Purwodadi, Barat, Magetan: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
gelar eyang |
k →Sejarah: clean up |
||
(16 revisi perantara oleh 9 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Desa
|peta =
|nama =Purwodadi
|provinsi =Jawa Timur
|dati2 =Kabupaten
|nama dati2 =Magetan
|kecamatan =Barat
|kode pos =63395
|nama pemimpin =-
|luas =..8. km²
|penduduk =..2000. jiwa
|kepadatan =..500. jiwa/km²
}}
'''Purwodadi''' adalah sebuah nama [[desa]] di wilayah [[Barat, Magetan|kecamatan Barat]], [[kabupaten Magetan]], Provinsi [[Jawa Timur]].
<!--
== Sejarah ==
Pada zaman dahulu Desa Purwodadi sebenarnya adalah sebuah hutan, dan didirikanlah sebuah pemukiman penduduk hingga berdiri sebuah Kadipaten Purwodadi yang megah pada saat itu, dengan bangunan Kadipaten yang luasnya kurang lebih sekitar 4 hektar.
Berdirinya Kadipaten ini menunjukan bahwa Purwodadi pada waktu itu memiliki
peran penting terhadap Kabupaten Magetan pada masa Perang Diponegoro
berlangsung . Desa Purwodadi merupakan sebuah desa yang terletak di perbatasan
Kecamatan Barat dan Kecamatan Karangrejo, dan memiliki letak lapangan yang sangat
strategis yang dahulunya ini adalah sebuah alun - alun kota dan dijadikan pasar
pon pada saat Kadipaten Purwodadi masih aktif .
Semenjak kedatangan para priyayi dari Puro Mangkunegaran yang bernama ''Raden Ahmad'', daerah hutan tersebut
dirubahnya menjadi sebuah pemukiman penduduk pada hari ''Senin Kliwon'' Bulan Mulud ( salah satu nama bulan Jawa ) . Dia
adalah seorang bangsawan dari Praja Mangkunegaran yang kalah perang dengan
kompeni Belanda . Karena pada saat itu daerah Jawa Tengah telah menjadi daerah
yang rawan serangan kompeni Belanda . Raden Ahmad mendapat saran dari Adipati
Semarang untuk pergi ke daerah Gunung Lawu sebelah timur, akhirnya Dia dan
para pengikutnya menerima masukan tersebut dan pergi ke arah Gunung Lawu ditemani
dengan ''Raden Arya Damar'' putra dari
Adipati Semarang . Setelah sampai disekitaran Gunung Lawu sebelah timur, Raden Arya
Damar memberi saran kepada Raden Ahmad untuk berhenti dan mendirikan sebuah pemukiman
di daerah tersebut (Sumarsini, 2015).
Seiring berjalannya waktu pemukiman semakin hari semakin ramai dan kedatangan rombongan
bangsawan dari Yogyakarta dan meminta izin menidirikan sebuah benteng
pertahanan untuk dijadikanlah Kadipaten pada waktu Perang Diponegoro berlangsung
di daerah ini ( sekitar tahun 1825 ) . Perang Jawa ( 1825 - 30 ) adalah garis batas
dalam sejarah Jawa dan Indonesia umumnya antara tatanan lama Jawa dan zaman
modern . Itulah masa dimana untuk pertama kali sebuah pemerintahan kolonial
Eropa menghadapi pemberontakan sosial yang berkobar di sebagian besar Pulau Jawa.
Hampir seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta banyak daerah lain di
sepanjang pantai utaranya, terkena dampak pergolakan itu . Dua juta orang, yang
artinya sepertiga dari penduduk Jawa, terpapar oleh kerusakan perang;
seperempat dari seluruh lahan pertanian yang ada, rusak; dan jumlah penduduk
Jawa yang tewas mencapai 200.000 orang (Carey 1976:52 catatan 1).
Bangsawan tersebut adalah anak dari Pangeran Diponegoro yang mendapatkan tugas dari
ayahnya untuk mengikuti perang dan memperkuat daerah Bumi Mataram agar terbebas
dari penjajah Belanda dengan mendirikan benteng pertahanan dan Kadipaten . Anak
kedua Pangeran Diponegoro yang datang menemui Raden Ahmad bernama ''R.M Dipokusumo / R.M Dipoatmodjo / Pangeran''
Abdul Aziz '', Dia datang atas perintah dari ayahnya Pangeran Diponegoro
yang dikenal oleh masyarakat sekitar dengan sebutan Sultan Erutjokro dan ditemani
oleh para pengikutnya . Sebagai seorang pendiri dari Kadipaten Purwodadi atas
perintah dari Pangeran Diponegoro, Dia diangkat sebagai Adipati resmi dan
mempersiapkan prajurit - prajurit perang untuk melawan penjajah Belanda .
R.M Dipokusumo menjabat Adipati tidak terlalu lama, ini dikarenakan tugas Dia
untuk melanjutkan amanah dari ayahnya dalam melawan penjajah Belanda di daerah
lain, kemudian Dia menunjuk ''R.Ng
Mangunnegoro'' sebagai Adipati sekaligus panglima perang di daerah ini, namun''
takdir berkata lain dimana R.Ng Mangunnegoro akhirnya gugur dalam medan
pertempuran di daerah Bagi . Akhirnya posisi panglima perang digantikan oleh
anaknya yang bernama ''R. Ng Mangunprawiro ''sekaligus
sebagai Adipati di Kadipaten Purwodadi setelah “Perjanjian Sepreh” . Pada masa
kepemimpinannya penjajah Belanda berhasil menguasai Magetan dan membaginya
sistem pemerintahan di Magetan menjadi 7 daerah kekuasaan oleh Belanda, yang
diputuskan dalam pertemuan semua Bupati se-wilayah Mancanegara Wetan pada 3-4
Juli 1830 di Desa Sepreh, Kabupaten Ngawi yang mengharuskan Kadipaten Purwodadi untuk tunduk
kepada pemerintah Belanda bersamaan dengan 7 Kadipaten lainnya di Magetan .
Pangeran Dipokusumo adalah anak kedua dari ''B.P.H
Diponegoro / Pangeran Diponegoro / B.R.M Mustahar / R.M Ontowirjo / Sultan Ngabdulhamid
Erutjokro Sayidin'' ''Panatagama Khalifat
Rasulullah ing Tanah Jawa ''dari isteri pertamanya ''R. Ay Retno Madubrongto ''yang merupakan puteri kedua dari ''Kiai Gede Dadapan '', ulama terkemuka dari
Desa Dadapan, dekat Tempel-Sleman, daerah Yogyakarta (Carey 2014:26) . Kadipaten
tersebut diberi nama Kadipaten Purwodadi dikarenakan nama Purwodadi berasal
dari kata ''“Purwo”'' yang berarti ''“wiwitan”'' dan ''“dadi”'' yang berarti ''“dumadi”'',
dengan maksud awal berdirinya sebuah Kadipaten .
Purwodadi adalah nama salah satu desa yang terletak
di Kecamatan Barat, Kabupaten Magetan, Jawa timur, Indonesia. Letak yang sangat
strategis membuat Purwodadi menjadi dikenal di daerah-daerah disekitarnya. Saat
ini desa Purwodadi dipimpin oleh seorang Kepala Desa perempuan yang bernama
Suci Minarni, beliau adalah lurah perempuan
pertama desa ini. Bu Suci, begitulah masyarakat sekitar memanggil dan
menyapa beliau. Kepala Desa perempuan yang hebat dan memiliki jiwa sosial
maupun kepeduliaan terhadap masyarakat yang tinggi. Wajah manis dan senyuman
ramah tiap pagi yang khas saat beliau masuk kerja di kantor Kepala Desa
Purwodadi dengan mengendarai sepeda motor dinasnya. Wanita kelahiran pada rabu
wage tanggal 5 Juni 1970 ini merupakan calon kepala desa tunggal desa ini yang
kemenangannya mutlak beliau dapatkan. Beliau juga cucu dari Kromorejo atau Mbah
Gong yang merupakan lurah pertama desa ini.
Mbah Gong menjadi lurah pertama Desa Purwodadi yang
langsung ditunjuk oleh Raden Mas Arya ( R.M.A ) Kertohadinegoro yang terkenal
di masyarakat Magetan dengan sebutan Gusti Ridder. Beliau mendapat julukan Mbah
Gong karena dahulu beliau satu-satunya masyarakat di daerah sini yang memiliki
Gong pertama kali dan menjadi penguasaha gamelan jawa yang sangat terkenal pada
waktu itu. Usahanya pun bermacam-macam dan bisa dibilang beliau merupakan
pengusaha sukses. Saat penunjukan Mbah Gong menjadi lurah pertama yang ditunjuk
langsung oleh Gusti Ridder, waktu itu beliau sedang berada di pasar hewan
karena bisnis beliau tidak hanya gamelan jawa saja melainkan juga memiliki
peternakan maupun perkebunan yang luas dengan puluhan buruh-buruh yang setia
mengabdi kepada beliau. Gusti Ridder yang pada waktu itu menjabat sebagai
Bupati Magetan langsung turun sendiri dan mencari Mbah Gong di pasar hewan.
Disitu pun terjadi perjanjian antara Mbah Gong dan Gusti Ridder, yakni Mbah
Gong bersedia ditugaskan sebagai lurah desa Purwodadi asalkan beliau tidak
meninggalkan semua bisnis-bisnisnya karena menurut beliau menjadi lurah ini
adalah sebuah pengabdian dimana beliau bertanggung-jawab penuh terhadap
masyarakat Purwodadi. Saat itu pun Mbah Gong menjadi lurah tidak mendapat
bayaran, beliau membayar pamong-pamongnya mengguanakan uang pribadi. Tidak
heran jika Mbah Gong sangat disegani oleh masyarakat disekitarnya. Mbah Gong
memiliki empat orang isteri yang membuat keluarga Mbah Gong menjadi keluarga
besar.
Bu Suci selain menjadi lurah perempuan pertama desa
ini, kebetulan beliau adalah cucu dari Mbah Gong. Beliau adalah cucu dari garis
trah isteri kedua Mbah Gong yang bernama Tukinem dan memiliki 8 orang anak.
Wanita hebat yang merupakan anak dari Hardjo Lamidi ini bekerja keras menjadi
tulang punggung keluarganya semenjak sakit dan meninggalnya suami tercinta
beliau yang bernama Agus Prayitno pada tahun 2010. Bekerja keras untuk
anak-anak dan mengabdi kepada masyarakat adalah kegiatan keseharian beliau saat
ini semenjak terpilihnya menjadi Kepala Desa Purwodadi. Selain itu beliau juga memiliki
tiga orang anak yang sedang menempuh pendidikan, ini merupakan tanggung jawab
yang besar, tugas, amanat kepada beliau untuk menjadikan sosok wanita yang kuat
dan tegar. Dimana beliau selain mengurus keluarganya seorang diri, juga
bertanggung jawab untuk mengabdi kepada masyarakat desa Purwodadi. Rasa bahagia
terasa saat dimana diumumkannya beliau menjadi Kepala Desa Purwodadi dan
dilantik oleh Bupati Magetan bapak K.R.A Sumantri Notohadinagoro pada
tanggal 20 Desember 2013.
Pada tanggal 4 Juli 1830 atau 3 Sura
tahun Je 1758, Belanda mengadakan konferensi di desa Sepreh (Ngawi), dengan
mengundang semua Bupati Mancanegara wetan. Ketetapan konferensi itu bahwa semua
Bupati Mancanegara wetan harus menolak kekuasaan Sultan Yogyakarta dan
Susuhunan Surakarta dan mulai saat itu harus tunduk kepada Belanda di Batavia.
Sejak tahun 1830 Kabupaten Magetan
menjadi daerah jajahan Belanda. Pada masa itu yang menjabat Bupati Magetan
adalah R.T. Sasrawinata (wafat tahun 1837). Kabupaten Magetan dipecah menjadi 7
daerah Kadipaten, yaitu:
1. Kadipaten
Magetan I (kota) dengan Bupati R.T. Sasrawinata
2. Kadipaten
Magetan II (Plaosan) dengan Bupati R.T. Purwawinata
3. Kadipaten
Magetan III (Panekan) dengan Bupati R.T. Sastradipura
4. Kadipaten
Magetan IV (Goranggareng Genengan) dengan Bupati R.T. Sasraprawiro yang berasal
dari Madura.
5. Kadipaten
Magetan V (Goranggareng Ngadirejo) dengan Bupati R.T. Sastradirya
6. Kadipaten
Maospati (setelah ditinggalkan oleh Bupati wedana R. Ronggo Prawiradirja),
Bupatinya R.T. Yudaprawiro.
7.
Kadipaten
Purwodadi, Bupatinya R. Ngabehi Mangunprawiro (sejak tahun 1825 disebut R.
Ngabehi Mangunnagara).
Pada tahun 1837 Kadipaten Magetan II dan Magetan III
dihapuskan dan dijadikan satu dengan Kadipaten Magetan I. Pada tahun 1866 Kadipaten
Goranggareng dihapuskan. Pada tahun 1870 kadipaten Purwodadi dihapuskan.
Desa Purwodadi memiliki banyak sejarah dan ikut
andil dalam kepemerintahan Kabupaten Magetan. Dahulu kala di desa ini berdiri
Kadipaten yang megah yang bernama “Kadipaten Purwodadi”. Berikut adalah 5
Adipati yang menjabat di Kadipaten Purwodadi:
-
R.Ng. Mangunprawiro alias R.Ng.
Mangunnagara
-
R.T. Ranadirja
-
R.T Sumodilaga
-
R.T Surakusumo, dan
-
R.M.T Sasranegara ( Gusti
Papak ).
<span lang="SV">Pada tahun 1870 Kadipaten Purwodadi dihapuskan. ''Berturut-turut yang menjabat Adipati di
Purwodadi setelah ”Perjanjian Sepreh” adalah:''</span>
·
''R. Ng. Mangunprawiro alias R. Ng.
Mangunnagara''
<span lang="ES">·
''R. T. Ranadirja''</span>
<span lang="ES">·
''R. T.
Sumodilaga''</span>
<span lang="ES">·
''R. T.
Surakusumo''</span>
<span lang="ES">·
''R. M. T.
Sasranegara (1856-1870). ''(www.magetankab.go.id/note/161)</span>
<span lang="ES">Sebelum perjanjian sepereh ada dua pemimpin yang menjabat
yaitu'': Pangeran Dipokusumo/R.M
Dipoatmodjo ''dan'' Kandjeng Pangeran
Mangunnegoro ''(yang meninggal dalam pertempuran Perang Diponegoro di daerah
Desa Bagi). Kadipaten Purwodadi pada saat itu Adipati yang menjabat adalah
Kandjeng Pangeran Mangunnegoro yang sangat benci dan menentang kompeni Belanda
semenjak Gubernur Jenderal Daendels, yang akhirnya juga jatuh ke tangan
Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1830. (Magetan 1976, halaman 30)</span>
<span lang="ES">Beberapa Adipati yang menjabat di Kadipaten Purwodadi
dan R.Ng Mangunprawiro yang ditunjuk sebagai panglima perang di daerah Magetan-Madiun-Ngawi
selama perang berlangsung. Nama Dia juga sudah tercatat dalam berbagai buku
yang menerangkan kisah perang Pangeran Diponegoro. Setelah Kadipaten Purwodadi
berhasil dikuasai oleh Belanda, dimana seperti diterangkan dalam isi perjanjian
sepreh bahwa Kadipaten Purwodadi harus tunduk kepada pemerintahan Belanda.
Semenjak saat itu Kadipaten Purwodadi yang sangat anti dan melawan Belanda,
akhirnya jatuh juga ke tangan Belanda pada tahun 1830. Dari situ Belanda
mempunyai wewenang penuh untuk mengatur semua sistem pemerintahan yang ada.
Hingga pada tahun 1870 Belanda mengeluarkan sebuah keputusan yang menerangkan
bahwa Kadipaten Purwodadi dileburkan menjadi satu dengan Kabupaten Magetan. </span>
<span lang="ES">Kemudian setelah Kadipaten Purwodadi dihapuskan pada
tahun 1870 pada era R.M.T Sasranegara dan akhirnya Kadipaten Purwodadi dileburkan
menjadi satu dengan Kabupaten Magetan. Hingga akhirnya Purwodadi diubahnya menjadi
daerah kademangan yang dipimpin oleh seorang ''“Demang”'' yang bernama ''R.
Madijosentono''. Oleh demang R. Madijosentono, Purwodadi dibaginya menjadi
2 desa yang bernama:</span>
<span lang="ES">1. Temulus,
yang dipimpin oleh ''Sastro Gatok''</span>
<span lang="ES">2. Purwodadi,
yang dipimpin oleh ''Marto Ikromo''</span>
<span lang="ES">Setelah beberapa bulan menjabat kedua kepala desa
tersebut meninggal dunia dan digantikan oleh ''Riwuk'' untuk desa Purwodadi dan ''Martowidjojo-Ingsun
''untuk desa Temulus. Tidak lama kemudian Riwuk mengundurkan diri dan
digantikan oleh ''R.M Kromoredjo ( Mbah
Gong )'' yang ditunjuk langsung oleh ''R.M.A
Kertohadinegoro ( Gusti Ridder )'' seorang Bupati Magetan. Pada saat
penunjukan Mbah Gong sebagai kepala desa, Gusti Ridder turun langsung untuk
mencari Dia yang saat itu berada di Pasar hewan.</span>
<span lang="ES">R.M Kromoredjo yang mempunyai nama kecil ''(asma timur'') R.M Kasio merupakan cucu
dari ''R.M Dipokusumo'' dari puteranya
yang bernama ''R.M Dipokromo''. Dia
menjabat sebagai Kepala Desa Purwodadi dari tahun 1902 sampai 1920. Pada masa
kepemimpinannya datanglah seseorang yang mengaku seorang bangsawan dari
Yogyakarta yang bernama ''R.M Papak (Gusti
Papak)'' dan ingin mendiami bangunan bekas Kadipaten Purwodadi. Dia
mengaku sebagai cucu dari Nyi Ageng Serang dan sama-sama keluarga ''Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
''yang ikut membantu selama Perang Diponegoro berlangsung di daerah
perbatasan Magetan-Madiun-Ngawi.</span>
<span lang="ES">Saat itu Martowidjojo-Ingsun hanya menjabat sebagai
Kepala Desa Temulus dengan waktu yang singkat, ini dikarenakan waktu itu Dia
telah memberikan ijin kepada orang yang mengaku R.M Papak untuk tinggal didalam
Kadipaten Purwodadi, dan diketahuinya oleh Gusti Ridder yang menjabat sebagai
Bupati Magetan. Kejadian itu membuat Gusti Ridder marah besar dan memberhentikan
jabatan Martowidjojo-Ingsun sebagai Kepala Desa Temulus, dan digantikan oleh
Pontjodirjo yang merupakan anak menantu dari Martowidjojo-Ingsun.</span>
<span lang="ES">Niat dari orang yang mengaku sebagai R.M Papak digagalkan
oleh R.M Kromoredjo/Mbah Gong atas perintah dari Gusti Ridder, setelah
kedatangan orang tersebut Mbah Gong langsung datang ke Keraton Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat menemui Sri Sultan Hamengku Buwono VII untuk mengecek kebenaranya
dan ternyata Dia bukan R.M Papak yang sebenarnya. Ini dikarenakan bahwa R.M
Papak cucu Nyi Ageng Serang yang sebenarnya telah meninggal pada tahun 1836 dan
ayahnya diasingkan di Ambon pada tahun 1840. Kemudian bangunan pendopo ageng
beserta bangunan-bangunan lainya didalam tembok Kadipaten Purwodadi dibongkar
dan dibawa penjajah Belanda untuk menambah sebuah bangunan di Kantor Residensi
Madiun. Semenjak itu tanah Kadipaten Purwodadi diijinkan oleh pihak Keraton
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat untuk dimiliki R.M Kromoredjo/Mbah Gong
beserta keturunannya secara turun-temurun.</span>
<span lang="ES">Akhirnya Gusti Ridder mengeluarkan sebuah peraturan untuk
menjadikan kedua desa tersebut (Purwodadi dan Temulus) menjadi satu yaitu dengan
nama “''Desa Purwodadi”''. Setelah itu
diadakanlah pemilihan Kepala Desa Purwodadi yang dipilih langsung oleh rakyat,
untuk pertama kalinya dan dimenangkan oleh ''Dandel/Toredjo''.
Dia merupakan anak menantu dari Mbah Gong dan merupakan Kepala Desa pertama
setelah bersatunya Purwodadi dan Temulus (R. Hardjo Wijono Parmin)</span>
<span lang="ES">Pada tahun 1953
kepala desa Dandel/Toredjo menngundurkan diri karena sudah berusia lanjut,
diadakanlah pemilihan kepala desa baru dan dimenangkan oleh ''R. Losodihardjo''. Pada masa kepemimpinan
kepala desa Losodihardjo pernah diadakan pameran yang mengeluarkan semua hasil
produk desa dan dipamerkan dalam acara tersebut. Tahun 1968 kepala desa
Purwodadi meninggal dan diadakan
pemilihan kepala desa baru, kemudian dimenangkan oleh ''R. Sukarmo''. Pada masa kepemimpinan Dia, dibangunlah sebuah
kantor desa yang dipergunakan untuk kepala desa yang menjabat di Desa Purwodadi
secara berkelanjutan sampai seterusnya. Sebelum dibangunnya kantor desa pada
masa kepemimpinan R. Sukarmo, kantor kepala desa yang digunakan untuk
administrasi dan segala urusan desa berada di rumah pribadi milik kepala desa
yang menjabat saat itu.</span>
<span lang="ES">Kepala Desa R. Sukarmo menjabat sebagai kepala desa selama
21 tahun yang berakhir pada tahun 1989. Pada tahun 1990, diadakanlah pemilihan
kepala desa baru yang dimenangkan oleh ''R.
Latiyanto''. Setelah 8 tahun menjabat, diadakanlah pemilihan kepala desa pada
tahun 1998 dan dimenangkan oleh ''R. Didik
Diarto'', Dia menjabat kepala desa selama dua periode sampai tahun 2013. Pada
tanggal 20 Oktober 2013 diadakan pemilihan kepala desa dan terpilihlah ''R. Ngt Suci Minarni'' sebagai Kepala Desa
Purwodadi selanjutnya, dan Dia merupakan kepala desa perempuan pertama di Desa
Purwodadi yang dilantik pada tanggal 17 Desember 2013 di Pendopo Surya Graha
Kabupaten Magetan. Karena Kepala Desa Purwodadi adalah seorang perempuan, maka
dalam kegiatan organisasi wanita (PKK) desa ditugaskan kepada R. Ngt Warsi, M.
Pd yang kebetulan Dia juga merupakan cucu buyut dari R. Ay Kamisah anak
pertama dari R.M Dipokromo. Dia juga sebagai tokoh wanita yang selalu aktif dalam
organisasi pemerintahan desa. Kemudian saat itu Desa Purwodadi terpilih untuk
mengikuti lomba HKG-PKK mewakili Kecamatan Barat hingga mendapatkan juara 1
dalam 10 Program Pokok PKK dan juara 2 HKG se-Kabupaten Magetan yang ditunjuk
untuk mewakili Kabupaten Magetan maju ke tingkat Provinsi Jawa Timur. R. Ngt
Suci Minarni berkeinginan agar Desa Purwodadi lebih maju dan mempunyai daya tarik
yang memiliki identitas tersendiri dan menjadi ciri khas dari Desa Purwodadi
dimana disini terdapat peninggalan-peninggalan sejarah, seperti Kadipaten
Purwodadi. </span>
Pada
tahun 1870 Kadipaten Purwodadi dihapuskan dan dijadikan satu dengan Kadipaten
Magetan. Semenjak itu Kadipaten Purwodadi tidak aktif dan bangunan pendopo
didalamnya dibongkar untuk dipindahkan ke kantor Residen waktu itu. Setelah
semua bangunan kosong didalamnya bekas kadipaten ini diambil alih oleh Mbah
Gong. Dahulu beliau menemui langsung Kanjeng Sultan agar bekas tanah kadipaten
ini dikelola oleh beliau. Melalui beberapa perjanjian dengan Sultan, akhirnya
setelah Gusti Papak tidak menjabat sebagai Adipati disini, Mbah Gong yang
mengambil alih bekas Kadipaten ini. Saat itu Mbah Gong sempat meminta ijin
kepada Kanjeng Sultan untuk mendirikan bangunan lagi semenjak dibongkarnya
pendopo untuk dijadikan Kantor Residen di Madiun, namun Kanjeng Sultan tidak
menghendaki dan disuruhnya untuk menanami tanaman yang bisa dimakan oleh
masyarakat. Yang boleh memiliki tanah ini pun harus masih keluarga dan
keturunan dari Mbah Gong, karena menurut mitos dan perjanjian dengan leluhur
jaman dahulu kalau bukan keluarga biasanya tidak kuat untuk memiliki tanah
bekas Kadipaten Purwodadi ini.
Pada
zaman penjajahan Jepang, Jepang memiliki akal busuk untuk memanfaatkan batu
bata bekas Kadipaten ini untuk dibuat bangunan Bandara di Surabaya. Karena
waktu itu yang memegang alih bekas Kadipaten ini adalah Mbah Gong, Jepang pun
meminta ijin kepada Mbah Gong. Dengan rasa berat hati, beliau pun memberi ijin
Jepang untuk membawa batu bata pagar dari Kadipaten ini karena Jepang
memintanya dengan paksaan. Namun setelah dibawa oleh Jepang, dalam
perjalanannya pun menurut cerita dari buruh-buruh Jepang ada hal-hal keanehan
yang terjadi. Sesampainya batu bata ini di Surabaya, banyak dari buruh-buruh
dan penjajah Jepang sendiri yang meninggal misterius. Mereka banyak yang
meninggal dengan perut buncit dan akhirnya mbledos (istilah jawanya). Banyak
dari mereka yang bermimpi aneh yang menyuruh untuk mengembalikan batu bata ini
kepada Mbah Gong. Dalam mimpi mereka konon kalau batu bata ini tidak
dikembalikan ke Mbah Gong atau ke asalnya di desa Purwodadi, maka tempat yang
dibangun dengan menggunakan batu bata ini akan menjadi tempat yang wingit atau
angker dan memakan banyak korban sampai meninggal dunia. Batu bata ini adalah
batu bata bekas Ratu atau Adipati yang tidak sembarangan orang bisa memilikinya,
jadi batu bata maupun lahan didalamnya meiliki nilai mistis maupun aura
tersendiri. Sesuai dengan kesepakatan dan perjanjian Mbah Gong dengan Kanjeng
Sultan yang tidak boleh bekas Kadipaten ini dimiliki oleh darah lain karena
dikhawatirkan tidak kuat untuk memilikinya.
Suatu
ketika pun Jepang mengerahkan pasukannya untuk menyerahkan kembali batu bata
bekas Kadipaten Purwodadi ini kepada Mbah Gong. Pagar sebelah utara yang sudah
dibongkar oleh Jepang ditata kembali
oleh masyrarakat atas perintah dari Mbah Gong. Masyarakat Purwodadi pun dengan
penuh semangat dan kebersamaan menata kembali pagar Kadipaten ini. Pada waktu
itu Jepang benar-benar merasa ketakutan akan hal ini dan mereka tidak mau
mengambil resiko yang lebih parah karena saat itu sudah memakan banyak korban
nyawa. Setelah ditatanya kembali seperti semula, Mbah Gong pun menjadikan tanah
bekas Kadipaten ini dengan perkebunan pribadi beliau dan diberi nama kebon jero
( bonjero ), kira-kira tanah bekas
Kadipaten ini memiliki luas sekitar 4 hektar. Kebon berarti kebun dan jero
berarti dalam, tanah ini diberi nama “bonjero” karena lahan yang berada didalam
tanah bekas Kadipaten ini dimanfaatkan untuk perkebunan, jadi kebun yang
terletak didalam pagar bekas Kadipaten Purwodadi. Sampai saat ini pun tanah
bekas Kadipaten ini dikelola oleh keluarga keturunan dari Mbah Gong.
Masyarakat
sering menyebutnya dengan nama bonjero dalam bahasa halusnya adalah kebondalem.
Pihak keluarga dari Mbah Gong juga memanfaatkan tanah didalamnya untuk bercocok
tanam. Dahulu pada waktu Mbah Gong masih sugeng, banyak tanaman yang tumbuh
didalamnya. Saat musim panen sudah tiba, tanah bonjero menjadi lahan yang
kosong dan luas. Biasanya masyarakat sekitar terutama anak-anak kecil banyak
yang bermain layang-layang disini, mereka ingin beristirahat dan menenangkan
fikiran dengan merasakan angin sepoi-sepoi didalam bonjero.
Desa
Purwodadi memiliki letak lapangan yang strategis dan ini membuat lapangan
Purwodadi sering digunakan untuk acara-acara besar. Pada saat pemerintahan
Kadipaten Purwodadi masih aktif, dahulu lapangan ini sebenarnya adalah
alun-alun kota milik Kadipaten Purwodadi. Para Adipati yang menjabat, abdi
dalem beserta masyarakat sering juga menggunakan alun-alun ini untuk
acara-acara besar. Semenjak tahun 1870 yang menghapuskan Kadipaten Purwodadi,
maka alun-alun utama diubah menjadi lapangan milik desa Purwodadi. Sebelah
utara dari bekas alun-alun ini dahulu juga merupakan pasar yang ramai karena
memiliki letak yang strategis. Dimana ada alun-alun pasti ada Masjid Agung,
letak Masjid Agung berada disebelah
barat alun-alun, yaitu di desa Kauman. Pada umumnya nama dari daerah dimana
disitu terletak Masjid Agung yang di sebelah barat alun-alun, maka daerah tersebut
diberi nama Kauman. Saat ini bekas dari Masjid Agung digunakan untuk makam
keluarga dari Raden Abdullah Mustofa yang pada jaman dahulu beliau merupakan
seorang Asistan Wedono. Masyarakat sekitar sering menyebutnya dengan makam
Eyang Penghulu. Nenek dari Bu Suci sendiri juga dimakamkan dimakam keluarga
ini, karena disitu letak makam keluarga dari lurah pertama desa Keras. Selain
cucu dari lurah pertama desa Purwodadi, Bu Suci juga merupakan cucu lurah
pertama desa Keras dari garis trah keluarga ibunda Bu Suci yang bernama
Warsini. Istri lurah pertama desa Keras dimakamkan di makam keluarga Raden
Abdullah Mustofa atau Eyang Penghulu dan suaminya di makamkan desa Keras.
Sedangkan makam dari Mbah Gong berada di makam cungkup desa Purwodadi.-->
{{Barat, Magetan}}
{{Authority control}}
{{Kelurahan-stub}}
|