Galela, Halmahera Utara: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Humboldt (bicara | kontrib)
Commonscat
HsfBot (bicara | kontrib)
k Clean up, replaced: dekrit → dekret (2) using AWB
Baris 170:
Tahun 1846, tiga pemimpin bajak laut Tobelo dan para pengikutnya tiba di Banggai di mana mereka disambut sebagai sekutu oleh para bangsawan Ternate yang sedang menghadapi pemberontakan oleh penguasa lokal (era ini Banggai diperintah oleh Raja Agama.Karena keterlibatan para bajak laut Tobelo, maka perang untuk memadamkan pemberontakan tersebut dinamakan “Perang Tobelo”). Tahun berikutnya perang dimenangkan oleh Ternate dan para bajak laut, dan orang Tobelo kemudian merompak di sepanjang pantai wilayah tersebut dan berbagi hasil jarahan dengan para bangsawan Ternate yang menjadi pelindung mereka terhadap Belanda. Para bangsawan Ternate juga menjadi penadah bagi budak hasil tangkapan para bajak laut Tobelo.
 
Belanda kemudian menyadari bahwa menekan para perompak memerlukan kerja sama dengan sekutu mereka. Tahun 1853 sultan Ternate mengeluarkan dekritdekret yang menyerukan orang Tobelo untuk pulang ke Ternate dalam waktu satu tahun atau jika tidak akan diperlakukan sebagai bajak laut oleh Belanda. Banyak orang Tobelo yang mengalir ke Sulawesi Timur untuk melapor ke wakil Ternate tapi dicegat oleh kapal perang Belanda dan langsung di angkut dan dipulangkan ke Ternate. Pada tahun 1870-an dan 1880-an, ekspedisi anti-bajak laut tidak lagi dilakukan dengan kapal-kapal Eropa tapi dengan menggunakan perahu kora-kora yang bisa memasuki perairan dangkal dan mampu bermanuver untuk mengejar kapal-kapal kecil. Para penguasa lokal dan para bangsawan dikenakan denda yang berat jika diketahui menjalin hubungan dengan bajak laut Tobelo dan perompak lainnya. Perompak Tobelo terakhirdi angkut dari timur Sulawesi pada tahun 1880-an. Sebagai dampak langsungnya, terjadi permukiman kembali di pesisir pantai Sulawesi, kebangkitan perdagangan lokal, dan booming dalam produksi kopra. Perairan timur Sulawesi akhirnya ditenangkan bagi penguasa kolonial.
 
Artikel di IIAS Newsletter edisi 36 Maret 2005
Baris 198:
Tahun 1846, tiga pemimpin bajak laut Tobelo dan para pengikutnya tiba di Banggai di mana mereka disambut sebagai sekutu oleh para bangsawan Ternate yang sedang menghadapi pemberontakan oleh penguasa lokal (era ini Banggai diperintah oleh Raja Agama.Karena keterlibatan para bajak laut Tobelo, maka perang untuk memadamkan pemberontakan tersebut dinamakan “Perang Tobelo”). Tahun berikutnya perang dimenangkan oleh Ternate dan para bajak laut, dan orang Tobelo kemudian merompak di sepanjang pantai wilayah tersebut dan berbagi hasil jarahan dengan para bangsawan Ternate yang menjadi pelindung mereka terhadap Belanda. Para bangsawan Ternate juga menjadi penadah bagi budak hasil tangkapan para bajak laut Tobelo.
 
Belanda kemudian menyadari bahwa menekan para perompak memerlukan kerja sama dengan sekutu mereka. Tahun 1853 sultan Ternate mengeluarkan dekritdekret yang menyerukan orang Tobelo untuk pulang ke Ternate dalam waktu satu tahun atau jika tidak akan diperlakukan sebagai bajak laut oleh Belanda. Banyak orang Tobelo yang mengalir ke Sulawesi Timur untuk melapor ke wakil Ternate tapi dicegat oleh kapal perang Belanda dan langsung di angkut dan dipulangkan ke Ternate. Pada tahun 1870-an dan 1880-an, ekspedisi anti-bajak laut tidak lagi dilakukan dengan kapal-kapal Eropa tapi dengan menggunakan perahu kora-kora yang bisa memasuki perairan dangkal dan mampu bermanuver untuk mengejar kapal-kapal kecil. Para penguasa lokal dan para bangsawan dikenakan denda yang berat jika diketahui menjalin hubungan dengan bajak laut Tobelo dan perompak lainnya. Perompak Tobelo terakhirdi angkut dari timur Sulawesi pada tahun 1880-an. Sebagai dampak langsungnya, terjadi permukiman kembali di pesisir pantai Sulawesi, kebangkitan perdagangan lokal, dan booming dalam produksi kopra. Perairan timur Sulawesi akhirnya ditenangkan bagi penguasa kolonial.
 
Artikel di IIAS Newsletter edisi 36 Maret 2005