Wangsa Karoling: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 66:
Selain orang-orang yang dikenai kewajiban militer karena memiliki lahan, ada pula prajurit-prajurit profesional yang bertempur di pihak wangsa Karoling. Jika pemilik lahan dengan luas tertentu berhalangan menjadi prajurit (perempuan, orang lanjut usia, orang sakit, atau pengecut), mereka tetap memiliki kewajiban militer. Sebagai ganti keikutsertaannya, mereka akan menyewa prajurit untuk maju bertempur atas nama mereka. Lembaga-lembaga seperti biara atau gereja juga diwajibkan mengerahkan pasukan untuk bertempur sesuai dengan jumlah kekayaan dan luas lahan yang mereka miliki. Bahkan sesungguhnya, penggunaan sumber-sumber daya milik lembaga-lembaga gerejawi untuk kepentingan militer sudah menjadi suatu tradisi yang dilestarikan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh wangsa Karoling.
 
Agaknya “sangat tidak mungkin bala tentara yang berkekuatan lebih dari seratus ribu prajurit, yang tentunya disertaiberikut sistem-sistem pendukungnya, dapat dikerahkan ke medan pertempuran dalam satu kali kali operasi saja.”<ref>Bachrach, 58.</ref> Oleh karena itu, setiap tuan tanah tidak diwajibkan untuk mengerahkan seluruh prajurit yang dimilikinya setiap tahun untuk maju berperang, sebaliknya wangsa Karoling yang akan memutuskan pasukan-pasukan seperti apa yang mereka perlukan dari setiap tuan tanah, dan apa saja yang harus dibawa oleh pasukan-pasukan itu. Dalam beberapa kasus, pengerahan prajurit untuk berperang dapat digantikan dengan pengerahanpenyerahan berbagai macam mesin perang. Agar dapat mengerahkan prajurit yang mumpuni, banyak lembaga membentuk pasukan-pasukan beranggotakan prajurit-prajurit yang terlatih untuk bertempur dan bersenjata lengkap. Prajurit-prajurit ini akan dilatih, dipersenjatai, dan dicukupi keperluannya agar maju berperang sebagai anggota pasukan bersenjata lengkap atas biaya tuan tanah atau lembaga yang mengerahkan mereka. Para kawula bersenjata ini hampir sama dengan tentara pribadi, “yang hidupnya ditunjang dari harta para pembesar yang sangat berkuasa, [dan] yang cukup penting artinya bagi tatanan militer dan peperangan yang dilakukan generasi Karoling terdahulu."<ref>Bachrach, 64.</ref> Wangsa Karoling juga membentuk pasukan-pasukan mereka sendiri yang menjadi “pasukan inti utama dalam angkatan bersenjata” {{Lang|la|''regnum Francorum''}}.<ref>Bachrach, 65.</ref>
 
Penerapan tatanan militer secara efektif inilah yang membuat wangsa Karoling berhasil melaksanakan strategi raya mereka. Strategi ini terdiri atas usaha-usaha yang ditekuni secara bersungguh-sungguh untuk membina kembali ''Regnum Francorum'' di bawah kekuasaan mereka. Bernard Bachrach mengemukakan tiga asas dalam strategi jangka panjang wangsa Karoling yang rentang waktu pelaksanaannya meliputi masa hidup beberapa generasi penguasa dari wangsa ini: <blockquote>Asas pertama… adalah bergerak keluar dengan penuh kewaspadaan dari daerah markas wangsa Karoling di Austrasia. Asas kedua adalah hanya menyerang dan menaklukkan satu daerah saja dalam satu kali peperangan sampai benar-benar tuntas. Asas ketiga adalah menghindari keterlibatan dengan perkara-perkara yang berlangsung di luar lingkup tapal batas ''Regnum Francorum'', atau melibatkan diri bilamana benar-benar perlu tetapi tanpa disertai niat dan usaha untuk melakukan penaklukan.”<ref>Bachrach, 49-50.</ref></blockquote>