Perang Diponegoro: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Cenya95 (bicara | kontrib)
k perang diponegoro
Okkisafire (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 6:
|place=[[Jawa]]
|date=[[1825]]-[[1830]]
|casus=BelandaJalan membangunyang jalandibangun Belanda melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro
|result=Pangeran [[Diponegoro]] dibuang ke [[Magelang]]; Pemberontakan terhenti akibat pembuangan
|combatant1=[[Berkas:Flag of the Netherlands.svg|22px]] [[Belanda]]{{br}}Pribumi Pro-Belanda
Baris 14:
|strength1=50.000
|strength2=100.000
|casualties1='''Serdadu Eropa''':<br />~8.000<br />'''Serdadu pribumiJawa''':<br />7.000
|casualties2='''Milisi dan sipil''':<br />+200.000
|}}
 
'''Perang Diponegoro''' yang juga dikenal dengan sebutan '''Perang Jawa''' ([[Bahasa Inggris|Inggris]]:''The Java War'', [[Bahasa Belanda|Belanda]]: ''De Java Oorlog''), adalah perang besar dan berlangsung selama lima tahun (1825-1830) di Pulau [[Jawa]], [[Hindia Belanda]] (sekarang [[Indonesia]]). Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di [[Nusantara]], melibatkan pasukan Belanda di bawah pimpinan [[Jendral De Kock]]<ref>[http://www.kompas.com/kompas-cetak/0204/23/jatim/pesu40.htm Kompas], diakses 14 Mei 2007</ref> melawanyang pendudukberusaha pribumimeredam Indonesiaperlawanan penduduk Jawa di bawah pimpinan [[Pangeran Diponegoro]]. BerdasarkanAkibat dokumen-dokumenperang Belandaini, penduduk Jawa yang dikutiptewas olehmencapai ahli200.000 sejarahjiwa, perangsementara inikorban menewaskantewas sekitardi 200pihak Belanda berjumlah 8.000 orangtentara wargaBelanda dan 7000 serdadu pribumi. SementaraAkhir korbanperang tewasmenegaskan di pihakpenguasaan Belanda berjumlahatas 8Pulau Jawa.000<ref orangname=carey>Peter Carey. 2014. ''Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855)''. Penerjemah: Bambang Murtianto. Editor: Mulyawan Karim. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ISBN 978-979-709-799-8.</ref>
 
Berkebalikan dari perang yang dipimpin oleh [[Ronggo Prawirodirjo III|Raden Ronggo]] sekitar 15 tahun sebelumnya, pasukan Jawa juga menempatkan masyarakat Tionghoa di tanah Jawa sebagai target penyerangan. Namun, meskipun Pangeran Diponegoro secara tegas melarang pasukannya untuk bersekutu dengan masyarakat Tionghoa, sebagian pasukan Jawa yang berada di pesisir utara (sekitar [[Rembang]] dan [[Lasem, Rembang|Lasem]] menerima bantuan dari penduduk Tionghoa setempat yang rata-rata ber[[agama Islam]].<ref name=carey/>
Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di [[Nusantara]]. Peperangan ini terjadi secara menyeluruh wilayah Jawa, sehingga disebut '''Perang Jawa'''.
 
==Latar belakang==
== Awalnya Perang ==
===Pemerintahan Daendels dan Raffles===
Setelah kekalahannya dalam [[Peperangan era Napoleon]] di Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam kesulitan ekonomi berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan memberlakukan berbagai pajak di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda. Selain itu, mereka juga melakukan monopoli usaha dan perdagangan untuk memaksimalkan keuntungan. Pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut amat mencekik rakyat Indonesia yang ketika itu sudah sangat menderita.Banyak hasil bumi diambil oleh Belanda.
Perseteruan pihak keraton Jawa dengan Belanda dimulai semenjak kedatangan Marsekal [[Herman Willem Daendels]] di Batavia pada tanggal 5 Januari 1808. Meskipun ia hanya ditugaskan untuk mempersiapkan Jawa sebagai basis pertahanan Perancis melawan Inggris (saat itu Belanda dikuasai oleh Perancis), tetapi Daendels juga mengubah etiket dan tata upacara lain yang menyebabkan terjadinya [[Herman Willem Daendels#Daendels_di_Hindia_Belanda|kebencian dari pihak keraton Jawa]]. Ia memaksa pihak Keraton Yogyakarta untuk memberinya akses terhadap berbagai sumber daya alam dan manusia dengan mengerahkan kekuatan militernya, membangun jalur antara [[Anyer]] dan [[Panarukan]], hingga akhirnya terjadi insiden perdagangan kayu jati di daerah ''mancanegara'' (wilayah Jawa di timur Yogyakarta) yang menyebabkan terjadinya pemberontakan [[Ronggo Prawirodirjo III|Raden Ronggo]]. Setelah kegagalan pemberontakan Raden Ronggo (1810), Daendels memaksa [[Sultan Hamengkubuwana II]] membayar kerugian perang serta melakukan berbagai penghinaan lain yang menyebabkan terjadinya perseteruan antar keluarga keraton (1811). Namun, pada tahun yang sama, pasukan Inggris mendarat di Jawa dan mengalahkan pasukan Belanda.<ref name=carey/>
 
Meskipun pada mulanya Inggris yang dipimpin [[Thomas Stamford Bingley Raffles]] memberikan dukungan kepada [[Sultan Hamengkubuwana II]], pasukan Inggris akhirnya menyerbu Keraton Yogyakarta (19-20 Juni 1812) yang menyebabkan [[Sultan Hamengkubuwana II]] diturunkan secara tidak hormat dan digantikan putra sulungnya, yaitu [[Hamengkubuwana III|Sultan Hamengkubuwana III]]. Inggris memerintah hingga tahun 1815 dan mengembalikan Jawa kepada Belanda sesuai isi Perjanjian Wina (1814) dibawah Gubernur Jenderal Belanda [[Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen|van der Capellen]]. Pada masa pemerintahan Inggris, Hamengkubuwana III wafat dan digantikan putranya, adik tiri Pangeran Diponegoro, yaitu [[Hamengkubuwana IV]] yang berusia 10 tahun (1814), sementara [[Paku Alam I]] (Patih Danuredjo) bertindak sebagai wali.<ref name=carey/>
Untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di antaranya adalah Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya, [[Sultan Hamengku Buwono V]] yang baru berusia 3 tahun, diangkat menjadi penguasa. Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh [[Patih Danuredjo]], seseorang yang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda dianggap mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat keraton.
 
===Pengangkatan Hamengkubuwana V dan pemerintahan Smissaert===
Pada tanggal 6 Desember 1822, Hamengkubuwana IV meninggal pada usia 19 tahun. Ratu Ageng (permaisuri Hamengkubuwana II) dan Gusti Kangjeng Ratu Kencono (permaisuri Hamengkubuwana IV) memohon dengan sangat kepada pemerintah Belanda untuk mengukuhkan putra Hamengkubuwana IV yang masih berusia 2 tahun untuk menjadi Hamengkubuwana V serta tidak lagi menjadikan Paku Alam sebagai wali. Pangeran Diponegoro selanjutnya diangkat menjadi wali bagi keponakannya bersama dengan Mangkubumi. Sebagai putra tertua Hamengkubuwana II meskipun bukan dari istri resmi (permaisuri), ia merasa sangat sakit hati dan sempat berpikir untuk bunuh diri karena kecewa. Pada tahun 1823, tahta keraton yang seharusnya diduduki wali sultan yang masih balita ternyata ditempati oleh Residen Belanda saat itu, yaitu Smissaert, sehingga sangat melukai hati masyarakat Yogya dan Pangeran Diponegoro, meskipun ada kecurigaan bahwa tindakan Smissaert disebabkan kedua ratu tidak ingin melihat Diponegoro duduk di atas tahta.<ref name=carey/>
 
Menindaklanjuti pengamatan Van der Graaf pada tahun 1821 yang melihat para petani lokal menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Perancis, dan Jerman, van der Capellen mengeluarkan dekrit pada tanggal 6 Mei 1823 bahwa semua tanah yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari 1824. Namun, pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa. Keraton Yogyakarta terancam bangkrut karena tanah yang disewa adalah milik keraton sehingga Pangeran Diponegoro terpaksa meminjam uang kepada Kapitan Tionghoa di Yogyakarta pada masa itu. Smissaert berhasil menipu kedua wali sultan untuk meluluskan kompensasi yang diminta oleh Nahuys atas perkebunan di Bedoyo sehingga membuat Diponegoro memutuskan hubungannya dengan keraton. Putusnya hubungan tersebut terutama disebabkan tindakan Ratu Ageng (ibu tiri pangeran) dan Patih Danurejo yang pro kepada Belanda. Pada 29 Oktober 1824, Pangeran Diponegoro mengadakan pertemuan di rumahnya, di Tegalrejo, untuk membahas mengenai kemungkinan pemberontakan. Pangeran Diponegoro membulatkan tekat untuk melakukan perlawanan dengan membatalkan pajak ''Puwasa'' pada Mei 1985 agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan.<ref name=carey/>
 
===Mulainya perlawanan===
Pada pertengahan bulan [[Mei]] [[1825]], pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan pembangunan jalan dari [[Yogyakarta]] ke [[Magelang]] lewat [[Muntilan]], mengubah rencananya dan membelokan jalan itu melewati Tegalrejo. Rupanya di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro tersinggung dan memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Ia kemudian memerintahkan bawahannya untuk mencabut patok-patok yang melewati makam tersebut. Namun Belanda tetap memasang patok-patok tersebut bahkan yang sudah jatuh sekalipun. Karena kesal, Pangeran Diponegoro mengganti patok-patok tersebut dengan tombak.
 
Baris 34 ⟶ 41:
 
Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5 tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat "''Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati''"; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan [[Diponegoro]]. Perjuangan Diponegoro dibantu [[Kyai Maja]] yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. <!--Pemberontakan ini juga menyerang orang-orang keturunan Tionghoa KARENA??-->Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.
 
===Sinofobia===
Masyarakat Tionghoa yang dipandang sebagai sekutu oleh [[Ronggo Prawirodirjo III|Raden Ronggo]] dalam pemberontakannya berubah menjadi musuh dalam peperangan Diponegoro. Hal tersebut disebabkan mencuatnya sikap [[sinofobia|anti-tionghoa]] oleh masyarakat Jawa yang disebabkan oleh beberapa hal berikut:
#Monopoli perdagangan kayu jati yang dipaksakan oleh [[Daendels]] (1809) menyebabkan bupati-bupati lokal kehilangan pemasukannya yang jatuh ke tangan pengusaha-pengusaha Tionghoa.<ref name=carey/>
#Bantuan yang diberikan Kapitan Tionghoa di Yogyakarta, Tan Jin Sing, saat penyerbuan tentara Inggris, sepoy, dan pasukan Notokusumo ke Keraton Yogyakarta (Juni 1812).<ref name=carey/>
#Kebijakan pajak Raffles (1812-1813) agar petani membayar pajak tanah dalam bentuk uang tunai dan menghilangkan kerja rodi tidak tepat sasaran karena para petani Jawa pada saat itu terbiasa dengan barter. Akibatnya, mereka terjerumus hutang kepada para renternir Tionghoa setempat.<ref name=carey/>
#Kebijakan monopoli gerbang cukai (bandar) oleh Belanda (1816) menyebabkan biaya fiskal yang harus dikeluarkan pengusaha Tionghoa meningkat tajam dan berdampak pada para petani Jawa yang mereka pekerjakan.<ref name=carey/>
 
== Jalannya perang ==
Baris 53 ⟶ 67:
 
Untuk menghadapi Perang Diponegoro, Belanda terpaksa menarik pasukan yang dipakai perang di Sumatera Barat untuk menghadapi Pangeran Diponegoro yang bergerilya dengan gigih. Sebuah gencatan senjata disepakati pada tahun [[1825]], dan sebagian besar pasukan dari Sumatera Barat dialihkan ke Jawa. Namun, setelah Perang Diponegoro berakhir (1830), kertas perjanjian gencatan senjata itu disobek, dan terjadilah Perang Padri babak kedua. Pada tahun [[1837]] pemimpin Perang Paderi, [[Tuanku Imam Bonjol]] akhirnya menyerah. Berakhirlah Perang Padri.
 
==Dampak setelah peperangan==
 
== Referensi ==
Baris 59 ⟶ 75:
== Lihat pula ==
* [[Perang Jawa Britania-Belanda]]
* [[Perang Jawa (1741–1743)]]
 
== Pranala luar ==