Bayalangu Kidul, Gegesik, Cirebon: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Nama kepala desa [Kuwu]
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Aldiyono (bicara | kontrib)
k saya hanya melengkapi
Tag: VisualEditor mengosongkan halaman [ * ]
Baris 11:
|kepadatan =... jiwa/km²
}}
'''Bayalangu Kidul''' adalah [[desa]] di kecamatan Gegesik, [[Kabupaten Cirebon|Cirebon]], [[Jawa Barat]], [[Indonesia]].'''
 
'''[[Asal - usul Desa Bayalangu]]''' Sultan Datuk Shaleh dari Samudra Pasai meninggalkan negerinya mencari tempat yang baru untuk mencari ketenangan hidup. Tampuk pemerintahan negaranya diserahkan kepada adiknya yaitu Sultan Malikul Saleh. Ditempat yang baru Sultan Datuk Shaleh selalu mendekatkan diri dan berdo’a kepada Allah SWT dengan melakukan sholat dan berdzikir,. Beliau memohon petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Akhirnya Datuk Shaleh mendapat petunjuk bahwa di daerah yang di tempati itu adalah Pulau Majeti dan juga mendapat petunjuk agar Datuk Shaleh membuka daerah itu untuk dijadikan Padukuhan/Perkampungan. Fadhilah Khan putra Datuk Shaleh merasa rindu setelah ditinggal sekian lama oleh ayahandanya. Setelah meminta ijin dan do’a restu dari ibunya pergilah Fadhilah Khan meninggalkan Samudra Pasai meski tidak tahu arah yang harus dituju guna mencari ayahnya. Sampailah Fadhilah Khan di suatu tegalan (ladang) dimana disitu terdapat sebuah gubuk (yang akhirnya tempat itu dikenal dengan nama Desa Tegal Gubug). Dari Tegal Gubug Fadhilah Khan mendapat petunjuk bahwa ayahandanya Datuk Shaleh sedang babad alas (menebang pepohonan) di Pulau Majeti. Mendengar berita demikian berangkatlah Fadhilah Khan menuju Pulau Majeti. Bertemulah ia dengan ayahanda yang dirindukannya. Pertemuan ayah dan anak ini sangat mengharukan. Mereka saling berpelukan dengan penuh bahagia. Beberapa waktu kemudian Fadhilah Khan diperintah oleh ayahnya agar menghadap Mbah Kuwu Cirebon. Sebelum pergi menghadap Mbah Kuwu Cirebon, Fadhilah Khan terlebih dahulu diminta untuk bertapa didalam tanah dibawah pohon asem cilik (Sekarang dikenal dengan nama Asem Cilik).  Ketika Fadhilah Khan bertapa datanglah bertengger sepasang burung bangau di atas pohon asem itu. Bangau Betina bertanya kepada Bangau Jantan apa nama tempat dan pohon ini. Apakah pohon ini menyimpan suatu rahasia, karena tampaknya sangat berbeda dengan yang lainnya. Sang Bangau Jantan menjawab bahwa daerah ini adalah Pulau Majeti, pohon ini disebut Asem Cilik dan benar menyimpan suatu rahasia, tetapi tidak boleh diceritakan.  Bangau Betina meminta kepada Bangau Jantan agar rahasia dari pohon asam itu diceritakan saja, namun Bangau Jantan tetap menolak dengan alasan kuatir ada yang mendengarkan pembicaraan mereka. Tetapi Bangau Betina tetap mendesak, dan dikatakan bahwa sekitar sini (dikelilingin pohon asam)paling hanya terdapat air. Bangau Betina tetap mendesak ingin mendapat penjelasan, bahkan mengancam jika tidak memberitahukan ia akan meninggalkan Bangau Jantan. Karena Bangau Betina terus mendesak dan mengancam akan meninggalkannya, akhirnya Bangau Jantan bercerita juga. Katanya : jika pohon asem sebelah selatan diambil maka akan menjadi seekor Kuda Sembrani, sebelah timur menjadi pakaian kuda, sebelah utara menjadi Pecut (cemeti).  Penjelasan Bangau Jantan ini didengar oleh Fadhilah Khan yang sedang bertapa didalam tanah, kemudian Fadhilah Khan berdehem. Mendengar ada yang berdehem, Bangau kaget, Sambil terbang Bangau Jantan berkata kepada Bangau Betina  "Tuhhhh.... ada yang mendengar". Fadhilah Khan mengakhiri tapanya kemudian diambilnya cabang-cabang pohon asem yang diceritakan burung bangau tadi, dan apa yang dikatakan burung bangau itu menjadi kenyataan. Dengan naik kuda sembrani itu berangkatlah Fadhilah Khan menemui Mbah Kuwu Cirebon memohon agar ia dapat dijadikan muridnya. Mbah Kuwu Cirebon menerimanya. Suatu waktu Syekh Majarail dari Alas Tiris Dermayu menyerang Cirebon dengan tujuan ingin menghapus ajaran agama islam yang waktu itu berkembang pesat. Di utuslah Fadhilah Khan untuk menumpas Syekh Majarail. Terjadilah perang tanding antara Fadhilah Khan yang mempertahankan perkembangan agama islam melawan Syekh Majarail. Fadhilah Khan dapat mengalahkan Syekh Majarail. Atas kemenangannya dalam mempertahankan serta membela agama islam dan keutuhan daerah Cirebon, maka oleh Mbah Kuwu ditetapkan bahwa Sultan Datuk Shaleh beserta putranya untuk menetap di Pulau Majeti. Oleh Mbah Kuwu, Datuk Shaleh dianugrahi nama Iman Dalika sedang Fadhilah Khan dengan nama Pangeran Alus Putra Agung (sebagian orang menyebut Pangeran Alas).  Oleh Mbah Kuwu Cirebon, Pulau Majeti diberi julukan Bayalangu. Baya dai asal kata Bahaya, dan Langu artinya terlewat. Jadi arti Bayalangu adalah  Bahaya yang terlewat. yaitu ketika Cirebon mendapat serangan dari Syekh Majarail tetapi dapat diatasi oleh Fadhilah Khan. Disamping julukan Bayalangu Pulau Majeti juga dikenal dengan nama bumi Segandu, CirebonIlir dan Bumi Caruban.
 
'''Kuwu Bayalangu kidul SEKARANG''' adalah bapak '''DODI'''
 
'''Kesenian yang ada di bayalangu ada:'''
 
'''[[BRAI]]''' adalah suatu jenis nyanyian di daerah Cirebon dan Indramayu, Jawa Barat.
 
Brai adalah sejenis slawatan atau terbangan yang terdapat pada masyarakat Muslim di banyak daerah di Nusantara. Bentuknya berupa nyanyian, solo dan koor, berganti-ganti atau berbarengan, dengan syair-syair keagamaan, dalam bahasa Arab (seperti Al Barzanji) ataupun dalam bahasa setempat--dalam kasus brai adalah bahasa Jawa Cirebon.
 
Frasa-frasa syairnya yang paling dominan adalah dari ayat suci Quran,tauhid, yang berkenaan dengan keimanan atau keilahian, seperti "La illaha ilallah" dan "Astagfilullah aladzim."
 
Brai diiringi oleh rebana besar, yang juga disebut brai. Atas dasar itu, ada yangmengatakan bahwa nama "brai" diambil dari nama suara (anomatopoik) rebana besar tersebut, yang berbunyi "ber..." atau "bray..." Selain rebana, dalam brai juga terdapat sebuah gendang besar (kendang gede) yang sama bentuk dan ukurannya dengan gendang besar yang biasa dipakai dalam gamelan Cirebon. Karena itu, brai merupakan suatu contoh musik yang merupakan perpaduan kental antara musik (budaya) Islam dengan budaya setempat.
 
Dari lagunya, tidak terdengar sebagai musik Timur-Tengah, atau yang biasa disebut dengan nada gurun pasir., melainkan lebih pada nada-nada setempat, slendro dan pelog. Dan demikian pula iramanya.  Brai biasa dimainkan pada upacara-upacara keagamaan, seperti pada tanggal belasan sampai duapuluhan bulan Muharam (lailatul qadar), Maulid Nabi, kelahiran bayi, selamatan rumah, selamatan di makam, dll. Ia tidak biasa dan memang bukan dimaksudkan sebagai seni hiburan dalam panggung untuk untuk ditonton oleh banyak. Bahkan beberapa grup sering mengadakan pertunjukan yang tidak ada penontonnya sama sekali, misalnya sebagai ritual di  10 kuburan dan tempat-tempat keramat lain.
 
Grup brai di Bayalangu (Cirebon) misalnya, paling tidak sampai tahun 1990-an biasa mengadakan pertunjukan di 9 tempat yang dikeramatkan. Selain itu, walau tempatnya jauh dari kampungnya, sekitar 30-40 KM, setiap tahun mereka juga mengadakan pertunjukan di makam Gung Jati dan Buyut Trusmi, Namun demikian, terutama setelah makin tingginya perhatian masyarakat dan pemerintah pada seni-seni lokal, brai biasa juga ditampilkan pada acara-acara festival yang diadakan di kota-kota.
 
'''[[GENJRING AKROBAT]]''' Lantunan selawat dengan suara melengking perempuan paruh baya asal Cirebon, Lilis Kasiri, menjadi syair pembuka rombongan anak perempuan naik panggung membawa gunungan Wayang. Tabuhan rebana dengan suara genjring dipadu alat musik dog-dog, goong, dan kecrek, nyaring terdengar mengiringi penampilan tari Rudat asal Cirebon.
 
Rudat adalah tradisi peninggalan Sunan Kalijaga, yang digunakan untuk syiar Islam. Kini, tarian Rudat dimodifikasi dengan gerakan lentik jemari, goyangan bahu, dan entakan langkah kaki sebagai pembuka atraksi genjring akrobat dari grup kesenian Genjring Putri Kuda Kecil, Desa Bayalangu Kidul, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, di Taman Budaya Jawa Barat.
 
"Sejak zaman para wali, kesenian Cirebon digunakan sebagai penyebaran agama Islam. Salah satunya tari Rudat dengan iringan genjring dan puji-pujian pada Nabi Muhammad dari kitab Al-Berjanji," kata Karyadi, suami Lilis Kasiri, pemimpin grup kesenian Genjring Putri Kuda Kecil, pada ''Tempo,'' Sabtu, 22 Desember 2012, di Bandung.
 
Menurut Karyadi, jika penyebaran Islam disertai tarian jadinya tidak menjenuhkan, enak didengar, betah dilihat, dan cepat dipahami.
 
Seusai penampilan tari Rudat oleh rombongan anak perempuan, barulah atraksi sirkus genjring akrobat dimulai. Seiring dengan perkembangan zaman, kesenian yang awalnya hanya diramaikan dengan alat musik rebana atau disebut genjring itu, kini dikreasikan dengan goong, melodi, dung-dung, organ tunggal, jaipong, hingga aksi akrobat.
 
Atraksi dimulai dengan tiga anak perempuan tidur telentang, dengan kaki menghadap langit-langit, sambil melempar-lemparkan balok dari bahan tripleks hanya dengan mengunakan telapak kaki. Mereka kemudian saling memindahkan balok satu dengan balok lainnya secara bergantian. Sesekali mereka membolak-balik balok 360 derajat hanya dengan telapak kaki.
 
Iringan musik genjring kian memberi semangat pada grup kaum Hawa ini. Balok diganti dengan seorang anak kecil yang duduk bersila di atas telapak kaki wanita paruh baya, yang tidur telentang beralas bantal. Anak kecil tadi lantas diangkat dan diputar menghadap kiri, kanan, depan, dan belakang.
 
Menurut Karyadi, untuk bisa melakukan atraksi genjring akrobat seperti itu, perlu latihan yang disiplin dalam jangka waktu yang tidak sebentar. "Kalau mau jago, ya, harus latihan mentahun-tahun karena ini nonsihir dan nonmistis. Modalnya itu latihan yang tekun," kata dia seusai penampilan genjring akrobat di Taman Budaya Jawa Barat.
 
Kemunculan genjring akrobat pada tahun 1940-an juga tak lepas dari penyebaran Islam di Cirebon. Dulu, genjring ini kerap dimainkan oleh para santri dengan iringan musik dua genjring berukuran besar. Kemudian, setelah muncul musala, bertambah empat buah genjring berukuran kecil. Sekitar 1960-an, digunakan empat genjring kecil, kemudian ditambah satu buah dog-dog. "Itu melambangkan, dalam sehari, salat ada lima waktu," kata Karyadi.
 
Untuk tetap melestarikannya, tahun 1964, seniman Cirebon bernama Kasbula, yang juga mertua Karyadi, mendirikan sebuah grup kesenian Genjring Putri Kuda Kecil. Grup tersebut menampilkan atraksi keterampilan keseimbangan tubuh para perempuan dari segala umur.
 
Kini, kesenian tradisi tersebut telah diwariskan pada Lilis Kasiri, anak perempuan Kasbula. "Genjring akrobat yang diperagakan oleh para perempuan ini adalah salah satu cara untuk mengenalkan kesenian tradisional pada generasi muda. Kalau yang melakukannya perempuan, kan jadi tambah unik," kata Lilis Kasiri.
 
Semakin malam, atraksi dari Genjring Putri makin menegangkan. Nasiti, 43 tahun, kembali menahan seorang anak yang bermain ''hula hoop'' di atas balok. Kali ini ditambah dengan dua anak kecil dan dua orang dewasa yang menempelkan badannya di samping balok. Belum puas dengan aksi tersebut, Nasiti lantas menjajal hasil latihan akrobatnya sejak umur 4 tahun. Ia mengangkat sepeda motor yang ditumpangi dua orang. Riuh penonton semakin ramai ketika Nasiti berhasil mengangkat sepeda motor beserta penumpangnya hanya dengan telapak kaki dalam waktu kurang dari satu menit.
 
 
{{Gegesik, Cirebon}}