Orang Tionghoa di Lasem: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
cc
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
xxx
Baris 16:
Dalam perkembangannya, orang Tionghoa ternyata lebih banyak membaur dengan kebudayaan lokal Indonesia ketimbang dengan masyarakat Eropa, dalam hal ini adalah Belanda. Namun demikian, orang Tionghoa juga tidak melunturkan budaya asli mereka. Terjadinya percampuran antara orang Jawa dengan orang Tionghoa melalui proses yang tidak sebentar. Interaksi mereka telah terbangun dalam waktu yang lama, terutama dalam hal transaksi jual-beli. Menurut orang Jawa, orang Tionghoa dikenal sebagai pedang yang ulet dan terampil, sehingga mereka banyak berguru dan meniru cara berjualan orang Tionghoa. Begitu pun bagi orang Tionghoa, mereka yang sudah memiliki lebih dari tiga generasi di Lasem menjadi terbiasa dengan bahasa dan adat istiadat yang ada di sana. Membaurnya orang Tiongho dengan budaya setempat turut memengaruhi beberapa aspek kesenian Jawa, salah satunya adalah bati. Pengaruh tersebut tercermin dalam warna dan ragam hias dari batik yang ada di Lasem, bahkan sampai ke Cirebon dan Pekalongan. Beberapa orang Tionghoa bahkan juga ada yang menjadi ahli seni serta pelindung kesenian Jawa sekaligus menjadi penulis Jawa.<ref>http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/travelling/11/08/16/lq0gci-ingin-melihat-asimilasi-sukses-tionghoapribumi-datanglah-ke-lasem</ref>
 
Bercampurnya atau akulturasi kebudayaan orang Jawa dengan orang Tionghoa di Lasem juga tercermin dalam bentuk atau praktik kebudayaan orang Tionghoa di Lasem yang diterima baik oleh orang Jawa. Keberadaan kelenteng-kelenteng yang merupakan tempat peribadatan orang Tionghoa masih berdiri kokoh hingga saat ini. Nuansa yang menyelimuti kelenteng tersebut sangat khas dengan budaya Tionghoa dan berada di antara kebudayaan masyarakat Jawa. Ketika hari besar orang Tionghoa tiba pun, mereka akan merayakannya dengan sukacita. Mereka menampilkan beberapa atraksi seperti barongsai, liang liong, wayang ''potchi'', dan upacara-upacara keagamaan tertentu. Kegiatan tersebut juga menjadi tontonan warga lokal serta warga di sekitar Lasem. Hal itu cukup memperlihatkan bahwa keberadaan orang Tionghoa di Lasem amat diterima baik oleh masyarakat setempat. Hubungan yang saling silih asih antar kedua kelompok tercermin dalam praktik-praktik kebudayaan dan keagmaan.<ref name=":3">M. Abi Kurniawan, ” Aktivitas Ekonomi Tionghoa di Lasem Tahun 1945-1950”. Skripsi S-1, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, 2011.</ref>
 
== Batik Tulis di Lasem ==
Baris 34:
Sebagaimana yang telah dijabarkan di muka, interaksi antara orang Tionghoa dengan pribumi terjalin dalam kurun waktu yang lama dan meliputi berbagai aspek kehidupan. Interaksi keduanya sekalipun mengalami pasang surut, juga tetap menunjukan hubungan yang harmonis, penuh toleransi, dan senantiasa berjalan baik, terutama sejak abad 14 hingga abad 16 pasca gelombang migrasi Tionghoa yang datang ke tanah Jawa. Interaksi yang baik antar-keduanya tercermin dalam beberapa hal. Pertama adalah terkait perlawanan orang Tionghoa dan penduduk lokal Lasem dalam melawan kolonial Belanda. Kala itu, wilayah Lasem masih belum termasuk dalam wilayah kekuasaan Belanda. Belanda melakukan penyerangan ke wilayah itu dengan dibantu oleh Amangkurat II sebagai boneka pemerintah Belanda di Mataram. Peperangan yang terjadi sangat berlarut-larut hingga menewaskan Raden Mas Qingit yang merupakan putra pertama dari penguasa Lasem kala itu. Kemudian, rakyat Lasem yang terdiri dari kaum santri bersama orang Tionghoa di sana ikut melakukan perlawanan kepada penjajah Belanda. Pemberontakan yang melibatkan orang Tionghoa itu ternyata tidak hanya terjadi di Lasem, melainkan juga terjadi di wilayah lain seperti di Batavia, Ngawi, Kartasura, dan wilayah-wilayah lain di Jawa Tengah.
 
Dari Batavia, terjadi pembantaian terhadap orang Tionghoa yang dilakukan oleh Belanda hingga membuat kurang lebih 1.000 orang Tionghoa di Batavia melarikan diri ke Lasem. Pada tahun 1741, pengungsian orang Tionghoa dari kota-kota lain ke Lasem juga terjadi menyusul pembantaian yang sama. Di Lasem, mereka diterma dengan baik oleh Tumenggung Oei Ing Kiat. Mereka bahkan juga diperkenankan untuk membangun perkampungan baru di tepi Sungai Kamandung (Karangturi), Pereng, dan Soditan. Orang Tionghoa yang mengungsi ke Lasem dari Batavia umumnya bekerja sebagai pedagang, pegawai pelabuhan, dan buruh kasar. Berpindahnya mereka ke Lasem dengan demikian menjadikan pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara Jawa dimasuki oleh tenaga kasar yang banyak. Mereka juga ada yang menjadi buruh tanu dan tambak milik penduduk setempat. Kehidupan orang Tionghoa dan pribumi yang harmonis itu tidak berlangsung lama. VOC membuat perjanjian dengan mataram yang menjadikan kekuatan mereka justru semakin kuat. VOC memiliki hak untuk membuka kantor dagang di Rembang dan Jepara serta berhak untuk mengangkat maupun memecat pejabat-pejabat kerajaan dna juga para adipati di pantai utara.<ref name=":3" />
 
Melihat hal itu, penguasa Lasem kala itu merasa bahwa kekuatan politik VOC itu akan menjadi ancaman nyata bagi Lasem. Ia pun merencanakan sebuah perlawanan bersama Tan ke Wie dan Raden Panji Margono bersama dengan rakyat Lasem lainnya. Pertempuran itu berlangsung di perairan sekitar Jepara dan tidak memakan banyak waktu. Dalam waktu yang relative singkat, pasukan VOC berhasil memukul mundur pasukan Dampoawang Lasem. Kapal-kapal mereka hancur berkeping-keping setelah diterjang meriam panas yang dilemparkan oleh VOC. Sang pemimpin perlawanan, Tan Ke Wie, pun gugur dalam pertempuran itu. Setelahnya, Tumenggung Oei Ing Kiat menuliskan nama-nama pasukan yang gugur dalam sebuah prasasti yang ditulis dengan menggunakan Bahasa Cina. Sejak saat itu, kekuasaan VOC di Kadipaten Lasem menjadi semakin kuat. Namun demikian, meskipun perlawanan rakyat Lasem banyak menuai kekalahan dan Belanda selalu memenangkan pertarungan, perlawanan tersebut telah memperlihatkan hubungan yang harmonis antara penduduk pribumi dengan orang Tionghoa. Peristiwa pemberontakan itu juga menjadi simbol kepahlawanan dan persatuan orang Jawa dengan Tionghoa.
Baris 40:
Kedua, hubungan yang harmonis antara orang Tionghoa dengan Lasem juga tercermin dalam hubungan yang saling membutuhkan. Di akhir pemerintahan Orde Baru, terjadi pembantaian etnis Tionghoa di di beberapa kota besar. Di Lasem justru terjadi hal yang berkebalikan, para elit yang ada justru saling bernegosiasi untuk mengamankan kota dari isu kekerasan. Mereka berupaya untuk meredam agar kekerasan serupa tidak terjadi di Lasem. Mereka melihat ancaman-ancaman itu sebagaimana yang pernah mereka alami pada masa kolonial Belanda; bersama dengan kaum santri, petani, nelayan, dan warga Tionghoa mereka melawan penjajah. Jadi, ketika warga Tionghoa akan diancam dengan berbagai macam tindak kekerasan, memori-memori perjuangan itu tumbuh kembali.
 
Dalam bidang ekonomi juga terjadi hal demikian. Bidang ekonomi menengah tengah sampai atas dikuasai oleh warga keturunan Tionghoa. Pertokoan di sepanjang jalan utama Lasem adalah bukti nyata bahwa orang Tionghoa banyak mengambil peran dominan. Hal itu terlihat jelas sebelum masa orde baru berakhir. Setelah masa orde baru selesai, orang Tionghoa banyak memidahkan bisnisnya ke kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Sementara itu, orang Jawa yang tinggal di Lasem mulai mengembangkan bisnisnya di berbagai macam sektor, terutama pakaian dan kebutuhan rumah tangga. Dalam perkembangannya, saat ini orang-orang Jawa justru lebih banyak mendominasi roda perekonomian di Lasem, terutama di sekitar masjid Lasem, dan mengambil alihnya dari tangan orang Tionghoa. Toko-toko pakaian dan rumah tangga yang berdiri di sekitar Taman Lasem hampir seluruhnya dikuasai oleh warga Jawa Lasem. Bahkan, hampir seluruh mall kecil di Lasem juga dimiliki oleh orang Jawa Lasem.<ref name=":3" />
 
Dalam bidang kebudayaan dan praktik keagamaan pun terjadi hal serupa. Ketika keturunan Tionghoa akan menggelar ritual budaya seperti perayaan Imlek, ''Cap Go Meh'', maupun acara kirap budaya perayaan ''Mak Co'' di Klenteng, mereka akan meminta izin terlebih dahulu kepada para kiayi di Lasem yang dinilai sebagai tokoh masyarakat. Komunikasi kultural tersebut bertujuan untuk menjamin keamanan dan ketertiban selama kegiatan mereka berlangsung.<ref name=":0">http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150219_lasem_toleransi</ref> Meskipun beberapa kiayi ada yang tidak sepakat, kegiatan mereka terbukti mampu berjalan dengan lancar. Karnaval yang mereka gelar juga bahkan melintasi Masjid Jami’ Lasem dan jalan-jalan di sekitar pesantren. Warga sekitar pun menyambut baik perayaan tersebut sebagai hiburan dan tontonan yang menyenangkan.<ref>Atabik, Ahmad. 2016. Percampuran Budaya Jawa China: Harmoni dan Toleransi Beragama Masyarakat Lasem. Sabda, Volume 11, Tahun 2016 </ref>