Kerajaan Wajo: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
1.standar wifikasi
2.menambahkan tentang politik pasifikasi |
Swarabakti (bicara | kontrib) kTidak ada ringkasan suntingan |
||
(605 revisi perantara oleh 33 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Infobox former country
| native_name = {{lang|bug|ᨕᨀᨑᨘᨂᨛ ᨑᨗ ᨓᨍᨚ}}<br/>{{lang|bug|''Akkarungeng ri Wajoʼ''}}
| conventional_long_name = Kerajaan Wajo
| common_name = Wajo
| life_span = Sekitar 1400–1957
| image_map =
| image_map_caption =
| era = [[Periode modern awal|Masa modern awal]]
| status = Bagian dari [[Hindia Belanda]] <small>(1905–1949)</small><br/>Bagian dari [[Indonesia]] <small>(1949–1957)</small>
| government_type = [[Konfederasi]] [[Representasi politik|representatif]] di bawah [[monarki]] [[Monarki elektif|elektif]] [[monarki konstitusional|konstitusional]]{{sfnp|Abidin|1985|p=498}}{{sfnp|Pelras|1996|pp=176–177}}
|religion = [[Islam]] (sejak 1610)<br>
| event_start = Didirikan
| date_start = sekitar 1400
| event1 = [[Ekspedisi Sulawesi Selatan|Digabungkan]] ke dalam [[Hindia Belanda]]
| date_event1 = 1906
| event_end = Dibubarkan dan diubah menjadi [[kabupaten]]
| date_end = 1957
| p1 = Cinnotabiʼ
| s1 = Kabupaten Wajo
| flag_s1 =
| capital = Cinnotabiʼ <small>(sekitar 1400–1610)</small><br /> [[Tosora, Majauleng, Wajo|Tosora]] <small>(sekitar 1610–1885)</small><br/>[[Sengkang (kota)|Séngkang]] <small>(sekitar 1885–1957)</small>{{sfnp|Duli|2010|p=144}}
| common_languages = [[Bahasa Bugis|Bugis]]
| today = [[Indonesia]]
}}
{{kegunaan lain|Wajo (disambiguasi)}}
'''Wajo'''{{efn|Juga dieja '''Wajoʼ''', '''Wajok''', atau '''Wajoq''' ({{lang-bug|'''ᨓᨍᨚ'''|wajo}} {{IPA|bug|ˈwa.ɟoʔ|}}). [[Konsonan letup celah-suara|Hentian glotal]] dalam [[bahasa Bugis]] dan [[Rumpun bahasa Sulawesi Selatan|bahasa-bahasa Sulawesi Selatan]] lainnya dieja secara bervariasi dengan ⟨q⟩, ⟨k⟩, ⟨ʼ⟩, atau dibiarkan tidak ditulis. Artikel ini menggunakan ⟨ʼ⟩ untuk merepresentasikan hentian glotal, ⟨e⟩ untuk bunyi [[pepet]], dan ⟨é⟩ untuk [e] dalam bahasa Bugis. Pengecualian diberikan bagi beberapa nama tempat yang sudah lazim dikenal dengan ejaan tertentu dalam bahasa Indonesia, semisal ⟨Wajo⟩ alih-alih ⟨Wajoʼ⟩, dan ⟨Bone⟩ alih-alih ⟨Boné⟩.}} merupakan sebuah [[monarki elektif|kerajaan elektif]] [[Suku Bugis|bersuku Bugis]] yang berkembang di sisi timur semenanjung [[Sulawesi Selatan]]. Wajo didirikan pada sekitar abad ke-15 sebagai bagian dari gelombang [[pemerintahan terpusat|pemusatan politik]] akibat [[pertanian intensif|intensifikasi pertanian]] di kawasan setempat, lalu berkembang hingga menjadi saingan utama negeri-negeri sekitarnya seabad kemudian. [[Perang Makassar]] dan pertikaian di tanah air pada akhir abad ke-17 menyebabkan migrasi besar-besaran orang Wajo ke luar negeri. Meski demikian, jaringan perantauan yang disertai dukungan pemerintahan terhadap perdagangan membawa Wajo mencapai puncaknya sebagai [[hegemoni|negeri adidaya]] di Sulawesi Selatan menggantikan [[Kesultanan Bone|Bone]] selama beberapa masa pada abad ke-18. Wajo mempertahankan kemerdekaannya hingga tunduk sebagai [[swapraja]] bawahan [[Hindia Belanda]] setelah [[Ekspedisi Sulawesi Selatan]] pada awal abad ke-20. Kerajaan ini terus bertahan dalam bentuk yang lebih terbatas hingga pertengahan abad ke-20, ketika wilayahnya dijadikan [[Kabupaten Wajo]] di bawah pemerintahan Indonesia.
Secara politis, Wajo merupakan [[konfederasi]] dari [[#Pembagian administratif|tiga bagian utama]] yang membawahi puluhan komunitas kecil dengan [[daerah otonom|otonomi]] lumayan besar. Pemimpin tertinggi Wajo berperan sebagai simbol pemersatu, hakim dan [[panglima tertinggi]], serta mewakili Wajo dalam [[urusan luar negeri]]. Bersama [[#Struktur politik|dewan tertinggi]] yang beranggotakan tiga pasang pejabat sipil dan militer sebagai wakil dari tiga bagian, ia juga berwenang mengurus pemerintahan sehari-hari di Wajo. Para pemimpin harian ini disokong oleh 33 orang pejabat lainnya, yang berkumpul bersama dewan tertinggi hanya pada saat memutuskan hal-hal yang penting, termasuk musyawarah pemilihan pemimpin tertinggi yang baru. Kekuasaan dewan ini diimbangi juga dengan perwakilan rakyat merdeka, satu dari setiap bagian, dengan wewenang yang cukup besar.
Masyarakat Wajo melembagakan [[#Hak-hak dan hierarki sosial|prinsip-prinsip kemerdekaan]] yang mencakup beragam hak, mulai dari [[hak milik|kepemilikan pribadi]] hingga [[kebebasan berbicara|kebebasan berpendapat]]. Hanya saja, selain kalangan [[ningrat]] dan orang merdeka yang dijamin hak-haknya dan terwakilkan dalam pemerintahan, terdapat pula golongan [[budak]] dengan hak-hak yang lebih sedikit. Mata pencaharian utama penduduknya, selain dari pertanian dan perikanan, adalah perdagangan. Perniagaan Wajo maju pesat pada abad ke-18 dan ke-19 seiring dengan menyebarnya masyarakat perantauan, hingga mampu menggapai tempat-tempat yang jauh di berbagai pelosok [[Asia Tenggara Maritim]]. Kemajuan dalam bidang perdagangan ini juga diperkuat dengan dukungan politik, legal, dan finansial yang diberikan oleh sesama masyarakat rantau maupun oleh pemerintah Wajo di tanah air.
== Geografi ==
=== Bentang alam ===
=== Pembagian administratif ===
[[Berkas:Wajo in 1906.svg|jmpl|kiri|upright=1.5|Wajo dan daerah-daerah bawahannya pada tahun 1906]]
Sebagaimana kebanyakan negeri Bugis lainnya, Wajo merupakan sebuah [[konfederasi]] yang terdiri dari gabungan komunitas-komunitas politis dan teritorial lebih kecil yang disebut sebagai {{lang|bug|''[[Chiefdom|wanua]]''}}.{{sfnp|Pelras|1996|pp=176–177}} Setiap komunitas kecil ini memiliki [[otonomi]] yang lumayan besar, dengan pemimpin serta hukum adat sendiri-sendiri.{{sfnp|Wellen|2014|p=22}} Ketika bergabung dengan Wajo, baik secara sukarela maupun melalui penaklukan,{{sfnp|Wellen|2018|p=50}} komunitas-komunitas ini akan berafiliasi dengan salah satu dari tiga {{lang|bug|''limpo''}} atau bagian utama, yakni Béttémpola, Tua, dan Talotenreng, yang merepresentasikan ketiga komunitas pendiri Wajo.{{sfnp|Wellen|2018|pp=49–50}}{{sfnp|Pelras|1996|pp=177–178}}
Daerah-daerah Wajo terhubung dengan pemerintahan pusat di Tosora dengan status yang berbeda-beda, mulai dari sebagai negeri jajahan hingga sebagai sekutu muda serupa hubungan kakak-beradik.{{sfnp|Pelras|1996|pp=176–177}}{{sfnp|Wellen|2014|pp=23–24}} Sebagian wilayah-wilayah ini tidak memiliki perwakilan dalam [[#Pemerintahan|pemerintahan Wajo]], semisal daerah [[Pitumpanua, Wajo|Pitumpanua]] yang terdiri dari gabungan tujuh negeri. Sebagian lagi hanya direpresentasikan secara tidak langsung, seperti wilayah [[Paria, Majauleng, Wajo|Paria]] yang diwakili oleh pemimpin {{lang|bug|''limpo''}} Béttémpola.{{sfnp|Wellen|2014|p=23}}
== Sejarah ==
=== Sejarah awal (sekitar 1400–1582) ===
Para ahli [[sejarah]] dan [[arkeologi]] mengaitkan kemunculan Wajo dan negeri-negeri pedalaman lainnya di Sulawesi Selatan dengan intensifikasi pertanian yang disertai pemusatan kekuasaan pada sekitar abad ke-14, buntut dari meningkatnya permintaan luar kawasan bagi beras Sulawesi Selatan.{{sfnp|Druce|2009|pp=34–36}}{{sfnp|Pelras|1996|pp=100–103}} Populasi naik dengan pesat, dan pertanian berbasis [[peladangan]] pun digantikan dengan budidaya [[padi]] [[sawah|lahan basah]] intensif. Di sepanjang Sulawesi Selatan yang secara geografis berbentuk semenanjung ini, hutan-hutan [[deforestasi|dibuka]] dan permukiman-permukiman baru didirikan.{{sfnp|Pelras|1996|pp=98–100}} Orang-orang Wajo sendiri mengaitkan asal usul negeri mereka dengan migrasi dan pendirian permukiman-permukiman baru. Naskah {{lang|bug|''[[Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ]]''}} (''Sejarah Lengkap Wajo''), misalnya, meriwayatkan kisah seorang bangsawan Bugis yang menemukan wilayah dengan tanah terbuka, hutan yang berisikan banyak hewan buruan, serta danau-danau dengan ikan yang berlimpah.{{sfnp|Wellen|2014|p=27}} Ia lalu memutuskan untuk menetap di sana dan mendirikan negeri Cinnotabiʼ,{{sfnp|Abidin|1985|pp=348, 359}} yang bertransformasi menjadi Wajo pada awal abad ke-15.{{sfnp|Wellen|2014|p=24}}{{efn|Kisah asal-usul Wajo ini kontras dengan mitos pendirian negeri-negeri Sulawesi Selatan lainnya, yang umumnya diawali dengan kedatangan {{lang|bug|''[[tomanurung]]''}} ('ia yang turun').{{sfnp|Pelras|1971|p=178}}{{sfnp|Hafid|2016|pp=510, 515}}}}
Menurut tradisi, nama "Wajo" merujuk pada pohon {{lang|bug|''bajoʼ''}}{{efn|Umumnya diidentifikasi sebagai tumbuhan dari genus ''[[Macaranga]]''.{{sfnp|Abidin|1985|p=403}}}} tempat penguasa Cinnotabiʼ La Tenribali{{efn|Juga dikenal sebagai La Tenriba atau La Tenribabbareng dalam beberapa naskah.{{sfnp|Abidin|1985|p=399}}}} mengadakan [[kontrak sosial]] dengan ketiga pemimpin daerah Boliʼ, yang kemudian menjadi wilayah inti Wajo.{{sfnp|Abidin|1983|pp=477–478}}{{sfnp|Wellen|2014|pp=25, 114}}<!--Bukti arkeologis...--> La Tenribali ditunjuk untuk memimpin Boliʼ dengan gelar {{lang|bug|''batara''}} ('langit').{{sfnp|Abidin|1983|pp=477–478}} Riwayat lontara pula mencatat bahwa {{lang|bug|''Batara''}} Wajo ketiga, La Pateddungi To Samallangiʼ, dipaksa [[turun takhta]] oleh rakyatnya karena kelakuannya yang tidak bermoral. Ia lalu diusir keluar dari Wajo, dan dibunuh dalam perjalanannya oleh seorang bangsawan Wajo.{{sfnp|Abidin|1983|p=478}} Atas prakarsa seorang tokoh Wajo yang bernama [[La Tiringeng To Taba]],{{sfnp|Halim|2016|pp=196–197}} tata negara Wajo kemudian direformasi dengan pendirian sebuah dewan perwakilan. Dewan ini dipimpin oleh seorang penguasa utama bergelar {{lang|bug|''arung matoa''}} ('raja yang dituakan'{{sfnp|Wellen|2014|p=174}}) yang diangkat melalui pemilihan. La Paléwo To Palippu dari Béttémpola dipilih oleh dewan sebagai {{lang|bug|''arung matoa''}} pertama Wajo.{{sfnp|Abidin|1983|pp=479–482}}
Pada masa pemerintahan {{lang|bug|''arung matoa''}} keempat, [[La Tadampareʼ|La Tadampareʼ Puang ri Maggalatung]] (menjabat sekitar 1491–1521{{sfnp|Abidin|1985|p=575}}), Wajo menjadi salah satu negeri Bugis yang utama.{{sfnp|Wellen|2014|p=28}}{{sfnp|Pelras|1996|pp=112–113}} Memasuki abad ke-16, Wajo telah mampu mencapai posisi yang relatif lebih tinggi dalam hubungannya dengan [[Kerajaan Luwu|Luwu]], salah satu kekuatan utama di Sulawesi Selatan yang sebelumnya mendominasi tanah Wajo pada abad ke-15.{{sfnp|Druce|2009|p=228}}{{sfnp|Andaya|1981|p=21}}{{sfnp|Pelras|1996|pp=113–114}} Bersama Luwu, Wajo memenangkan perang melawan [[Kedatuan Sidenreng|Sidenreng]] di [[Ajatappareng]], hingga memaksa Sidenreng untuk memberikan sebagian wilayahnya di sebelah utara Danau Tempe kepada Wajo.{{sfnp|Druce|2009|p=228}}{{sfnp|Pelras|1996|pp=113–114}} Di bawah kepemimpinan La Tadampareʼ, Wajo juga menyerap sisa-sisa wilayah [[Cina (negeri Bugis)|Cina]], salah satu negeri Bugis awal yang cukup berpengaruh.{{sfnp|Caldwell|Wellen|2017|pp=306, 319}}
Keseimbangan kekuasaan di kawasan timur Sulawesi Selatan bergeser kembali pada awal abad ke-16 ketika Bone, negeri Bugis di selatan Wajo, memenangkan perang melawan Luwu dan menjadi kekuatan paling utama di kawasan tersebut.{{sfnp|Wellen|2014|p=28}}{{sfnp|Andaya|1981|p=22}}{{sfnp|Pelras|1996|p=114}} Di sebelah barat semenanjung, kerajaan kembar [[Kesultanan Gowa|Gowa]] dan [[Kerajaan Tallo|Tallo]] yang ber[[suku Makassar]] [[Sejarah awal Gowa dan Tallo#Gowa dan Tallo dari 1511 hingga 1565|mulai mengembangkan kekuasaannya]].{{sfnp|Andaya|1981|p=24}} Pada awal abad ke-16, Gowa bersekutu dengan Bone dalam perang melawan Luwu dan Wajo,{{sfnp|Andaya|1981|p=23}} tetapi pada pertengahan abad ke-16 Gowa dan Bone menjadi lawan dalam perebutan [[hegemoni]] Sulawesi Selatan. Saat itu, Wajo telah jatuh ke dalam [[lingkup pengaruh]] Gowa, dan mendukung Gowa dalam perangnya melawan Bone pada tahun 1560-an.{{sfnp|Pelras|1996|pp=116, 131–132}}{{sfnp|Andaya|1981|p=30}}
=== Persekutuan {{lang|bug|''Tellumpoccoé''}} dan Gowa-Tallo (1582–1660) ===
[[File:South Sulawesi (1590) ID.svg|thumb|upright=1.2|Keadaan politik di Sulawesi Selatan pada sekitar akhir abad ke-16]]
Kemajuan Gowa disertai perlakuan keras terhadap negeri Bugis bawahannya, yaitu Wajo dan [[Kesultanan Soppeng|Soppeng]]. Karena itu, dalam sebuah pertemuan yang diprakarsai oleh Bone pada tahun 1582, Wajo dan Soppeng turut menyepakati pakta pertahanan bersama yang dikenal sebagai Perjanjian Timurung.{{sfnp|Pelras|1996|pp=132–133}} Persekutuan ketiga negeri Bugis ini juga dikenal sebagai {{lang|bug|''[[Persekutuan Tellumpoccoe|Tellumpoccoé]]''}} ('Tiga yang Puncak'). Hubungan antara negeri-negeri anggota persekutuan digambarkan serupa kakak-beradik; Bone sebagai si sulung, Wajo sebagai saudara tengah, dan Soppeng sebagai bungsunya. Persekutuan ini dibentuk demi meraih kembali kedaulatan tanah Bugis dan menghentikan laju ekspansionisme Gowa.{{sfnp|Wellen|2014|p=29}}{{sfnp|Andaya|1981|pp=30–31}}{{sfnp|Druce|2009|p=249}} Persekutuan ini berhasil mematahkan serangan Gowa ke Wajo pada tahun 1582 serta serangan ke Bone pada 1585 dan 1588. Satu lagi serangan Gowa pada tahun 1590 batal di tengah jalan menyusul terbunuhnya penguasa Gowa [[Tunijalloq|Tunijalloʼ]].{{sfnp|Andaya|1981|p=31}}
Terlepas dari hambatan ini, pada awal abad ke-17, Gowa dan Tallo berhasil menjadi kekuatan paling utama di semenanjung Sulawesi Selatan dengan menyokong perdagangan internasional serta membantu [[Penyebaran Islam di Nusantara|penyebaran agama Islam]].{{sfnp|Wellen|2014|pp=29, 177}} Antara tahun 1608 dan 1611, pasukan Gowa berhasil menaklukkan negeri-negeri di Sulawesi Selatan dan mengislamkan Soppeng pada 1609, Wajo pada 1610, dan Bone pada 1611.{{sfnp|Andaya|1981|p=33}}{{sfnp|Pelras|1996|pp=136–137}} Setelahnya, {{lang|bug|''Tellumpoccoé''}} menyerahkan kendali atas urusan hubungan luar mereka kepada Gowa, walaupun mereka diperbolehkan mempertahankan persekutuan tersebut dan masih diberi kebebasan untuk mengatur urusan dalam negeri mereka.{{sfnp|Wellen|2014|p=29}}{{sfnp|Andaya|1981|pp=37–38}} Kebijakan ini ternyata cukup berhasil mengambil hati orang-orang Bugis, khususnya Wajo yang menjadi semakin setia kepada Gowa. {{lang|bug|''Arung Matoa''}} To Mappassaungngé (menjabat 1627–1628{{sfnp|Abidin|1985|p=576}}) bahkan menawarkan untuk menjaga ibu kota Gowa ketika penguasanya sedang pergi berperang, walaupun ia tidak diharuskan untuk melakukannya.{{sfnp|Andaya|1981|pp=37–38}} Pada masa ini pula orang-orang Wajo mulai merantau ke [[Makassar]] untuk berdagang, bersamaan dengan bertumbuhnya jalur pelayaran dari Danau Tempe ke [[Teluk Bone]] melalui muara [[Sungai Walanae|Sungai Cenrana]].{{sfnp|Pelras|1996|pp=140–141}}
Wajo kembali terlibat dalam konflik ketika penguasa Bone [[La Maddaremmeng]] (memerintah 1626–1643), entah dengan alasan penegakan agama atau dominasi politik, menyerang dan menjarah [[Peneki, Takkalalla, Wajo|Pénéki]], salah satu daerah bawahan Wajo.{{sfnp|Wellen|2014|p=29}}{{sfnp|Andaya|1981|p=40}} Karena La Maddaremmeng menolak untuk memberi ganti rugi akibat penjarahannya di Pénéki, Wajo pun menyatakan perang terhadap Bone.{{sfnp|Wellen|2014|p=29}} Gowa dan Soppeng memihak Wajo dalam konflik ini, dan pasukan gabungan mereka berhasil mengalahkan Bone pada akhir 1643.{{sfnp|Andaya|1981|pp=39–40}}{{sfnp|Pelras|1996|p=142}} Bone dihukum keras dengan dijadikan [[Negara vasal|negeri bawahan]] Gowa,{{sfnp|Wellen|2014|p=29}} dan penguasanya digantikan dengan wali negeri dari kalangan Bone yang memerintah atas nama bangsawan Makassar. Sebuah pemberontakan lanjutan dari saudara La Maddaremmeng juga berhasil dipadamkan. Status Bone kembali diturunkan menjadi [[jajahan]] Gowa, sementara keluarga bangsawannya ditawan serta dibawa paksa ke Gowa.{{sfnp|Andaya|1981|pp=41–42}}{{sfnp|Pelras|1996|pp=142–143}} Beberapa wilayah sengketa yang dikuasai Bone diambil alih oleh Wajo, dan sejumlah besar rakyat Bone dibawa untuk melakukan [[kerja paksa]] di Wajo.{{sfnp|Wellen|2014|pp=29–30}}{{sfnp|Andaya|1981|pp=42–43}} <!--Kejadian ini menumbuhkan rasa dendam pada rakyat Bone terhadap Gowa dan Wajo.{{sfnp|Wellen|2014|p=30}}{{sfnp|Andaya|1981|p=43}}-->
=== Perang Makassar dan migrasi orang-orang Wajo (1660–1730) ===
Memasuki perempat kedua abad ke-17, Gowa-Tallo menjadi negeri terkuat di Nusantara bagian timur baik secara politik maupun ekonomi. Akibat upaya kerajaan kembar ini untuk mempertahankan hegemoni, mereka berselisih dengan [[Vereenigde Oostindische Compagnie|Perusahaan Hindia Timur Belanda]] (VOC), yang ingin memonopoli [[perdagangan rempah]] di [[Kepulauan Maluku]].{{sfnp|Wellen|2014|p=30}}{{sfnp|Andaya|1981|pp=45–47}} Pada tahun 1660, VOC menyerang Gowa dan berhasil mengambil alih kendali atas benteng di [[Panakkukang, Makassar|Paʼnakkukang]].{{sfnp|Andaya|1981|p=49}} Gowa lalu memaksa rakyat dari negeri-negeri bawahannya untuk bekerja membangun konstruksi militer sebagai antisipasi terhadap konflik lanjutan. Kerja paksa ini pada akhirnya menjadi pemicu pemberontakan yang dipimpin oleh bangsawan Bone [[Arung Palakka]].{{sfnp|Andaya|1981|pp=50–52}} Namun, usaha Arung Palakka untuk menghidupkan kembali persekutuan {{lang|bug|''Tellumpoccoé''}} gagal, karena Wajo menolak untuk memutuskan perjanjiannya dengan Gowa.{{sfnp|Wellen|2014|p=30}}{{sfnp|Andaya|1981|p=54}} Terlebih lagi, {{lang|bug|''Arung Matoa''}} Wajo kala itu, [[La Tenrilai To Sengngeng]] (menjabat 1658–1670), merupakan menantu dari Sultan Gowa [[Hasanuddin dari Gowa|Hasanuddin]].{{sfnp|Andaya|1981|p=55}} Karena tiadanya dukungan yang cukup, pemberontakan ini pun berhasil ditumpas oleh pasukan gabungan Gowa dan Wajo, sehingga memaksa Arung Palakka melarikan diri ke [[Kesultanan Buton|Buton]], sebelum kemudian pergi ke [[Batavia]] untuk meminta bantuan dari VOC.{{sfnp|Andaya|1981|pp=56–59, 66}}
Selama [[Perang Makassar]] (1666–1669), Wajo memberi dukungan penuh bagi Gowa untuk menghadapi VOC serta pasukan pimpinan Arung Palakka dari Bone dan sekutu-sekutunya. Bahkan ketika istana Gowa di Somba Opu jatuh ke tangan musuh dan Gowa-Tallo menyerah secara resmi, {{lang|bug|''Arung Matoa''}} La Tenrilai To Sengngeng tetap menolak untuk tunduk kepada [[Perjanjian Bungaya]] seraya terus memberikan perlawanan terhadap pasukan Belanda dan Bone.{{sfnp|Wellen|2014|pp=31–32}}{{sfnp|Andaya|1981|pp=37, 1242126, 138}} Pada pertengahan tahun 1670, Arung Palakka pun melancarkan invasi besar-besaran ke tanah Wajo. Meski pasukan Arung Palakka mendapati perlawanan yang gigih dari orang-orang Wajo, [[Benteng Tosora|benteng ibu kota Wajo di Tosora]] akhirnya [[Pengepungan Tosora|jatuh ke pihak Bone]] pada Desember 1670. La Tenrilai [[gugur dalam tugas|gugur di medan pertempuran]], dan penerusnya La Paliliʼ To Malu (menjabat 1670–1679) terpaksa menandatangani perjanjian yang membatasi kekuatan politik, niaga, serta militer Wajo, ditambah dengan Perjanjian Bungaya.{{sfnp|Wellen|2014|pp=33–35}}{{sfnp|Andaya|1981|pp=140–141}}
Terlepas dari kekalahannya, Wajo masih mendapati pembalasan yang keras dari Arung Palakka dan orang-orang Bone. Banyak orang Wajo yang diculik, dirampas barangnya, atau dilecehkan; orang Wajo dapat ditampar atau bahkan dibunuh jika tidak menuruti keinginan orang-orang Bone.{{sfnp|Wellen|2014|pp=36}} Bone juga mencaplok wilayah pesisir di muara Sungai Cenrana, yang merupakan satu-satunya jalur sungai yang menghubungkan pusat Wajo ke laut.{{sfnp|Andaya|1981|p=143}} Pengaduan Wajo kepada VOC di Makassar mengenai perlakuan semena-mena Bone juga tidak digubris, mengingat VOC saat itu menghindari untuk berselisih dengan Arung Palakka yang bantuan militernya mereka butuhkan dalam [[Pemberontakan Trunajaya]] (1678–1680).{{sfnp|Wellen|2014|pp=37–38}}{{sfnp|Andaya|1981|pp=142–143, 190–192, 205}}
Kesulitan yang dihadapi rakyat Wajo di tanah air menjadi pemicu migrasi keluar.{{sfnp|Andaya|1981|p=143}} Walaupun tradisi merantau telah menjadi bagian utama dari budaya Wajo sejak masa pendiriannya, tradisi ini semakin menonjol setelah Perang Makassar, ketika sejumlah besar orang Wajo bermigrasi ke luar negeri dan menetap di berbagai wilayah seperti Makassar, [[Kalimantan]] bagian timur, [[Nusa Tenggara]], dan kawasan sekitar [[Selat Malaka]].{{sfnp|Andaya|1981|p=143}}{{sfnp|Wellen|2009|pp=38, 82}}{{sfnp|Lineton|1975b|p=178}} Komunitas-komunitas rantau ini terhubung baik dengan tanah air mereka maupun kepada sesama komunitas melalui ikatan kekerabatan, niaga, dan hukum.{{sfnp|Wellen|2009|p=82}} Memasuki abad ke-18, penguasa-penguasa Wajo secara berturut-turut mulai memanfaatkan jaringan ini untuk membangkitkan negeri mereka kembali. Beberapa penguasa, misalnya, memerintahkan rakyat-rakyat Wajo di perantauan untuk membeli senjata demi memperkuat pertahanan Wajo.{{sfnp|Wellen|2009|p=82}}{{sfnp|Duli|2010|pp=144–145}}
Perhatian yang signifikan juga diberikan kepada perniagaan; {{lang|bug|''Arung Matoa''}} La Tenriwerrung Puanna Sangngaji (menjabat 1711–1713) bahkan menyatakan bahwa hanya dengan mengejar kekayaan-lah orang-orang Wajo dapat "berdiri tegak".{{sfnp|Wellen|2009|p=82}} Penerusnya, [[La Saléwangeng To Tenrirua]] (menjabat 1713–1736), mendukung perdagangan internasional dengan cara-cara yang lebih praktis.{{sfnp|Wellen|2009|pp=82–83}} Ia [[pengerukan|mengeruk]] aliran sungai yang menuju ibu kota Tosora untuk memperlancar akses bagi kapal-kapal besar, memperkuat industri pertanian dan perikanan dengan meminta mereka menunjuk wakil dalam pemerintahan yang disebut sebagai {{lang|bug|''akkajenangngeng''}}, mengadakan jabatan birokrasi baru yang bertugas secara khusus untuk mempromosikan perdagangan, serta mendirikan sebuah institusi yang berperan sebagai bank peminjam modal untuk perniagaan dan pertanian sekaligus sebagai badan [[jaminan sosial]].{{sfnp|Duli|2010|pp=144–145}}{{sfnp|Wellen|2009|pp=82–83}}{{sfnp|Noorduyn|1955|p=126}}
=== La Maddukelleng dan kemelut di Wajo (1730–1795) ===
Semenjak kematian Arung Palakka pada 1696, tidak ada penerusnya yang mampu mempertahankan hegemoni Bone di kawasan Sulawesi Selatan sebaik dirinya. Kekosongan kekuasaan ini membuat perdagangan Wajo dapat tumbuh dengan pesat tanpa halangan yang berarti.{{sfnp|Wellen|2014|pp=30, 69}} Interaksi komunitas rantau Wajo dengan tanah air mereka semakin erat, dan memuncak pada tahun 1730-an ketika petualang Wajo [[La Maddukelleng]] kembali ke Sulawesi Selatan.{{sfnp|Wellen|2014|p=137}} Pada tahun 1736, ia dinobatkan sebagai penguasa Pénéki, lalu memerintahkan agar orang-orang Bone segera hengkang dari negerinya. Bone membalas dengan menyerang Pénéki dan membakar beberapa pemukiman lainnya. Alih-alih memberikan efek jera, serangan ini justru membuat banyak rakyat Wajo semakin simpatik terhadap La Maddukelleng, sehingga ia pun terpilih sebagai {{lang|bug|''arung matoa''}} yang baru (menjabat 1736–1754).{{sfnp|Wellen|2018|p=56}}{{efn|Ahli bahasa dan sejarawan Jacobus Noorduyn (1972) menyebut 1737–1754 sebagai masa jabatannya,{{sfnp|Noorduyn|1972|p=61}} tetapi menurut sejarawan [[Andi Zainal Abidin]] (1985) dan Kathryn Wellen (2014), ia dilantik sebagai {{lang|bug|''arung matoa''}} pada tanggal 6 November 1736.{{sfnp|Abidin|1985|p=577}}{{sfnp|Wellen|2014|p=145}}}} Para perantau Wajo dari segala penjuru (seperti [[Kesultanan Paser|Paser]], [[Kesultanan Sumbawa|Sumbawa]], dan Makassar) juga turut memberikan sokongan, baik dalam bentuk harta benda, persenjataan, serta tenaga militer yang signifikan.{{sfnp|Wellen|2014|pp=135–137, 144, 159}} Dengan dukungan luas dari rakyatnya di dalam dan luar negeri, La Maddukelleng membawa Wajo terbebas dari dominasi Bone.{{sfnp|Noorduyn|1972|p=61}} Pada pertengahan tahun 1737, kedua negeri ini menandatangani perjanjian damai, dan Bone diharuskan untuk menebus segala kerugian yang diderita Wajo akibat penindasan penguasa-penguasa Bone sejak Perang Makassar.{{sfnp|Wellen|2018|p=57}}
Setelah kembali berdaulat secara utuh, Wajo tampil sebagai negeri paling utama di Sulawesi Selatan.{{sfnp|Noorduyn|1972|p=61}}{{sfnp|Wellen|2014|pp=137, 158–159}} {{lang|bug|''Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ''}} bahkan menyebut bahwa Wajo kala itu diakui sebagai pemimpin {{lang|bug|''Tellumpoccoé''}}.{{sfnp|Wellen|2018|p=57}} Begitu kuatnya Wajo kala itu, sehingga pada tahun 1739, La Maddukelleng berani menyerukan agar {{lang|bug|''Tellumpoccoé''}} dan Gowa bersatu untuk mengusir Belanda dari Makassar. Akan tetapi, ekspedisi ini berakhir dengan kegagalan akibat [[desersi]] yang dilakukan oleh sekutu-sekutu Wajo. Bone bahkan berbalik memihak Belanda.{{sfnp|Wellen|2014|pp=145–150}}{{sfnp|Patunru|1983|pp=62–64}} Pada awal tahun 1741, Belanda bersama Bone dan sekutunya balas menyerang Wajo dan mengepung ibu kota Tosora. Hanya saja, cuaca yang tidak mendukung serta keadaan finansial dan moral yang kurang baik menyebabkan Belanda memilih untuk mundur pada bulan Maret 1741.{{sfnp|Wellen|2014|pp=150–153}}
[[Berkas:AMH-5483-NA Map of the area around Bone on Celebes.jpg|jmpl|kiri|upright=1.5|Peta dari pertengahan abad ke-18 yang menggambarkan bagian timur laut semenanjung Sulawesi Selatan, termasuk wilayah Wajo (utara di sebelah kanan).]]
Pada tahun 1740-an, sebuah konflik baru muncul. La Gau, {{lang|bug|''Datu''}} [[Pammana, Wajo|Pammana]] (negeri bawahan Wajo), berselisih paham dengan La Maddukkelleng perihal siapa yang berhak mewarisi takhta Sidenreng, yang kala itu dikuasai oleh saudara La Gau. [[Perang saudara]] kemudian pecah selama berbulan-bulan antara pihak yang mendukung La Maddukelleng dan pihak yang mendukung La Gau.{{sfnp|Wellen|2018|pp=59–60}} Walaupun keduanya sempat berdamai, La Maddukelleng kembali menyulut peperangan ketika ia secara sepihak memutuskan bahwa wilayah Mojong yang disengketakan oleh [[Belawa, Wajo|Bélawa]] (daerah bawahan Wajo) dan Sidenreng merupakan milik Bélawa. Akibat perang berkepanjangan serta kebijakan-kebijakan yang sering kali diputuskan sesuka hati tanpa mengindahkan [[adat]], La Maddukkelleng pun mulai kehilangan dukungan dari rakyatnya, hingga akhirnya ia meletakkan jabatannya pada tahun 1754.{{sfnp|Wellen|2014|p=154}}{{sfnp|Patunru|1983|pp=64}}
La Maddanaca terpilih untuk menggantikan La Maddukelleng, tetapi ia mengundurkan diri satu tahun kemudian, sebelum kemudian terbunuh akibat di[[amuk]] di Makassar. Posisinya digantikan oleh La Passaung.{{sfnp|Patunru|1983|pp=65–66}} Pada masa pemerintahannya Wajo lagi-lagi mengalami konflik. La Maddukelleng yang sudah tak lagi berkuasa berusaha untuk memengaruhi politik Wajo dengan menulis surat ke dewan pemerintahan untuk memperingatkan mereka agar mewaspadai La Gau, yang kala itu masih menjabat sebagai {{lang|bug|''Pilla''}} (salah satu dari tiga [[#Pemerintahan|panglima besar Wajo]]).{{sfnp|Wellen|2018|p=61}} Perpecahan akibat pertentangan antara La Maddukelleng dan La Passaung mengakibatkan keresahan di Wajo sehingga banyak daerah bawahan yang melepaskan diri. La Gau sendiri ditengarai ingin memperkuat negerinya Pammana dan menjadikannya sejajar dengan Wajo. Akibat kejadian-kejadian ini, La Passaung pun mundur dari jabatannya setelah dua tahun memerintah.{{sfnp|Patunru|1983|p=66}}{{sfnp|Wellen|2018|pp=61–62}}
La Passaung digantikan oleh [[La Mappajung|La Mappajung Puanna Salowo]]. Belum lama ia dilantik, Bone menyatakan perang terhadap Pénéki,{{sfnp|Patunru|1983|p=66}} karena La Maddukelleng menolak untuk menyerahkan putranya yang mencuri kuda {{lang|bug|''Arumponé''}} La Temmassongé (memerintah 1749–1775).{{sfnp|Wellen|2014|p=155}} Pemerintah pusat Wajo memilih untuk tidak terlibat dalam perang ini, dan baru mengirimkan pasukan ke Pénéki ketika La Maddukelleng sudah dalam keadaan terpojok.{{sfnp|Wellen|2018|pp=66, 69}} La Maddukelleng kemudian diadili oleh {{lang|bug|''Tellumpoccoé''}} pada sekitar tahun 1763, tetapi para utusan dari tiap negara anggota tidak bersepakat mengenai hukuman apa yang pantas dijatuhkan kepadanya untuk segala kesalahan yang telah ia lakukan. La Maddukelleng pun meninggal sebelum ia sempat mendapatkan hukuman apapun.{{sfnp|Wellen|2018|pp=67–69}} La Mappajung mengundurkan diri setelah tujuh tahun memimpin; posisinya digantikan oleh La Malliungeng To Alléong, yang juga mengundurkan diri pada tahun 1770 setelah dua tahun memimpin. Selama bertahun-tahun berikutnya, dewan pemerintahan Wajo tidak dapat bersepakat untuk memilih {{lang|bug|''arung matoa''}} yang baru, sehingga posisi tersebut dibiarkan lowong hingga tahun 1795.{{sfnp|Patunru|1983|p=66}}
=== Masa akhir dan kemunduran (1795–1905) ===
Memasuki abad ke-19, agama Islam semakin kuat mengakar di Wajo. {{lang|bug|''Arung Matoa''}} La Mallalengeng (menjabat 1795–1817{{sfnp|Abidin|1985|p=577}}) memerintahkan agar para pemimpin di pelosok memperbaiki masjid dan [[surau]] di daerah masing-masing, serta meramaikannya dengan kajian-kajian Al-Qur'an dan pembacaan [[barzanji]] tiap malam Jumat.{{sfnp|Patunru|1983|p=66}} Di bawah pengaruh ulama yang terinspirasi [[Wahhabisme|gerakan pembaharuan Islam di Arab Saudi]], La Memmang{{efn|Juga dikenal sebagai La Manang.{{sfnp|Abidin|1985|p=577}}}} To Appamadeng (menjabat 1821–1825) memerangi adat-adat yang dianggap [[takhayul]], menghancurkan tempat-tempat yang disucikan oleh masyarakat pra-Islam, dan berusaha untuk menerapkan [[syariat Islam]] dengan tegas (semisal menerapkan hukum cambuk dan potong tangan, serta mewajibkan penggunaan hijab), walaupun usahanya ini tidak bertahan lama karena penentangan dari rakyatnya.{{sfnp|Pelras|1993|p=149}}
Pada dekade 1830-an,{{sfnp|Druce|2020|p=87}} sebuah kemelut perebutan takhta terjadi di negeri Sidenreng antara La Pangnguriseng dan saudara tirinya La Patongi. Sebagian besar bangsawan Wajo memihak La Patongi yang merupakan cucu dari seorang {{lang|bug|''[[#Pemerintahan|Ranreng]]''}} (penguasa wilayah) Talotenreng,{{sfnp|Patunru|1983|p=68}} tetapi sebagian kecil faksi memihak La Pangnguriseng yang juga didukung oleh Bone, Soppeng, dan Belanda. Meski pada awalnya La Patongi kalah dan tersingkir, ia tidak juga melepaskan klaimnya atas takhta Sidenreng.{{sfnp|Druce|2020|pp=86–88}} Perselisihan ini menjadikan pemerintahan Wajo tidak stabil, dan selama bertahun-tahun para anggota dewan tidak dapat bersepakat untuk memilih {{lang|bug|''arung matoa''}} yang baru. Pengangkatan La Paddengngeng (menjabat 1839–1845) sebagai {{lang|bug|''arung matoa''}} tidak banyak mengubah keadaan; malah, ia memilih pergi ke luar Wajo akibat perselisihannya dengan para {{lang|bug|''[[#Pemerintahan|Petta Ennengngé]]''}} (enam anggota dewan tertinggi Wajo selain {{lang|bug|''arung matoa''}}) dan tidak lagi terlibat dalam politik Wajo hingga akhir hayatnya.{{sfnp|Druce|2020|p=87}}{{sfnp|Patunru|1983|p=68}}
Perang perebutan takhta Sidenreng berlanjut pada masa pemerintahan {{lang|bug|''Arung Matoa''}} La Pawellangi Pajumpéroé. Ia kemudian digantikan oleh La Cincing Akil Ali, saudara kandung La Pangnguriseng. Sebagaimana La Paddengngeng, La Cincing lebih banyak mengabaikan tugasnya dan menetap di luar Wajo, sehingga perselisihan dalam pemerintahan Wajo semakin meningkat, bahkan pecah menjadi perang saudara. Akibatnya, pemerintahan dan [[penegakan hukum]] tidak lagi berfungsi dengan baik, sehingga aksi [[kejahatan]] merajalela di seluruh Wajo.{{sfnp|Patunru|1983|p=68}} Barulah pada masa pemerintahan La Koro (1885–1891), hukuman keras ditegakkan bagi para pelaku kejahatan, sehingga orang-orang menjadi segan kepadanya. Ia juga melakukan reformasi pada bidang militer dengan mengangkat [[jenderal]], [[kolonel]], serta [[mayor]] yang memiliki [[angkatan bersenjata|pasukan tetap]].{{sfnp|Patunru|1983|p=69}}
Pertikaian yang berlarut-larut selama abad ke-19 melemahkan Wajo dan negeri-negeri Bugis lainnya, sehingga posisi Belanda di Sulawesi Selatan semakin kuat.{{sfnp|Druce|2020|p=87}}{{sfnp|Pelras|1996|p=273}} Sepanjang abad ke-19 pula, Belanda beberapa kali memerangi Bone untuk membatasi kekuatan sekutu lamanya tersebut. Puncaknya pada tahun 1860, Bone terpaksa menandatangani perjanjian yang menurunkan statusnya dari sekutu menjadi [[negara vasal]].{{sfnp|Harvey|1974|p=46}} Mendekati akhir abad ke-19, Belanda mulai melakukan ekspansi untuk menundukkan secara penuh negeri-negeri Nusantara yang masih belum berada di bawah naungan [[Hindia Belanda]], termasuk di antaranya negeri-negeri Sulawesi Selatan.{{sfnp|Harvey|1974|pp=48–50}} Menyusul [[Ekspedisi Sulawesi Selatan|takluknya Gowa dan Bone pada tahun 1905]], Wajo dan Soppeng pun menuruti keinginan Belanda dan menandatangani {{lang|nl|''[[Korte Verklaring]]''}}, yaitu pernyataan pendek yang mengakui bahwa mereka merupakan negara bawahan yang setia kepada Belanda. Wajo dan negeri-negeri lainnya berjanji menyerahkan segala urusan luar negeri mereka, serta menuruti peraturan dan perintah yang diberikan oleh Kerajaan Belanda melalui pemerintahan kolonial.{{sfnp|Harvey|1974|pp=49–50, 52}}{{sfnp|Patunru|1983|p=71}}
=== Sebagai swapraja di bawah Hindia Belanda dan Indonesia (1905–1960) ===
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Paalwoningen aan de Walanae-rivier bij Singkang Wadjo op Celebes TMnr 60041797.jpg|jmpl|kanan|upright=1.8|[[Sungai Walanae]] di [[Sengkang (kota)|Séngkang]] pada masa penjajahan Belanda]]
Setelah kematian {{lang|bug|''Arung Matoa''}} Ishak Manggabarani (menjabat 1900–1916), Wajo tidak memiliki {{lang|bug|''arung matoa''}} selama satu dekade penuh. Selama masa itu, terjadi beberapa pertikaian yang melibatkan {{lang|bug|''Arung''}} Pénéki sekaligus {{lang|bug|''Datu''}} [[Larompong, Luwu|Larompong]] La Oddang. Dalam salah satu pertempurannya melawan pasukan Bone, ibu kota Wajo di Séngkang bahkan sempat dibakar oleh musuh.{{sfnp|Patunru|1983|pp=72–73}} La Oddang naik sebagai {{lang|bug|''arung matoa''}} pada akhir 1926. Pada masa kepemimpinannya, dibuatlah pembagian tugas yang jelas serta kantor-kantor khusus bagi para {{lang|bug|''Petta Ennengngé''}},{{sfnp|Patunru|1983|pp=73–75}} sementara [[#Pemerintahan|jabatan-jabatan dewan perwakilan]] dihapuskan.{{sfnp|Lineton|1975a|pp=119–120}} Kepala-kepala {{lang|bug|''[[#Pembagian administratif|wanua]]''}} juga diserahi tugas yang lebih besar untuk mengurus masalah keuangan dan hukum di daerah masing-masing. Untuk memajukan kesehatan, ia juga menempatkan seorang dokter di ibu kota serta pembantu klinik di beberapa {{lang|bug|''wanua''}}.{{sfnp|Patunru|1983|pp=73–75}} Pada masa ini pula Belanda mulai membangun jalan darat menuju Wajo, karena jalur perairan dari muara Cenrana sudah tidak lagi kondusif untuk dilalui perahu besar akibat pendangkalan.{{sfnp|Lineton|1975a|pp=46–47}}
Pasukan [[Jepang]] mendarat di Sulawesi Selatan pada 9 Februari 1942. Selama [[Perang Pasifik]], tenaga Jepang dipusatkan pada usaha untuk memenangkan perang, sehingga Jepang tidak memedulikan pembangunan di Wajo atau negeri Sulawesi Selatan lainnya.{{sfnp|Patunru|1983|p=75}}{{sfnp|Harvey|1974|pp=110–111}} Meski begitu, pendudukan Jepang di Sulawesi Selatan tidak separah di Jawa; penduduk setempat tidak harus menjadi {{lang|bug|''[[romusha]]''}}, walaupun mereka dipaksa untuk menyediakan beras bagi pasukan Jepang.{{sfnp|Harvey|1974|pp=116–117, 125–126}} Tidak lama setelah [[Soekarno]] dan [[Mohammad Hatta]] [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|memproklamasikan kemerdekaan Indonesia]] pada 17 Agustus 1945, Belanda kembali ke Sulawesi Selatan bersama dengan tentara [[Blok Sekutu dalam Perang Dunia II|Sekutu]].{{sfnp|Patunru|1983|p=76}} Opini di kalangan aristokrat Sulsel pun terbelah; sebagian di antaranya mengikuti {{lang|bug|''Arumponé''}} [[Andi Mappanyukki]] dengan mendukung pihak pro-republik, sementara sebagian lagi bersedia bekerja sama dengan Belanda terlebih dahulu. Di Wajo, {{lang|bug|''Arung Matoa''}} Andi Mangkonaʼ dan sebagian besar pejabat tinggi Wajo memilih untuk bekerja sama.{{sfnp|Harvey|1974|pp=139–140, 143–148, 155–157}} Sebagian kecil petinggi Wajo, seperti {{lang|bug|''[[#Pemerintahan|Cakkuridi]]''}} Andi Makkulau (menantu Andi Mappanyukki) dan {{lang|bug|''Ranreng''}} Tua [[Andi Ninnong]], menentang posisi ini. Andi Makkulau mundur ke hutan dan menjadi [[gerilya|gerilyawan]] hingga tertangkap dan dipenjara.{{sfnp|Patunru|1983|p=77}}{{sfnp|Harvey|1974|pp=148, 156–157}} Suami Andi Ninnong terbunuh dalam [[Kampanye Sulawesi Selatan|kampanye pasifikasi]] [[Raymond Westerling|Westerling]], sementara putranya tewas di Jawa saat membantu perjuangan di sana.{{sfnp|Patunru|1983|pp=76–77}}{{sfnp|Harvey|1974|p=157}}
Pada Desember 1946, Wajo bergabung ke dalam [[Negara Indonesia Timur]] sebagai swapraja di bawah Daerah Sulawesi Selatan, yang kemudian menjadi bagian dari [[Republik Indonesia Serikat]] setelah [[Konferensi Meja Bundar]] tahun 1949.{{sfnp|Patunru|1983|p=77}} {{lang|bug|''Arung matoa''}} terakhir, Andi Mangkonaʼ, meletakkan jabatannya pada 21 November 1949, walaupun Wajo masih terus bertahan sebagai swapraja selama beberapa tahun berikutnya.{{sfnp|Patunru|1983|p=78}} Tatanan masyarakat lama Sulawesi Selatan pun berubah drastis setelah kemerdekaan Indonesia, terutama setelah pemberontakan [[Negara Islam Indonesia|pemberontakan DI/TII]] yang diprakarsai [[Abdul Kahar Muzakkar|Kahar Muzakkar]] di Sulawesi Selatan pada awal 1950-an.{{sfnp|Lineton|1975a|p=116}} Akibat pemberontakan ini, banyak orang Wajo yang mengungsi dan merantau ke luar.{{sfnp|Lineton|1975a|pp=23–24}} Daerah pesisir dan pegunungan yang jauh dari Séngkang menerima dampak paling parah dalam konflik ini.{{sfnp|Lineton|1975a|p=49}} Swapraja Wajo yang tadinya merupakan bagian dari Daerah Otonom Bone di bawah Provinsi Sulawesi pun diubah menjadi daerah otonom tingkat II (setingkat [[kabupaten]]) pada tahun 1957, dengan Andi Tanjong sebagai kepala daerah pertamanya.{{sfnp|Patunru|1983|p=80}} Sistem swapraja baru benar-benar dihapuskan melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959.{{sfnp|Harvey|1974|p=382}} Setahun kemudian, seluruh 20 {{lang|bug|''wanua''}} bagian Wajo pun dilebur menjadi sepuluh [[kecamatan]], mengikuti sistem pembagian administratif di wilayah Indonesia lainnya.{{sfnp|Lineton|1975a|p=116}}{{sfnp|Patunru|1983|p=82}}
== Pemerintahan ==
{{lihat pula|Daftar pemimpin Wajo}}
Pemimpin tertinggi Wajo disebut dengan gelar {{lang|bug|''arung matoa''}}.{{sfnp|Wellen|2014|p=23}} Seorang {{lang|bug|''arung matoa''}} dipilih di antara kalangan "darah putih" atau [[ningrat]].{{sfnp|Pelras|1971|p=170}} Jabatan {{lang|bug|''arung matoa''}} tidak dapat dirangkap dengan jabatan pemerintahan lainnya.{{sfnp|Patunru|1983|p=17}} Jabatan ini juga tidak dapat diwariskan mengikut keturunan, dan hanya dapat dipegang seumur hidup sepanjang pemegangnya dianggap layak.{{sfnp|Abidin|1985|pp=465, 535}}{{sfnp|Halim|2016|pp=193–194}} {{lang|bug|''Arung matoa''}} memiliki kekuasaan yang terbatas; peran utamanya adalah menjadi simbol pemersatu bagi negerinya, sebagai hakim dan [[panglima tertinggi|panglima perang tertinggi]], serta sebagai perwakilan Wajo dalam [[urusan luar negeri]].{{sfnp|Pelras|1971|p=170}}{{sfnp|Patunru|1983|p=19}}{{sfnp|Mundy|1848|p=62}} Penguasa Wajo lazimnya diharapkan untuk tunduk kepada negara dan hukum adat yang telah menggariskan otonomi komunitas-komunitas yang dipimpinnya. Jika tidak, maka ia dapat dipecat dari jabatannya. {{lang|bug|''Arung Matoa''}} La Samaléwa To Appakiung (menjabat 1612–1616), misalnya, diturunkan oleh rakyatnya, sebab ia disebut telah bersikap semena-mena. Adat serupa juga dapat ditemukan pada negeri-negeri Sulawesi Selatan lainnya, walaupun mungkin tidak sekuat di Wajo.{{sfnp|Wellen|2014|p=22}}{{sfnp|Abidin|1985|p=385}} Monarki di Gowa dan Bone menganut sistem keturunan, dan penguasa-penguasa di sana umumnya cenderung lebih [[otoritarianisme|otoriter]] (serupa penguasa zaman [[feodalisme|feodal]] di [[Eropa]]) bila dibandingkan dengan {{lang|bug|''arung matoa''}} di Wajo.{{sfnp|Wellen|2014|p=22}}{{sfnp|Pelras|1971|pp=175–176}}{{sfnp|Pelras|1996|pp=178–179}}
[[File:Government of Wajo ID.svg|center|thumb|upright=4|{{center|Struktur pemerintahan Wajo}}]]
Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari di Wajo, {{lang|bug|''arung matoa''}} dibantu oleh tiga pasang pemimpin [[sipil]] dan [[militer]] yang dikenal secara kolektif sebagai {{lang|bug|''Petta Ennengngé''}} ('Tuan yang Enam'); setiap pasangnya mewakili masing-masing {{lang|bug|''limpo''}}.{{sfnp|Abidin|1983|p=482}}{{sfnp|Henley|Caldwell|2019|p=245}} Pemimpin sipil sebuah {{lang|bug|''limpo''}} disebut {{lang|bug|''ranreng''}}, sementara pemimpin militernya disebut {{lang|bug|''baté lompo''}}.{{sfnp|Pelras|1996|p=178}} Gelar bagi para {{lang|bug|''baté lompo''}} disesuaikan dengan warna panji yang mereka bawa, yaitu {{lang|bug|''Pilla''}} atau 'Merah' bagi Béttémpola, {{lang|bug|''Patola''}} atau 'Warna-Warni' bagi Talotenreng, dan {{lang|bug|''Cakkuridi''}} atau 'Kuning' bagi Tua.{{sfnp|Wellen|2014|p=23}}{{sfnp|Abidin|1985|p=485}} Setiap {{lang|bug|''ranreng''}} dan {{lang|bug|''baté lompo''}} dalam {{lang|bug|''Petta Ennengngé''}} memiliki kekuasaan yang setara di antara mereka dan sama besarnya dengan sang {{lang|bug|''arung matoa''}}. Meski begitu, secara tradisi, {{lang|bug|''Pilla''}} Wajo-lah yang dianggap sebagai panglima {{lang|bug|''Petta Ennengngé''}} tertinggi di kala perang, sementara {{lang|bug|''Ranreng''}} Béttémpola dianggap sebagai pejabat {{lang|bug|''Petta Ennengngé''}} tertinggi di kala damai.{{sfnp|Wellen|2014|p=23}}{{sfnp|Noorduyn|1955|pp=62, 165}} Jika posisi {{lang|bug|''arung matoa''}} sedang lowong, maka {{lang|bug|''Ranreng''}} Béttémpola pula yang [[pelaksana tugas|mengambil alih tugas]]nya untuk sementara hingga terpilih {{lang|bug|''arung matoa''}} yang baru.{{sfnp|Patunru|1983|p=66}}{{sfnp|Abidin|2017|p=158}}{{sfnp|Mundy|1848|p=63}} Keseluruhan {{lang|bug|''Petta Ennengngé''}} ditambah dengan {{lang|bug|''arung matoa''}} membentuk dewan pemerintahan tertinggi yang disebut sebagai {{lang|bug|''Petta Wajoʼ''}} ('Tuan di Wajo').{{sfnp|Wellen|2014|p=23}}{{sfnp|Pelras|1996|p=178}}
{{lang|bug|''Petta Wajoʼ''}} merupakan bagian dari dewan perwakilan lebih besar yang terdiri dari 40 anggota, juga dikenal sebagai {{lang|bug|''Arung Patappuloé''}} ('Empat Puluh Raja'), dengan {{lang|bug|''arung matoa''}} sebagai ketuanya.{{sfnp|Abidin|1983|p=482}}{{sfnp|Wellen|2014|pp=23, 165}} Selain dari ketujuh anggota {{lang|bug|''Petta Wajoʼ''}}, setiap {{lang|bug|''limpo''}} menyumbang seorang {{lang|bug|''suro''}} atau utusan, 4 orang {{lang|bug|''arung mabbicara''}} atau [[hakim]] yang memutuskan perkara, serta 6 orang {{lang|bug|''arung paddokki-rokki''}} atau hakim yang hanya bertugas sebagai penasihat;{{sfnp|Wellen|2014|p=23}}{{sfnp|Pelras|1971|p=172}} setiap perkara dari masyarakat akan diperiksa lebih dahulu oleh mereka sebelum diteruskan ke {{lang|bug|''arung mabbicara''}}.{{sfnp|Hafid|2016|pp=513, 516}} {{lang|bug|''Arung mabbicara''}} juga merangkap jabatan sebagai [[kepala daerah]] di bawah {{lang|bug|''limpo''}}, sementara {{lang|bug|''arung paddokki-rokki''}} tidak memegang jabatan lain selain sebagai anggota dewan pemerintahan.{{sfnp|Abidin|2017|pp=151, 153}} Keseluruhan anggota dewan hanya berkumpul dalam masa-masa tertentu saja, termasuk di antaranya saat pemilihan {{lang|bug|''arung matoa''}} yang baru.{{sfnp|Wellen|2014|pp=23, 175}}{{sfnp|Wellen|2018|p=51}}
Kekuatan {{lang|bug|''Arung Patappuloé''}} diimbangi pula oleh tiga orang {{lang|bug|''punggawa''}}, satu dari setiap {{lang|bug|''limpo''}}, sebagai perwakilan non-ningrat yang dipilih di antara para tetua di daerah.{{sfnp|Abidin|1983|p=482}}{{sfnp|Henley|Caldwell|2019|p=245}} Para {{lang|bug|''punggawa''}} ini memiliki wewenang yang cukup signifikan. Menurut laporan [[James Brooke]], penjelajah [[Inggris]] yang kelak menjadi [[Raja Sarawak]]:{{sfnp|Mundy|1848|pp=62–63}}
{{quote
|text=Kekuatan ''pangawas'' [''[[sic]]''], atau ''[[tribunus plebis|tribunes of the people]]'' [''sic''], lumayan besar. Hanya mereka yang berhak memanggil anggota dewan empat puluh untuk melakukan rapat. Mereka memiliki hak [[veto]] untuk menolak penunjukan ''aru matoah'' [''sic'']. Hanya perintah merekalah yang dapat menjadi panggilan sah untuk berperang, tiada pejabat maupun dewan yang mempunyai hak, atau bahkan kuasa, untuk memanggil rakyat merdeka ke medan pertempuran.{{efn|Kutipan asli: "{{lang|en|''The powers of these pangawas, or tribunes of the people, is considerable. With them only it rests to summon a meeting of the council of forty. They possess the right of veto to the appointment of an aru matoah. Their command alone is a legal summons to war, no chief or body having right, or even authority, to call the freemen to the field.''}}"{{sfnp|Mundy|1848|pp=62–63}}}}
}}
Selain memiliki {{lang|bug|''punggawa''}} sebagai perwakilan permanen resmi di dalam pemerintahan, tetua-tetua ({{lang|bug|''uluanang''}}) dari kalangan orang merdeka beserta kepala-kepala desa di Wajo dapat pula berkumpul dalam sebuah musyawarah luar biasa yang boleh diadakan jika {{lang|bug|''Arung Patappuloé''}} tidak mencapai kata sepakat dalam membahas sebuah masalah. Para rakyat merdeka ini dapat bertukar pikiran dan memberi masukan kepada pemerintah mengenai penyelesaian terbaik bagi masalah tersebut, walaupun keputusan akhirnya tetap berada di tangan {{lang|bug|''arung matoa''}}.{{sfnp|Mundy|1848|p=63}}{{sfnp|Henley|Caldwell|2019|p=246}}{{sfnp|Pelras|1971|p=174}}
[[Berkas:Bezoek van resident Ch.H. ter Laag van Makassar aan het zelfbestuur van Wadjo, KITLV 41620.tiff|jmpl|kiri|upright=1.5|Kunjungan residen Makassar ke kantor swapraja Wajo. Berdiri di baris depan, dari kiri ke kanan: {{lang|bug|''Patola''}} Andi Tjella, {{lang|bug|''Ranreng''}} Tua [[Andi Ninnong]], {{lang|bug|''Arung Matoa''}} Andi Mangkonaʼ, {{lang|bug|''Ranreng''}} Béttémpola, dan {{lang|bug|''Ranreng''}} Talotenreng.]]
Struktur pemerintahan lokal tiap daerah di Wajo berbeda-beda, tetapi secara garis besar memiliki pola pembagian wewenang dan kekuasaan yang tidak berbeda jauh dengan pemerintahan pusat. {{lang|bug|''Arung''}} Paria, misalnya, hanya bersifat simbolis, sementara wewenang pemerintahan ada pada tangan wakilnya yang disebut {{lang|bug|''arung malolo''}}. Paria juga dibagi menjadi tiga {{lang|bug|''limpo''}}, yang masing-masingnya dipimpin oleh sepasang {{lang|bug|''arung''}} dan {{lang|bug|''arung malolo''}}, serta beberapa pejabat rendah dengan tugas yang berbeda-beda. Wilayah Pammana dipimpin oleh seorang {{lang|bug|''datu''}}, yang diwakili oleh {{lang|bug|''maddanreng''}} dalam urusan luar daerah, perang dan perayaan, atau oleh {{lang|bug|''sulléwatang''}} dalam urusan daerah dan keadaan gawat. Sementara Bélawa memiliki dua orang {{lang|bug|''arung''}}, satu di wilayah barat dan satu di wilayah timur; masing-masingnya dibantu oleh seorang {{lang|bug|''sulléwatang''}} yang bertindak sebagai panglima perang.{{sfnp|Pelras|1971|p=173}}
Di bawah penjajahan tidak langsung yang diberlakukan oleh Belanda, Wajo masih diperbolehkan untuk memiliki [[pemerintahan sendiri]], walaupun kekuasannya sangatlah terbatas.{{sfnp|Patunru|1983|p=71}}{{sfnp|Harvey|1974|p=64}} Secara praktis, hampir seluruh jabatan dalam dewan perwakilan dihapuskan oleh Belanda, kecuali jabatan para {{lang|bug|''Petta Wajoʼ''}}, yang kini bersifat birokratis semata.{{sfnp|Lineton|1975a|pp=119–120}}{{sfnp|Pelras|1996|pp=275–276}} Kekuasaan sebenarnya ada pada [[kontrolir]] {{lang|nl|''civiel gezaghebber''}} ('komandan sipil') yang mewakili pemerintah Hindia Belanda.{{sfnp|Patunru|1983|p=71}}{{sfnp|Harvey|1974|p=64}} Namun, meski kekuasaan ({{lang|en|''power''}}) kalangan aristokrat Sulawesi Selatan pada masa penjajahan berkurang, ahli ilmu politik [[Barbara Sillars Harvey]] berpendapat bahwa mereka masih memiliki wewenang ({{lang|en|''authority''}}) yang signifikan, sehingga para [[pamong praja]] Belanda masih memerlukan kerja sama mereka untuk memastikan kepatuhan masyarakat kepada pemerintah kolonial.{{sfnp|Harvey|1974|p=99}}{{efn|Kutipan asli: "{{lang|en|''The traditional rulers did not have the power to act on their own initiative without the approval of the Dutch administration; the colonial civil servants lacked authority over the population, and were dependent on the cooperation of the local aristocracy to ensure compliance of the people to government orders.''}}"{{sfnp|Harvey|1974|p=99}}}}
<!--
- Diaspora governmental structure (focus on Borneo and Makassar)...
-->
== Masyarakat dan kebudayaan ==
{{lihat pula|Suku Bugis}}
===Hak-hak dan hierarki sosial===
[[Berkas:Lambang Kabupaten Wajo.png|jmpl|kiri|Pepatah Wajo mengenai kemerdekaan yang kini dijadikan semboyan dalam lambang [[Kabupaten Wajo]]: {{lang|bug|''maradéka to Wajoʼé, adeʼna napopuang''}} ('orang-orang Wajo itu merdeka, [hanya] adatnya yang mereka pertuan').]]
Sejarawan [[Anthony Reid]] berpendapat bahwa Wajo memiliki bukti paling kuat untuk pelembagaan hak-hak kebebasan bila dibandingkan dengan masyarakat pra-modern Asia manapun.{{sfnp|Reid|2016|p=313}}{{efn|Kutipan asli: "{{lang|en|[''Wajo''] ''offers more evidence than any other pre-modern Asian society so far analysed for institutionalised freedoms'' [...]}}"{{sfnp|Reid|2016|p=313}}}} Naskah-naskah Wajo selalu menekankan bahwa "orang-orang Wajo itu merdeka", dan bahwa tuan mereka hanyalah hukum adat yang didasarkan pada kesepakatan bersama. Prinsip {{lang|bug|''ammaradékangeng''}} atau 'kemerdekaan' di Wajo mencakup, antara lain: jaminan keselamatan pribadi dan [[hak milik|kepemilikan]], akses terhadap [[keadilan]], serta [[kebebasan berbicara|kebebasan untuk berpendapat]], [[kebebasan bergerak|bergerak]], dan [[kebebasan berkontrak|membuat kontrak]].{{sfnp|Reid|1998|p=148}}{{sfnp|Abidin|1985|pp=433, 447–448}}{{sfnp|Henley|Caldwell|2019|p=247}}{{sfnp|Pelras|1971|pp=174–175}} Sumber-sumber Wajo menyebutkan bahwa hak-hak kemerdekaan ini adalah adat turun-temurun yang sudah demikian adanya,{{sfnp|Wellen|2014|p=28}} sehingga seorang {{lang|bug|''arung matoa''}} sekalipun tidak boleh menentangnya. Ketika seorang {{lang|bug|''arung matoa''}} dilantik, ia juga mesti bersumpah untuk menjaga hak-hak ini.{{sfnp|Pelras|1971|pp=174–175}}{{sfnp|Reid|1998|pp=148–149}} Walaupun begitu, hak-hak "kemerdekaan" ini memiliki batasan dan tidak berlaku sepenuhnya bagi seluruh masyarakat Wajo. Kalangan budak tidak memiliki hak yang sama dengan kalangan orang merdeka, apalagi kalangan ningrat.{{sfnp|Lineton|1975a|pp=87, 121}}{{sfnp|Pelras|1971|p=185}}
Secara garis besar, masyarakat Bugis dahulu terbagi ke dalam tiga golongan: 1) bangsawan atau ningrat, 2) orang merdeka, dan 3) budak.{{efn|Untuk pembagian tingkatan yang lebih detail, baca artikel Pelras (1971) dan Bab II dalam disertasi Lineton (1975a).{{sfnp|Pelras|1971}}{{sfnp|Lineton|1975a}}}} Golongan ningrat secara teori mencakup siapapun yang memiliki "darah putih". Hanya saja, karena pernikahan dapat terjadi lintas golongan, dan [[genealogi|nasab]] diturunkan secara [[multilineal|bilateral]] (dari kedua orang tua), masyarakat Bugis mengembangkan penggolongan sosial yang kompleks, berdasarkan seberapa murni "darah putih" yang dimiliki oleh seseorang.{{sfnp|Lineton|1975a|pp=84–85}}{{sfnp|Pelras|1971|p=184}} Tingkat tertinggi disebut sebagai {{lang|bug|''anaʼmatola''}} ('putra-putri mahkota'), yang mencakup orang-orang dengan kemurnian darah tertinggi, termasuk di antaranya para {{lang|bug|''arung matoa''}} dan anggota {{lang|bug|''Petta Ennengngé''}}. Di bawah mereka, ada golongan {{lang|bug|''anakarung''}} ('anak penguasa'), yang mencakup bangsawan-bangsawan rendah, termasuk di antaranya para {{lang|bug|''arung''}} atau penguasa negeri-negeri bawahan Wajo. Kedua golongan ini dianggap sebagai bagian dari kalangan ningrat. Tingkat berikutnya disebut {{lang|bug|''tau décéng''}} ('orang baik-baik'), yaitu golongan rakyat biasa yang masih memiliki sedikit darah bangsawan, setingkat di atas kalangan {{lang|bug|''tau maradéka''}} ('orang merdeka') atau {{lang|bug|''tau sama''}} ('orang setara').{{sfnp|Lineton|1975a|pp=85–86}}{{sfnp|Pelras|1971|p=186}}
Penggolongan antara bangsawan dengan derajat tertinggi hingga orang merdeka bukanlah kasta tetap turun-temurun dengan batas-batas yang jelas, karena pernikahan tidak dibatasi sesama golongan ([[endogami]]) saja.{{sfnp|Lineton|1975a|pp=84–85}} Terutama di Wajo, batas-batas antara kelompok bangsawan dengan orang merdeka tergolong sangat cair bila dibandingkan dengan negeri-negeri Bugis lain.{{sfnp|Wellen|2014|p=24}} [[Misionaris]] dan ahli bahasa [[Benjamin Frederik Matthes]], misalnya, menyebut bahwa seorang penguasa wanita di Wajo dapat saja mempersunting lelaki merdeka non-bangsawan tanpa menurunkan status sosialnya, tidak seperti di negeri Bugis lainnya.{{sfnp|Matthes|1869|p=30}}{{sfnp|Wellen|2014|p=176}} Sementara, James Brooke mengamati bahwa derajat sosial orang merdeka di Wajo dapat meningkat seiring dengan pertumbuhan kekayaan harta benda.{{sfnp|Mundy|1848|p=74}} Jurang yang lebih lebar terdapat antara orang merdeka dan golongan {{lang|bug|''ata''}} atau budak,<!--kutip Reid soal pelembagaan hak sebagai pembeda antara orang merdeka dan budak...--> yang berada di posisi paling bawah dalam hierarki masyarakat Bugis.{{sfnp|Lineton|1975a|pp=85–86}}{{sfnp|Pelras|1971|p=186}} Seseorang dapat diperbudak sebagai hukuman akibat kejahatan atau karena tidak mampu membayar utang. Perbudakan dapat bersifat turun-temurun; anak dari sepasang budak akan dianggap budak pula. Seorang budak yang dibebaskan akan menjadi orang merdeka, dan siapapun yang memiliki ayah orang merdeka juga akan dianggap sebagai orang merdeka.{{sfnp|Pelras|1971|p=184}}
=== Kepercayaan dan falsafah hidup ===
=== Kekerabatan dan gender ===
<!-- Pentingnya silsilah... keluarga, kekerabatan, pernikahan...-->
Perempuan Bugis di negeri-negeri Sulawesi Selatan pada masa prakolonial terlibat secara rutin di dalam banyak aspek kemasyarakatan. [[John Crawfurd]], penjelajah [[Skotlandia]] dari abad ke-18, mengamati bahwa wanita Bugis juga sering kali dinobatkan sebagai penguasa, bahkan jikapun posisi penguasa tersebut mesti dipilih dengan seksama (bukan diwariskan turun-temurun).{{sfnp|Henley|Caldwell|2019|p=250}} Menurut sejarawan Stephen C. Druce, dalam hal representasi [[wanita dalam pemerintahan]], negeri-negeri Bugis kala itu lebih maju dibandingkan dengan negeri-negeri Eropa semasa. Secara khusus, James Brooke menekankan dalam catatan perjalanannya bahwa seluruh jabatan tinggi di Wajo dapat diduduki oleh wanita.{{sfnp|Druce|2020|pp=85–86}}{{sfnp|Mundy|1848|p=75}} Ketika ia berkunjung ke Wajo pada tahun 1840, empat dari enam anggota {{lang|bug|''Petta Ennengngé''}} yang sedang menjabat merupakan wanita, yang sering kali "tampil di depan publik layaknya para pria; [[berkuda]], memerintah, dan bahkan mengunjungi orang-orang asing, tanpa perlu memberitahu atau meminta izin pada suami-suami mereka."{{sfnp|Henley|Caldwell|2019|p=250}}{{sfnp|Mundy|1848|p=75}}{{efn|Kutipan asli: "{{lang|en|''All the offices of state'' [...] ''are open to women; and they actually fill the important post of government; four out of the six great chiefs of Wajo being at present females. These ladies appear in public like the men; ride, rule, and visit even foreigners, without the knowledge or consent of their husbands.''}}"{{sfnp|Mundy|1848|p=75}}}}
<!--Bissu, calabai dan calalai.-->
=== Bahasa dan kesusastraan ===
Bahasa Bugis dituturkan tanpa banyak perbedaan berarti di sebagian besar jazirah selatan Sulawesi, termasuk di Wajo. Ahli bahasa Timothy dan Barbara Friberg menduga bahwa alasan bahasa Bugis relatif tidak banyak mengalami [[perubahan bahasa|pemajemukan]] adalah akibat eratnya pertalian darah di kalangan ningrat antarnegeri Bugis sejak berakhirnya Perang Makassar.{{sfnp|Friberg|Friberg|1985|pp=24, 29}} Penutur ragam-ragam bahasa Bugis di Wajo secara umum masih [[kesalingpahaman|dapat memahami]] ragam yang digunakan di wilayah inti Soppeng, Bone, dan Sidenreng.{{sfnp|Wellen|2014|pp=109–110}} Berdasarkan laporan Brooke, kalangan pedagang Wajo yang rutin berlayar ke seantero Nusantara pada abad ke-19 juga fasih ber[[bahasa Melayu]] di samping bahasa ibu mereka. Semenjak masyarakat Wajo beralih ke agama Islam, [[bahasa Arab]] digunakan dalam berbagai ritual peribadatan, meskipun Brooke menyebut bahwa sangat jarang ada orang Wajo yang mampu memahaminya.{{sfnp|Mundy|1848|pp=113, 118–119}}<!--Bukti-bukti naskah...-->
Khazanah kesusastraan Wajo, sebagaimana di negeri Sulawesi Selatan lainnya, tumbuh dari tradisi lisan yang kaya sebelum berkembang dalam bentuk tulisan.{{sfnp|Wellen|2014|pp=113}} Sejak awal abad ke-15, bahasa Bugis mulai dipakai utamanya untuk merekam silsilah, menggunakan [[aksara Lontara]] yang merupakan [[aksara Brahmik|turunan Brahmi]].{{sfnp|Caldwell|1988|pp=169–171}}{{sfnp|Pelras|1996|pp=96–97}} Namun, meski menggunakan sistem penulisan yang diturunkan dari aksara asal [[India]], Sulawesi Selatan tidak pernah mengalami [[Indianisasi]] seperti kebanyakan wilayah lain di Nusantara yang memiliki budaya menulis sebelum masa modern.{{sfnp|Caldwell|1995|pp=402–403}}{{sfnp|Wellen|2014|p=112}} Selama setidaknya dua abad hingga agama Islam dipeluk secara luas pada sekitar tahun 1600, kesusastraan Sulawesi Selatan secara garis besar terbebas dari pengaruh luar, dan memberikan gambaran masyarakat Austronesia pra-modern yang jarang sekali dapat ditemui.{{sfnp|Wellen|2014|p=13}} Gambaran ini dapat ditemui, antara lain, dalam adikarya Bugis {{lang|bug|''[[La Galigo]]''}}. Lingkup pengetahuan budayanya yang luas dan ensiklopedis seringkali dimanfaatkan oleh masyarakat Bugis, termasuk orang Wajo, sebagai "rujukan" dalam menjalani kehidupan.{{sfnp|Koolhof|1999|pp=378–379, 385}} Penggalan naskah {{lang|bug|''Galigo''}} lazim disimpan dengan takzim dan dibacakan dalam upacara-upacara adat, bahkan di kalangan masyarakat rantau.{{sfnp|Wellen|2014|p=113}} Beberapa penggalan naskah {{lang|bug|''Galigo''}} tertua yang masih bertahan hingga sekarang disalin oleh seorang penulis Wajo di perantauan.{{sfnp|Tol|2020|pp=65–66, 69–71}}
Wajo juga merupakan salah satu negeri Bugis yang kaya akan beragam naskah {{lang|bug|''attoriolong''}} ('perkara orang-orang terdahulu') atau [[Kronik (sejarah)|kronik]], sebuah langgam penulisan sejarah yang diilhami tradisi serupa di Gowa dan Bone.{{sfnp|Wellen|2014|p=13}}{{sfnp|Wellen|2021|p=1042}} Namun, tidak seperti {{lang|bug|''attoriolong''}} di negeri-negeri tetangga yang lazimnya disusun hingga usai tanpa banyak penambahan lanjutan, {{lang|bug|''attoriolong''}} di Wajo senantiasa dikembangkan dalam upaya menulis sejarah lengkap.{{sfnp|Wellen|2021|p=1046}} {{lang|bug|''Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ''}}, sumber utama sejarah Wajo pada masa modern awal, tergolong sangat panjang dan mendetail bila dibandingkan dengan kronik Bugis pada umumnya yang hanya berisi ringkasan riwayat pemerintahan setiap penguasa. Menurut tradisi, kronik ini disusun oleh {{lang|bug|''Ranreng''}} Béttémpola La Sangaji berdasarkan kumpulan catatan sejarah pada masa pemerintahan {{lang|bug|''Arung Matoa''}} La Mappajung (menjabat 1764–1767),{{sfnp|Wellen|2014|pp=13, 172}} walaupun sepertinya naskahnya terus-menerus disempurnakan dengan penambahan dan pembaruan hingga menjadi versi yang lazim dikenal saat ini.{{sfnp|Wellen|2021|p=1046}}
===Arsitektur dan pola permukiman===
==Perekonomian==
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Vissers op het meer Senkang Zuid-Celebes TMnr 10013476.jpg|jmpl|ka|upright=1.5|Nelayan di [[Danau Tempe]], ujung barat wilayah Wajo, pada tahun 1940-an]]
Sebagian besar rakyat Wajo mendiami kawasan tepi danau yang subur di pedalaman semenanjung.{{sfnp|Lineton|1975a|p=17}} Sebagaimana masyarakat Bugis lainnya, kebanyakan dari mereka mencari penghidupan dengan bercocok tanam; [[beras]] dan [[jagung]] adalah dua jenis tumbuhan utama yang dibudidayakan oleh orang Wajo. Selain menjadi petani, banyak pula orang Wajo yang menjadi nelayan, baik yang wilayah tangkapannya di perairan pedalaman atau di sekitar wilayah pantai.{{sfnp|Lineton|1975a|p=20}}<!-- tambahkan asal usul nama tiga limpo dan kaitannya dg mata pencaharian-->
Wajo juga memiliki tradisi berniaga yang paling kuat di antara orang-orang Bugis. Wilayah pedalaman subur di pusat Wajo terhubung dengan laut melalui Sungai Cenrana yang dapat dilalui kapal besar (walaupun sejak abad ke-19 sungai ini berangsur-angsur mendangkal{{sfnp|Lineton|1975a|pp=45–46}}). Keadaan geografis ini mendukung keterlibatan aktif orang Wajo dalam perdagangan maritim{{sfnp|Lineton|1975a|pp=16–17}} berdasarkan siklus [[Muson|angin musiman]].{{sfnp|Pelras|1996|p=307}} Komoditas yang diperdagangkan oleh orang-orang Wajo ke berbagai negeri (baik yang berasal dari tanah air maupun diperoleh dalam pelayaran) mencakup beras, [[tekstil|kain]], [[rempah]], [[intan]], [[emas]], hingga [[kemenyan arab]]. Sementara, komoditas yang dibawa pulang ke Wajo antara lain mencakup beragam tekstil asal India dan Eropa, [[senjata api]], [[perabotan]], [[bijih besi]], [[opium|candu]], serta [[tembakau]]. Selain barang, terdapat pula bukti perdagangan [[hewan ternak]] terutama dengan Kalimantan Timur, serta [[perdagangan budak]] untuk memenuhi permintaan di [[Semenanjung Malaya]], [[Sumatra]], dan [[Batavia]].{{sfnp|Pelras|1996|pp=307–308, 311}}{{sfnp|Wellen|2014|pp=70–71}} Mata uang yang lazim digunakan hingga abad ke-19 adalah koin perunggu, baik yang diproduksi di Tiongkok, [[Singapura]], atau Batavia.{{sfnp|Mundy|1848|p=118}}<!--tambahkan bukti arkeologis-->
Sebagian besar pedagang Bugis rantau sejak akhir abad ke-17 hingga akhir abad ke-19 berasal dari Wajo.{{sfnp|Reid|1998|p=147}}{{sfnp|Pelras|1996|p=254}} Pada masa ini, pedagang Bugis, termasuk yang berasal dari Wajo, bertindak sebagai perantara bagi pedagang dari negeri-negeri besar dan kecil di kawasan [[Asia Tenggara Maritim]].{{sfnp|Lineton|1975b|p=178}}{{sfnp|Pelras|1996|p=313}} Perniagaan orang-orang Wajo menjangkau hampir seluruh pusat perdagangan di kawasan ini,{{sfnp|Lineton|1975a|p=17}} baik yang dekat di Sulawesi,{{efn|Contohnya Makassar, [[Suku Mandar|Mandar]], dan [[Pulau Buton|Buton]].}} Kalimantan,{{efn|Contohnya [[Banjarmasin]], [[Kota Pagatan, Kusan Hilir, Tanah Bumbu|Pagatan]], Paser, dan [[Kesultanan Berau|Berau]].}} dan Nusa Tenggara,{{efn|Contohnya [[Bali]], [[Lombok]], dan Sumbawa.}} maupun yang jauh di [[Pulau Papua|Papua]], Sumatra, Semenanjung Malaya, [[Kesultanan Sulu|Sulu]], bahkan [[Kamboja]].{{sfnp|Lineton|1975b|p=178}}{{sfnp|Reid|1998|p=147}}{{sfnp|Pelras|1996|pp=254, 266}}{{sfnp|Wellen|2014|p=70}} [[Jalur perdagangan|Jaringan perdagangan]] Wajo berkembang pesat selama abad ke-18 dan 19 hingga mampu menyaingi perdagangan Belanda;{{sfnp|Ammarell|2002|p=57}}{{sfnp|Lineton|1975a|p=18}} perniagaan tekstil VOC bahkan mengalami penurunan tajam akibat "penyelundupan" tekstil India oleh pedagang-pedagang Wajo yang mampu menghindari penegakan aturan [[monopoli]].{{sfnp|Wellen|2014|p=85}}{{sfnp|Druce|2020|pp=82–83}} Pedagang-pedagang Wajo juga sering kali berkolaborasi dengan Inggris yang merupakan saingan Belanda. Pada tahun 1824, bandar Inggris di Singapura disinggahi oleh 90 kapal dagang dari Wajo, dan jumlah ini bertambah menjadi 120 pada tahun berikutnya.{{sfnp|Druce|2020|pp=82–83}} Menurut laporan John Crawfurd, pada tahun 1820-an saja jumlah perantau Wajo di Singapura telah mencapai sekitar 2.000 hingga 3.000 jiwa.{{sfnp|Lineton|1975a|p=17}} Kehadiran pedagang-pedagang Wajo merupakan salah satu kunci utama keberhasilan komersial Singapura sebagai [[Entrepôt|bandar persinggahan]].{{sfnp|Druce|2020|pp=82–83}} Ekspansi perdagangan Wajo pada abad ke-18 dan 19 juga berdampak pada meningkatnya kemakmuran di tanah Wajo, serta menyokong pertumbuhan penduduk pada permukiman berbasis niaga di sepanjang jalur pelayaran menuju laut<!--; [[Lagosi, Pammana, Wajo|Lagosi]] (bandar utama Wajo di pedalaman), misalnya, diperkirakan memiliki lebih dari 15.000 penduduk pada sekitar tahun 1840-->.{{sfnp|Lineton|1975a|p=19}}<!--{{efn|Sebagai perbandingan, pusat niaga Belanda di kawasan yang sama, yakni Makassar dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, memiliki penduduk sebanyak 19.007 jiwa pada tahun 1828.{{sfnp|Sutherland|2015|p=143}}}}-->
Perniagaan Wajo dapat berkembang dengan baik karena dukungan dari pemerintah di Wajo serta komunitas-komunitas Wajo di perantauan.{{sfnp|Wellen|2014|p=67–68}} Praktik-praktik perniagaan Wajo, menurut sejarawan [[Hans Hägerdal]], dapat dianggap sebagai paralel dari konsep "[[kapitalisme dagang]]" yang berkembang di Eropa.{{sfnp|Hägerdal|2015|p=51}} Pemimpin-pemimpin dari komunitas Wajo di perantauan mengadakan pertemuan secara berkala untuk mendiskusikan kepentingan mereka. Salah satu konferensi pemimpin rantau pada sekitar awal abad ke-18 menghasilkan [[Kodifikasi|kodifikasi hukum]] yang mengatur perdagangan dan pelayaran orang-orang Wajo, atau yang lazim dikenal sebagai [[Undang-Undang Amanna Gappa]].{{sfnp|Wellen|2014|pp=64–65}}{{efn|[[Amanna Gappa]] sendiri merupakan pemimpin (''matoa'') komunitas rantau Wajo di Makassar kala itu, menjabat 1697–1723.{{sfnp|Noorduyn|2000|pp=476, 479}}}} Hukum ini utamanya ditujukan untuk menetapkan praktik bisnis yang adil: bahasannya mencakup masalah seperti peminjaman [[modal]] (uang maupun barang), pembagian untung-rugi, [[warisan]], hak-hak penumpang kapal dagang, hingga perlindungan [[properti]].{{sfnp|Wellen|2009|pp=84–90}} Aturan-aturan ini menjadi kerangka dasar bagi penyelesaian konflik antar pedagang-pedagang Wajo.{{sfnp|Wellen|2014|pp=71}} Menurut sejarawan Kathryn Anderson Wellen, hukum semacam ini "sangat tidak lazim, kalau tidak dapat dikatakan unik, untuk kawasan kepulauan Asia Tenggara pada masa modern awal".{{sfnp|Wellen|2009|p=84}}{{efn|Kutipan asli: "{{lang|en|''Such a law code is highly unusual, if not unique, for early modern insular Southeast Asia.''}}"{{sfnp|Wellen|2009|p=84}}}} Catatan Wajo dari abad ke-18 menyebutkan bahwa para pelanggar hukum ini mendapatkan hukuman yang keras, sehingga tampaknya hukum ini berlaku dengan efektif kala itu.{{sfnp|Wellen|2014|pp=71}}
Pemerintah Wajo menyokong perdagangan di perantauan dengan berbagai bentuk kebijakan-kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi di tanah air. Pada awal abad ke-18, misalnya, {{lang|bug|''Arung Matoa''}} La Saléwangeng memerintahkan para petani untuk menyisihkan sebagian beras hasil panen mereka untuk disimpan di dalam [[Lumbung padi|lumbung]] yang dikelola pemerintah. Beras ini kemudian digunakan untuk memberi makan orang-orang yang membutuhkan serta sebagai cadangan pangan dalam masa paceklik. Sebagian pendapatan pajak dalam bentuk uang juga disisihkan sebagai dana yang [[kepemilikan bersama|dimiliki secara bersama]]. Dana ini dapat digunakan untuk keperluan [[investasi]] dalam bidang pertanian dan perdagangan, atau untuk keperluan jaminan sosial.{{sfnp|Wellen|2009|p=82–83}} Pemerintah dapat meminjamkan dana tersebut kepada rakyat yang ingin memulai usaha, dengan syarat, pinjaman tersebut dikembalikan berikut sepertiga dari keuntungan mereka. Hasil keuntungan ini kemudian digunakan untuk kepentingan umum, seperti pembangunan [[arsenal|gudang senjata]] serta renovasi masjid negara. Sistem ini memungkinkan rakyat Wajo dengan sumber daya terbatas untuk ikut terlibat dalam perniagaan, sekaligus memanfaatkan kekuatan ekonomi mereka untuk kemaslahatan masyarakat Wajo secara keseluruhan.{{sfnp|Noorduyn|1955|p=126}}{{sfnp|Wellen|2009|p=82–83, 97}}{{sfnp|Wellen|2014|p=76}}
== Lihat pula ==
* [[Sejarah awal Gowa dan Tallo]]
== Keterangan ==
{{notelist}}
== Referensi ==
=== Sitiran ===
{{reflist|20em}}
=== Daftar pustaka ===
{{refbegin|indent=yes|30em}}
* {{cite journal |last=Abidin |first=Andi Zainal |authorlink=Andi Zainal Abidin |year=1983 |title=The emergence of early kingdoms in South Sulawesi: A preliminary remark on governmental contracts from the thirteenth to the fifteenth century |url=https://www.researchgate.net/publication/32159714 |journal=Southeast Asian Studies |volume=20 |issue=4 |pages=455–491 |ref=harv}}
* {{cite book |last=Abidin |first=Andi Zainal |author-mask=3 |year=1985 |title=Wajo' pada abad XV–XVI: Suatu penggalian sejarah terpendam Sulawesi Selatan dari lontara |location=Bandung |publisher=Penerbit Alumni |oclc=12901929 |ref=harv}}
* {{cite book |last=Abidin |first=Andi Zainal |author-mask=3 |year=2017 |title=Capita selecta: Sejarah Sulawesi Selatan |location=Makassar |publisher=Social Politic Genius |isbn=9786026183323 |ref=harv}}
* {{cite journal |last=Ammarell |first=Gene |year=2002 |title=Bugis migration and modes of adaptation to local situations |journal=Ethnology |volume=41 |issue=1 |pages=51–67 |doi=10.2307/4153020 |jstor=4153020 |ref=harv}}
* {{cite book |last=Andaya |first=Leonard Y. |authorlink=Leonard Andaya |year=1981 |title=The heritage of Arung Palakka: A history of South Sulawesi (Celebes) in the seventeenth century |location=Ann Arbor |publisher=University of Michigan Press |isbn=9789024724635 |ref=harv}}
* {{cite book |last1=Bulbeck |first1=Francis David |last2=Caldwell |first2=Ian |date=2000 |title=Land of iron: The historical archaeology of Luwu and the Cenrana valley. Results of the Origin of Complex Society in South Sulawesi project (OXIS) |url=https://books.google.com/books?id=bKcuAQAAIAAJ&dq |location=Hull |publisher=University of Hull Centre for South-East Asian Studies |isbn=9780903122115 |ref=harv}}
* {{cite thesis |last=Caldwell |first=Ian |year=1988 |title=South Sulawesi A.D. 1300–1600: Ten Bugis texts |type=disertasi PhD |location=Canberra |publisher=Australian National University |ref=harv}}
* {{cite journal |last=Caldwell |first=Ian |author-mask=3 |year=1995 |title = Power, state and society among the pre-Islamic Bugis |jstor = 27864678 |journal=Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde |volume=151 |issue=3 |pages=394–421 |doi=10.1163/22134379-90003038 |ref=harv}}
* {{cite journal |last1=Caldwell |first1=Ian |author-mask=3 |last2=Wellen |first2=Kathryn Anderson |year=2017 |title=Finding Cina: A new paradigm for early Bugis history |journal=[[Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde]] |volume=173 |issue=2–3 |pages=296–324 |doi=10.1163/22134379-17302004 |ref=harv |doi-access=free}}
* {{cite journal |last=Duli |first=Akin |year=2010 |title=Peranan Tosora sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Wajo abad XVI–XIX |journal=Walennae |volume=12 |issue=2 |pages=143–158 |doi=10.24832/wln.v12i2.237 |ref=harv}}
* {{cite book |last=Druce |first=Stephen C. |year=2009 |title=The lands west of the lakes: A history of the Ajattappareng kingdoms of South Sulawesi, 1200 to 1600 CE |location=Leiden |publisher=Brill |isbn=9789004253827 |ref=harv}}
* {{cite book |last=Druce |first=Stephen C. |author-mask=3 |year=2020 |chapter=Of native concerns: Brooke, the Bugis and Borneo |editor=Ooi Keat Gin |title=Borneo and Sulawesi: Indigenous peoples, empires and area studies |location=London |publisher=Routledge |pages=78–93 |isbn=9780429430602 |ref=harv}}
* {{cite journal |last=Fadillah |first=Mohammad Ali |last2=Mahmud |first2=Muhammad Irfan |last3=Hakim |first3=Budianto |year=2020 |title=The core of Wajo Confederation: Archaeological survey in Tosora, Cinnotabi, and Lamasewanua |journal=Walennae |volume=18 |issue=2 |pages=131–148 |doi=10.24832/wln.v18i2.496 |ref=harv}}
* {{cite journal |last=Friberg |first=Timothy |last2=Friberg |first2=Barbara |year=1985 |title=Geografi dialek Bahasa Bugis |journal=Lontara |volume=24 |issue=28 |pages=20–47 |url=https://www.sil.org/resources/archives/37716 |ref=harv}}
* {{cite journal |last=Hafid |first=Rosdiana |title=Budaya politik Kerajaan Wajo |journal=Walasuji: Jurnal Sejarah dan Budaya |volume=7 |issue=2 |pages=505–520 |doi=10.36869/wjsb.v7i2.147 |ref=harv}}
* {{cite journal |last=Hägerdal |first=Hans |year=2015 |title=The open door: Early modern Wajorese statecraft and diaspora (review) |url= |journal=HumaNetten |volume=35 |pages=50–52 |ref=harv}}
* {{cite journal |last=Halim |first=Wahyuddin |year=2016 |title=Eksplorasi atas praktik dan nilai-nilai demokrasi dalam Kerajaan Wajo’ abad ke-15/16 dan kompatibilitasnya dengan sistem demokrasi modern |journal=Masyarakat dan Budaya |volume=18 |issue=2 |pages=187–202 |doi=10.14203/jmb.v18i2.410 |ref=harv}}
* {{cite thesis |last=Harvey |first=Barbara Sillars |authorlink=Barbara Sillars Harvey |year=1974 |title=Tradition, Islam and rebellion: South Sulawesi 1950-1965 |type=disertasi PhD |publisher=Cornell University |ref=harv}}
* {{cite journal |last1=Henley |first1=David |last2=Caldwell |first2=Ian |year=2019 |title=Precolonial citizenship in South Sulawesi |journal=Citizenship Studies |volume=23 |issue=3 |pages=240–255 |doi=10.1080/13621025.2019.1603271 |ref=harv |doi-access=free}}
* {{cite journal |last=Koolhof |first=Sirtjo |year=1999 |title=The 'La Galigo': A Bugis encyclopedia and its growth |url=https://brill.com/view/journals/bki/155/3/article-p362_3.xml |journal=Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde |volume=155 |issue=3 |pages=362–387 |doi=10.1163/22134379-90003869 |ref=harv}}
* {{cite thesis |last=Lineton |first=Jacqueline |year=1975a |title=An Indonesian society and its universe: A study of the Bugis of South Sulawesi (Celebes) and their role within a wider social and economic system |type=disertasi PhD |publisher=School of Oriental and African Studies, University of London |ref=harv}}
* {{cite journal |last=Lineton |first=Jacqueline |author-mask=3 |year=1975b |title=Pasompe' Ugi': Bugis migrants and wanderers |url=https://www.persee.fr/doc/arch_0044-8613_1975_num_10_1_1248 |journal=Archipel |volume=10 |pages=173–201 |doi=10.3406/arch.1975.1248 |ref=harv}}
* {{cite book |last=Matthes |first=Benjamin Frederik |authorlink=Benjamin Frederik Matthes |year=1869 ||title=Over de Wadjorezen met hun handels- en scheepswetboek |location=Makassar |publisher=P. van Hartrop |ref=harv}}
* {{cite book |editor-last=Mundy |editor-first=Rodney |year=1848 |title=Narrative of events in Borneo and Celebes, down to the occupation of Labuan: From the diaries of James Brooke, Esq |location=London |volume=1 |publisher=John Murray |url=https://archive.org/details/narrativeevents03mundgoog |ref=harv}}
* {{cite book |last=Noorduyn |first=Jacobus |year=1955 |title=Een achttiende-eeuwse kroniek van Wadjo’: Buginese historiografie |location=[[Den Haag|‘s-Gravenhage]] |publisher=H. L. Smits |ref=harv}}
* {{cite journal |last=Noorduyn |first=Jacobus |author-mask=3 |year=1972 |title=Arung Singkang (1700-1765): How the victory of Wadjo' began |url=https://ecommons.cornell.edu/bitstream/1813/53538/1/INDO_13_0_1107127212_61_68.pdf |journal=Indonesia |volume=13 |issue=13 |pages=61–68 |doi=10.2307/3350682 |jstor=3350682 |ref=harv}}
* {{cite journal |last=Noorduyn |first=Jacobus |author-mask=3 |year=2000 |title=The Wajorese merchants community in Makassar |url=https://brill.com/view/journals/bki/156/3/article-p473_5.xml |journal=Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde |volume=156 |issue=3 |pages=473–498 |doi=10.1163/22134379-90003836 |ref=harv}}
* {{cite book |last=Patunru |first=Abdurrazak Daeng |year=1983 |orig-year=1964 |title=Sejarah Wajo |location=Ujung Pandang |publisher=Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan |oclc=215821862 |ref=harv}}
* {{cite journal |last=Pelras |first=Christian |authorlink=Christian Pelras |year=1971 |title=Hiérarchie et pouvoir traditionnels en pays Wadjo' |url=https://www.persee.fr/doc/arch_0044-8613_1971_num_1_1_930 |journal=Archipel |volume=1 |pages=169–191 |doi=10.3406/arch.1971.930 |ref=harv}}
* {{cite journal |last=Pelras |first=Christian |author-mask=3 |year=1993 |title=Religion, tradition and the dynamics of Islamization in South-Sulawesi |url=https://ecommons.cornell.edu/bitstream/1813/54026/1/INDO_57_0_1106969433_133_154.pdf |journal=Indonesia |volume=57 |issue=1 |pages=133–154 |doi=10.2307/3351245 |jstor=3351245 |ref=harv}}
* {{cite book |last=Pelras |first=Christian |author-mask=3 |year=1996 |title=The Bugis |url=https://archive.org/details/bugis0000pelr |location=Oxford |publisher=Blackwell Publishers |isbn=9780631172314 |ref=harv}}
* {{cite book |last=Reid |first=Anthony |authorlink=Anthony Reid |year=1998 |chapter=Merdeka: The concept of freedom in Indonesia |editor1=David Kelly |editor2=Anthony Reid |title=Asian freedoms: The idea of freedom in East and Southeast Asia |location=Cambridge |publisher=Cambridge University Press |isbn=9780521637572 |pages=141–160 |ref=harv}}
* {{cite journal |last=Reid |first=Anthony |author-mask=3 |year=2016 |title=The open door: Early modern Wajorese statecraft and diaspora (review) |url= |journal=Journal of Southeast Asian Studies |volume=47 |issue=2 |pages=312–315 |doi=10.1017/S002246341600014X |ref=harv}}
* {{cite book |last=Sutherland |first=Heather |year=2015 |chapter=Pursuing the invisible: Makassar, city and systems |editor1=David Henley |editor2=Henk Schulte Nordholt |title=Environment, trade and society in Southeast Asia: A longue durée perspective |chapter-url=https://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctt1w76vg1.12 |series=Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde |volume=300 |location=Leiden dan Boston |publisher=Brill |isbn=9789004288058 |pages=133–148 |ref=harv}}
* {{cite book |last=Tobing |first=Philip O. L. |year=1977 |orig-year=1961 |title=Hukum pelayaran dan perdagangan Amanna Gappa |location=Ujung Pandang |publisher=Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan |isbn= |ref=harv}}
* {{cite journal |last=Tol |first=Roger |year=2020 |title=Pengembaraan La Galigo ke Washington D.C.: Memperkenalkan Husin bin Ismail |url= |journal=Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society |volume=93 |issue=317 |pages=65–72 |doi=10.1353/ras.2020.0030 |ref=harv}}
* {{cite book |last=Wellen |first=Kathryn Anderson |year=2009 |chapter=Credit among the early modern To Wajoq |editor1=David Henley |editor2=Peter Boomgaard |title=Credit and debit in Indonesia: From peonage to pawnshop, from kongsi to cooperative |location=Leiden |publisher=KITLV Press |isbn=9789067183505 |pages=102–123 |ref=harv}}
* {{cite book |last=Wellen |first=Kathryn Anderson |author-mask=3 |year=2014 |title=The open door: Early modern Wajorese statecraft and diaspora |location=DeKalb |publisher=Northern Illinois University Press |isbn=9780875807126 |ref=harv}}
* {{cite book |last=Wellen |first=Kathryn Anderson |author-mask=3 |year=2018 |chapter=La Maddukelleng and civil war in South Sulawesi |editor1=Michael Charney |editor2=Kathryn Wellen |title=Warring societies of pre-colonial Southeast Asia: Local cultures of conflict within a regional context |series=Studies on Asian Topics |volume=62 |location=Kopenhagen |publisher=NIAS Press |isbn=9788776942281 |pages=47–71 |ref=harv}}
* {{cite journal |last=Wellen |first=Kathryn Anderson |author-mask=3 |year=2021 |title=Recollections of a lost kingdom: The varied interactions between history and memory in South Sulawesi, Indonesia |url= |journal=Memory Studies |volume=14 |issue=5 |pages= 1035–1060 |doi=10.1177/1750698020982037 |ref=harv}}
{{refend}}
{{Kerajaan di Sulawesi}}
[[Kategori:Kerajaan Wajo| ]]
[[Kategori:Kerajaan di Sulawesi Selatan|Wajo]]
[[Kategori:Kerajaan di Nusantara|Wajo]]
|