Sureq Galigo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
k Menambah Kategori:Sastra Bugis menggunakan HotCat
 
(39 revisi perantara oleh 29 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{refimprove|date=Mei 2019}}
[[Berkas:Galigo.jpg|rightka|thumbjmpl|225px|[[Manuskrip]] ''Sureq Galigo'' dari [[abad ke-19]].]]
'''Sureq Galigo''', '''I La Galigo''', atau '''Galigo''', atau disebut juga '''La Galigo''' adalah sebuah [[epik]] [[mitos penciptaan]] dari [[peradaban]] [[Bugis]] di [[Sulawesi Selatan]] (sekarang bagian dari [[Republik Indonesia]]) yang ditulis di antaraoleh [[abadColliq ke-13Pujie]] danpada [[abad ke-15|ke-15]]19 dalam bentuk [[puisi]] [[bahasa Bugis]] kuno, ditulis dalam [[hurufaksara]] [[Lontara]] kuno Bugis kuno.<ref name="Arnold 2004">{{Cite news|url=http://query.nytimes.com/gst/fullpage.html?res=9407E6DC1638F934A35757C0A9629C8B63&sec=&spon=&pagewanted=all|title=Robert Wilson Illuminates Indonesian Creation Myth|accessdate=2008-09-04|work = The New York Times|date=2004-04-07|author=Wayne Arnold}}</ref> Puisi ini terdiri dalam [[sajak bersuku lima]] dan selain menceritakan kisah asal usul [[manusia]], juga berfungsi sebagai [[almanak]] praktis sehari-hari.<ref name="Arnold 2004" /><ref name="Shaw 2005">{{Cite news|url=http://www.nysun.com/arts/micromanaging-indonesia/17074/|title=Micromanaging Indonesia|accessdate=2008-08-19|publisher=The New York Sun|date=2005-07-15|author=Helen Shaw|archive-date=2011-06-11|archive-url=https://web.archive.org/web/20110611153909/http://www.nysun.com/arts/micromanaging-indonesia/17074/|dead-url=yes}}</ref>
 
Epik ini berkembang dalam masyarakat Bugis berkembang sebagian besar melaluisebagai [[tradisi lisan]] dan masih dinyanyikan pada kesempatan-kesempatan tradisional Bugis penting. Versi tertulis hikayat ini yang paling awal diawetkan pada [[abad ke-18]], di mana versi-versi yang sebelumnya telah hilang akibat [[serangga]], [[iklim]] atau [[perusakan]].<ref name="Arnold 2004" /> Akibatnya, tidak ada versi ''Galigo'' yang pasti atau lengkap, namun bagian-bagian yang telah diawetkan berjumlah 6.000 [[halaman]] atau 300.000 baris [[teks]], membuatnya menjadi salah satu karya [[sastra]] terbesar.<ref name="Rothstein 2005">{{Cite news|url=http://theater2.nytimes.com/2005/07/15/theater/reviews/15gali.html|title=A Sacred Epic and Its Gods, All Struggling to Survive|accessdate=2008-08-19|work = The New York Times|date=2005-07-15|author=Edward Rothstein}}</ref>
 
== Latar belakang dan usaha pelestarian ==
AdaEpik dugaanini pulaberisi bahwacerita epikyang iniberlatar mungkinbelakang lebihkerajaan tuaLuwu danpada ditulisabad sebelumke-15.<ref epikname=":0">{{Cite [[Mahabharata]]book|last=Liebner|first=Horst dariH.|date=2003|title=La [[India]]Galigo: Menelusuri jejak warisan sastra dunia|chapter=Berlayar ke tompoq tikkaq: sebuah episode La Galigo|url-status=live}}</ref>{{Rp|32}} Namun isinya sendiri mencerminkan ciri-ciri penulisan pada abad kemudian, misalnya dengan adanya penyebutan istilah Peringgi (''Frank'' atau orang Eropa), yang merupakan penyebutan orang Portugis dalam bahasa Bugis.<ref name=":0" />{{Rp|26}} Isinya sebagian terbesar berbentuk puisi yang ditulis dalam [[bahasa Bugis]] kuno. Epik ini mengisahkan tentang [[Sawerigading]], seorang pahlawan yang gagah berani dan juga perantau.
 
La Galigo bukanlah teks [[sejarah]] karena isinya penuh dengan [[mitos]] dan peristiwa-peristiwa luar biasa.<ref>{{Cite Namunweb|title=“I La Galigo” South Sulawesi’s Mythological Epic Poem|url=https://nowjakarta.co.id/i-la-galigo-south-sulawesi-s-mythological-epic-poem|website=NOW JAKARTA {{!}} “I La Galigo” South Sulawesi’s Mythological Epic Poem|language=en|access-date=2022-06-04}}</ref> Dari perbandingan hasil ekskavasi arkeologis, epiklaporan-laporan inihistoris, tetapperbandingan memberikanperlengkapan gambaranberhias kepadadan [[sejarawan]]barang-barang mengenailain, naskah La Galigo mencerminkan kebudayaan [[Bugis]] sebelum [[abad ke-14]]19.<ref name=":0" />{{Rp|33}}
 
Versi bahasa Bugis asli ''Galigo'' sekarang hanya dipahami oleh kurang dari 100 orang.<ref name="Rothstein 2005" /> Sejauh ini ''Galigo'' hanya dapat dibaca dalam versi bahasa Bugis aslinya. Hanya sebagian saja dari ''Galigo'' yang telah diterjemahkan ke dalam [[bahasa Indonesia]], dan tidak ada versi lengkapnya dalam [[bahasa Inggris]] yang tersedia.<ref name="Arnold 2004" /> Sebagian manuskrip ''' La Galigo''' dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan di [[Eropa]], terutama di [[Perpustakaan]] ''[[Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde]] [[Leiden]]'' di [[Belanda]]. Terdapat juga 600 muka surat tentang epik ini di [[Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara]], dan jumlah muka surat yang tersimpan di [[Eropa]] dan di yayasan ini adalah 6000, tidak termasuk simpanan pribadi pemilik lain.{{citation needed}}
 
Hikayat La Galigo telah menjadi dikenal di khalayak internasional secara luas setelah diadaptasi dalam [[pertunjukan]] [[teater]] ''[[I La Galigo (pentas seni)|I La Galigo]]'' oleh [[Robert Wilson (sutradara)|Robert Wilson]], [[sutradara]] asal [[Amerika Serikat]], yang mulai dipertunjukkan secara internasional sejak tahun [[2004]].
 
== Isi hikayat La GaligoSuntingGaligo ==
Buka menu utama
[[File:La Galigo old manuscript of Bugis in Indonesia.jpg|thumb|Koleksi La Galigo di [[Perpustakaan Nasional Republik Indonesia]], Jl. Medan Merdeka Selatan, Jakarta]]
Terakhir disunting 4 bulan yang lalu oleh Bozky
Epik ini dimulai dengan kisah [[penciptaan dunia]]. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada [[Sulawesi Selatan]]), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge' langi' menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge' langi' kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili'timo', anak dari Guru ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di [[Ussu, Malili, Luwu Timur|Ussu']], sebuah daerah di [[Tanah Luwu|Luwu']], sekarang wilayah [[Luwu Timur]] dan terletak di [[Teluk Bone]].
Sureq Galigo
SuntingPantau halaman ini
 
Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu'. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La Ma'dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware') dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu' dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalannyaperjalanannya ke Kerajaan [[Tiongkok]], ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuklahtermasuk tokoh pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikah dengan putri Tiongkok, yaitu [[We Cudai]].
Manuskrip Sureq Galigo dari abad ke-19
Sureq Galigo, atau Galigo, atau disebut juga La Galigo adalah sebuah epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis di Sulawesi Selatan (sekarang bagian dari Republik Indonesia) yang ditulis di antara abad ke-13 dan ke-15 dalam bentuk puisi bahasa Bugis kuno, ditulis dalam huruf Lontara kuno Bugis.[1] Puisi ini terdiri dalam sajak bersuku lima dan selain menceritakan kisah asal usul manusia, juga berfungsi sebagai almanak praktis sehari-hari.[1][2]
 
[[Sawerigading]] digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain adalah Taranate ([[Ternate]] di [[Maluku]]), Gima (diduga [[Bima]] atau [[Sumbawa]]), Jawa Rilau' dan Jawa Ritengnga, [[Jawa Timur]] dan [[Jawa Tengah|Tengah]]), Sunra Rilau' dan Sunra Riaja (kemungkinan [[Sunda]] Timur dan [[Sunda]] Barat) dan [[Melaka]]. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.
Epik ini dalam masyarakat Bugis berkembang sebagian besar melalui tradisi lisan dan masih dinyanyikan pada kesempatan-kesempatan tradisional Bugis penting. Versi tertulis hikayat ini yang paling awal diawetkan pada abad ke-18, di mana versi-versi yang sebelumnya telah hilang akibat serangga, iklim atau perusakan.[1] Akibatnya, tidak ada versi Galigo yang pasti atau lengkap, namun bagian-bagian yang telah diawetkan berjumlah 6.000 halaman atau 300.000 baris teks, membuatnya menjadi salah satu karya sastra terbesar.[3]
 
[[Sawerigading]] adalah ayah '''I La Galigo''' (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi raja.
Latar belakang dan usaha pelestarian
Isi hikayat La GaligoSunting
 
Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta' adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu'.
Epik ini dimulai dengan penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge' langi' menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge' langi' kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili'timo', anak dari Guru ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu', sebuah daerah di Luwu', sekarang wilayah Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone.
 
Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang [[Bugis]] bermukim di pesisir pantai [[Sulawesi]]. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimanadi mana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (''Baruga'') yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan [[Bugis]] ketika itu. Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem [[barter]], diikuti golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading digambarkan sebagai model mereka.{{citation needed}}
Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu'. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La Ma'dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware') dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu' dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalannya ke Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuklah pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikah dengan putri Tiongkok, yaitu We Cudai.
 
== La Galigo di [[Sulawesi Tengah]] ==
Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau' dan Jawa Ritengnga, Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau' dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan Melaka. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.
Nama [[Sawerigading]] [[I La Galigo]] cukup terkenal di [[Sulawesi Tengah]]. Hal ini membuktikan bahwa kawasan ini mungkin pernah diperintah oleh kerajaan purba [[Bugis]] yaitu Luwu'.<ref>{{Cite web|title=La Galigo di Sulawesi Tengah|url=https://perpustakaan.tanahimpian.web.id/2012/11/la-galigo-di-sulawesi-tengah.html|access-date=2022-05-25}}</ref>
 
[[Sawerigading]] dan anaknya [[I La Galigo]] bersama dengan anjing peliharaanya, Buri, pernah merantau mengunjungi lembah Palu yang terletak di pantai barat [[Sulawesi]]. Buri, yang digambarkan sebagai seekor binatang yang garang, dikatakan berhasil membuat mundur laut ketika I La Galigo bertengkar dengan Nili Nayo, seorang Ratu Sigi. Akhirnya, lautan berdekatan dengan [[Loli]] di [[Teluk Palu]] menjadi sebuah danau iaitu Tasi' Buri' (Tasik Buri).
Sawerigading adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi raja.
 
Berdekatan dengan [[Donggala]] pula, terdapat suatu kisah mengenai [[Sawerigading]]. [[Bunga Manila]], seorang ratu [[Makubakulu]] mengajak [[Sawerigading]] bertarung ayam. Akan tetapi, ayam [[Sawerigading]] kalah dan ini menyebabkan tercetusnya peperangan. [[Bunga Manila]] kemudian meminta pertolongan kakaknya yang berada di Luwu'. Sesampainya tentara Luwu', kakak Bunga Manila mengumumkan bahwa [[Bunga Manila]] dan Sawerigading adalah bersaudara dan hal ini mengakhiri peperangan antara mereka berdua. Betapapun juga, [[Bunga Manila]] masih menaruh dendam dan karena itu ia menyuruh anjingnya, Buri (anjing hitam), untuk mengikuti Sawerigading. Anjing itu menyalak tanpa henti dan ini menyebabkan semua tempat mereka kunjungi menjadi daratan.
Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta' adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu'.
 
Kisah lain yang terdapat di [[Donggala]] ialah tentang [[I La Galigo]] yang terlibat dalam adu ayam dengan [[orang Tawali]]. Di [[Biromaru]], ia mengadu ayam dengan Ngginaye atau Nili Nayo. Ayam Nili Nayo dinamakan Calabae sementara lawannya adalah Baka Cimpolo. Ayam [[I La Galigo]] kalah dalam pertarungan itu. Kemudian I La Galigo meminta pertolongan dari ayahnya, Sawerigading. Sesampainya Sawerigading, ia mendapati bahwa Nili Nayo adalah bersaudara dengan [[I La Galigo]], karena Raja Sigi dan Ganti adalah sekeluarga.
Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis ketika itu. Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading digambarkan sebagai model mereka.
 
Di [[Sakidi Selatan]] pula, watak [[Sawerigading]] dan [[I La Galigo]] adalah seorang pencetus tamadun dan inovasi.{{citation needed}}
La Galigo di Sulawesi Tengah
La Galigo di Sulawesi Tenggara
La Galigo di Gorontalo
La Galigo di Malaysia dan Riau
La Galigo dalam seni pentas
Pranala luar
Lihat pula
Rujukan
ReferensiSunting
 
== La Galigo di [[Sulawesi Tenggara]] ==
^ a b c d e Wayne Arnold (2004-04-07). "Robert Wilson Illuminates Indonesian Creation Myth". The New York Times. Diakses 2008-09-04.
Ratu [[Wolio]] pertama di [[Butung]] ([[Butuni]] atau [[Buton]]) di gelar Wakaka, di mana mengikut lagenda muncul dari buluh (bambu gading). Terdapat juga kisah lain yang menceritakan bahwa Ratu [[Wolio]] adalah bersaudara dengan Sawerigading. Satu lagi kisah yang berbeda yaitu Sawerigading sering ke [[Wolio]] melawat Wakaka. Ia tiba dengan kapalnya yang digelar ''Halmahera'' dan berlabuh di [[Teluk Malaoge]] di [[Lasalimu]].
^ a b Helen Shaw (2005-07-15). "Micromanaging Indonesia". The New York Sun. Diakses 2008-08-19.
 
^ a b c d Edward Rothstein (2005-07-15). "A Sacred Epic and Its Gods, All Struggling to Survive". The New York Times. Diakses 2008-08-19.
Di [[Pulau Muna]] yang berdekatan, pemerintahnya mengaku bahwa ia adalah keturunan Sawerigading atau kembarnya We Tenriyabeng. Pemerintah pertama Muna yaitu Belamo Netombule juga dikenali sebagai Zulzaman adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari [[Jawa]], kemungkinan dari [[Majapahit]]. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan Remmangrilangi', artinya, 'Yang tinggal di surga'. Ada kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada Belamo Netombule atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola Kagua Bangkeno Fotu.
^ a b Carla Bianpoen (2004-04-04). "Supanggah sets the tone in 'I La Galigo'". The Jakarta Post. Diakses 2008-09-26.
 
Baca dalam bahasa lain
Sementara nama-nama bagi pemerintah awal di [[Sulawesi Tenggara]] adalah mirip dengan nama-nama di [[Tompoktikka]], seperti yang tercatat di dalam La Galigo. Contohnya Baubesi (La Galigo: Urempessi). Antara lainnya ialah Satia Bonga, pemerintah [[Wolio]] (La Galigo: Setia Bonga).{{citation needed}}
Wikipedia ™ Tampilan HPTampilan PC
Konten tersedia di bawah CC BY-SA 3.0 kecuali dinyatakan lain.
Ketentuan PenggunaanPrivasi
 
== La Galigo di [[Gorontalo]] ==
Legenda Sawerigading dan kembarnya, Rawe, adalah berkait rapat dengan pembangunan beberapa negeri di kawasan ini. Mengikut legenda dari kawasan ini, Sarigade, putera Raja Luwu' dari negeri [[Bugis]] melawat kembarnya yang telah hidup berasingan dengan orangtuanya. Sarigade datang dengan beberapa armada dan melabuh di Tanjung Bayolamilate yang terletak di negeri Padengo. Sarigade mendapat tahu bahwa kembarnya telah menikah dengan raja negeri itu yaitu Hulontalangi. Karena itu bersama-sama dengan kakak iparnya, ia setuju untuk menyerang beberapa negeri sekitar [[Teluk Tomini]] dan membagi-bagikan kawasan-kawasan itu. Serigade memimpin pasukan ber[[keris]] sementara Hulontalangi memimpin pasukan yang menggunakan [[kelewang]]. Setelah itu, Sarigade berangkat ke [[Tiongkok]] untuk mencari seorang gadis yang cantik dikatakan mirip dengan saudara kembarnya. Setelah berjumpa, ia langsung menikahinya.
 
Terdapat juga kisah lain yang menceritakan tentang pertemuan Sawerigading dengan Rawe. Suatu hari, Raja Matoladula melihat seorang gadis asing di rumah Wadibuhu, pemerintah Padengo. Matoladula kemudian menikahi gadis itu dan akhirnya menyadari bahwa gadis itu adalah Rawe dari kerajaan Bugis Luwu'. Rawe kemudiannya menggelar [[Matoladula]] dengan gelar [[Lasandenpapang]].{{citation needed}}
 
== La Galigo di [[Malaysia]] dan [[Riau]] ==
Kisah Sawerigading cukup terkenal di kalangan keturunan [[Bugis]] dan [[Makasar]] di [[Malaysia]]. Kisah ini dibawa sendiri oleh orang-orang [[Bugis]] yang bermigrasi ke [[Malaysia]]. Terdapat juga unusurunsur [[Melayu]] dan [[Bangsa Arab|Arab]] diserap sama.{{citation needed}}
 
Pada [[abad ke-15]], [[Melaka]] di bawah pemerintahan [[Sultan Mansur Syah]] diserang oleh 'Keraing Semerluki' dari [[Makassar]]. Semerluki yang disebut ini berkemungkinankemungkinan adalah Karaeng Tunilabu ri Suriwa, putera pertama kerajaan Tallo', dimanadi mana nama sebenarnya ialah Sumange'rukka' dan ia berniat untuk menyerang [[Melaka]], [[Banda]] dan [[Manggarai]].{{citation needed}}
 
Perhubungan yang jelas muncul selepas abad ke-15. Pada tahun 1667, [[Belanda]] memaksa pemerintah [[GoaGowa]] untuk mengaku kalah dengan menandatangani [[Perjanjian Bungaya]]. Dalam perjuangan ini,GoaGowa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo'. Pada tahun berikutnya, kubu Tosora dimusnahkan oleh [[Belanda]] dan sekutunya [[Arung Palakka|La Tenritta' Arung Palakka]] dari Bone. Hal ini menyebabkan banyak orang [[Bugis]] dan [[Makassar]] bermigrasi ke tempat lain. Contohnya, serombongan orang [[Bugis]] tiba di [[Selangor]] di bawah pimpinan Daeng Lakani. Pada tahun 1681, sebanyak 150 orang [[Bugis]] menetap di [[Kedah]]. Manakala sekitar abad ke-18, Daeng Matokko' dari Peneki, sebuah daerah di Wajo', menetap di [[Johor]]. Sekitar 1714 dan 1716, adiknya, La Ma'dukelleng, juga ke [[Johor]]. La Ma'dukelleng juga diberi gelar sebagai [[bajak laut|pemimpin bajak laut]] oleh [[Belanda]].{{citation needed}}
 
Keturunan Opu Tenriburong memainkan peranan penting dimanadi mana mereka bermukim di [[Kuala Selangor]] dan [[Klang]] keturunan ini juga turut dinobatkan sebagai Sultan Selangor dan Sultan Johor. Malahan, kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan peranan yang penting dalam sejarah di kawasan ini. [[Daeng MerewahMarewah]] menjadi [[Yang Dipertuan Muda]] [[Kesultanan Lingga|Riau]], Daeng Parani menikah dengan puteri-puteri [[Johor]], [[Kedah]] dan [[Selangor]] dan juga ayanhanda kepadadari [[Daeng Kemboja|Opu Daeng KambojaKemboja]] ([[Yang Dipertuan Muda]] [[Kesultanan Lingga|Riau ketigake-3]]), [[Opu Daeng Manambung]] (menjadi Sultan Mempawah dan Matan), [[Opu Daeng Cella']] (menikah dengan Sultan Sambas dan keturunannya menjadi raja di sana).{{citation needed}}
 
Pada [[abad ke-19]], sebuah teks [[Melayu]] yaitu [[Tuhfat al-Nafis]] mengandung cerita-cerita seperti di dalam La Galigo. Walaubagaimanapun, terdapat perubahan-perubahan dalam [[Tuhfat al-Nafis]] seperti permulaan cerita adalah berasal dari BalkisBalqis/[[Ratu Syeba]] dan tiada cerita mengenai turunnya keturunan dari langit seperti yang terdapat di dalm La Galigo. Anak perempuannya, Sitti Mallangke', menjadi Ratu Selangi, sempena nama purba bagi pulau [[Sulawesi]] dan menikah dengan Datu Luwu'. Kisah ini tidak terdapat dalam La Galigo. Namun, anaknya, yaitu Datu Palinge' kemungkinan adalah orang yang sama dengan tokoh di dalam La Galigo.{{citation needed}}
 
== La Galigo dalam seni pentas ==
''La Galigo'' sudah diadaptasi ke dalam seni pentas oleh [[sutradara]] [[Robert Wilson]] setelah diadaptasi oleh [[Rhoda Grauer]]. Pertunjukan ini telah dipertunjukkan sejak tahun [[2004]] di [[Asia]], [[Eropa]], [[Australia]] dan [[Amerika Serikat]].
 
Dalam bagian-bagian dari cerita yang dikisahkan, para aktor tidak saling berbicara tapitetapi mengekspresikan diri mereka melalui tari dan gerak tubuh. Bagian cerita dinarasi oleh seorang [[narator]] dalam versi bahasa Bugis aslinya. Pertunjukan sepanjang tiga jam ini disertai dengan penggunaan ekstensif [[efek cahaya]] untuk karakteristik pekerjaan Wilson dan disertai pula oleh musik oleh [[ansambel panggung]].<ref name="Shaw 2005" /> Pertunjukan ini menggunakan musik tradisional [[Sulawesi]], namun sebenarnya telah disusun dan diproduksi oleh [[komponis]] [[Jawa]] [[Rahayu Supanggah]] setelah riset yang intensif di [[Sulawesi Selatan]].<ref name="Rothstein 2005" /><ref name="Bianpoen 2004">{{Cite news|url=http://old.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20040404.B01|title=Supanggah sets the tone in 'I La Galigo' |accessdate=2008-09-26|publisher=The Jakarta Post|date=2004-04-04|author=Carla Bianpoen}}{{Pranala mati|date=Maret 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref>
 
Untuk menciptakan [[ekspresi]] [[drama]]tis yang lebih baik, [[instrumen Jawa]] dan [[instrumen Bali|Bali]] lainnya ditambahkan ke dalam lima [[instrumen Sulawesi]] tradisional aslinya, dan instrumen lain yang baru juga dibuat, sehingga akhirnya terdapat 70 [[instrumen]] yang dimainkan oleh 12 [[musisi]].<ref name="Bianpoen 2004" /> Para pelaku produksi pentas ini terdiri dari 53 [[pemusik]] dan [[penari]] yang semuanya datang secara ekslusif dari [[Indonesia]] dan sebagian besar dari [[Sulawesi]], serta salah satu dari sedikit pendeta tradisional ''[[bissu]]'' ([[pendeta]] [[non gender]]) [[Bugis]], yang tersisa dari komunitas non gender Bugis, [[Puang Matoa Saidi]] yang menceritakan sebagian dari cerita.<ref name="Arnold 2004" /><ref name="Rothstein 2005" />
Baris 85 ⟶ 74:
Berkas:Supanggah_2004.JPG|[[Rahayu Supanggah]]
</gallery>
 
== Pranala luar ==
* [http://e-publishing.library.cornell.edu/Dienst/UI/1.0/Summarize/seap.indo/1107130756 The I La Galigo Epic Cycle of South Celebes and its diffusion oleh Andi Zainal Abidin]
* [http://bolehtau.wordpress.com/2008/03/25/la-galigo-bukan-epos-biasa/#comment-474 "La Galigo, Bukan Epos Biasa"] Blog Bolehtau.com
 
== Lihat pula ==
Baris 97 ⟶ 82:
* [[Bahasa Bugis]]
* [[Budaya Bugis]]
 
== Rujukan ==
* {{cite journal | author=Andi Zainal Abidin and C. C. Macknight| title=The I La Galigo Epic Cycle of South Celebes and Its Diffusion| journal=Indonesia| year=1974| volume=17| issue=April| url=http://www.jstor.org/pss/3350778| pages=161–169 | doi=10.2307/3350778}}
 
== Referensi ==
{{reflist}}
 
== Pranala luar ==
* [http://e-publishing.library.cornell.edu/Dienst/UI/1.0/Summarize/seap.indo/1107130756 The I La Galigo Epic Cycle of South Celebes and its diffusion oleh Andi Zainal Abidin]
* [http://bolehtau.wordpress.com/2008/03/25/la-galigo-bukan-epos-biasa/#comment-474 "La Galigo, Bukan Epos Biasa"] Blog Bolehtau.com
 
== RujukanPustaka ==
* {{cite journal | author=Andi Zainal Abidin and C. C. Macknight| title=The I La Galigo Epic Cycle of South Celebes and Its Diffusion| journal=Indonesia| year=1974| volume=17| issue=April| url=http://www.jstor.org/pss/3350778| pages=161–169 | doi=10.2307/3350778}}
 
{{Dongeng}}
Baris 111 ⟶ 100:
[[Kategori:Cerita rakyat dari Sulawesi Selatan]]
[[Kategori:Bugis]]
[[Kategori:Mitologi Bugis]]
[[Kategori:Sastra Bugis]]