#ALIH [[Djadoeg Djajakoesoema]]
{{Infobox person
| name = Djadoeg Djajakusuma
| native_name =
| native_name_lang =
| image = Djajakusuma Parfini brochure-restoration.JPG
| image_size =
| alt =
| caption = Djajakusuma, 1950-an
| birth_name =
| birth_date = {{Birth date|1918|08|01|df=y}}
| birth_place = [[Temanggung]], [[Jawa Tengah]], [[Hindia Belanda]]
| death_date = {{Death date and age|df=yes|1987|10|28|1918|08|01}}
| death_place = [[Jakarta]], Indonesia
| death_cause = [[Stroke]]
| resting_place = [[TPU Karet Bivak]]
| residence =
| nationality = Indonesia
| ethnicity =
| education =
|alma_mater= {{plainlist|
*[[Universitas Washington]]
*[[Sekolah Seni Sinematik USC]]
}}
| other_names =
| alma_mater =
| occupation = Sutradara, produser, kritikus budaya
| years_active = 1952–87
| style =
| spouse =
| religion =
| awards =
}}
'''Djadoeg Djajakusuma''' {{efn|Yang lain menyebutkan bahwa nama pertamanya adalah Djadug, Djadoek, dan Djaduk, sementara nama terakhirnya juga disebut Djajakoesoema}} ({{IPA-id|dʒaˈdʊʔ dʒajakuˈsuma|}}; {{lahirmati|[[Temanggung]], [[Jawa Tengah]]|1|8|1918|[[Jakarta]]|28|10|1987}}) adalah [[pemeran]] dan [[sutradara]] [[film]] [[Indonesia]] yang pernah bermain dalam film ''[[Perempuan Dalam Pasungan]]'' pada tahun [[1980]]. Film yang disutradarainya banyak dibintangi oleh para [[aktris]] terkenal diera itu seperti [[Rd Ismail]], [[Bambang Hermanto]], [[Titi Savitri]], dan [[Sulastri]]. Lahir dari seorang bangsawan dan istrinya di [[Kabupaten Temanggung|Temanggung]], [[Jawa Tengah]], Djajakusuma mulai memahami kesenian pada masa muda dan memilih untuk berkarir dalam dunia teater. Pada masa [[pendudukan Jepang di Hindia Belanda|pendudukan Jepang]] dari 1943 sampai 1945, ia menjadi penerjemah dan aktor, dan pada masa [[Revolusi Nasional Indonesia|revolusi nasional]] yang berlangsung selama empat tahun, ia bekerja pada divisi pendudukan [[Tentara Nasional Indonesia|militer]], beberapa agen berita, dan dalam drama.
Pada 1951, Djajakusuma bergabung dengan [[Perfini|Perusahaan Film Nasional]] (Perfini) atas ajakan [[Usmar Ismail]]. Setelah melakukan debut penyutradaraannya dengan ''[[Embun]]'', Djajakusuma meluncurkan sebelas film lainnya dengan perusahaan tersebut sebelum meninggalkan perusahaan tersebut pada 1964. Ia kemudian kembali ke teater tradisional khas Indonesia, termasuk [[wayang]].
Setelah beberapa dekade kesehatannya menurun dan mengalami tekanan darah tinggi, Djajakusuma pingsan pada saat mengikuti sebuah upacara dan wafat. Ia dimakamkan di [[TPU Karet Bivak]].
Djajakusuma terinspirasi dari pandangan [[realisme (seni rupa)|realis]] Usmar Ismail, meskipun ia lebih berfokus pada aspek kehidupan tradisional.
Ia dikenang karena telah merevitalisasikan bentuk teatrikal [[orang Betawi|Betawi]] yang bernama [[lenong]] dan mendapatkan sejumlah penghargaan untuk film yang telah ia buat
==Biografi==
===Kehidupan awal===
Djajakusuma lahir pada 1 Agustus 1918 di Parakan, [[Kabupaten Temanggung|Temanggung]], [[Jawa Tengah]], [[Hindia Belanda]],<ref>{{harvnb|Setiawan 2009, National Film Month}}; {{harvnb|Ardan 1987, Djaduk Djajakusuma}}</ref> dari seorang ayah [[priyayi]], Raden Mas Aryo Djojokoesomo, dan istrinya Kasimah. Djajakusuma adalah anak kelima dari enam bersaudara, mereka hidup tercukupi dari gaji Djojokoesomo sebagai pimpinan pemerintahan.{{sfn|Hoerip|1995|p=104}} Ketika masa muda, ia senang menonton pertunjukan panggung, seperti pagelaran [[wayang]] dan tarian tradisional yang bernama tayuban;{{sfn|Hoerip|1995|pp=2–3}} pada beberapa waktu, ia sering meninggalkan rumahnya setelah waktu tidur untuk menonton pertunjukan. Dengan teman-temannya, ia suka menceritakan [[cerita sebelum tidur]] yang diceritakan oleh ibunya.{{sfn|Darmawi 1982, Djadoeg Djajakusuma}} Ketika pengaruh film-film [[Hollywood]] mulai meluas, ia sering menonton film-film [[Barat (genre)|Barat]] dan karya-karya yang dibintangi oleh [[Charlie Chaplin]].{{sfn|Hoerip|1995|p=4}}
Ia menyelesaikan pendidikannya di [[Semarang]], Jawa Tengah,{{sfn|JCG, Djaduk Djajakusuma}} lulus dari program [[ilmu pengetahuan alam]] di sekolah menengah keatas disana pada 1941.{{sfn|Hoerip|1995|p=4}} Meskipun keluarganya berharap agar ia menjadi karyawan pemerintahan seperti ayahnya, Djajakusuma lebih tertarik pada [[seni pertunjukan]].{{sfn|Darmawi 1982, Djadoeg Djajakusuma}} Ia kembali ke kambung halamannya pada beberapa waktu sebelum menyadari bahwa ia hanya memiliki kesempatan kecil di Parakan. Setelah itu, pada awal 1943 – setahun setelah Hindia Belanda [[Pendudukan Jepang di Hindia Belanda|diduduki]] oleh [[Kekaisaran Jepang]] – Djajakusuma pindah ke pusat politik koloni tersebut, [[Jakarta]], untuk mencari pekerjaan.{{sfn|Hoerip|1995|p=8}}
Djajakusuma menjadi karyawan di Pusat Kebudayaan{{efn|Pusat Kebudayaan memiliki penyebutan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. Nama Indonesia-nya adalah {{lang|id|Poesat Keboedajaan}}, sementara nama Jepang-nya adalah {{nihongo|''Keimin Bunka Shidōsho''|啓民文化指導所}}. Pusat Kebudayaan mempromosikan perkembangan berbagai bentuk kesenian, meliputi film dan drama, dengan tujuan utama untuk menyampaikan propaganda tentang posisi politik Jepang {{harv|Hoerip|1995|p=8}}.}} sebagai seorang penerjemah dan aktor dibawah pengarahan [[Armijn Pane]].<ref>{{harvnb|JCG, Djaduk Djajakusuma}}; {{harvnb|Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma}}</ref> Ketika bekerja, ia menerjemahkan beberapa karya buatan pembuat drama Swedia [[August Strindberg]] dan pembuat drama Norwegia [[Henrik Ibsen]],{{efn|Neither Norway nor Sweden was at war with Japan at the time, meaning such translations were considered acceptable by Djajakusuma's superiors {{harv|Hoerip|1995|p=9}}.}}{{sfn|Biran|2009|p=331}} serta sejarah Jepang dan beberapa permainan panggung ''[[kabuki]]''.{{sfn|Hoerip|1995|p=8}} Sementara itu, saat ia bersama dengan Pusat Kebudayaan, Djajakusuma menulis beberapa sandiwara panggung miliknya.{{sfn|Hoerip|1995|p=10}} Di waktu luang, Djajakusuma membantu mendirikan perusahaan teater amatir Maya, bersama dengan beberapa artis seperti [[HB Jassin]], [[Rosihan Anwar]], dan [[Usmar Ismail]]. Kelompok pertunjukan tersebut, yang dibentuk dalam merespon keinginan untuk kebebasan artistik yang lebih besar, mempertunjukan terjemahan dari karya-karya Eropa dan karya-karya asli dari Ismail dan El Hakim.{{efn|El Hakim adalah pseudonim dari Abu Hanifah {{harv|Hoerip|1995|pp=9–10}}.}} Demi mempromosikan rasa nasionalisme terhadap Indonesia sementara tetap menyesuaikan dengan peraturan dari biro penyensoran Jepang beberapa permainan Maya tidak secara eksplisit mempromosikan Jepang, melainkan [[Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya]]. Karya-karya tersebut ertemakan dukungan terhadap gerakan nasionalis Indonesia, meskipun, masih secara tersirat. Bersama dengan Maya, Djajakusuma melakukan perjalanan dari desa ke desa untuk mengadakan pertunjukan.{{sfn|Hoerip|1995|pp=9–10}}
===Revolusi Nasional Indonesia===
Presiden [[Sukarno]] memproklamasikan [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|kemerdekaan Indonesia]] pada 17 Agustus 1945, setelah [[Pengeboman atom Hiroshima dan Nagasaki|pengeboman Hiroshima dan Nagasaki]]. Saat mengetahui bahwa pemerintah kolonial Belanda akan kembali, Djajakusuma dan Ismail membantu pendirian Seniman Merdeka sebagai bentuk perlawanan. Kelompok tersebut mengunjungi berbagai kota, menyebarkan berita proklamasi kemerdekaan Indonesia sementara melakukan pertunjukan dari truk terbuka. Setelah kedatangan [[NICA]], kelompok tersebu terkadang mencoba untuk memata-matai orang Eropa atau menyembunyikan informasi yang dianggap telah digunakan oleh pasukan Belanda yang telah datang. Dikarenakan pekerjaannya berbahaya, Djajakusuma mulai membawa-bawa sebuah pistol, dan pergi ke [[Banten]] untuk meminta kepada [[kyai]] agar ia memiliki kemampuan kebal peluru.{{sfn|Hoerip|1995|pp=17–19}}
Pada awal 1946, ketika pasukan kolonial Belanda menguasai Jakarta, Djajakusuma mengungsi ke ibukota negara yang baru di [[Yogyakarta]].{{sfn|Biran|2009|p=354}} Disana, ia menghabiskan waktu dengan kantor berita nasional [[Antara (kantor berita)|Antara]]{{sfn|Suara Karya 1987, D.Djajakusuma}} sebelum bergabung dalam divisi pendidikan [[Tentara Nasional Indonesia|militer]] yang membuatnya mendapatkan pangkat kapten.{{sfn|Said|1982|p=139}} Pada bidang militer, Djajakusuma menyunting mingguan ''Tentara''; ia juga berkontribusi pada artikel-artikel majalah kebudayaan ''Arena'' milik Ismail.{{sfn|Hoerip|1995|pp=20–21}}
Djajakusuma diminta oleh Kementerian Informasi pada 1947 untuk mengajar di sebuah sekolah seni pertunjukan, Stichting Hiburan Mataram.{{sfn|Biran|2009|p=356}} Ketika di Mataram, ia dan Ismail berkenalan dengan pembuat film [[Andjar Asmara]], Huyung, dan Sutarto; keduanya belajar dibawah pengajaran ketiganya. Sementara itu, Djajakusuma ditugaskan untuk menyensor penyiaran radio di wilayah yang masih dipertahankan oleh Republik, tugas tersebut ia lakukan sampai [[Agresi Militer Belanda II|Belanda menduduki Yogyakarta]] pada 19 Desember 1948. Djajakusuma melarikan diri dari kota tersebut, kemudian ia bertemu dengan pasukan Republik. Dengan menggunakan radio tua dan sepeda bertenaga generator, Djajakusuma menyimak siaran berita internasional dan menuliskanyya;{{sfn|Hoerip|1995|pp=22–24}} informasi dari siaran tersebut kemudian dicetak pada surat kabar bawah tanah.{{sfn|Kompas 1993, Pekan Film Djajakusuma}}
[[File:Usmar Ismail Sewindu Perfini p11.jpg|left|thumb|[[Usmar Ismail]], yang membawa Djajakusuma ke Perfini pada 1951]]
Setelah [[Revolusi Nasional Indonesia]] berakhir dengan pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda pada 1949, Djajakusuma melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang jurnalis ''Patriot'' (yang kemudian berganti nama menjadi ''Tentara'') dan majalah ''Kebudajaan Nusantara'';{{sfn|JCG, Djaduk Djajakusuma}} Mataram kembali dibuka, dan Djajakusuma mulai mengajar kembali selain mengurusi bioskop Soboharsono dan menulis beberapa drama panggung.{{Sfn|Hoerip|1995|p=24}} Sementara itu, Ismail, kembali ke Jakarta dan mendirikan [[Perfini|Perusahaan Film Nasional]] atau Perfini;{{sfn|Setiawan 2009, National Film Month}} produksi pertamanya, ''[[Darah dan Doa]]'', yang menceritakan dengan versi fiksi dari perjalanan [[Divisi Siliwangi]] dari Yogyakarta ke [[Jawa Barat]] pada 1948, yang disutradarai oleh Ismail dan diluncurkan pada 1950.{{sfn|Said|1982|p=51}}
===Karir dengan Perfini===
Saat mempersiapkan film kedua-nya, ''[[Enam Djam di Jogja]]'', Ismail disuruh Djajakusuma ke Jakarta. Pada film tersebut, Djajakusuma membantu Ismail mengadaptasi [[Serangan Umum 1 Maret 1949]] sebagai latarnya. Produksinya secara keseluruhan hanya menghabiskan biaya yang rendah; Djajakusuma kemudian menyatakan bahwa kamera mereka diisi dengan baterai mobil<!--owing to their inability to buy the necessary equipment-->.{{sfn|Hoerip|1995|p=27}} Meskipun mendapatkan kesulitan, Djajakusuma bersikap santai setelah film tersebut terselesaikan, menyelesaikan karya lainnya untuk Perfini, ''Dosa Tak Berampun'', pada tahun berikutnya. Ismail bertugas sebagai sutradara pada film tersebut, sengenai seorang pria yang meninggalkan keluarganya setelah ia terpaku oleh senyuman seorang pelayan.<ref>{{harvnb|Hoerip|1995|p=36}}; {{harvnb|Said|1982|p=54}}; {{harvnb|Filmindonesia.or.id, Filmografi}}</ref>
Sementara Ismail, yang masih menjadi kepala Perfini, sedang menjalani studi sinematografi di [[Sekolah Teater, Film dan Televisi UCLA|Sekolah Teater, Film dan Televisi]] di [[Universitas California, Los Angeles]], Djajakusuma mulai menjalankan peran besar pada Perfini. Ia membuat debut penyutradaraannya di tahun 1952 pada film ''[[Embun]]'', yang menceritakan guncangan psikologi saat bertatapan dengan para prajurit yang mengunjungi desa mereka setelah revolusi.<ref>{{harvnb|JCG, Djaduk Djajakusuma}}; {{harvnb|Said|1982|p=55}}</ref> Pengambilan gambar pada film tersebut dilakukan di [[Wonosari]], pada waktu di tengah kekeringan, untuk memberikan metafora visual pada jiwa-jiwa para prajurit yang tandus.{{sfn|Hoerip|1995|p=28}} Karena penggambarannya takhayul tradisional, film tersebut ini memiliki masalah dengan biro sensor dan kritikus; takhayul dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan modernisasi pada negara baru.{{sfn|Said|1982|p=55}} Peluncuran ''Embun'' membuat Djajakusuma menjadi salah satu dari empat sutradara yang berkarya dengan Perfini; yang lainnya adalah Ismail, Nya Abas Akup, dan Wahyu Sihombing.{{sfn|Anwar|2004|p=84}}
Produksi Djajakusuma berikutnya, ''Terimalah Laguku'' (1952), adalah sebuah [[film musikal|musikal]] tertang seorang musisi tua yang miskin yang menjual saksofonnya untuk membantu karir mantan muridnya.{{sfn|Hoerip|1995|pp=39–40}} Meskipun kualitas teknikal film tersebut rendah, ketika ia kembali ke Indonesia pada 1953 Ismail menyenangi pekerjaan tersebut, menyatakan bahwa proses penyuntingannya dilakukan dengan baik. Pada tahun berikutnya, Ismail menyampaikan informasi yang ia dapatkan di UCLA kepada staf Perfini; setelah itu, Djajakusuma mempelajarinya dengan cermat.{{sfn|Hoerip|1995|p=29}} Dilanjutkan dengan ''[[Harimau Tjampa]]'' pada 1953, sebuah film mengenai seorang pria yang dendam terhadap pembunuh ayahnya. Dengan berlatar belakang [[orang Minangkabau|budaya Minang]],{{sfn|Marselli 1987, Mengenang D. Djajakusuma}} film tersebut memperlihatkan keterbukaan pertama pada produksi domestik{{sfn|Imanjaya|2006|pp=107–108}} dan mendapatkan tanggapan yang bagus.{{sfn|Hoerip|1995|p=29}}
[[File:D. Djajakusuma boarding ship Perfini booklet p22.JPG|thumb|Djajakusuma membuat sebuah kapal untuk menuju ke [[Sumatra]] saat pemfilman ''Arni'', {{circa}} 1955]]
Pada 1954, Djajakusuma menyutradarai dua film komedi yakni ''Putri dari Medan'' dan ''Mertua Sinting''. Film yang pertama adalah film mengenai tiga pemuda yang memutuskan untuk tidak akan menikah, namun keputusan mereka goyah setelah setelah bertemu dengan beberapa wanita dari [[Medan]],{{sfn|Filmindonesia.or.id, Putri dari Medan}} sementara yang kedua menceritakan tentang seorang pria yang menolak pilihan pasangan dari putranya karena bukan keturunan bangsawan, yang ternyata tidak mengetahui bahwa ia memilih wanita yang sama dengan istri putranya.{{sfn|Filmindonesia.or.id, Mertua Sinting}} Pada tahun berikutnya, Djajakusuma membantu pendirian Persatuan Artis Film Indonesia atau PARFI.{{sfn|Darmawi 1982, Djadoeg Djajakusuma}} Satu-satunya film buatannya pada tahun tersebut, sebuah drama yang berjudul ''Arni'', menceritakan tentang seorang pria yang [[poligami|menikahi wanita lainnya]] sementara istrinya yang sakit pergi ke [[Padang]], [[Sumatra]] untuk menjalani pengobatan.{{sfn|Filmindonesia.or.id, Arni}}
Djajakusuma belajar sinematografi di Amerika Serikat, pertama di [[Universitas Washington]] di [[Seattle]], kemudian di [[Sekolah Seni Sinematik USC|Sekolah Seni Sinematik]] [[Universitas California Selatan]], dari 1956 sampai 1957.{{sfn|Darmawi 1982, Djadoeg Djajakusuma}} Ketika ia kembali ke Indonesia, ia bekerja dengan Ismail dan seorang karyawan Perfini yang bernama [[Asrul Sani]] untuk mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia, dengan mengenalkan realisme; tokoh drama Indonesia [[Putu Wijaya]] menyatakan bahwa realisme yang diperkenalkan oleh Akademi tersebut lebih berunsur Indonesia ketimbang Barat,{{sfn|National Library of Indonesia, Pandangan Tokoh: Putu Wijaya}} walaupun Djajakusuma mendapatkan inspirasi dari gerakan [[Neorealisme (seni)|neorealis]] Italia.{{sfn|Biran|2009|p=334}} Djajakusuma menjadi pengajar di akademi tersebut sampai 1970, dan para muridnya mengenalnya sebagai orang yang humoris dan gampang untuk didekati.{{sfn|Hoerip|1995|p=31}}
Ketika pulang ke Indonesia, Djajakusuma mulai membuat sebuah karya yang berjudul ''[[Tjambuk Api]]'', yang mengkritik [[korupsi di Indonesia]]
Ia kemudian menyutradarai drama ''Pak Prawiro'', yang disponsori oleh Bank Tabungan Pos
Pada periode ini, ia mempelajari teater tradisional India, dengan cara mengunjungi [[Kalkuta]], [[Chennai|Madras]], dan [[New Delhi]]; ia berharap agar kunjungan tersebut dapat menginspirasikannya dalam memfilmkan cerita-cerita tradisional asal Indonesia.<ref>{{harvnb|Berita Buana 1975, Djaduk Djajakusuma Mengenal Wayang}}; {{harvnb|Hoerip|1995|p=106}}</ref>
Pada 1960, Djajakusuma meluncurkan film pertamanya yang berdasarkan pada cerita pewayangan tradisional, ''Lahirnja Gatotkatja'';<ref>{{harvnb|Suara Karya 1987, D.Djajakusuma}}; {{harvnb|Filmindonesia.or.id, Filmografi}}</ref> sebuah pertunjukan boneka tradisional yang ia tonton semasa kecil, dengan karakter utama yang bernama [[Ghatotkacha|Gatotkaca]].{{sfn|Berita Buana 1975, Djaduk Djajakusuma Mengenal Wayang}} Pengambilan gambar pada film tersebut dilakukan di Yogyakarta dengan pemeran utama dari Jakarta dan pemeran lokal sebagai pemain latar belakang.{{sfn|Nasional 1960, (Untitled)}} Namun, film tersebut menuai kontroversi: [[dalang]] dan golongan lainnya dalam berhubungan dengan wayang berpendapat bahwa sutradara tersebut menghiraukan banyak aspek tradisional pada cerita pewayangan.{{sfn|Hoerip|1995|p=30}} Pada tahun tersebut, Djajakusuma juga bertugas sebagai [[Unit manajer produksi|manajer produksi]] untuk ''[[Pedjuang]]'' karya Ismail{{sfn|Hoerip|1995|p=30}} dan menyutradarai ''Mak Tjomblang'', sebuah film komedi yang diadaptasi dari drama ''[[Pernikahan (sandiwara)|Pernikahan]]'' dari tahun 1842 buatan [[Nikolai Gogol]].{{sfn|Filmindonesia.or.id, Mak Tjomblang}}
Djajakusuma meluncurkan komedi lainnya, ''Masa Topan dan Badai'', pada 1963; film tersebut menceritakan tentang sebuah keluarga dinamis yang didalamnya terdapat ayah yang konservatif, ibu yang liberal, dan dua putri mereka yang telah remaja yang berada dalam pergolakan pada masa remaja.{{sfn|Filmindonesia.or.id, Masa Topan dan Badai}} Pada tahun berikutnya, Djajakusuma menyutradarai film terakhirnya dengan Perfini, ''Rimba Bergema'', yang mempromosikan industri [[karet alam|karet]] negara.{{sfn|Filmindonesia.or.id, Rimba Bergema}} Pada tahun tersebut, ia membantu mendirikan Persatuan Karyawan Film dan TV,{{sfn|Darmawi 1982, Djadoeg Djajakusuma}} sebuah respon dari Liga Film Indonesia yang didukung oleh [[Lembaga Kebudajaan Rakjat|Lekra]].{{sfn|Hoerip|1995|p=58}} Seperti halnya Ismail dan sebagian besar karyawan Perfini, Djajakusuma sangat menentang Lekra yang berafiliasi dengan [[Partai Komunis Indonesia|komunis]]; kelompok kebudayaan ini juga memusuhi orang-orang yang berafiliasi dengan Perfini.{{sfn|Said|1982|pp=65–68}}
===Karir selanjutnya===
{{multiple image
| align = right
| direction = vertical
| header =
| width = 300
| image1 =Wayang Wong Bharata Pandawa.jpg
| alt1 = Sebuah penampilan wayang orang
| image2 = Lenong at Batavia Festival 2012.jpg
| alt2 = Sebuah penampilan lenong
| footer = Djajakusuma mempromosikan modernisasi [[wayang wong|wayang orang]] (atas) dan revitalisasi [[lenong]].
}}
Setelah akhir masanya dengan Perfini, Djajakusuma kembali aktif dalam kesenian tradisional. Ia menyempatkan sebagian besar waktu untuk mempromosikan wayang. Pada 1967, ia membentuk Festival Wayang Nasional,{{sfn|Suara Karya 1987, D.Djajakusuma}} yang tak lama kemudian bubar karena kekurangan dana.{{sfn|Panembahan 1987, Barangkali, 40 pCt Manusia}} Pada 1967, ia menyutradarai sebuah film yang terinspirasi dari wayang berjudul ''Bimo Kroda'' pada Pantja Murti Film,{{sfn|Hoerip|1995|p=47}} yang menggunakan penggambaran [[Pandawa]] – orang-orang bersaudara dalam epik Hindu ''[[Mahabharata|Mahābhārata]]'' – untuk mewakili penculikan dan serangkaian pembunuhan lima jenderal tentara saat [[Gerakan 30 September]] pada 1965.{{sfn|Marselli 1987, Mengenang D. Djajakusuma}} Keterlibatan Djajakusuma dengan wayang berlanjut sampai awal 1970an; ia mengatur dua Wayang Mingguan, pada 1970 dan 1974, serta festival wayang nasional pada 1977.{{sfn|Suara Karya 1987, D.Djajakusuma}} Lebih lanjut, ia mendirikan dua kelompok [[wayang wong|wayang orang]], Jaya Budaya (1971) dan Bharata (1973), dengan harapan agar kebudayaan tersebut tetap bertahan dari arus modernisasi.{{sfn|Hoerip|1995|pp=32, 106}}
Djajakusuma membantu mempromosikan jenis-jenis kesenian seperti [[lenong]] dari [[suku Betawi]] dan [[ludruk]] dari [[suku Jawa]] selama beberapa tahun.<ref>{{harvnb|Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma}}; {{harvnb|Kadarjono|1970|p=25}}</ref> Secara khusus, ia memutuskan untuk merevitalisasikan lenong.{{efn|Sarjana kebudayaan Indonesia S. M. Ardan menganggap Djajakusuma sebagai pasukan penyetir di belakang revitalisasi lenong {{harv|Ardan 1987, Djaduk Djajakusuma}}, dan pakar biografi Satyagraha Hoerip mendedikasikan beberapa halaman untuk keterlibatan Djajakusuma pada lenong, sebuah tingkat detail yang dapat dilihat selain peran Djajakusuma dalam memodernisasikan wayang orang. Menurut Ardan, ia mengkredit Djajakusuma dengan revitalisasi; tidak seperti Ardan, ia menyatakan bahwa dua tokoh kebudayaan lainnya (Soemantri Sastro Suwondho dan Ardan) membantu menyelamatkan bentuk kesenian drama tersebut {{harv|Hoerip|1995|pp=69–73}}.}} Pada permulaan 1968, Djajakusuma tampil di televisi sebagai seorang advokat lenong, yang biasanya hanya terhadap di pedesaan dan terancam punah. Ia kemudian mengajarkan pengetahuan populer tentang kesenian serta memberi upah kepada pemain pertunjukan tersebut.{{sfn|Hoerip|1995|pp=69–71}} Pada 1970an, ''lenong'' ditampilkan di [[Taman Ismail Marzuki]] untuk memukaukan para penonton,<ref>{{harvnb|Ardan 1987, Djaduk Djajakusuma}}; {{harvnb|Hoerip|1995|p=71}}</ref> dan beberapa pemain lenong mendapatkan pengakuan utama pada industri film.{{sfn|Loven|2008|pp=78–79}}
Djajakusuma juga mempromosikan aktifitas kebudayaan non-tradisional yang modern dan luar negeri. Pada 1968, ia menjadi kepala Dewan Kesenian Jakarta, posisi tersebut ia pegang sampai 1977,{{sfn|Darmawi 1982, Djadoeg Djajakusuma}} dan pada 1970, ia mengadakan festival musik [[keroncong]].{{sfn|Dharyono 1987, Selamat Jalan Djadug Djajakoesoema}} Berawal dari pendirian sebuah sekolah pada 1970, ia menjadi pengajar di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, kemudian Institut Kesenian Jakarta atau IKJ sebagai pengajar sinematografi. Demi lebih mendalami dunia teater, pada 1977, ia pergi ke Jepang dan Tiongkok untuk mempelajari tradisi mereka.{{sfn|Hoerip|1995|p=69}} Ia kemudian mengenalkan para muridnya berbagai pertunjukan panggung, yang meliputi ''[[noh]]'' yang diadaptasi dari Jepang dan [[opera Tiongkok]];{{sfn|Hoerip|1995|p=32}} beberapa diantaranya ditampilkan di Taman Ismail Marzuki.{{sfn|JCG, Djaduk Djajakusuma}} Pada 1970an, Djajakusuma memegang berbagai posisi dalam organisasi-organisasi film, meliputi anggota Dewan Film (1974–76), anggota Badan Pengawas Penyiaran Radio dan TV (1976), dan anggota Biro Pengembangan Film Nasional (1977–78).{{sfn|Hoerip|1995|pp=106–107}}
Namun, produktifitas Djajakusuma dalam industri film menurun. Pada 1971, ia menyutradarai film terakhir-nya yakni ''Api di Bukit Menoreh'' dan ''[[Malin Kundang (film)|Malin Kundang (Anak Durhaka)]]''. Film yang pertama, diluncurkan oleh Penas Film Studio dan berdasarkan pada sebuah novel karya Singgih Hadi Mintardja, menceritakan parap prajurit dari [[Kerajaan Pajang]] dalam pertempuran mereka melawan para prajurit dari kerajaan Jipang.{{sfn|Hoerip|1995|pp=49–50}} Film yang kedua adalah sebuah adaptasi dari [[Malin Kundang|legenda Melayu]] dengan nama yang sama.{{sfn|Darmawi 1982, Djadoeg Djajakusuma}} Dibintangi oleh [[Rano Karno]] dan Putu Wijaya sebagai karakter utama, film tersebut menceritakan tentang seorang pemuda yang lupa daratan setelah menghabiskan masa kecilnya di lautan. {{sfn|Hoerip|1995|pp=52–53}} Pada tahun 1977, perannya dalam membantu pembuatan sebuah film komedi karya Fritz G. Schadt yang berjudul ''Bang Kojak'' (1977) merupakan peran terakhirnya sebagai pembuat film.{{sfn|Hoerip|1995|p=30}}
===Tahun-tahun terakhir dan kematian===
Pada 1977, Djajakusuma bertugas menjadi juri [[Festival Film Indonesia]] (FFI).{{efn|Djajakusuma bertugas sebagai juri selama beberapa waktu {{harv|Panembahan 1987, Barangkali, 40 pCt Manusia}}.}} Ketika ia sedang membacakan keputusan, ia pingsan dan segera dilarikan ke rumah sakit, sementara Rosihan Anwar menyelesaikan pembacaannya.{{sfn|Ardan 1987, Djaduk Djajakusuma}} Tetangga Djajakusuma dan kolaborator akrab [[Taufiq Ismail]] mengatakan kepada wartawan bahwa kejadian tersebut bukanlah kali pertama kondisi Djajakusuma menurun.{{sfn|National Library of Indonesia, Pandangan Tokoh: Taufiq Ismail}} Kesehatan Djajakusuma semakin menurun secara berkelanjutan pada tahun-tahun terakhirnya,{{sfn|Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma}} dikarenakan tekanan darah tinggi.{{sfn|Suara Karya 1987, D.Djajakusuma}}
Meskipun kesehatannya mulai menurun, Djajakusuma tetap aktif dalam bidang kesenian. Pada 1980, ia mengadakan penampilan film terakhir-nya, dan satu-satunya peran pada layar lebar, dengan berakting dalam ''[[Perempuan dalam Pasungan]]'' karya Ismail Soebardjo.<ref>{{harvnb|Filmindonesia.or.id, Filmografi}}; {{harvnb|Filmindonesia.or.id, Perempuan dalam Pasungan}}</ref> Ia dan [[Sofia WD]] berperan sebagai orangtua yang menahan putri mereka pada sebuah [[pasung]] untuk menghukumnya karena tidak patuh;{{sfn|Hoerip|1995|p=55}} dalam sebuah wawancara dengan ''[[Suara Karya]]'', Soebardjo menyatakan bahwa, pada waktu ia menuliskan film tersebut, ia hanya menempatkan Djajakusuma sebagai pemeran.{{sfn|Iskandar 1983, Sebagia Besar Hidupnya}} ''Perempuan dalam Pasungan'' memenangkan [[Penghargaan FFI untuk Film Bioskop Terbaik]] pada Festival Film Indonesia 1981,{{Sfn|Hoerip|1995|p=31}} dan Djajakusuma berniat ingin membintangi film-film lainnya, namun, tidak pernah terealisasikan.{{sfn|Panembahan 1987, Barangkali, 40 pCt Manusia}} Pada 1983 Djajakusuma menjabat sebagai kepala Fakultas Kesenian di IKJ,<ref>{{harvnb|Darmawi 1982, Djadoeg Djajakusuma}}; {{harvnb|Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma}}</ref> dan pada 1984, ia dapat ke [[Festival Tiga Benua]] di [[Nantes]], Perancis, dimana dua filmnya diputar untuk dinilai.{{sfn|Marselli 1987, Mengenang D. Djajakusuma}}
Pada awal 1987, Djajakusuma didiagnosa telah mengidap [[serangan jantung]] oleh dokternya, yang membuat Djajakusuma mulai melakukan diet dan berhenti merokok.{{sfn|Suara Karya 1987, D.Djajakusuma}} Ia masih sangat dihormati dengan kalangan perfilman Indonesia, namun tidak senang dengan kondisi industri film pada negara tersebut, yang ia anggap telah diambang kehancuran. Ia menyalahkan [[imperialisme budaya]] Amerika, dalam artian sebagian besar menyukai penayangan film-film asing, khususnya yang berasal dari Hollywood, dan para pemuda Indonesia tidak lagi menciptakan identitasi tersendiri dari Indonesia.<ref>{{harvnb|Panembahan 1987, Barangkali, 40 pCt Manusia}}; {{harvnb|Hoerip|1995|p=59}}</ref>
Djajakusuma pingsan pada 28 Oktober 1987 saat memberikan pidato pada upacara peringatan [[Sumpah Pemuda]] di IKJ. Setelah dibawa ke Rumah Sakit Umum Cikini, ia dinyatakan meninggal pada pukul 10:05 waktu setempat (UTC+7). Ia dikuburkan di [[TPU Karet Bivak]] pada sore hari, setelah upacara pemakaman di IKJ yang dipimpin oleh penulis [[Sutan Takdir Alisjahbana]] dan disembahyangkan di Masjid Amir Hamzah di Taman Ismail Marzuki yang dipimpin oleh penyair Taufiq Ismail.<ref>{{harvnb|Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma}}; {{harvnb|Suara Karya 1987, D.Djajakusuma}}</ref> Diantara para pelayat yang datang, hadir pula mantan Menteri Informasi [[Boediardjo]], Menteri Pendidikan dan Kebudayaan [[Fuad Hassan]], dan Deputi Gubernur Jakarta Anwar Umar.{{sfn|Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma}}
Djajakusuma tidak pernah menikah, namun meninggalkan beberapa keponakan dan sepupu yang telah ia anggap sebagai anaknya sendiri.<ref>{{harvnb|Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma}}; {{harvnb|Suara Karya 1987, D.Djajakusuma}}</ref> Setelah kematiannya, surat kabar di Jakarta mengumumkan berita kematiannya melalui laporan para tokoh kebudayaan dan film seperti Alisjahbana, produser [[Misbach Yusa Biran]], dan kameramen Perfini Soemardjono. Berita kematian tersebut juga berisi tentang peran Djajakusuma dalam pengembangan industri film Indonesian dan pelestarian kebudayaan tradisional. Dalam sebuah upacara peringatan hari kematian Djajakusuma yang kelima, seluruh dokumen dan bukunya disumbangkan ke perpustakaan IKJ.{{sfn|Hoerip|1995|pp=80–84}}
==Gaya==
[[File:Lahirnja Gatotkatja Nasional 26 September 1960 p3.jpg|thumb|left|Set film karya Djajakusuma pada 1960 yang berjudul ''Lahirnja Gatotkatja''; film tersebut merupakan salah satu dari dua film yang ia sutradarai yang sangat dipengaruhi oleh cerita-cerita [[wayang]].]]
Seperti halnya Usmar Ismail, Djajakusuma dipengaruhi oleh realisme. Namun, sementara Ismail lebih berfokus pada tema yang tingkatannya nasional, Djajakusuma dapat dikatakan lebih sederhana, yang secara lokal alur ceritanya relevan dengan pesan mendidik.{{sfn|Marselli 1987, Mengenang D. Djajakusuma}} Realisme ini dimasukkan ke dalam adegan pewayangan karya Djajakusuma. Latar panggungnya, yang terlihat tradisional, dibuat dalam bentuk [[latar teatrikal|set]] tiga dimensi, termasuk tiruan pohon, batu, dan air.{{sfn|Berita Buana 1975, Djaduk Djajakusuma Pencetus}} Menurut Soemardjono, yang sering menyunting film-film Djajakusuma, sutradara tersebut menikmati percobaan dengan teknik baru
Djajakusuma sering memasukkan kesenian tradisional ke dalam film-filmnya,{{sfn|Setiawan 2009, National Film Month}}
|