Macapat: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Relly Komaruzaman (bicara | kontrib)
k ←Suntingan Yukni (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Relly Komaruzaman
Knightwell20 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler Suntingan aplikasi Android App full source
 
(65 revisi perantara oleh 41 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
[[Berkas:Gamelan Performance by Pasinaon Omah Kendeng 02.jpg|ka|jmpl|350px|Anak-anak dari Pasinaon Omah Kendheng membawakan macapat pada Festival Cipta Media Ekspresi di Taman Budaya Yogyakarta.]]
'''Macapat''' adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut ''gatra'', dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (''guru wilangan'') tertentu, dan berakhir pada bunyi sajak akhir yang disebut ''guru lagu''.<ref>Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan</ref> Macapat dengan nama lain juga bisa ditemukan dalam kebudayaan [[Bali]]<ref>Hinzler (1994:v-vi)</ref>, [[Lombok|Sasak]]<ref name="meij170>{{Harvnb|Van der Meij|2002|p=170}}</ref>, [[Suku Madura|Madura]]<ref>Sudjarwadi et al (1980)</ref>, dan [[Sunda]]. Selain itu macapat juga pernah ditemukan di Palembang<ref>Drewes (1977:198-217)</ref> dan Banjarmasin.<ref>Koroh et al. (1977:27-29) dikutip dari Arps (1992:7)</ref> Biasanya macapat diartikan sebagai ''maca papat-papat'' (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata.<ref name="arps62">{{Harvnb|Arps|1992|p=62-63}}</ref> Namun ini bukan satu-satunya arti, penafsiran lainnya ada pula.<ref name="arps62"/> Macapat diperkirakan muncul pada akhir [[Majapahit]] dan dimulainya pengaruh [[Walisanga]], namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di [[Jawa Tengah]].<ref name="pigeaud20">{{Harvnb|Pigeaud|1967|p=20}}</ref> Sebab, di [[Jawa Timur]] dan [[Bali]] macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.<ref name="pigeaud20"/>
'''Macapat''' ({{lang-jv|ꦩꦕꦥꦠ꧀}}) adalah tembang atau puisi tradisional [[suku Jawa|Jawa]]. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut ''gatra''. Setiap ''gatra'' mempunyai sejumlah suku kata (''guru wilangan'') tertentu dan berakhir pada bunyi sajak akhir yang disebut ''guru lagu''.<ref>Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan</ref>
 
Macapat dengan nama lain juga bisa ditemukan dalam kebudayaan [[Bali]],<ref>Hinzler (1994:v-vi)</ref> [[Lombok|Sasak]],<ref name="meij170">{{Harvnb|Van der Meij|2002|p=170}}</ref> [[Suku Madura|Madura]],<ref>Sudjarwadi et al (1980)</ref><ref>{{Cite journal|last=Effendy|first=Moh Hafid|date=2021-01-30|title=Nilai Religius pada Kearifan Lokal Tembang Macapat Madura|url=https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/kt/article/view/10959|journal=Khazanah Theologia|volume=3|issue=1|pages=1–12|doi=10.15575/kt.v3i1.10959|issn=2715-9701}}</ref> dan [[Sunda]]. Selain itu, macapat juga pernah ditemukan di Palembang<ref>Drewes (1977:198-217)</ref> dan Banjarmasin.<ref>Koroh et al. (1977:27-29) dikutip dari Arps (1992:7)</ref>
Karya-karya kesusastraan klasik Jawa dari masa [[Mataram Baru]], pada umumnya ditulis menggunakan metrum macapat.<ref name="ras309">{{Harvnb|Ras|1982|p=309}}</ref>. Sebuah tulisan dalam bentuk prosa atau ''gancaran'' pada umumnya tidak dianggap sebagai hasil karya sastra namun hanya semacam 'daftar isi' saja.<ref name="ras309"/> Beberapa contoh karya sastra Jawa yang ditulis dalam tembang macapat termasuk ''[[Serat Wedhatama]]''<ref>Ras 1982:313</ref>, ''[[Serat Wulangreh]]''<ref>Ras 1982:314</ref>, dan ''[[Serat Kalatidha]]''.<ref>{{cite web|url=http://www.muurgedichten.nl/ranggawarsita.html |title=Ranggawarsita , serat Kalatidha - Een duistere tijd|accessdate=2010-05-2}}</ref>
 
Macapat diperkirakan muncul pada akhir [[Majapahit]] dan dimulainya pengaruh [[Walisanga]], tetapi hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di [[Jawa Tengah]].<ref name="pigeaud20">{{Harvnb|Pigeaud|1967|p=20}}</ref> Sebab, di [[Jawa Timur]] dan [[Bali]] macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.<ref name="pigeaud20"/>
Puisi tradisional Jawa atau tembang biasanya dibagi menjadi tiga kategori: ''tembang cilik'', ''tembang tengahan'' dan ''tembang gedhé''.<ref name="arps14">{{Harvnb|Arps|1992|p=14-15}}</ref> Macapat digolongkan kepada kepada kategori ''tembang cilik'' dan juga ''tembang tengahan'', sementara ''tembang gedhé'' berdasarkan [[kakawin]] atau puisi tradisional Jawa Kuna, namun dalam penggunaannya pada masa Mataram Baru, tidak diterapkan perbedaan antara suku kata panjang ataupun pendek.<ref name="arps14"/> Di sisi lain ''tembang tengahan'' juga bisa merujuk kepada ''[[kidung]]'', puisi tradisional dalam bahasa Jawa Pertengahan.<ref>Arps (1996:51)</ref>
Karya-karya kesusastraan klasik Jawa dari masa [[Mataram Baru]] pada umumnya ditulis menggunakan metrum macapat.<ref name="ras309">{{Harvnb|Ras|1982|p=309}}</ref> Sebuah tulisan dalam bentuk prosa atau ''gancaran'' pada umumnya tidak dianggap sebagai hasil karya sastra, tetapi hanya semacam "daftar isi" saja.<ref name="ras309"/> Beberapa contoh karya sastra Jawa yang ditulis dalam tembang macapat termasuk ''[[Serat Wedhatama]]'',<ref>Ras 1982:313</ref> ''[[Serat Wulangreh]]'',<ref>Ras 1982:314</ref> dan ''[[Serat Kalatidha]]''.<ref>{{cite web|url=http://www.muurgedichten.nl/ranggawarsita.html|title=Ranggawarsita , serat Kalatidha - Een duistere tijd|accessdate=2010-05-2|archive-date=2010-04-26|archive-url=https://web.archive.org/web/20100426091041/http://www.muurgedichten.nl/ranggawarsita.html|dead-url=yes}}</ref>
 
Puisi tradisional Jawa atau tembang biasanya dibagi menjadi tiga kategori: ''tembang cilik'', ''tembang tengahan'', dan ''tembang gedhé''.<ref name="arps14">{{Harvnb|Arps|1992|p=14-15}}</ref> Macapat digolongkan kepada kategori ''tembang cilik'' dan juga ''tembang tengahan'', sementara ''tembang gedhé'' berdasarkan [[kakawin]] atau puisi tradisional Jawa Kuno, tetapi dalam penggunaannya pada masa Mataram Baru, tidak diterapkan perbedaan antara suku kata panjang ataupun pendek.<ref name="arps14"/> Di sisi lain, ''tembang tengahan'' juga bisa merujuk kepada ''[[kidung]]'', yakni puisi tradisional dalam [[bahasa Jawa]] Pertengahan.<ref>Arps (1996:51)</ref>
Kalau dibandingkan dengan [[kakawin]], aturan-aturan dalam macapat berbeda dan lebih mudah diterapkan menggunakan bahasa Jawa karena berbeda dengan kakawin yang didasarkan pada [[bahasa Sanskerta]], dalam macapat perbedaan antara suku kata panjang dan pendek diabaikan.<ref name="arps14"/>
 
Jika dibandingkan dengan [[kakawin]], aturan-aturan dalam macapat berbeda dan lebih mudah diterapkan menggunakan bahasa Jawa, karena berbeda dengan kakawin yang didasarkan pada [[bahasa Sanskerta]]. Dalam macapat, perbedaan antara suku kata panjang dan pendek diabaikan.<ref name="arps14"/>
 
== Etimologi ==
Pada umumnya, kata macapat diartikanberasal sebagaidari [[lakuran]] ''maca papat-papat'' (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata.<ref name="arps62">{{Harvnb|Arps|1992|p=62-63}}</ref> Namun, ini bukan satu-satunya arti, penafsiran lainnya ada pula.<ref name="arps62"/> Seorang pakar Sastra Jawa, [[Bernard Arps|Arps]] menguraikan beberapa arti-arti lainnya di dalam bukunya ''Tembang in twoTwo traditionsTraditions''.<ref name="arps62"/>
 
Selain yang telah disebut di atas, arti lainnya ialah bahwa ''-pat'' merujuk kepada jumlah tanda [[diakritik]] (''sandhangan'') dalam [[aksara Jawa]] yang relevan dalam penembangan macapat.<ref name="arps62"/> Kemudian, menurut ''[[Serat Mardawalagu]]'' yang dikarang oleh [[Ranggawarsita]], macapat merupakan singkatan dari frasa ''maca-pat-lagu'' yang artinya ialah "melagukan nada keempat".<ref name="arps62"/> Selain ''maca-pat-lagu'', masih ada lagi ''maca-sa-lagu'', ''maca-ro-lagu'', dan ''maca-tri-lagu''.<ref name="arps62"/> Konon ''maca-sa'' termasuk kategori tertua dan diciptakan oleh para dewa dan diturunkan kepada Pandita Walmiki dan diperbanyak oleh sang pujangga istana Yogiswara dari Kediri.<ref name="arps62"/> Ternyata, ini termasuk kategori yang sekarang disebut dengan nama ''[[kakawin|tembang gedhé]]''.<ref name="arps62"/> ''Maca-ro'' termasuk tipe ''tembang gedhé'', di mana jumlah bait per pupuh bisa kurang dari empat, sementara jumlah suku kata dalam setiap bait tidak selalu sama. Tipe ini diciptakan oleh Yogiswara.<ref name="arps62"/> ''Maca-tri'' adalah ''tembang tengahan'' yang konon diciptakan oleh Resi Wiratmaka, pandita istana Janggala dan disempurnakan oleh Pangeran Panji Inokartapati dan saudaranya.<ref name="arps62"/> Dan akhirnya, ''macapat'' atau ''tembang cilik'' diciptakan oleh [[Sunan Bonang]] dan diturunkan kepada semua [[Walisongo|wali]].<ref name="arps62"/>
Selain yang telah disebut di atas ini, arti lainnya ialah bahwa ''-pat'' merujuk kepada jumlah tanda diakritis (''sandhangan'') dalam [[aksara Jawa]] yang relevan dalam penembangan macapat.<ref name="arps62"/>
 
Kemudian menurut ''[[Serat Mardawalagu]]'', yang dikarang oleh [[Ranggawarsita]], macapat merupakan singkatan dari frasa ''maca-pat-lagu'' yang artinya ialah "melagukan nada keempat".<ref name="arps62"/> Selain ''maca-pat-lagu'', masih ada lagi ''maca-sa-lagu'', ''maca-ro-lagu'' dan ''maca-tri-lagu''.<ref name="arps62"/> Konon ''maca-sa'' termasuk kategori tertua dan diciptakan oleh para Dewa dan diturunkan kepada pandita Walmiki dan diperbanyak oleh sang pujangga istana Yogiswara dari Kediri.<ref name="arps62"/> Ternyata ini termasuk kategori yang sekarang disebut dengan nama ''[[kakawin|tembang gedhé]]''.<ref name="arps62"/> ''Maca-ro'' termasuk tipe ''tembang gedhé'' di mana jumlah bait per pupuh bisa kurang dari empat sementara jumlah sukukata dalam setiap bait tidak selalu sama dan diciptakan oleh Yogiswara.<ref name="arps62"/> ''Maca-tri'' atau kategori yang ketiga adalah ''tembang tengahan'' yang konon diciptakan oleh Resi Wiratmaka, pandita istana Janggala dan disempurnakan oleh Pangeran Panji Inokartapati dan saudaranya.<ref name="arps62"/> Dan akhirnya, ''macapat'' atau ''tembang cilik'' diciptakan oleh Sunan Bonang dan diturunkan kepada semua wali.<ref name="arps62"/>
 
== Sejarah macapat ==
Secara umum, diperkirakan bahwa macapat muncul pada akhir masa [[Majapahit]] dan dimulainya pengaruh [[Walisanga]], namuntetapi hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di [[Jawa Tengah]].<ref name="pigeaud20">{{Harvnb|Pigeaud|1967|p=20}}</ref> Sebab di [[Jawa Timur]] dan [[Bali]] macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.<ref name="pigeaud20"/> Sebagai contoh, ada sebuah teks dari Bali atau Jawa Timur yang dikenal dengan judul ''Kidung Ranggalawé'' dikatakan telah selesai ditulis pada tahun 1334 Masehi.<ref name="arps14"/> Namun, di sisi lain, tarikh ini disangsikan karena karya ini hanya dikenal versinya yang lebih mutakhir dan semua naskah yang memuat teks ini berasal dari Bali.<ref>Menurut Robson (1979:306) dan Damais (1958:55-57) yang dikutip oleh Arps (1992:14)</ref>
 
Sementara itu, mengenai usia macapat, terutama hubungannya dengan [[kakawin]], dan mana yang lebih tua, terdapat dua pendapat yang berbeda. Prijohoetomo berpendapat bahwa macapat merupakan turunan kakawin dengan ''tembang gedhé'' sebagai perantara.<ref>{{Harvnb|Prijohoetomo|1934|p=?}}</ref> Pendapat ini disangkal oleh Poerbatjaraka dan Zoetmulder. Menurut kedua pakar ini, macapat sebagai metrum puisi asli Jawa lebih tua usianya daripada kakawin. Maka, macapat baru muncul setelah pengaruh India semakinmakin pudar.
 
== Struktur macapat ==
Sebuah karya sastra macapat biasanya dibagi menjadi beberapa ''pupuh'', sementara setiap ''pupuh'' dibagi menjadi beberapa ''pada''.<ref name="ras309">{{Harvnb|Ras|1982|p=309}}</ref> Setiap ''pupuh'' menggunakan metrum yang sama. Metrum ini biasanya tergantung kepada ''watak'' isi teks yang diceritakan.<ref name="ras309"/>
 
Jumlah ''pada'' per ''pupuh'' berbeda-beda, tergantung terhadap jumlah teks yang digunakan.<ref name="ras309"/> Sementara setiap pada dibagi lagi menjadi ''larik'' atau ''gatra''.<ref name="ras309"/> Sementara setiap ''larik'' atau ''gatra'' ini dibagi lagi menjadi suku kata atau ''wanda''.<ref name="ras309"/> Setiap ''gatra'' jadi memiliki jumlah suku kata yang tetap dan berakhir dengan sebuah vokal yang sama pula.<ref name="ras309"/>
 
Aturan mengenai penggunaan jumlah suku kata ini diberi nama ''guru wilangan''.<ref name="ras309"/> Sementara aturan pemakaian vokal akhir setiap ''larik'' atau ''gatra'' diberi nama ''guru lagu''.<ref name="ras309"/>
 
== Jenis metrum macapat ==
{{More citations needed section|date=December 2024}}
Jumlah metrum baku macapat ada limabelas buah. Lalu metrum-metrum ini dibagi menjadi tiga jenis, yaitu ''tembang cilik'', ''tembang tengahan'' dan ''tembang gedhé''. Kategori ''tembang cilik'' memuat sembilan metrum, ''tembang tengahan'' enam metrum dan ''tembang gedhé'' satu metrum.
Jumlah metrum baku macapat ada lima belas buah. Lalu, metrum-metrum ini dibagi menjadi tiga jenis, yaitu ''tembang cilik'', ''tembang tengahan'' dan ''tembang gedhé''. Kategori ''tembang cilik'' memuat sembilan metrum, ''tembang tengahan'' enam metrum, dan ''tembang gedhé'' satu metrum.
 
Ada beberapa jenis tembang macapat. Masing-masing jenis tembang tersebut memiliki aturan berupa ''guru lagu'' dan ''guru wilangan'' yang berbeda-beda. Ada 11 jenis tembang macapat yang umumnya dikenal, yaitu:
===Pangkur===
''Pangkur''<ref>Menurut ''Serat Purwaukara''.</ref> ([[Hanacaraka]]: ꦥꦁꦏꦸꦂ) berarti buntut atau ekor. Pangkur juga erat kaitannya dengan kata ''mungkur'' yang bermakna membelakangi, karena dalam filosofi Jawa adakalanya manusia itu harus membelakangi segala hiruk-pikuk dunia atau amalan yang cenderung tidak disukai Tuhan Yang Maha Kuasa.
 
Pangkur biasa dipakai di nama kepunggawaan dalam kalangan kependetaan Jawa-Islam dan beberapa kebudayaan Hindu, seperti tercantum dalam piagam-piagam berbahasa Jawa Kuno.
 
Ciri khas dari pangkur adalah terkadang cenderung diberi ''sasmita'' atau isyarat yang diletakkan di awal, di tengah, atau di akhir lagu yang ditembangkan. Contohnya, dari beberapa ''sasmita'' tersebut adalah ''tut pungkur'' (mengekor), ''tut wuntat'' (mengikuti), ''mingkar-mingkur'' (bolak-balik), ''mingkar-mungkur'' (berbalik dan membelakangi sekuat tenaga), dan ''sasmita'' lain yang ber[[homofon]] dan ber[[homonim]] dengan kata pangkur.
 
===Maskumambang===
Maskumambang (Hanacaraka: ꦩꦱ꧀ꦏꦸꦩꦩ꧀ꦧꦁ) berasal dari gabungan dua kata, yakni "''mas''" (emas) dan "''kumambang''" dari kata ''kambang'' (mengambang). Sementara itu, dalam ritus kebudayaan Hindu, ''mas'' dimaknai dari kata "''premas''" yaitu punggawa dalam upacara [[perdukunan|syamanistis]] dan "''kumambang''" dari kata ''kambang'' yang diberi infiks -um-. ''Kambang'' selain berarti terapung, juga berarti ''kamwang'' atau ''kembang''. ''Ambang'' juga ada kaitannya dengan ''ambangse'' yang berarti menembang atau mengidung. Dengan demikian, maskumambang dapat diberi arti punggawa yang melaksanakan upacara syamanistis, mengucap mantra atau lafal dengan menembang disertai sajian bunga. Dalam ''Serat Purwaukara'', maskumambang diberi arti "''ulam toya''" (ikan air tawar) sehingga kadang-kadang diisyaratkan dengan lukisan atau ikan berenang.
 
Sementara itu, dalam filosofi hidup orang Jawa, maskumambang identik dengan kemunculan jabang bayi dalam kandungan. Kehidupan yang akan muncul ditafsirkan sebagai ''mas'' (emas) atau [[embrio]] yang ''kumambang'' ("mengambang") atau bersemayam dalam suatu tempat, yakni [[rahim]] ibu yang sedang mengandung.
 
===Sinom===
Sinom (Hanacaraka: ꦱꦶꦤꦺꦴꦩ꧀) berhubungan dengan kata ''sinoman'', yaitu budaya perkumpulan para pemuda untuk membantu orang yang menyelenggarakan pesta atau hajatan. Pendapat lain menyatakan bahwa sinom ada kaitannya dengan upacara-upacara keagamaan bagi anak-anak muda pada zaman dahulu. Dalam ''Serat Purwaukara'', sinom diberi arti ''sekaring rikma'' atau anak rambut. Selain itu, sinom juga diartikan sebagai daun muda sehingga kadang-kadang diberi isyarat dengan pelukisan daun muda.
 
Pemaknaan sinom dalam budaya Jawa dewasa ini berasal dari kata "''si''" (sang) dan "''(a)nom''" (muda). Bilamana keduanya digabung, maka bermakna "dia sang pemuda" atau "dia yang masih muda". Oleh karenanya, dalam filosofi kebudayaan Jawa, sinom digambarkan sebagai watak dari pemuda yang ingin banyak tahu akan perkara dunia, tak kenal takut, dan selalu ceria.
 
===Asmarandana===
Asmarandana (Hanacaraka: ꦄꦱ꧀ꦩꦫꦟ꧀ꦝꦤ) berasal dari kata ''asmaradhahana'', yang ketika dipenggal menjadi "asmara" (cinta) dan "dhahana" atau "dhana" (api). Dalam mitologi dan kebudayaan Hindu, Hyang Asmara adalah nama dewa percintaan di [[Wayang|pewayangan]] Jawa-Bali. Nama Asmarandana berkaitan dengan peristiwa hangusnya Asmara oleh sorot mata ketiga [[Siwa]] seperti yang disebutkan dalam ''Kakawin Smaradhana'' karya [[Mpu Darmaja]]. Dalam ''Serat Purwaukara'', ''smarandana'' diberi arti "''remen ing paweweh''" yang bermakna suka memberi.
 
Dalam falsafah Jawa, asmarandana adalah tembang yang menggambarkan gejolak cinta seorang pemuda yang kian membara atau berapi-api. Oleh karnanya, di sepanjang pulau Jawa, tembang Jawa Kuno Asmarandana tidak mungkin membawakan kisah kematian atau kesedihan, karena bergesekan dengan pakem rasa atau sudah menjadi selera kukuh orang Jawa.
 
===Dhandhanggula===
Dhandhanggula<ref>Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dieja sebagai "dandanggula"</ref> (Hanacaraka: ꦝꦟ꧀ꦝꦁꦒꦸꦭ) diambil dari nama Raja Kediri, Prabu [[Dhandhanggendis]] atau Rakai Prabu Dhandhanggula yang terkenal sesudah Prabu [[Jayabaya]]. Dalam ''Serat Purwaukara'', dhandhanggula berarti "''ngajeng-ajeng kasaean''" (menanti-nanti kebaikan).
 
Sementara itu, dalam falsafah Jawa, dhandhanggula bermakna panci [[dandang]] yang berisi gula. Hal ini menggambarkan sesuatu yang dikerubungi semut dan mengibaratkan kondisi apabila seseorang yang baik dalam rupa, lahir-batin, serta tingkah lakunya, tentu akan "dikerubungi" (diminati) oleh banyak orang.
 
===Durma===
Durma (Hanacaraka: ꦢꦸꦂꦩ) adalah lakuran dari "''mundur [[Moh limo|Ma lima]]''". ''Moh limo'' atau ''ma lima'' adalah filosofi Jawa mengenai sikap menjauhi atau menolak (''moh'') lima bentuk "ma" (ꦩ), yaitu ''madhat'' ({{lit|[[candu]]}}, maksudnya mabuk akan [[narkoba|zat]]), ''madon'' ({{lit|perempuan}}, maksudnya ber[[zina]] atau melakukan hubungan dengan bukan mahramnya), ''main'' ({{lit|bermain}}, maksudnya permainan yang bersifat [[judi]]), ''minum'' ({{lit|meminum}}, maksudnya mabuk akan [[minuman beralkohol]] atau ''khamr''), dan ''maling'' ({{lit|mencuri}}).
 
Tembang durma juga berwatak atau biasa digunakan dalam suasana galak, seram, atau berani. Selain itu, "''durma''" juga identik dengan kata "derma" (memberi). Berdasarkan makna homofon tersebut, durma memiliki substansi petuah, nasihat, atau kabar menakutkan untuk meningkatkan ketaatan beragama dan sebagainya. Durma memiliki makna pengibaratan, "hanya memberi tak harap kembali" atau "''anut sukur, ora anut nyong ora rugi''" ([[bahasa Jawa Banyumasan]]: (bila) patuh syukur, (bila) tidak patuh saya tidak rugi).{{cn}}
 
Dalam falsafah Jawa, durma identik ditembangkan oleh orang yang sudah berumur kepada para pemuda supaya menjalani kehidupan dengan lebih baik dan benar serta tidak menyalahi larangan Tuhan.
 
===Mijil===
Mijil (Hanacaraka: ꦩꦶꦗꦶꦭ꧀) berasal dari kata ''wijil'' (biji). Mijil bermakna biji yang keluar. Dalam kebudayaan Jawa, mijil adalah pengibaratan atas bayi yang keluar dari rahim ibunya menuju dunia luar yang luas. Biji yang keluar adalah cikal-bakal kehidupan yang berharga, yakni fase dari yang tidak ada, kemudian diadakan, hingga dilahirkan, sebagai bentuk anugerah Tuhan yang amat besar.
 
Menurut filosofi Jawa-Islam, ''wijil'' juga diartikan sebagai pintu/gerbang tercatatnya pahala seseorang yang perlu dipelihara hingga ia kanak-kanak dan beranjak dewasa dan siap menghadapi kehidupan.
 
===Kinanthi===
Kinanthi (Hanacaraka: ꦏꦶꦤꦟ꧀ꦛꦶ) berarti menimang, bergandengan, atau berteman mesra. Dalam metafora Jawa, kinanthi digambarkan sebagai kedua orang tua yang terkelu namun bahagia sembari melihat buah hatinya setelah kelahiran hingga sesaat sebelum ia mengalami keremajaan (yang ditandai dengan akil balig dan munculnya romansa cinta). Oleh karenanya, kinanthi menggambarkan harapan orang tua supaya anak menjadi seseorang yang membanggakan dan berbakti kepada orang tua, suku, bangsa, negara, dan agamanya. Dari arti itu, tembang kinanthi berwatak suasana mesra dan senang penuh harap.
 
===Gambuh===
Gambuh (Hanacaraka: ꦒꦩ꧀ꦧꦸꦃ) berasal dari kata ''jumbuh'' (tepat atau sesuai selera). Gambuh adalah metafora dari anak kecil yang cenderung lugu, polos, dan punya banyak hobi serta tak suka dibantah keinginannya. Oleh karenanya, tembang gambuh berwatak suasana tidak ragu-ragu atau melakukan segala sesuatu sesuai keinginan.
 
===Pucung===
Pucung<ref>Juga disebut sebagai pocung</ref> (Hanacaraka: ꦥꦸꦕꦸꦁ) bermakna biji [[kepayang]]. Pucung juga berarti ''woh-wohan'' (buah-buahan) yang memberikan kesegaran. Dalam ''Serat Purwaukara'', pucung berarti ''"kudhuping gegodhongan"'' (kuncup dedaunan) yang biasanya tampak segar.
 
Selain itu, kata "cung" dalam pucung mengacu pada hal-hal bersifat lucu yang menimbulkan "kesegaran suasana", misalnya ''kuncung'' dan ''kacung'' sehingga tembang pucung berwatak dasar fleksibel, santai, dan penuh keingintahuan. Hal ini ditunjukkan dengan isi tembang pucung yang rata-rata berisi tebak-tebakan yang sebelumnya sudah diberi petunjuk. Permainan tebak-tebakan Jawa Kuno cenderung menggunakan lagu pucung sebagai pengantar petunjuknya untuk kemudian ditebak. Ketika dijadikan tebak-tebakan, lagu tersebut cenderung selalu mengandung kata ''"bapak pucung/pocung"'' sebagai awalannya.
 
===Megatruh===
Megatruh (Hanacaraka: ꦩꦼꦒꦠꦿꦸꦃ) berasal dari awalan am-, ''pegat'', dan ''ruh''. ''Pegat'' berarti putus, tamat, pisah, atau cerai dan ''ruh'' berarti [[roh]]. Dalam ''Serat Purwaukara'', megatruh diberi arti "''mbucalken sarwa ala''" (membuang semua yang serba jelek).
 
''Pegat'' ada hubungannya dengan ''peget'' yang berarti istana atau tempat tinggal; ''pameget'' atau ''pamegat'' yang berarti jabatan; dan ''samgat'' atau ''samget'' berarti jabatan ahli atau guru agama. Dengan demikian, megatruh berarti petugas yang ahli dalam kerohanian yang selalu menghindari perbuatan jahat menurut kebudayaan Bali-Hindu.
 
Sementara itu, dalam sudut pandang Jawa-Islam, megatruh adalah penggambaran lepasnya roh dari raga yang kemudian akan disiapkan untuk [[barzakh|kehidupan selanjutnya]], yakni apakah roh akan memasuki ''alam barzakh'' (alam untuk orang beramalan biasa), ''alam mulkiyah'' (alam untuk orang saleh yang berbakti kepada Allah dan rasulnya), atau ''alam nur'' (alam untuk para nabi dan rasul). Dalam substansinya, tembang ini berisi kabar gembira dan menyenangkan. Adapula versi lain yang menggambarkan kisah orang meninggal secara ''husnul khathimah'' (berakhir bahagia) atau bukan.
<!--
Dan dalam paket kebudayaan, kebudayaan Jawa—Islam lah yang kian lekat dan pantas memiliki tembang 11 macapat ini. Karena mereka menerapkan dan menjadikannya sebagai pedoman hidup, melegitimasi dengan kepercayaan yang mereka anut, menggambarkan/ memetaforakan dengan sangat complicated dan detail, serta targeting mereka lebih mengena di hati dan akal manusia ada umumnya. Pun demikian, mereka tidak berhenti sampai disitu mereka terus berkreasi dengan pakem yang ada dan menyesuaikan dengan konten kehidupan manusia dari awal eksistensinya sebagai jabang bayi hingga berpisahnya roh dengan raga.
 
Kesemuaan unsur sedari historis hingga falsafah Jawa–Islam itu sudah susah lepas dalam ingatan siapa pemilik 11 tembang macapat sebenarnya. Pun demikian itu masih belum selesai. 11 lagu macapat ini ters mengalami peremajaan dan penyegaran setelah dimasukkan kedalam kurrikulum mata pelajaran Bahasa Jawa untuk SD–Perguruan Tinggi di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sementara itu di lingkungan keraton seperti Keraton Ngayogyakarta — Yogyakarta sebagai contohnya saja, mobilitasnya lebih masif lagi dengan mengadakan event-event yang kental akan budaya.
-->
 
===Wirangrong===
Wirangrong (Hanacaraka: ꦮꦶꦫꦁꦫꦺꦴꦁ) berarti ''trenyuh'' (sedih), ''nelangsa'' (penuh derita), dan ''kapirangu'' (ragu-ragu). Namun, dalam teks sastra, wirangrong justru digunakan dalam suasana berwibawa.
 
===Jurudhemung===
Ada beberapa jenis tembang macapat. masing-masing jenis tembang tersebut memiliki aturan berupa guru lagu dan guru wilangan masing-masing yang berbeda-beda. Yang paling dikenal umum ada 11 jenis tembang macapat. Yaitu, Pucung, Megatruh, Pangkur, Dangdanggula, dll. Lebih lengkap nya sebagai berikut,
Jurudhemung<ref>Dieja sebagai jurudemung di KBBI.</ref> (Hanacaraka: ꦗꦸꦫꦸꦝꦼꦩꦸꦁ) berasal dari kata ''juru'' yang berarti tukang dan ''dhemung'' yang berarti nama sebuah perlengkapan gamelan. Dengan demikian, jurudhemung berarti penabuh gamelan. Dalam ''Serat Purwaukara'', jurudhemung diberi arti "''lelinggir kang landep''" (pisau yang tajam).
 
===Girisa===
#Pangkur berasal dari nama punggawa dalam kalangan kependetaan seperti tercantum dalam piagam-piagam berbahasa jawa kuno. Dalam Serat Purwaukara, Pangkur diberiarti buntut atau ekor. Oleh karena itu Pangkur kadang-kadang diberi sasmita atau isyarat tut pungkur berarti mengekor dan tut wuntat berarti mengikuti.
Girisa (Hanacaraka: ꦒꦶꦫꦶꦱ) berasal dari kata "''giris''". Menurut kebudayaan Bali-Hindu, girisa berasal dari bahasa Sanskerta, ''giriça'', yakni "seseorang yang bertahta di gunung" (Siwa) atau disebut Hyang Girinata. Dalam ''Serat Purwaukara'', girisa diberi arti "boten sarwa wegah" (tidak serba enggan) sehingga mempunyai watak selalu ingat.
#Maskumambang berasal dari kata mas dan kumambang. Mas dari kata Premas yaitu punggawa dalam upacara Shaministis. Kumambang dari kata Kambang dengan sisipan – um. Kambang dari kata Ka- dan Ambang. Kambangselain berarti terapung, juga berarti Kamwang atau kembang. Ambang ada kaitannya dengan Ambangse yang berarti menembang atau mengidung. Dengan demikian, Maskumambang dapat diberi arti punggawa yang melaksanakan upacara Shamanistis, mengucap mantra atau lafal dengan menembang disertai sajian bunga. Dalam Serat Purwaukara, Maskumambang diberi arti Ulam Toya yang berari ikan air tawar, sehingga kadang-kadang di isyaratkan dengan lukisan atau ikan berenang.
#Sinom ada hubungannya dengan kata Sinoman, yaitu perkumpulan para pemuda untuk membantu orang punya hajat. Pendapat lain menyatakan bahwa Sinom ada kaitannya dengan upacara-upacara bagi anak-anak muada zaman dahulu. Dalam Serat Purwaukara, Sinom diberi arti seskaring rambut yang berarti anak rambut. Selain itu, Sinom juga diartikan daun muda sehingga kadang-kadang diberi isyarat dengan lukisan daun muda.
#Asmaradana berasal dari kata Asmara dan Dhana. Asmara adalah nama dewa percintaan. Dhana berasal dari kata Dahana yang berarti api. Nama Asmaradana berkaitan denga peristiwa hangusnya dewa Asmara oleh sorot mata ketiga dewa Siwa seperti disebutkan dalam kakawin Smaradhana karya Mpu Darmaja. Dalam Serat Purwaukara, Smarandana diberi arti remen ing paweweh, berarti suka memberi.
#Dhangdhanggula diambil dari nama kata raja Kediri, Prabu Dhandhanggendis yang terkenal sesudah prabu Jayabaya. Dalam Serat Purwaukara, Dhandhanggula diberi arti ngajeng-ajeng kasaean, bermakna menanti-nanti kebaikan.
#Durma dari kata jawa klasik yang berarti harimau. Sesuai dengan arti itu, tembangDurma berwatak atau biasa diguanakan dalam suasana seram.
#Mijil berarti keluar. Selain itu , Mijil ada hubungannya dengan Wijil yang bersinonim dengan lawang atau pintu. Kata Lawang juga berarti nama sejenis tumbuh-tumbuhan yang bunganya berbau wangi. Bunga tumbuh-tumbuhan itu dalam bahasa latin disebut heritiera littoralis.
#Kinanthi berarti bergandengan, teman, nama zat atau benda , nam bunga. Sesuai arti itu, tembang Kinanthi berwatak atau biasa digunakan dalam suasana mesra dan senang.
#Gambuh berarti ronggeng, tahu, terbiasa, nama tetumbuhan. Berkenaan dengan hal itu, tembang Gambuh berwatak atau biasa diguanakan dalam suasana tidak ragu-ragu.
#Pucung adalah nama biji kepayang, yang dalam bahasa latin disebut Pengium edule. Dalam Serat Purwaukara, Pucung berarti kudhuping gegodhongan ( kuncup dedaunan ) yang biasanya tampak segar. Ucapan cung dalam Pucung cenderung mengacu pada hal-hal yang bersifat lucu, yang menimbulkan kesegaran, misalnya kucung dan kacung. Sehingga tembang Pucung berwatak atau biasa digunakan dalam suasana santai.
#Megatruh berasal dari awalan am, pega dan ruh. Pegat berarti putus, tamat, pisah, cerai. Dan ruh berarti roh. Dalam Serat Purwaukara, Megatruh diberi arti mbucal kan sarwa ala ( membuang yang serba jelek ). Pegat ada hubungannya dengan peget yang berarti istana, tempat tinggal. Pameget atau pamegat yang berarti jabatan. Samgat atau samget berarti jabatan ahli, guru agama. Dengan demikian, Megatruh berarti petugs yang ahli dalam kerohanian yang selalu menghindari perbuatan jahat.
 
===Balabak===
Ada pula yang memasukkan tembang gede dan tembang tengahan ke dalam macapat. Tembang-tembang tersebut antara lain
Balabak (Hanacaraka: ꦧꦭꦧꦏ꧀) dalam ''Serat Purwaukara'' diberi arti ''kasilap'' atau terbenam. Jika dihubungkan dengan kata ''bålå'' (pasukan) dan ''båkå'' ([[bangau]]), balabak dapat berarti pasukan atau kelompok burung bangau, yang apabila terbang pasukan burung bangau itu tampak santai. Oleh karena itu, tembang balabak berwatak atau biasa digunakan dalam suasana santai.
#Wirangrong berarti trenyuh ( sedih ), nelangsa ( penuh derita ), kapirangu ( ragu-ragu ),. Namun dalam teks sastra, Wirangrong digunakan dalam suasana berwibawa.
#Jurudemung berasal dari kata juru yang berarti tukang, penabuh, dan demung yang berarti nama sebuah perlengkapan gamelan. Dengan demikian, Jurudemung dapat berarti penabuh gamelan. Dalam Serat Purwaukara, Jurudemung diberi arti lelinggir kang landep atau sanding (pisau) yang tajam.
#Girisa berarti arik (tenang), wedi (takut), giris (ngeri). Girisa yang berasal dari bahasa Sansekerta, Girica adalah nama dewa Siwa yang bertahta di gunung atau dewa gunung, sehingga disebut Hyang Girinata. Dalam Serat Purwaukara, Girisa diberi arti boten sarwa wegah, bermakna tidak serba enggan, sehingga mempunyai watak selalu ingat.
#Balabak, dalam Serat Purwaukara diberi arti kasilap atau terbenam. Apabila dihubungkan dengan kata bala dan baka, Balabak dapat berarti pasukan atau kelompok burung Bangau. Apabila terbang, pasukan burung Bangau tampak santai. Oleh karena itu tembang Balabak berwatak atau biasa digunakan dalam suasana santai.
 
== Tabel macapat ==
Supaya lebih mudah membedakan antara ''guru gatra'', ''guru wilangan'' lan ''guru lagu'' dari tembang-tembang tadi, maka setiap metrum ditata di dalam sebuah tabel seperti di bawah ini:<ref>Sesuai tabel yang diberikan oleh Ras (1982:310)</ref>:
 
{| {{prettytable}}
Baris 124 ⟶ 182:
|<center>7</center>
|8i
|8i8a
|8é/o
|8a
|7a
Baris 173 ⟶ 231:
|
|- bgcolor="#fffaf0"
| PocungPucung
|<center>4</center>
|12u
Baris 303 ⟶ 361:
 
=== Maskumambang ===
{{blockquote|text=Gereng-gereng Gathotkaca sru anangis<br />
Sambaté mlas arsa<br />
Luhnya marawayan mili<br />
Gung tinamêng astanira<br />}}
 
=== Sinom ===
{{blockquote|text=Pangéran Panggung saksana<br />
Anyangking daluwang mangsi<br />
Dènira manjing dahana<br />
Alungguh sajroning geni<br />
Èca sarwi nenulis<br />
Ing jero pawaka murub}}
 
=== Asmaradana ===
{{bq|text=Aja turu soré kaki<br />
Ana Déwa nganglang jagad<br />
Nyangking bokor kencanané<br />
Baris 323 ⟶ 381:
Sandhang kelawan pangan<br />
Yaiku bagéyanipun<br />
Wong melek sabar narima}}
 
=== Kinanthi ===
Baris 330 ⟶ 388:
Contoh (''Serat Rama'' gubahan [[Yasadipura]]):
 
{{bq|text=Anoman malumpat sampun,<br />
Praptêng witing nagasari,<br />
Mulat mangandhap katingal,<br />
Wanodyâyu kuru aking,<br />
Gelung rusak awor kisma,<br />
Ingkang iga-iga kêksi.}}
 
=== Gambuh ===
{{bq|text=Sekar gambuh ping catur,<br />
 
Sekar gambuh ping catur,<br />
Kang cinatur polah kang kalantur,<br />
Tanpa tutur katula tula katali,<br />
Kadaluwarsa katutuh,<br />
Kapatuh pan dadi awon.}}
 
=== Pangkur ===
{{bq|text=Lumuh tukua pawarta,<br />
Tan saranta nuruti hardengati,<br />
Satata tansah tinemu,<br />
Kataman martotama,<br />
Kadarmaning narendra sudibya sadu,<br />
Wus mangkana kalih samya,<br />
Sareng manguswa pada ji.<br />}}
 
(Haji Pamasa, [[Ranggawarsita]])
 
{{bq|text=Mingkar mingkuring angkara,<br />
Akarana karenan mardi siwi,<br />
Mangka nadyan tuwa pikun,<br />
Yen tan mekani rasa,<br />
Yekti sepi sepa lir asepa samun,<br />
Samangsane pakumpulan,<br />
Gonyak ganyuk nglelingsemi.<br />}}
 
=== Durma ===
{{bq|text=Damarwulan aja ngucireng ngayuda<br />
Baliya sun anteni<br />
Mangsa sun mundura<br />
Baris 371 ⟶ 428:
Katiban pusaka mami<br />
Mara tibakna<br />
Curiganira nuli<br />}}
 
(Langendriyan)
 
=== Mijil ===
{{bq|text=Jalak uren mawurahan sami<br />
Samadya andon woh<br />
Amuwuhi malad wiyadine<br />
Ana manuk mamatuk sasari<br />
Angsoka sulastri<br />
Ruru karya gandrung<br />}}
 
(Haji Pamasa, Ranggawarsita)
 
=== Megatruh ===
{{bq|text=Sigra milir kang gèthèk sinangga bajul<br />
Kawan dasa kang njagèni<br />
Ing ngarsa miwah ing pungkur<br />
Tanapi ing kanan kéring<br />
Kang gèthèk lampahnya alon}}
 
(''Babad Tanah Jawi'', Yasadipura)
 
=== Pucung ===
{{bq|text=Ngelmu iku kalakone kanthi laku<br />Lekase lawan kas<br />Tegese kas nyantosani<br />Setya budya pengekesing dur angkara}}
 
'''Contoh lain dalam versi tebak-tebakan Jawa klasik:'''
Pucung adalah salah satu dari 12 puisi jawa (tembang macapat) yang sangat sederhana. Pucung biasa disebut juga dengan ''pocung''. Pucung adalah tetembangan yang digunakan untuk mengingat pada kematian, karena dekat dengan kata [[pocong]] yaitu pembungkusan mayat saat akan dikubur. Selain itu, pucung juga berarti woh-wohan (buah-buahan) yang memberikan kesegaran. Kata “cung” sendiri mengingatkan pada kuncung yang lucu. Oleh sebab itu perkembangan dari tembang ini merujuk kepada hal-hal lucu atau parikan atau ''bedhekan'' (tebakan).
{{bq|text=Bapak Pocung, dudu watu, dudu gunung
''(Ayo tebak, dia bukan batu bukan pula gunung)''
 
Sabane ing sendhang
Pucung sendiri memiliki watak kendur, tanpa adanya klimaks dan tujuan dalam cerita. Dalam membuat pucung tidak boleh asal-asalan karena ada aturannya.
''(Dia suka tinggal di sungai)''
 
Ngon-ingone sang Bupati
Berikut aturan dari tembang pucung.
''(Dipelihara orang kaya seperti Si Bupati)''
 
Yen lumaku si Pocung lembehan grono
1. Guru gatra = 4<br />
''(Kalau berjalan Si Dia suka melambaikan hidung)''}}
Artinya tembang ini memiliki 4 larik kalimat.
 
Jawaban dari tebak-tebakan tembang pucung tersebut adalah gajah. Inilah sebabnya tembang pucung amat populer dikalangan anak-anak, karena menarik untuk dijadikan lagu permainan tebak-tebakkan. Pun demikian, syarat pakem dari ''guru lagu'' dan ''guru wilangan'' harus tetap terpenuhi.
2. Juru wilangan = 12, 6, 8, 12<br />
Maksudnya tiap kalimat harus bersuku kata seperti diatas. Kalimat pertama 12 suku kata. Kalimat kedua 6 suku kata. Kalimat ketiga 8 suku kata. Kalimat keempat 12 suku kata.
 
3. Guru lagu = u, a, i, a<br />
Akhir suku kata dari setiap kalimat harus bervokal u, a, i, a
 
Berikut ini adalah contoh tembang pucung.
 
Ngelmu iku kelakone kanthi laku --> u<br />
Lekase lawan kas --> a<br />
Tegese kas nyantosani --> i<br />
Setya budya pengekesing dur angkara --> a<br />
 
=== Jurudemung ===
{{bq|text=Ni ajeng mring gandhok wétan<br />
 
Ni ajeng mring gandhok wétan<br />
Wus panggih lan Rara Mendut<br />
Alon wijilé kang wuwus<br />
Baris 426 ⟶ 476:
Adhedhasar adol bungkus<br />
Wus katur sarta kalilan<br />
Déning jeng kyai Tumenggung<br />}}
 
(''Serat Pranacitra'')
 
{{bq|text=Cirining serat iberan<br />
Kebo bang sungunya tanggung<br />
Saben kepi mirah ingsun<br />
Baris 436 ⟶ 486:
Kunir pita kasut kayu<br />
Wulucumbu Madukara<br />
Paran margane ketemu<br />}}
 
''(Serat Sekar-sekaranSekaran'', [[Mangkunegara IV]])
 
=== Wirangrong ===
{{bq|text=Dèn samya marsudêng budi<br />
 
Dèn samya marsudêng budi<br />
Wiwéka dipunwaspaos<br />
Aja-dumèh-dumèh bisa muwus<br />
Yèn tan pantes ugi<br />
Sanadyan mung sakecap<br />
Yèn tan pantes prenahira<br />}}
 
(''Serat Wulang RèhWulangrèh'', [[Pakubuwana IV]])
 
=== Balabak ===
{{bq|text=Byar rahina Kèn Rara wus maring sendhang<br />
 
Byar rahina Kèn Rara wus maring sendhang<br />
mamèt wé<br />
Turut marga nyambi reramban janganan<br />
antuké<br />
Praptêng wisma wusing nyapu atetebah<br />
jogané<br />}}
 
(''Serat Jaka Lodhang'', Ranggawarsita)
 
{{bq|text=Kabalabak jroning jagad gedhe ana<br />
yektine<br />
Jagad cilik sinorotan surya, kembar<br />
pandhane<br />
Soring surya ana gunung gung saguja<br />
blegere<br />}}
 
(Ki Padmosukoco)
Baris 474 ⟶ 522:
Metrum ini memiliki watak megah ''(mrebawani)''. Metrum ini diambil dari metrum kakawin dengan nama yang sama.
 
{{bq|text=Dene utamaning nata, 8 a<br />
Berbudi bawa leksana, 8 a<br />
Lire berbudi mangkana, 8 a<br />
Baris 481 ⟶ 529:
Anggeganjar saben dina, 8 a<br />
Lire kang bawa leksana, 8 a<br />
Anetepi pangandika. 8 a}}
 
== Catatan kaki ==
Baris 493 ⟶ 541:
* {{en}} Th. Pigeaud, 1967, ''Literature of Java. Catalogue Raisonné of Javanese Manuscripts in the Library of the University of Leiden and other public collections in the Netherlands. Volume I. Synopsis of Javanese Literature 900 - 1900 A.D.'' The Hague: Martinus Nyhoff
* {{jv}} Poerbatjaraka, 1952, ''Kapustakan Djawi''. Djakarta: Djambatan
* {{nl}} Prijohoetomo, 1934, '' Nawaruci : inleiding, Middel-Javaansche prozatekst, vertaling vergeleken met de Bimasoetji in oud-Javaansch metrum''. Groningen: Wolters
* {{nl}} J.J. Ras, 1982, ''Inleiding tot het modern Javaans''. Leiden: KITLV uitgeverij. ISBN 90-6718-073-4
* {{id}} I.C. Sudjarwadi et al., 1980, ''Seni macapat Madura: laporan penelitian. Oleh Team Penelitian Fakultas Sastra, Universitas Negeri Jember''. Jember: Universitas Negeri Jember.
* Effendy, Moh Hafid (2021-01-30). "Nilai Religius pada Kearifan Lokal Tembang Macapat Madura". ''Khazanah Theologia''. '''3''' (1): 1–12. [[Digital object identifier|doi]]:10.15575/kt.v3i1.10959. [[International Standard Serial Number|ISSN]]&nbsp;2715-9701
 
[[Kategori:Sastra Jawa]]
[[Kategori:BudayaMacapat| Jawa]]