Penguasa monarki: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 10:
 
=== Raja ===
'''[[Raja (gelar)|Raja]]''' adalah gelar penguasa monarki yang paling umum digunakan di Indonesia. Gelar ini diturunkan dari [[Bahasa Sanskerta|bahasa Sansekerta]] राजा ''rājā-'' dan mulai digunakan penguasa monarki di Indonesia seiring menguatnya pengaruh Hindu Budha dari India. Monarki yang berada di bawah pimpinannya disebut dengan kerajaan.
 
Gelar yang setara dari raja untuk wanita adalah '''[[Ratu (gelar)|ratu]]'''. Ratu dapat disandang oleh seorang wanita yang memimpin kerajaan, ataupun istri dari raja. Pada mulanya, gelar ini digunakan sebagai penguasa monarki di Indonesia. Namun seiring masuknya pengaruh Hindu dan Budha di Indonesia, gelar ini terdesak penggunaannya oleh raja, dan ratu menjadi gelar yang khusus diperuntukkan untuk wanita. Walaupun begitu, peggunaan gelar ratu tak sepenuhnya bergeser menjadi feminim. Keraton, istilah yang sering merujuk pada istana di Jawa, berasal dari kata "ke-ratu-an" yang bermakna tempat tinggal ratu. Beberapa cerita dan hikayat juga masih mempertahankan kedudukan ratu sebagai gelar yang dipegang oleh pria, seperti cerita berjudul ''Petruk dadi Ratu'' (Petruk menjadi Ratu), padahal Petruk sendiri adalah tokoh berjenis kelamin pria.
 
=== Kaisar ===
Baris 38:
'''[[Sultan]]''' adalah gelar bagi penguasa monarki yang memerintah monarki Islam. Gelar ini diturunkan dari [[bahasa Arab]] سلطان, ''sulthaan'' yang berarti "penguasa" dan "kekuatan". Monarki yang dipimpin oleh seorang sultan disebut kesultanan. Penggunaan gelar ini berkembang di Nusantara seiring semakin meningkatnya kekuatan politik kaum Muslim di Nusantara.
 
Gelar yang setara untuk wanita adalah '''[[sultanah]]'''. Penggunaan gelar sultanah ini berbeda-beda di tiap kawasan. Sultanah bisa bermakna sultan wanita, atau seorang wanita yang memimpin kesultanan, dan hal ini pernah digunakan pada masa Kesultanan Aceh. Walaupun begitu, tidak setiap wanita yang memimpin kesultanan menyandang gelar sultanah. Shajar al-Durr misalnya, tetap menyandang gelar sultan sebagaimana laki-laki saat dia naik tahta memimpin Mesir pada tanggal 2 Mei 1250 M.<ref>{{cite book |editor1-last=Holt |editor1-first=P. M. |editor2-last=Lambton |editor2-first=Ann K. S. |editor2-link=Ann Lambton |editor3-last=Lewis |editor3-first=Bernard |editor3-link=Bernard Lewis |title=The Cambridge History of Islam |url=http://books.google.com/books?id=4AuJvd2Tyt8C&pg=PA210 |accessdate=2010-03-01 |year=1977 |publisher=Cambridge University Press |isbn=978-0-521-29135-4 |oclc=3549123 |page=210}}</ref>
 
Sultanah juga dapat digunakan sebagai gelar bagi istri sultan, sebagaimana yang digunakan pada Kesultanan Mesir yang berdiri pada 1914 sampai 1922 M.<ref>{{cite journal |last=Rizk |first=Yunan Labib |date=13–19 April 2006 |title=A palace wedding |journal=[[Al-Ahram Weekly]] |issue=790 |url=http://weekly.ahram.org.eg/2006/790/chrncls.htm |accessdate=2010-02-27 |quote=... Britain granted the rulers among the family the title of sultan, a naming that was also applied to their wives.}}</ref> Akan tetapi, penggunaan gelar sultanah sebagai istri sultan tidak dikenal di kawasan Nusantara (Indonesia). Banyak kesultanan di kawasan Nusantara menggunakan gelar permaisuri atau ratu untuk istri sultan.