangan pada saat akan pementasan.<ref name="b"/>Kesucian para penari benar-benar diperhatikan karena konon kabarnya Kanjeng Ratu Kidul akan datang menghampiri para penari yang gerakannya masih salah pada saat latihan berlangsung.<ref name="b"/>
*Keraton
Keraton juga harus melakukan ritual tertentu yaitu [[larungan atau labuhan]] yang berarti persembahan korban berupa sesaji ke 4 titik mata angin.<ref name="b"/>Keempat mata angin tersebut dimulai di bagian arah utara untuk Gunung Merapi dengan penguasa ''Kanjeng Ratu Sekar''.<ref name="b"/> Di bagian arah selatan untuk Segoro Kidul Laut Selatan dengan penguasa ''Ratu Kidul''. Di bagian barat, untuk Tawang Sari dengan penguasa ''Sang Hyang Pramori Durga'' di hutan Krendowahono.<ref name="b"/> Dan terakhir, di bagian timur untuk Tawang Mangu dengan penguasa ''Argodalem Tirtomoyo, dan Gunung Lawu dengan penguasa Kyai Sunan Lawu''.<ref name="b"/>
 
Menurut kepercayaan masyarakat, setiap Tari Bedhaya Ketawang ini dipertunjukkan maka dipercaya [[Kanjeng Ratu Kidul|Kangjeng Ratu Kidul]] akan hadir dalam upacara dan ikut menari sebagai penari kesepuluh. Tari Bedhaya Ketawang ini dibawakan oleh sembilan penari. Dalam mitologi [[Suku Jawa|Jawa]], sembilan penari Bedhaya Ketawang menggambarkan sembilan arah mata angin yang dikuasai oleh sembilan [[dewa]] yang disebut dengan ''Nawasanga''. Sebagai tarian sakral, ada beberapa syarat yang harus dimiliki oleh penarinya. Syarat utama adalah penarinya harus seorang gadis suci dan tidak sedang haid. Jika sedang haid maka penari tetap diperbolehkan menari dengan syarat harus meminta izin kepada Kangjeng Ratu Kidul dengan dilakukannya ''caos dhahar'' di [[Keraton Surakarta|Panggung Sangga Buwana, Keraton Surakarta]]. Syarat selanjutnya yaitu suci secara batiniah. Hal ini dilakukan dengan cara berpuasa selama beberapa hari menjelang pergelaran.<ref name="b"/> Kesucian para penari benar-benar diperhatikan karena konon kabarnya Kangjeng Ratu Kidul akan datang menghampiri para penari yang gerakannya masih salah pada saat latihan berlangsung.<ref name="b"/>
==Posisi Penari==
Banyaknya Penari dalam tarian ini berjumlah 9 orang.<ref name="d">http://www.disolo.com/Teks pranala],teks tambahan</ref>Jumlah sembilan penari Bedhaya Ketawang adalah simbol [[makrokosmos]] jagad raya yang ditandai dengan sembilan arah [[mata angin]] dan [[mikrokosmos]] merupakan simbol alam semesta dengan segala isinya.<ref name="a"/>Masing-masing penari tersebut memiliki sebutan dan simbol pemaknaan tersendiri untuk posisinya.<ref name="b"/>
*Penari pertama disebut Batak yang disimbolkan sebagai pikiran dan jiwa,<ref name="b"/><ref name="f"/>
*Penari kedua disebut Endhel Ajeg yang disimbolkan sebagai keinginan hati atau nafsu<ref name="b"/><ref name="f"/>
*Penari ketiga disebut Endhel Weton yang disimbolkan sebagai tungkai kanan<ref name="b"/><ref name="f"/>
*Penari keempat disebut Apit Ngarep yang disimbolkan sebagai lengan kanan<ref name="b"/><ref name="f"/>
*Penari kelima disebut Apit Mburi yang disimbolkan sebagai lengan kiri<ref name="b"/><ref name="f"/>
*Penari keenam disebut Apit Meneg yang disimbolkan sebagai tungkai kiri<ref name="b"/><ref name="f"/>
*Penari ketujuh disebut Gulu yang disimbolkan sebagai badan<ref name="b"/><ref name="f"/>
*Penari kedelapan disebut Dhada yang disimbolkan sebagai badan<ref name="b"/><ref name="f"/>
*Penari kesembilan disebut Dan Boncit yang disimbolkan sebagai organ seksual.<ref name="b"/><ref name="f"/> Nomor sembilan disini direpresentasikan sebagai konstelasi [[bintang-bintang]] dari arti Ketawang.<ref name="d"/>
 
Sembilan penari Bedhaya Ketawang memiliki nama dan fungsi masing-masing.<ref name="a"/> Tiap penari tersebut memiliki simbol pemaknaan tersendiri untuk posisinya:<ref name="b"/>
==Kostum==
* Penari pertama disebut ''Batak'' yang disimbolkan sebagai pikiran dan jiwa,.<ref name="b"/><ref name="f"/>
Kostum yang digunakan oleh para penari Bedaya Ketawang adalah [[dodot ageng]] yang digunakan oleh pengantin [[Jawa]] atau disebut juga ''basahan''.<ref name="b"/>Menggunakan [[gelung bokor mengkurep]] yang berukuran lebih besar daripada gaya Yogyakarta<ref name="e">http://www.anneahira.com/Teks pranala],teks tambahan</ref><ref name="b"/>
* Penari kedua disebut ''Endhel Ajeg'' yang disimbolkan sebagai keinginan hati atau nafsu.<ref name="b"/><ref name="f"/>
* Penari ketiga disebut ''Endhel Weton'' yang disimbolkan sebagai tungkai kanan.<ref name="b"/><ref name="f"/>
* Penari keempat disebut ''Apit Ngarep'' yang disimbolkan sebagai lengan kanan.<ref name="b"/><ref name="f"/>
* Penari kelima disebut ''Apit Mburi'' yang disimbolkan sebagai lengan kiri.<ref name="b"/><ref name="f"/>
* Penari keenam disebut ''Apit Meneg'' yang disimbolkan sebagai tungkai kiri.<ref name="b"/><ref name="f"/>
* Penari ketujuh disebut ''Gulu'' yang disimbolkan sebagai badan.<ref name="b"/><ref name="f"/>
* Penari kedelapan disebut ''Dhada'' yang disimbolkan sebagai badan.<ref name="b"/><ref name="f"/>
* Penari kesembilan disebut Dan Boncit''Buncit'' yang disimbolkan sebagai organ seksual.<ref name="b"/><refPenari name="f"/> Nomorkesembilan sembilandi disinisini direpresentasikan sebagai konstelasi [[bintang-bintang]] dariyang artimerupakan Ketawang.<refsimbol name="d"/>''tawang'' atau langit.
 
Busana yang digunakan oleh para penari Bedhaya Ketawang adalah ''dodot ageng'' atau disebut juga ''basahan'', yang biasanya digunakan oleh pengantin perempuan [[Suku Jawa|Jawa]]. Penari juga menggunakan ''gelung bokor mengkurep'', yaitu ''gelungan'' yang berukuran lebih besar daripada ''gelungan'' gaya [[Kesultanan Yogyakarta|Yogyakarta]],<ref name="e">{{Cite web |url=http://www.anneahira.com/Teks |title=pranala |access-date=2014-05-05 |archive-date=2014-04-27 |archive-url=https://web.archive.org/web/20140427165054/http://www.anneahira.com/Teks |dead-url=yes }}</ref> serta berbagai aksesoris perhiasan yang terdiri atas ''centhung'', ''garudha mungkur'', ''sisir jeram saajar'', ''cundhuk mentul'', dan ''tiba dhadha'' (rangkaian bunga melati yang dikenakan di ''gelungan'' yang memanjang hingga dada bagian kanan). Busana penari Bedhaya Ketawang sangat mirip dengan busana pengantin Jawa dan didominasi dengan warna hijau, menunjukkan bahwa Bedhaya Ketawang merupakan tarian yang menggambarkan kisah asmara [[Kanjeng Ratu Kidul|Kangjeng Ratu Kidul]] dengan raja-raja [[Kesultanan Mataram|Mataram]].
==Referensi==
<references/>
 
Pada awalnya Bedhaya Ketawang dipertunjukkan selama dua setengah jam. Tetapi sejak zaman [[Pakubuwana X]] diadakan pengurangan, hingga akhirnya menjadi berdurasi satu setengah jam. Gending atau musik yang dipakai untuk mengiringi Bedhaya Ketawang disebut ''Gending Ketawang Gedhe'' yang bernada ''pelog''. Perangkat [[gamelan]] yang digunakan untuk membawakan gending ini terdiri dari lima jenis, yaitu ''kethuk'', ''kenong'', ''kendhang'', ''gong'', dan ''kemanak'', yang sangat mendominasi keseluruhan irama gending. Bedhaya Ketawang dibagi menjadi tiga adegan (babak). Di tengah-tengah tarian, ''laras'' (nada) gending berganti menjadi nada ''slendro'' selama dua kali, kemudian nada gending kembali lagi ke ''laras'' ''pelog'' hingga tarian berakhir. Pada bagian pertama tarian diiringi dengan ''tembang'' ''Durma'', selanjutnya berganti ke ''Retnamulya''. Pada saat mengiringi jalannya penari masuk kembali ke [[Keraton Surakarta|Dalem Ageng Prabasuyasa]], alat gamelan yang dimainkan ditambah dengan ''rebab'', ''gender'', ''gambang'', dan ''suling''. Ini semuanya dilakukan untuk menambah keselarasan suasana.<ref name="Seputar Bedhaya Ketawang">{{Cite web |url=http://www.karatonsurakarta.com/tari%20bedhoyo.html/Teks |title=pranala |access-date=2015-05-06 |archive-date=2020-06-27 |archive-url=https://web.archive.org/web/20200627031424/http://karatonsurakarta.com/tari%20bedhoyo.html/Teks/ |dead-url=yes }}</ref>
[[Kategori: Budaya Indonesia]]
 
'''Makna Pola Lantai Tari Bedhaya'''
 
Sama halnya dengan tarian lainnya, tari Bedhaya Ketawang mempunyai pola lantai tersendiri. Pola lantai tarian ini menggunakan pola lantai ''gawang monitor mabur, gawang jejer wayang, gawang urut kacang, gawang kalajengking, gawang perang, dan gawang tiga-tiga''. Pola lantai dalam tarian tersebut juga dikenal dengan nama ''rakit lajur'' yang menggambarkan lima unsur dalam diri diri manusia, yaitu cahaya, rasa, sukma, nafsu, dan perilaku.
 
Sebagai tarian yang sakral, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh setiap penarinya, yaitu kesembilan penari harus merupakan seorang gadis suci dan tidak sedang haid atau menstruasi. Jika sedang menstruasi, penari tersebut harus meminta izin terlebih dahulu kepada Kanjeng Ratu Kidul dengan melakukan ''caos dahar'' di panggung Sangga Buwana di Keraton Surakarta. Hal tersebut dilakukan dengan cara berpuasa selama beberapa hari menjelang pertunjukan. Ketika latihan dimulai, Kanjeng Ratu Kidul akan datang jika ada penari yang gerakannya masih kurang benar.
 
'''Koreografi Tari Bedhaya Ketawang'''
 
Sebagaimana penjelasan dalam buku ''Kagunan Sekar Padma: Kontinuitas dan Perkembangan Kesenian Tradisional di Yogyakarta Awal Abad XX'' yang disusun oleh Indra Fibiona dan Darto Harnoko, koreografi tari Bedhaya Ketawang diiringi oleh sinden dan musik gamelan. Selanjutnya, tarian itu disusun dengan sangat hati-hati berdasarkan arahan penguasa (putra mahkota) untuk acara-acara penting di istana.
 
Perhatian yang cermat mengenai koreografi dan iringan musik tersebut menunjukkan betapa pentingnya fungsi ritual dari bentuk seni. Koreografi yang panjang dan kompleks, serta musik gamelan dan para sinden membutuhkan kekompakan permainan seniman yang perlu latihan secara teratur agar selaras satu sama lain. Pagelaran pertunjukan besar seperti itu awalnya memang hanya ada di Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta saja. Namun, pertunjukan tersebut mulai diadaptasi oleh pejabat tinggi di kadipaten seiring berjalannya waktu.
 
Tari Bedhaya Ketawang yang paling tua dan dianggap paling sakral adalah Tari Bedhaya Ketawang Surakarta. Tarian itulah yang kemudian menjadi tarian yang menginspirasi semua bentuk koreografi Bedhaya, baik di Surakarta maupun Yogyakarta. Hal ini dikarenakan adanya pernikahan antar keluarga keraton, sehingga para mempelai membawa seniman ''pendherek'' yang menyertainya.
 
'''Kisah di Balik Tari Bedhaya Ketawang'''
 
Dikutip dari buku yang sama karangan Indra Fibiona dan Darto Harnoko, tarian ini mengisahkan tentang Ratu Kidul yang secara kebetulan bertemu dengan sultan di pantai, perbatasan antara Kerajaan Mataram Yogyakarta dengan Kerajaan Nyi Roro Kidul. Sultan Mataram dan Kanjeng Kidul saling tertarik satu sama lain.
 
Sultan kemudian mengikuti Sang Ratu Kidul menuju istananya yang berada di dasar laut. Mereka hidup bersama selama beberapa waktu, hingga datanglah roh Sunan Kalijaga yang menasihati sultan bahwa pengantinnya itu (Ratu Kidul) sebenarnya bukanlah seorang manusia, sebab kecantikannya yang abadi sangatlah sempurna seperti gadis muda.
 
Pada saat itu, Ratu Kidul bertemu dengan sultan bertepatan dengan malam bulan purnama, sehingga sultan begitu terpesona dengan paras kecantikan sang ratu. Sunan Kalijaga lantas menyadarkan sultan dengan memberi nasihat untuk tetap melaksanakan amanah, yaitu mengemban tugas mengayomi rakyat dan kerajaannya yang telah diabaikan karena terpikat dengan Ratu Kidul.
 
Pada akhirnya, Sultan Agung kemudian meninggalkan Ratu Kidul. Namun, sang ratu akan selalu melindungi Sultan Agung dan keturunannya, kapan pun Kerajaan Mataram berada dalam bahaya.
 
== Lihat Pula ==
* [[Keraton Surakarta]]
* [[Sultan Agung|Sultan Agung Hanyakrakusuma]]
* [[Kesultanan Mataram]]
* [[Kasunanan Surakarta]]
 
== Referensi ==
{{reflist}}
 
== Pranala luar ==
* [https://www.youtube.com/watch?v=zlpoG5urKa4 Video tari Bedhaya Ketawang di Keraton Surakarta]
* [https://www.youtube.com/watch?v=86UdyOCbZX4 Film dokumenter tari Bedhaya Ketawang produksi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia tahun 2009]
 
{{DEFAULTSORT:Bedaya Ketawang}}
{{Tarian di wilayah pulau Jawa|state=autocollapse}}
 
[[Kategori: Budaya Indonesia]]
[[Kategori:Kota Surakarta]]
[[Kategori:Tari di Indonesia]]
[[Kategori:Tarian dari Jawa Tengah]]