Bharatayuddha: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
SamanthaPuckettIndo (bicara | kontrib)
Membalikkan revisi 8229395 oleh 114.79.29.252 (bicara)
M. Adiputra (bicara | kontrib)
 
(33 revisi perantara oleh 18 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{lihatpula|Mahabharata|Perang Kurukshetra}}
{{Infobox Military Conflict
|conflict=<font size=2>Baratayuda</font>Bharatayuddha
|image= [[File:Wayang_Painting_of_Bharatayudha_Battle.jpg|300px]]
|image= [[Berkas:Duryudana lawan Bima.JPG|right|300px|Pertarungan terakhir dalam Baratayuda antara [[Duryudana]] melawan [[Bima]]]]
|partof= ''[[Kakawin Bharatayuddha]]''
|caption=Pertarungan terakhir[[Karna]] dalam(kiri) Baratayuda antaramelawan [[DuryudanaArjuna]], melawansuatu adegan dari Bharatayuddha, dalam bentuk lukisan kaca [[BimaCirebon]].
|date=
|place=[[Kurukshetra|Kurusetra]] (''Kurukshetra'')
|territory=
|result=dimenangkan pihak [[Pandawa]]
|combatant1=Lima putra Pandu ([[Pandawa]]) dan sekutunya, dipimpin oleh [[Yudistira]]
|combatant2=Seratus putra Dretarastra ([[Korawa]]) dan sekutunya, dipimpin oleh [[Duryodana]]
|commander1=[[Yudistira]]{{br}}[[Drestadyumna|Trustajumena]] (Drestadyumna){{KIA}} {{br}} [[Arya Seta|Resi Seta]] (Sweta){{KIA}} {{br}} [[GathotkacaGatotkaca]] {{KIA}} {{br}} [[Arjuna]] {{br}} [[Bima]] {{br}} [[SatyakiNakula]] {{br}} [[Sadewa]] {{br}} [[Setyaki]] {{br}} [[Abimanyu]] {{KIA}} {{br}}[[Pancawala]] {{KIA}}
|commander2=[[Bisma]]{{KIA}}{{br}}[[Drona|Durna]] (Drona){{KIA}}{{br}}[[Karna]]{{KIA}}{{br}}[[Salya]]{{KIA}}{{br}}[[Aswatama]]{{br}} [[Dursasana]]{{KIA}} {{br}} [[DuryudanaDuryodana]] {{KIA}}{{br}}[[Sengkuni]]{{KIA}} {{br}} [[Jayadrata]]{{KIA}} {{br}} [[Wikarna]]{{KIA}} {{br}} [[Krepa]]
|strength1=
|strength2=
|casualties1= Hampir semua prajurit. {{br}}Hanya 7 Senopati yang bertahan hidup: lima [[Pandawa]], [[Yuyutsu]], dan [[Satyaki]]
|casualties2= Hampir semua prajurit (Bergabungbergabung Dengandengan Pandawa). {{br}}Hanya 3 Senopati yang bertahan hidup: [[Aswatama]], [[Krepa]], dan [[Kertawarma]]
}}
{{Wikisource|Perang Bratajoeda}}
{{arti lain|Artikel ini mengenai lakon dalam pewayangan Jawa yang diangkat dari ''Mahabharata''. Untuk kisah yang mengandung mitologi dan sejarah, lihat [[Perang di Kurukshetra]].}}
'''BaratayudaBharatayuddha''', ([[Dewanagari]]:{{unicode|भारतयुद्ध}}; [[Aksara Jawa|Jawa]]: {{script/Java|ꦨꦴꦫꦠꦪꦸꦢ꧀ꦝ|height=1.0em|size=14px}}; [[Aksara Bali|Bali]]: {{script/Bali|ᬪᬵᬭᬢᬬᬸᬤ᭄ᬟ|height=1.0em|size=14px}}; [[IAST]]: ''Bhāratayuddha'') adalah istilah yang dipakai di [[Indonesia]] untuk menyebut kisah [[perang di Kurukshetra|perang besar di Kurukshetra]] antara keluarga [[Pandawa]] melawan [[Korawa]], tokoh utama [[wiracarita]] ''[[Mahabharata]]''. Kata ''Bhāratayuddha'' adalah [[bahasa Sanskerta|kata Sanskerta]] yang berarti "Perang keturunan [[Bharata (raja)|Bharata]]". Perang ini merupakan klimaks dari kisah ''[[Mahabharata]]'', yaitu sebuah [[wiracarita]] terkenal dari [[India]] yang telah diadaptasi di [[Jawa]] sebagai karya seni dalam bentuk [[kakawin]] dan [[wayang]].
 
Istilah BaratayudaBharatayuddha berasaldiambil dari kata ''Bharatayuddha'' (Perang [[Bharata]]), yaitu judul sebuah naskah [[kakawin]] [[bahasa Jawa KunaKuno|berbahasa Jawa KunaKuno]] yang ditulis pada tahun [[1157]] oleh Mpu[[Empu Sedah]] atas perintah [[Maharaja]] [[Jayabhaya]], raja [[Kerajaan Kadiri]]. Sebenarnya kitab baratayudaBharatayuddha yang ditulis pada masa Kediri itu untuk simbolisme keadaan perang saudara antara Kerajaan Kediri dan Jenggala yang sama -sama keturunan Raja [[Erlangga ]]. Keadaan perang saudara itu digambarkan seolah-olah seperti yang tertulis dalam Kitab ''[[Mahabarata]]'' karya Vyasa[[Byasa]], yaitu perang antara Pandawa dan KurawaKorawa yang sebenarnya juga keturunan VyasaByasa sang penulis .
 
Kisah ''[[Kakawin Bharatayuddha]]'' kemudian diadaptasi ke dalam [[bahasa Jawa|bahasa Jawa Baru]] dengan judul ''[[Serat Bratayuda]]'' oleh pujangga [[Yasadipura I]] pada zaman [[Kasunanan Surakarta]].
 
Di [[Yogyakarta]], cerita BaratayudaBharatayuddha ditulis ulang dengan judul ''Serat Purwakandha'' pada masa pemerintahan [[Hamengkubuwana V|Sri Sultan Hamengkubuwana V]]. Penulisannya dimulai pada [[29 Oktober]] [[1847]] hingga [[30 Juli]] [[1848]].
 
== SebabLatar Peperanganbelakang ==
[[Berkas:Kakawin Bharatayuddha (Gunning 1901-51).png|thumbjmpl|''[[Kakawin Bharatayuddha]]'' yang ditulis kembali oleh Gunning.]]
[[Berkas:Brahma Sarovar at Kurukshetra.jpg|240px|left|thumb|[[Kurukshetra]], lokasi tempat Bharatayuddha berlangsung (di [[India]]).]]
Sama halnya dengan versi aslinya, yaitu versi ''[[Mahabharata]]'', perangdari [[India]], BaratayudaBharatayuddha merupakan puncak perselisihan antara keluarga [[Pandawa]] yang dipimpin oleh [[Puntadewa]] (atau [[Yudistira]]) melawan sepupu mereka, yaitu para [[Korawa]] yang dipimpin oleh [[DuryudanaDuryodana]]. Baik Pandawa maupun Korawa merupakan keturunan [[Bharata (raja)|Bharata]], yang dikisahkan dalam kitab ''Mahabharata'' sebagai seorang [[Cakrawartin]] (raja [[wikt:adiraja|diraja]]), penguasa daratan [[Asia Selatan]] ([[India]] dan sekitarnya). Namun versi [[wayang|pewayangan]] [[Jawa]] menyebutkan bahwa perang Bharatayuddha sebagai peristiwa yang sudah ditetapkan kejadiannya oleh [[dewata]], bahkan sebelum Pandawa dan Korawa dilahirkan. Selain itu, [[Kurukshetra|Padang Kurusetra]] sebagai medan pertempuran menurut pewayangan bukan berlokasi di [[India Utara]], melainkan berada di [[Jawa]], tepatnya di dataran tinggi [[Dieng]]. Dengan kata lain, kisah ''Mahabharata'' menurut tradisi Jawa dianggap terjadi di [[Pulau Jawa]].
 
Bibit perselisihan antara Pandawa dan Korawa dimulai sejak orang tua mereka masih sama-sama muda. [[Pandu]], ayah para Pandawa suatu hari membawa pulang tiga orang putri dari tiga negara, bernama [[Kunti]], [[GendariGandari]], dan [[MadrimMadri]]. Salah satu dari mereka dipersembahkan kepada [[Dretarastra]], kakaknya yang buta. Dretarastra memutuskan untuk memilih Gendari, kenapa yang dipilih Gendari? Karena sekali lagi Dretarastra buta, ia tidak dapat melihat apapun, jadi ketika ia memilih ketiga putri itu yang dengan cara mengangkat satu per satu,. terpilihAkhirnya lahterpilihlah GendariGandari yang mempunyai bobot paling berat, sehinggakarena Dretarastra berpikir bahwa kelak GendariGandari akan mempunyai banyak anak, sama seperti impian Dretarastra. Hal ini membuat putri dari [[Kerajaan Gandhara|Kerajaan Plasajenar]] itu tersinggung dan sakit hati. GendariGandari merasa ia tak lebih dari piala bergilir. Ia pun bersumpah keturunannya kelak akan menjadi musuh bebuyutan anak-anak Pandu.
Akan tetapi versi [[wayang|pewayangan]] menyebut perang Baratayuda sebagai peristiwa yang sudah ditetapkan kejadiannya oleh dewata. Konon, sebelum Pandawa dan Korawa dilahirkan, perang ini sudah ditetapkan akan terjadi. Selain itu, [[Kurukshetra|Padang Kurusetra]] sebagai medan pertempuran menurut pewayangan bukan berlokasi di [[India]], melainkan berada di [[Jawa]], tepatnya di dataran tinggi [[Dieng]]. Dengan kata lain, kisah ''Mahabharata'' menurut tradisi Jawa dianggap terjadi di Pulau Jawa.
 
GendariGandari dan adiknya, bernama [[SengkuniSangkuni]], mendidik anak-anaknya yang berjumlah seratus orang ([[Korawa]]) untuk selalu memusuhi anak-anak Pandu yang berjumlah lima orang ([[Pandawa]]). Ketika Pandu meninggal, anak-anaknya semakin menderita. nyawaNyawa mereka selalu diincar oleh sepupu mereka, yaitu para Korawa. Kisah-kisah selanjutnya tidak jauh berbeda dengan versi ''Mahabharata'', antara lain usaha pembunuhan Pandawa dalam istana yang terbakar, sampai perebutan [[Kerajaan Amarta]]—kerajaan yang didirikan melaluiYudistira—melalui permainan dadu.
Bibit perselisihan antara Pandawa dan Korawa dimulai sejak orang tua mereka masih sama-sama muda. [[Pandu]], ayah para Pandawa suatu hari membawa pulang tiga orang putri dari tiga negara, bernama [[Kunti]], [[Gendari]], dan [[Madrim]]. Salah satu dari mereka dipersembahkan kepada [[Dretarastra]], kakaknya yang buta. Dretarastra memutuskan untuk memilih Gendari, kenapa yang dipilih Gendari? Karena sekali lagi Dretarastra buta, ia tidak dapat melihat apapun, jadi ketika ia memilih ketiga putri itu yang dengan cara mengangkat satu per satu, terpilih lah Gendari yang mempunyai bobot paling berat, sehingga Dretarastra berpikir bahwa kelak Gendari akan mempunyai banyak anak, sama seperti impian Dretarastra. Hal ini membuat putri dari [[Kerajaan Gandhara|Kerajaan Plasajenar]] itu tersinggung dan sakit hati. Gendari merasa ia tak lebih dari piala bergilir. Ia pun bersumpah keturunannya kelak akan menjadi musuh bebuyutan anak-anak Pandu.
 
Akibat kekalahan dalam perjudian tersebut, para Pandawa harus menjalani hukuman pengasingan di Hutan Kamiyakahutan selama 12 tahun, ditambah dengan setahun menyamar sebagai orang rakyat jelata di [[Kerajaan Wirata]]. Namun setelah masa hukuman berakhir, para Korawa menolak mengembalikan hak-hak para Pandawa. Sebenarnya Yudhistira (Saudarasaudara sulung dari PandhawaPandawa), hanya menginginkan 5lima desa saja untuk dikembalikan ke pandhawa.Pandawa, Tidak utuh satualih-alih Amarta yang dituntutseutuhnya. tetapiNamun Korawa pun tidak sudi memberikan satu jengkalsejengkal tanah pun kekepada pandhawaPandawa. Akhirnya keputusan diambil lewat perang BaratayudaBharatayuddha yang tidak dapat dihindari lagi.
Gendari dan adiknya, bernama [[Sengkuni]], mendidik anak-anaknya yang berjumlah seratus orang untuk selalu memusuhi anak-anak Pandu. Ketika Pandu meninggal, anak-anaknya semakin menderita. nyawa mereka selalu diincar oleh sepupu mereka, yaitu para Korawa. Kisah-kisah selanjutnya tidak jauh berbeda dengan versi ''Mahabharata'', antara lain usaha pembunuhan Pandawa dalam istana yang terbakar, sampai perebutan [[Kerajaan Amarta]] melalui permainan dadu.
 
=== Kitab Jitapsara ===
Akibat kekalahan dalam perjudian tersebut, para Pandawa harus menjalani hukuman pengasingan di Hutan Kamiyaka selama 12 tahun, ditambah dengan setahun menyamar sebagai orang rakyat jelata di [[Kerajaan Wirata]]. Namun setelah masa hukuman berakhir, para Korawa menolak mengembalikan hak-hak para Pandawa. Sebenarnya Yudhistira (Saudara sulung dari Pandhawa), hanya menginginkan 5 desa saja untuk dikembalikan ke pandhawa. Tidak utuh satu Amarta yang dituntut. tetapi Korawa pun tidak sudi memberikan satu jengkal tanah pun ke pandhawa. Akhirnya keputusan diambil lewat perang Baratayuda yang tidak dapat dihindari lagi.
Dalam cerita [[wayang|pewayangan]] [[Jawa]] dikenaldisebutkan adanya sebuah kitab yang tidak terdapat dalam versicerita ''[[Mahabharata]]'' dari [[India]]. Kitab tersebut bernama ''Jitabsara'' atau ''Jitapsara'', yang berisi kurang lebih [[skenario]] ([[bahasa Jawa|Jw.]]: ''pakem'') jalannya peperangan[[pertempuran]] dalam BaratayudaBharatayuddha, termasuk urutan siapa saja yang akan menjadi [[gugur dalam tugas|korban]]. Kitab ini ditulis oleh Batara Penyarikan, sebagai juru catat atas apa yang dibahas oleh [[Batara Guru]], (raja kahyangan,) dengan [[Batara Narada]] mengenai skenario taditersebut.
 
[[Kresna]], raja [[Kerajaan Dwaraka|Dwarawati]] yang menjadi penasihat pihak [[Pandawa]], berhasil mencuri dengar pembicaraan dan penulisan kitab tersebut dengan menyamarcara sebagai[[perubahan bentuk|berubah wujud]] menjadi seekor lebah putih (Jw: ''Klanceng Putih''). Ketika tiba pada bagian [[Baladewa|Prabu Baladewa]] diperhadapkan(kakak Kresna) dipertarungkan dengan [[Antareja]] (anak [[Bhima|Bima]]), Klanceng Putih lalu menumpahkan tinta yang dipakai, sehingga bagian atau bab itu batal ditulis. Klanceng Putih kemudian menjelma menjadi Sukma Wicara, yakni bentuk halus (sukma) dari Batara Kresna. Sukma Wicara memprotes rencana pertarungan antara Prabu Baladewa dengan Antareja, karena Baladewa pasti akan kalah dari Antareja. Selain itu, Sukma Wicara meminta agar diperbolehkan memiliki Kitab Jitapsara itu.
==Kitab Jitapsara==
Dalam [[wayang|pewayangan]] [[Jawa]] dikenal adanya sebuah kitab yang tidak terdapat dalam versi ''[[Mahabharata]]''. Kitab tersebut bernama ''Jitabsara'' atau ''Jitapsara'', yang berisi kurang lebih skenario ([[bahasa Jawa|Jw.]]: ''pakem'') jalannya peperangan dalam Baratayuda, termasuk urutan siapa saja yang akan menjadi korban. Kitab ini ditulis oleh Batara Penyarikan, sebagai juru catat atas apa yang dibahas oleh [[Batara Guru]], raja kahyangan, dengan [[Batara Narada]] mengenai skenario tadi.
 
Batara Guru merelakan kitab Jitapsara menjadi milik Kresna, asalkan ia selalu menjaga kerahasiaan isinya, serta bersedia menukarnya dengan Kembang Wijayakusuma, yaitu bunga pusaka milik Kresna yang bisa digunakan untuk menghidupkan orang mati. Di samping itu, Batara Guru juga meminta Kresna untuk mengatur penyelesaian soal Baladewa dan Antareja. Kresna menyanggupinya. Sejak saat itu Kresna kehilangan kemampuannya untuk menghidupkan orang mati, namuntetapi ia mengetahui dengan pasti siapa saja yang akan gugur di dalam BaratayudaBharatayuddha sesuai isi Kitab Jitapsara yang telah ditakdirkan oleh dewata. Kelak, Kresna juga akan meminta Baladewa untuk bertapa di [[Grojogan Sewu]] selama perang BaratayudaBharatayuddha, dan meminta kesediaan Antareja untuk kembali ke alam abadi, sehingga pertempuran di antara kedua ksatriakesatria itu tidak terjadi.<ref>Bagian Penerangan Panitia Baratajuda 1958. t.t. ''Babak ke II: Kresna Gugah''. N.V. Badan Penerbit Kedaulatan Rakjat, Jogyakarta. 18 hal.</ref>
[[Kresna]], raja [[Kerajaan Dwarawati]] yang menjadi penasihat pihak [[Pandawa]], berhasil mencuri dengar pembicaraan dan penulisan kitab tersebut dengan menyamar sebagai seekor lebah putih (Jw: ''Klanceng Putih''). Ketika tiba pada bagian [[Prabu Baladewa]] diperhadapkan dengan [[Antareja]], Klanceng Putih lalu menumpahkan tinta yang dipakai, sehingga bagian atau bab itu batal ditulis.
 
== Aturan Peperanganpeperangan ==
Klanceng Putih kemudian menjelma menjadi Sukma Wicara, yakni bentuk halus (sukma) dari Batara Kresna. Sukma Wicara memprotes diperhadapkannya Prabu Baladewa, yang adalah kakak Prabu Kresna, dengan Antareja, anak dari [[Bimasena]]; karena Baladewa pasti akan kalah dari Antareja. Selain itu, Sukma Wicara meminta agar diperbolehkan memiliki Kitab Jitapsara itu.
|image= [[Berkas:Duryudana lawan Bima.JPG|rightka|300pxjmpl|Pertarungan terakhir dalam BaratayudaBharatayuddha antara [[DuryudanaDuryodana]] (kiri) melawan [[Bhima|Bima]].]]
Jalannya perang BaratayudaBharatayuddha versi [[wayang|pewayangan]] [[Jawa]] sedikit berbeda dengan [[perang di Kurukshetra|perang]] versi ''[[Mahabharata]]''. Menurut versi [[Jawa]], pertempuran diatur sedemikian rupa sehingga hanya tokoh-tokoh tertentu yang ditunjuk saja yang maju perang, sedangkan yang lain menunggu giliran untuk maju. Sebagai contoh, apabila dalam versi ''Mahabharata'', [[Duryodhana]] sering bertemu dan terlibat pertempuran melawan [[Bimasena]], maka dalam pewayangan mereka hanya bertemu sekali, yaitu pada babak terakhir ketika [[Duryodana]] tewas di tangan Bima.
 
Dalam pihak Pandawa yang bertugas mengatur siasat peperangan adalah [[Kresna]]. Ia yang berhak memutuskan siapa yang harus maju, dan siapa yang harus mundur. sementara itu di pihak Korawa semuanya diatur oleh para penasihat DuryudanaDuryodana yaitu [[Bisma]], Durna ([[Drona]]), dan [[Salya]].
Batara Guru merelakan kitab Jitapsara menjadi milik Kresna, asalkan ia selalu menjaga kerahasiaan isinya, serta bersedia menukarnya dengan Kembang Wijayakusuma, yaitu bunga pusaka milik Kresna yang bisa digunakan untuk menghidupkan orang mati. Di samping itu, Batara Guru juga meminta Kresna untuk mengatur penyelesaian soal Baladewa dan Antareja. Kresna menyanggupinya. Sejak saat itu Kresna kehilangan kemampuannya untuk menghidupkan orang mati, namun ia mengetahui dengan pasti siapa saja yang akan gugur di dalam Baratayuda sesuai isi Kitab Jitapsara yang telah ditakdirkan oleh dewata. Kelak, Kresna juga akan meminta Baladewa untuk bertapa di [[Grojogan Sewu]] selama perang Baratayuda, dan meminta kesediaan Antareja untuk kembali ke alam abadi, sehingga pertempuran di antara kedua ksatria itu tidak terjadi.<ref>Bagian Penerangan Panitia Baratajuda 1958. t.t. ''Babak ke II: Kresna Gugah''. N.V. Badan Penerbit Kedaulatan Rakjat, Jogyakarta. 18 hal.</ref>
 
== Aturan Peperangan ==
[[Berkas:Kurukshetra.jpg|right|thumb|240px|Ilustrasi saat [[perang di Kurukshetra]] dalam kitab ''[[Mahabharata]]''.]]
Jalannya perang Baratayuda versi [[wayang|pewayangan]] sedikit berbeda dengan [[perang di Kurukshetra|perang]] versi ''[[Mahabharata]]''. Menurut versi [[Jawa]], pertempuran diatur sedemikian rupa sehingga hanya tokoh-tokoh tertentu yang ditunjuk saja yang maju perang, sedangkan yang lain menunggu giliran untuk maju.
 
Sebagai contoh, apabila dalam versi ''Mahabharata'', [[Duryodhana]] sering bertemu dan terlibat pertempuran melawan [[Bimasena]], maka dalam pewayangan mereka hanya bertemu sekali, yaitu pada hari terakhir di mana [[Duryudana]] tewas di tangan Bima.
 
Dalam pihak Pandawa yang bertugas mengatur siasat peperangan adalah [[Kresna]]. Ia yang berhak memutuskan siapa yang harus maju, dan siapa yang harus mundur. sementara itu di pihak Korawa semuanya diatur oleh para penasihat Duryudana yaitu Bisma, Durna dan Salya.
 
== Pembagian babak ==
Di bawah ini disajikan pembagian kisah BaratayudaBharatayuddha menurut versi pewayangan Jawa.
{{col-begin|width= }}
{{col-2}}
* Babak 1: Jabelan ([[Kresna]] Duta (Seta Gugur)
* Babak 2: TawurTawuran ([[Bisma]] Gugur)
* Babak 3: PaluhanRanjapan/Renyuhan (Bogadenta[[Abimanyu]] Gugur)
* Babak 4: RanjapanTimpalan (Abimanyu[[Jayadrata]]/[[Burisrawa]] GugurLena)
* Babak 5: TimpalanPaluhan (Burisrawa[[Bagadata|Bogadenta]] Gugur)
{{col-2}}
* Babak 6: Suluhan ([[Gatotkaca]] Gugur)
* Babak 7: Jambakan ([[Drona|Durna]]/[[Dursasana]] Gugur)
* Babak 8: Karna TandhingTandhingan (Salya[[Karna]] Gugur)
* Babak 9: Rubuhan (Duryudana[[Salya]]/[[Duryodana]] Gugur)
* Babak 10: Landakan ([[Aswatama]] Nglandak/[[Parikesit]] Lahir)
{{col-end}}
 
== Jalannya pertempuran ==
 
Karena kisah BaratayudaBharatayuddha yang tersebar di Indonesia dipengaruhi oleh kisah sisipan yang tidak terdapat dalam kitab aslinya (kitab dari [[India]] ber[[bahasa Sanskerta]]), mungkin banyak terdapat perbedaan sesuai dengan daerah masing-masing. Meskipun demikian, inti kisahnya sama.
 
 
=== Babak pertama ===
 
Dikisahkan, Bharatayuddha diawali dengan pengangkatan senapati agung atau pimpinan perang kedua belah pihak. Pihak Pandawa mengangkat [[Sweta|Resi Seta]] (Sweta) sebagai pimpinan perang dengan pendamping di sayap kanan [[Utara (Mahabharata)|Arya Utara]] dan sayap kiri [[Wratsangka|Arya Wratsangka]]. Ketiganya terkenal ketangguhannya dan berasal dari [[Kerajaan Wirata]] yang mendukung Pandawa. Pandawa menggunakan siasat perang ''Brajatikswa'' yang berarti senjata tajam. Sementara di pihak KurawaKorawa mengangkat [[Bisma]] (Resi Bisma) sebagai pimpinan perang dengan pendamping Pendeta Durna ([[Drona]]) dan prabu [[Salya]], raja [[kerajaan Madra|Mandaraka]] yang mendukung Korawa. Bisma menggunakan siasat ''Wukirjaladri'' yang berarti "gunung samudra."
 
BalatentaraTentara [[Korawa]] menyerang laksana gelombang lautan yang menggulung-gulung, sedang pasukan [[Pandawa]] yang dipimpin Resi Seta menyerang dengan dahsyat seperti senjata yang menusuk langsung ke pusat kematian. Sementara itu Rukmarata, putra Prabu Salya datang ke Kurukshetra untuk menonton jalannya perang. Meski bukan anggota pasukan perang, dan berada di luar garis peperangan, ia telah melanggar aturan perang, dengan bermaksud membunuh Resi Seta, Pimpinan Perang Pandawa. Rukmarata memanah Resi Seta namun panahnya tidak melukai sasaran. Setelah melihat siapa yang memanahnya, yakni seorang pangeran muda yang berada di dalam kereta di luar garis pertempuran, Resi Seta kemudian mendesak pasukan lawan ke arah Rukmarata. Setelah kereta Rukmarata berada di tengah pertempuran, Resi Seta segera menghantam dengan [[gada]] (pemukul) Kyai Pecatnyawa, hingga hancur berkeping-keping. Rukmarata, puteraputra mahkota Mandaraka tewas seketika.
 
Dalam peperangan tersebut Arya Utara gugur di tangan Prabu [[Salya]] sedangkan Arya Wratsangka tewas oleh Pendeta [[Drona]]Durna. [[Bisma]] dengan bersenjatakan Aji Nagakruraya, Aji Dahana, busur Naracabala, Panah kyai Cundarawa, serta senjata Kyai Salukat berhadapan dengan Resi Seta yang bersenjata [[gada]] Kyai Lukitapati, pengantar kematian bagi yang mendekatinya. Pertarungan keduanya dikisahkan sangat seimbang dan seru, hingga akhirnya Bisma dapat menewaskan Resi Seta. Bharatayuddha babak pertama diakhiri dengan sukacita pihak [[Korawa]] karena kematian pimpinan perang [[Pandawa]].
 
=== Babak Kedua ===
 
Setelah Resi Seta gugur, [[Pandawa]] kemudian mengangkat [[Drestadyumna|Trustajumena]] (TrustajumenaDrestadyumna) sebagai pimpinan perangnya dalam perang Bharatayuddha. Sedangkan [[Bisma]] tetap menjadi pimpinan perang [[Korawa]]. Dalam babak ini kedua kubu berperang dengan siasat yang sama yaitu ''Garudanglayang'' (Garuda terbang).
 
Dalam pertempuran ini dua anggota [[Korawa]] kembar, yaitu Wikataboma dan kembarannya, Bomawikata, terbunuh setelah kepala keduanya diadu oleh [[Bima (tokoh Mahabharata)|Bima]]. Sementara itu beberapa raja sekutu Korawa juga terbunuh dalam babak ini. Diantaranya [[Susarma|Prabu Sumarma]] (Susarma), raja [[kerajaan Trigarta|Trigartapura]] tewas oleh Bima, Prabu Dirgantara terbunuh oleh Arya [[SatyakiSetyaki]], Prabu Dirgandana tewas di tangan Arya Sangasanga (anak Setyaki), Prabu Dirgasara dan Surasudirga tewas di tangan [[Gatotkaca]], dan Prabu Malawapati, raja Malawa tewas terkena panah Hrudadali milik [[Arjuna]].
 
Bisma setelah melihat komandan pasukannya berguguran kemudian maju ke medan pertempuran, mendesak maju menggempur lawan. Atas petunjuk [[Kresna]], Pandawa kemudian mengirim Dewi Wara [[Srikandi]] untuk maju menghadapi Bisma. Dengan tampilnya prajurit wanita tersebut di medan pertempuran menghadapi Bisma. Bisma merasa bahwa tiba waktunya maut menjemputnya, sesuai dengan kutukan Dewi [[Amba]] yang tewas di tangan Bisma. Bisma gugur dengan perantaraan panah Hrudadali milik [[Arjuna]] yang dilepaskan oleh istrinya, Srikandi.
 
<!-- BAGIAN INI SAYA SEMBUNYIKAN KARENA TIDAK ADA DALAM CERITA DAN MENURUT SAYA DIHAPUS SAJA. DALAM CERITA PERANG INI WATAK KSATRIA ADALAH HAL UTAMA, JADI TAWUR DEMI KEMENANGAN TIDAK ADA, KARENA TIDAK SESUAI DENGAN AJARAN MORAL SAAT ITU. PERANG DISINI YANG UTAMA BUKAN KEMENANGAN TAPI YANG UTAMA ADALAH KEHORMATAN SEBAGAI SEORANG SATRIA.=== Tawur demi kemenangan ===
 
Baris 97 ⟶ 91:
 
== Kutipan dari [[Kakawin Bharatayuddha]] ==
 
[[Berkas:Kakawin Bharatayuddha (Gunning 1901-51).png|thumb]]
Kutipan di bawah ini mengambarkan suasana perang di [[Kurukshetra]], yaitu setelah pihak [[Pandawa]] yang dipimpin oleh Raja [[Drupada]] menyusun sebuah barisan yang diberi nama “[[Garuda]]” yang sangat hebat untuk menggempur pasukan [[Korawa]].
 
Baris 105 ⟶ 99:
! align=center bgcolor=silver| '''Terjemahan'''
|-
| ''Ri huwusirəhuwusira pinūjā dé sang wīrəwīra sirəsira kabèh, ksanakṣana rahinərahina kamantyan mangkat sang Drupada sutəDrupadasuta, tka marêpatatingkah byūhānung bhayəbhaya bhisaməbhisama, ngarani glarirèwêh kyāti wīrəwīra kagəpatikagêpati''
| Setelah selesai dipuja oleh ksatriakesatria semuanya, maka pada siang hari berangkatlah Sangsang Rajaputra puteraraja Drupada ([[Drestadyumna]]), setibanya telah siap mengatur barisan yang sangat membahayakan,; nama barisannya yang berbahaya ialah “Garuda”“[[Garuda]]” yang masyurmasyhur gagah berani.
|-
| ''Drupada pinakəpinaka têndas tan len Pārtha sirəsira patuk, parəpararatu Ratusira sirə prstapṛṣṭa śrī Dharmātmaja pinuji, hlari têngênikī sang DrstadyumnaDṛṣṭadyumna sahəsaha baləbala, kiwə pawanəkiwa sutāPawanasutā kas kocap Satyaki ri wugat.''
| Raja [[Drupada]] merupakanadalah kepala dan tak lain [[Arjuna]] sebagai paruh, para Rajaraja merupakan punggung dan Maharaja [[Yudistira]] sebagai pimpinan, sayap bagian kanan merupakan Sang [[Drestadyumna]] bersama bala tentara, sayap kiri merupakan [[Bhima|Bima]] yang terkenal kekuatannya dan [[Satyaki]] pada ekornya.
|-
| ''Ya ta tiniru tkapṭkap Sang śrīŚrī Duryodhana pihadhan, SakuniŚakuni pinakəpinaka têndas manggêh Śālya sirəsira patuk, dwi ri kiwa ri têngên Sang BhīsmaBhīṣma DronaDroṇa panalingəpanalinga, KuruKurupati patisira Sirə prstəpṛṣṭa dyah Duśśāsana ri wugat.''
| Hal itu ditiru pula oleh Sang [[Duryodana]]. Sang Sakuni[[Sangkuni]] merupakanadalah kepala dan ditetapkan Raja Madra sebagai paruh, sayap kanan kiri adalah RsiResi Bhisma[[Bisma]] dan pendeta [[Drona]] yang merupakan telinga, RajaKurupati Kuru(Duryodana) merupakanadalah punggung dan Sang [[Dursasana]] pada ekor.
|-
| ''Ri tlasirətlasira matingkah ngkā ganggā sutəGanggāsuta numaso, rumusaki pakekesning byuhē pāndawəpāndawa pinanah, dinasədinasa gunəguna tkap Sang Pārthāng laksəlakṣa mamanahi, linudirakinambah de Sang Bhīma kasulayah.''
| Setelah semuanya selesai mengatur barisan, kala itu RsiResi BhismaBisma maju ke muka, merusak bagian luar pasukan Pandawa dengan panah, dibalas oleh Arjuna berlipat ganda menyerang dengan panah, ditambah pula diterjang oleh Sang Bima sehingga banyak bergelimpangan.
|-
| ''KarananikəKarananika rusāk syuh norā paksəpakṣa mapuliha, pirəpira ta kunangtusnyang yodhāgal mati pinanah, Kurupati KrpaKṛpa Śalya mwang Duśśāsana Śakuni, padhəpadha malajêngumungsir BhīsmaBhīṣma DronaDroṇa pinakəpinaka toh.''
| Sebab itu binasa hancur luluh dan tak seorang pun hendak membalas, entah berapa ratus pahlawan yang gugur dipanah, Raja[[Duryodana|Kurupati]] Kuru –(Duryodana), Pendeta Kripa –[[Krepa]], Raja [[Salya]], dan Sang [[Dursasana]] serta Sang Sakuni[[Sangkuni]], sama-sama lari menuju RsiResi BhismaBisma dan Pendeta Drona yang merupakan taruhan.
|-
| ''Niyata laruta sakwèhning yodhā sakuru kula, ya tanangutusa sang śrī BhīsmaBhīṣma DronaDroṇa sumuruda tuwi pêtêngi wêlokning rènwa ngdéngda lêwu wulangun, wkasanawa tkapning rah lumrā madhêmi lebūlêbū''.
| Niscaya akan bubar lari tunggang langgang para pahlawan bangsa KaurawaKorawa, jika tidak disuruh oleh RsiResi BhismaBisma dan Pendeta Drona agar mereka mundur, ditambah pula keadaan gelap karena mengepulnya debu membuat mereka bingung tidak tahu keadaan,; akhirnya keadaan terang karena darah berhamburan memadamkan debu.
|-
| ''Ri marinika ptêng tang rah lwir sāgara mangêbêk, maka lêtuha rawisning wīrāh māti mapupuhan, gaja kuda karanganya hrūng jrah pāndanika kasêk, aracana makakawyang śārā tan wêdi mapulih.''
| Setelah gelap menghilang, darah seakan-akan air laut pasang,. yangYang merupakan lumpurnya adalah kain perhiasan para pahlawan yang gugur saling bantai, bangkai gajah dan kuda sebagai batu karangnya, dan senjata panah yang bertaburan laksana pandan yang rimbun,. sebagaiBagai orang menyusun suatu karangan, para pahlawan yang tak merasagentar takutpun membalas dendam.
|-
| ''Irika nasēmu képwan Sang Pārthārddha kaparihain, lumihat i paranāthākwèh māting ratha karunna, nya Sang Irawan anak Sang Pārthāwās lawan Ulupuy, pêjah alaga lawan Sang ÇrênggiṢṛnggi rākshasarākṣasa nipunna.''
| Ketika itu rupanya Arjuna menjadi gelisah dan agak kecewa, setelah ia melihat Rajaraja-Rajaraja yang secara menyedihkan terbunuh dalam keretanya,. diDi sanalah terdapat Sang [[Irawan]], anak Sang Arjuna dengan Dewi [[Ulupi]] yang gugur dalam pertempuran melawan [[Alambusa|Sang Srenggi]], seorang [[rakshasa|raksasa]] yang ulung.
|}
 
== Referensi ==
{{reflist}}
 
== Lihat pula ==
* [[Perang di Kurukshetra]]
* ''[[Kakawin Bharatayuddha]]''