Peristiwa Talangsari 1989: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Menambahkan versi yang tidak bias terhadap masyarakat Talangsari.
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
Baris 11:
Menurut data Komite Solidaritas Mahasiswa Lampung (Smalam), tim investigasi dan advokasi korban peristiwa Talangsari, setidaknya 246 penduduk sipil tewas dalam bentrokan tersebut. Sementara menurut Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebut 47 korban dapat diidentifikasi jenazahnya, dan 88 lainnya dinyatakan hilang. Jumlah yang sesungguhnya masih misterius. Menurut buku Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Lampung, terbitan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan dan Sijado, korban berjumlah 300 orang. Ratusan anak buah dan pengikut Warsidi ditangkap. Sampai kini para korban peristiwa Talangsari masih hidup dalam stigma Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Komunitas Antipemerintah atau Islam PKI. Mereka terus menanggung beban sosial di masyarakat, dan tidak mendapatkan hak sebagai warga negara.
 
== Hubungan ‘Genetis’ Talangsari dengan Jama’ah Islamiyah (JI) ==
 
Menurut [[Riyanto bin Suryadi]] mantan Komandan Pasukan Khusus Jama'ah Warsidi, bila kasus Talangsari ini dipandang dalam perspektif kekinian, tampak ada hubungan ‘genetis’ dengan gerakan [[JI (Jamaah Islamiyah)]]. Dikatakan demikian, karena keduanya punya titik persintuhan dengan sosok bernama [[Abdullah Sungkar]].
Baris 37:
Kalau saja radikalisme Talangsari versi Warsidi tidak segera ditumbangkan saat itu juga, mungkin di tempat itu akan menjelma menjadi sebuah basis pemberontakan yang jauh lebih dahsyat. Pada masa itu (1989) radikalisme berupa pemberontakan bersenjata dilakukan dengan panah beracun, golok, clurit atau bendorit (perpaduan antara bendo alias golok dengan clurit). Kini, radikalisme itu sudah menjadi sesuatu yang sangat mengerikan, termasuk bom bunuh diri sebagaimana terjadi akhir-akhir ini di [[JW Marriott]] dan [[Ritz Carlton]] pada 17 Juli 2009.
 
== Beberapa Nama, Saksi Palsu dan Islah ==
 
Menurut Riyanto bin Suryadi mantan Komandan Pasukan Khusus Jama'ah Warsidi, dari sejumlah nama yang terlibat kasus Talangsari atau setidaknya ada keterkaitan dengan kasus Talangsari, beberapa di antaranya layak digolongkan sebagai orang-orang yang bingung. Mereka antara lain Azwar Kaili dan Jayus alias Dayat bin Karmo serta Fauzi Isman. Sedangkan saksi-saksi palsu, antara lain Suroso dan Purwoko. (http://riyantolampung.blog.com/2011/09/11/kasus-talangsari-jama%E2%80%99ah-islamiyah-dan-komnas-ham-04/)
 
=== Azwar Kaili ===
 
Keterkaitan Azwar Kaili dengan kasus Talangsari dapat dilihat dari dua hal. Pertama, ia merupakan simpatisan anggota jama’ah pengajian yang diselengggarakan oleh Abdullah alias Dulah dan Pak Sediono. Abdullah alias Dulah merupakan anak buah Warsidi, dan mantan aktivis Gerakan Usroh Abdullah Sungkar Jawa Tengah. Tidak hanya Azwar Kaili yang aktif mengikuti pengajian-pengajian yang diselenggarakan Abdullah, juga Warsito (anak angkat Azwar), dan tiga anak kandungnya masing-masing bernama Iwan, Haris, dan Ujang.
Baris 85:
Padahal, sebagaimana keterangan Jainal Muarif, putra dari almarhum Arifin Santoso (Lurah Sidorejo) yang gugur dalam kasus Sidorejo, Azwar Kaili bukan pelaku dan tidak menjadi korban peristiwa Sidorejo. Ketika kasus Sidorejo terjadi, Azwar Kaili tidak ada di rumah maupun di lokasi kejadian. Meski demikian Azwar beberapa kali menerima uang ‘duka’ dari [[Hendropriyono]] karena seorang anak angkatnya, Warsito, konon tewas di Talangsari.
 
=== Jayus alias Dayat bin Karmo ===
 
Dalam kasus Talangsari, Jayus bukan orang sembarangan. Ia bahkan diposisikan sebagai orang kedua setelah Warsidi. Berkat kedermawanan Jayus, maka Warsidi pun bisa memiliki lahan seluas satu setengah hektare. Tanah itu dihibahkan Jayus kepada Warsidi dengan tujuan jelas, membangun komunitas Islami di Cihideung.
Baris 97:
Menurut kesaksian Sukidi, beberapa hari sebelum peristiwa Talangsari meletus (awal Februari 1989) silam, sejumlah anggota jama’ah Warsidi menebar ancaman akan membunuh dirinya yang dianggap telah membocorkan semua kegiatan jama’ah Warsidi kepada pemerintah. Mereka, antara lain Jayus, Sukardi, Joko dan Tardi Nurdiansyah bin Yasak (yang kala itu baru berusia 16 tahun).
 
Setelah peristiwa itu, menurut Sukidi, ia menerima laporan dari Supri warganya, bahwa ia akan dibunuh oleh Jama’ah Warsidi. Isu itu sedemikian santer, sehingga warga meminta Sukidi dan keluarganya mengungsi ke rumah Kades Amir Puspamega. Situasi kian memanas, karena jama’ah Warsidi melarang warga melakukan rodan dan menyalakan senter. Warga pun resah. Untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak dinginkan, Sukidi bersama Serma Dahlan dan Kopda Abdurahman melakukan ronda malam untuk menenangkan masyarakat (tanggal tanggal 5 Februari 1989 malam).
 
Saat ronda, mereka memergoki lima orang tak dikenal sedang berjaga-jaga di pos masing-masing sambil membawa senjata berupa pedang dan panah. Mengetahui itu mereka lalu meringkus kelima orang tersebut, yang ternyata anggota Jama’ah Warsidi. Kelimanya kemudian dibawa ke Koramil Way Jepara.
 
Jayus selama ini dikenal sebagai sosok yang ikhlas berkorban dan berjuang untuk menegakkan negara Islam, dengan menjadikan pedukuhan Cihideung sebagai basis perjuangan. Dihibahkannya tanah seluas satu setengah hektare merupakan bukti konkret keseriusan Jayus dalam hal ini.
 
Pada tahun 2001, berbagai media massa memberitakan keterlibatan Jayus bersama [[Kontras]] dan Komite Smalam untuk mengungkap kembali kasus Talangasari. Jayus bersama enam orang yang diakunya sebagai mantan jamaah Warsidi menghadap LBH Lampung untuk mengungkap kembali kasus Talangsari. Padahal, sebelumnya, pada tahun 2000, pada forum ishlah nasional yang berlangsung di Cibubur, Jayus dipercaya oleh pelaku, korban dan keluarga korban serta warga dusun Talangsari sebagai koordinator umum Gerakan Islah Nasional (GIN). Islah nasional ini kemudian menjadi landasan dan alasan yang kuat bagi pelaku, korban dan keluarga korban serta warga dusun Talangsari untuk menutup dan tidak akan pernah membuka kembali kasus Talangsari; disamping untuk menjalin perdamaian dan persaudaraan di antara para pelaku dan aparat beserta keluarganya masing-masing.
Baris 123:
Mengapa Jayus mencla-mencle? Motifnya jelas urusan fulus. Ketika proses islah berada dalam proses awal, Jayus telah mengajukan permintaan sejumlah uang kepada [[Hendropriyono]], untuk dibagi-bagikan kepada (katanya) korban Talangsari. Dana yang diminta Jayus sebesar sepuluh juta rupiah per orang, dengan alasan dana itu akan digunakan sebagai modal usaha para korban dan keluarga korban Talangsari yang dipimpinnya. Hendropriyono yang sudah kenal latar belakng Jayus, menolak permohon dana sebesar itu, karena beraroma pemerasan.
 
Rupanya Jayus kecewa karena permohonannya ditolak. Maka, ia pun mengkhianati kesepakatan islah yang sudah disepakati sebelumnya. Di luaran, Jayus berdalih orang-orang Jakarta selalu menghalanginya bertemu dengan Hendropriyono. Kemudian Jayus dimanfaatkan oleh [[Kontras]] dan Komite SMALAM dan dijadikan simbol perlawanan mengungkap kembali kasus Talangsari.
 
Untuk meyakinkan [[Kontras]], Jayus berusaha membujuk sejumlah warga Talangsari untuk bergabung bersamanya mengajukan tuntutan ke Kantor [[Komnas HAM]]. Agar warga Talangsari tertarik, Jayus mengumbar janji akan memberikan sejumlah uang kepada mereka yang bersedia ikut ke Jakarta. Tipu-muslihat Jayus ditolak karena masyarakat Talangsari sudah enggan dan tak sudi mengenang masa lalu yang getir. Akibatnya, Jayus hanya berhasil membawa lima warga asli Talangsari untuk dibawa menuju Jakarta.
 
Karena lima terlalu sedikit, maka Jayus ‘menyewa’ 14 warga di luar masyarakat Talangsari untuk ditenteng ke Kantor Komnas HAM Jakarta, dan disuruh mengaku sebagai korban Talangsari. Tipu-daya licik Jayus itu ternyata membuat marah warga asli Talangsari. Maka, mereka pun melayangkan sepucuk surat kepada pengurus GIN (Gerakan Islah Nasional). Isinya, agar GIN mencegah Jayus yang membawa warga bukan asli Talangsari untuk menghadap Komnas HAM di Jakarta.
Baris 139:
Begitulah kenyataannya. Watak kriminal Jayus tetap eksis. Padahal, dulu ia bercita-cita mendirikan negara Islam, mendirikan Islamic Village di Cihideung.
 
=== Sugeng Yulianto ===
 
Sugeng Yulianto merupakan salah satu anggota pasukan khusus yang terlibat di dalam episode pembajakan bus “Wasis” dalam rangkaian kasus Talangsari-Sidorejo. Ia dituntut hukuman pidana seumur hidup. Lulusan STM ini, dalam drama pembajakan bus “Wasis” bertindak sebagai sopir, dan merupakan salah satu dari 11 anggota pasukan khusus Jama’ah Warsidi yang ditugaskan oleh imamnya untuk membuat kekacauan di Bandar Lampung, sebagai upaya mengalihkan perhatian petugas.
Baris 157:
Alasan yang mendasari Sugeng Yulianto hijrah ke Lampung, khususnya di Sidorejo, karena tertarik oleh bujukan Soleh, kawannya, yang mengatakan bahwa di Lampung selain mudah mencari nafkah, juga dapat menjalankan ajaran Islam dengan lebih baik. Namun di dalam persidangan, Sugeng Yulianto pernah mengatakan, bahwa keterlibatannya dengan orang-orang yang melakukan huru-hara di Tanjungkarang karena dipaksa oleh kelompok Warsidi. Bila tidak mau, dirinya akan dibunuh.
 
=== Tardi Nurdiansyah ===
 
Meski usianya masih belasan ketika kasus Talangsari terjadi (1989), namun Tardi merupakan salah satu jama’ah Warsidi yang tergolong militan. Ia juga ikut ke dalam rombongan yang melakukan ancaman dan teror kepada Sukidi Haryono (Kadus Talangsari III). Tardi Nurdiansyah yang lahir di Karanganyar (Jawa Tengah) dan pernah menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Ngruki, Solo, Jawa Tengah ini, merupakan salah satu dari sebelas orang yang ditugaskan Warsidi membebaskan kawan-kawan mereka yang ditangkap aparat Koramil.
Baris 165:
Dalam pandangan Tardi, kegiatan keagamaan yang dilakukan Warsidi, adalah gerakan untuk membangun masyarakat dengan suasana Islam, dan tidak ada maksud untuk melakukan pemberontakan. Menurut Tardi, aktivitas Warsidi dan pengajiannya adalah untuk menapat ridho Allah (mardhatillah). Warsidi ingin menegakkan syari’at Islam, meski pengetahuan agama Warsidi belum sehebat ulama di Solo yang pernah dikenalnya. Namun karena sifat pengajiannya yang eksklusif mengakibatkan aparat menduga bahwa gerakan itu adalah gerakan perlawanan terhadap pemerintah.
 
Tardi juga berpendapat, kasus Talangsari bukan sesuatu yang direncanakan, tetapi hanya insiden atau musibah saja, sebagai akibat dari adanya miskomunikasi antara Jama’ah Warsidi dengan aparat desa (pemerintah) dan warga sekitar. Menurut pengakuan Tardi, pada saat kejadian, dia sedang berada di Rajabasalama dan dalam perjalanan pulang ke Cihideung untuk menemui kakaknya. Namun ketika sampai di daerah Talangsari dia ditangkap oleh aparat keamanan. Padahal sebenarnya, ia anggota pasukan khusus yang mengemban tugas membebaskan lima Jama’ah Warsidi yang ditahan aparat. Namun misi itu gagal. Kelompok sebelas dipecah tiga. Tardi satu kelompok dengan Fadilah, berada di kelompok kedua.
 
Sebagaimana Sugeng Yulianto, Tardi yang berdasarkan putusan [[Pengadilan Negeri Tanjungkarang]] Nomor 1027 Pid/B/Subv/89/PN.TK tanggal 21 Desember 1989 dijatuhi pidana penjara selama 17 (tujuh belas) tahun, menghirup udara bebas di masa Presiden [[Habibie]], bersama sejumlah napol kasus Talangsari lainnya.
Baris 175:
Bahkan, lebih jauh, Jayus memanfaatkan korban dan saksi palsu untuk memenuhi hajat kriminalnya. Ia memperalat Suroso, tetangganya, dan Purwoko, kemenakannya.
 
=== Suroso dan Purwoko ===
 
Suroso sebenarnya sama sekali tidak terlibat kasus Talangsari maupun Sidorejo. Ketika kasus Talangsari terjadi, usia Suroso baru sebelas tahun. Praktis, ia sama sekali tidak tahu menahu soal kasus Talangsari. Begitu juga dengan kedua orangtuanya. Kebetulan, kediaman orangtua Suroso tidak jauh dari tempat kejadian. Meski berdekatan dengan lokasi kejadian, Suroso dan orangtuanya sama sekali bukan Jama’ah Warsidi, dan tidak peduli dengan kiprah dan aktivitas Jama’ah Warsidi. Namun demikian, orangtua Suroso tetap menjaga hubungan baik dengan Warsidi yang menjadi tetangganya.
Baris 185:
Nama dan sosok Suroso yang selama ini tidak dikenal sehubungan dengan kasus Talangsari, tiba-tiba menyeruak begitu saja berkat peran Jayus yang melibatkannya dalam sebuah aksi bersama Komite Smalam dan Kontras untuk mengungkap kembali kasus Talangsari. Dalam momen ini, Suroso yang pandai bicara bahkan dinobatkan sebagai juru bicara oleh Jayus. Suroso mau diperalat Jayus karena diiming-imingi imbalan (materi).
 
Selain Suroso, yang juga diperalat Jayus adalah Purwoko, kemenakannya sendiri. Ayah Purwoko bernama Supardi, merupakan salah satu korban tewas pada kasus Talangsari (Februari 1989). Kepada Radar Solo beberapa tahun lalu, ia pernah mengakui bahwa dirinya masih berusia 11 tahun ketika kasus itu terjadi. Sebenarnya Purwoko merupakan salah seorang yang memposisikan dirinya sebagai korban (dan keluarga korban) yang menyepakati proses islah yang digagas Fauzi Isman dan kawan-kawan. Ia ikut islah karena dibawa-bawa oleh Jayus, pamannya. Belakangan, Jayus pula yang menenteng-nentengnya keluar dari proses islah, dan menjalin persekongkolan dengan Komite Smalam dan Kontras untuk mengungkap kembali kasus Talangsari.
 
Pada tanggal 6 Februari 1989, saat Kapten Soetiman tewas dibacok mbah Marsudi, Purwoko sedang berada di lokasi Cihideung. Namun pasca tewasnya Kapten Soetiman, Purwoko dibawa orangtuanya ngungsi ke rumah Jayus, pamannya. Rumah Jayus berdekatan dengan pondok. Sementara itu, ayah Purwoko, Supardi, tetap siaga menyambut peperangan yang sudah direncanakan.
Baris 193:
Saat itu, di rumah Jayus, ada sekitar 13 wanita dan anak-anak (termasuk Purwoko) yang bersembunyi. Tak berapa lama, Purwoko mendengar suara Muhamad Ali alias Alex yang berteriak memanggil mereka yang sembunyi agar keluar, karena rumah akan dibakar tentara. Dalam hitungan menit, Purwoko dan keluarganya keluar dari rumah Jayus. Setelah itu, Purwoko dan keluarga digiring ke halaman sebuah rumah yang berjarak 100 meter arah timur pondok. Di tempat itu, telah berkumpul puluhan wanita, anak-anak, serta orang tua.
 
Karena Jayus merupakan orang penting, maka ia dicari-cari tentara. Ketika itu, tentara menduga Jayus sudah mati tertembak. Padahal, Jayus bersembunyi di suatu tempat. Karena Purwoko dianggap dapat mengenali sosok Jayus, tentara pun membawa Purwoko untuk mengenali sejumlah jasad korban. Namun jasad Jayus tak ditemukan. Purwoko justru menemukan jasad Supardi, ayah kandungnya.
 
Tak berapa lama kemudian, karena (jasad) Jayus tidak ditemukan, Purwoko dan keluarga dibawa ke Markas Komando Resor Militer (Korem) 043 Garuda Hitam. Ternyata, di tempat itu ia bertemu Jayus, pamannya, yang ternyata masih hidup. Selang sehari kemudian, Purwoko, adik-adiknya, dan ibunya dipindahkan ke Panti Jompo dan Anak-Anak Yatim Piatu Lempasing Padang Cermai. Di tempat itu, ia kembali bertemu dengan teman-teman dan tetangganya yang sebelumnya ikut digiring ke Makorem Garuda Hitam.
Baris 201:
Kalau Jayus benar-benar mati tertembak peluru tentara pada peristiwa Talangsari waktu itu, sudah pasti Purwoko tidak akan memainkan peran yang disodorkan Jayus sebagai korban kasus Talangsari dan tampil di media massa untuk mengajukan tuntutan. Padahal, dulu, Jayus pula yang membawa-bawanya untuk ikut proses islah.
 
=== Fauzi Isman dan Islah ===
 
Menurut Riyanto bin Suryadi mantan Komandan Pasukan Khusus Jama'ah Warsidi, ISLAH sesungguhnya merupakan pilihan yang Islami. Pada mulanya, Riyanto tidak paham mengapa islah menjadi kontroversi, bahkan ada kesan ditentang oleh orang Islam sendiri. Belakangan, barulah ia tahu, kontroversi dan kesan penentangan itu bukan karena islah-nya itu sendiri, tetapi tokoh di balik proses islah itu.
Baris 232:
== Kelanjutan ==
Sejak [[reformasi]] bergulir pada 1998, atas dorongan dari [[AM Hendropriyono]] kepada Presiden [[BJ Habibie]], seluruh tahanan politik kasus ini akhirnya dibebaskan.
{{Sejarah-stub}}
 
[[Kategori:Sejarah Lampung]]
 
 
{{Sejarah-stub}}