Hukum Sali: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 58:
{{quote|sehubungan dengan ''terra Salica'', tak sebidang tanah pun diwariskan kepada seorang perempuan tetapi seluruh tanah menjadi milik kaum lelaki yang masih terhitung adik-beradik.}}
 
Menurut tafsir orang Franka Sali, aturan ini hanya melarang kaum perempuan mewarisi "Tanah Sali" warisan leluhur; larangan ini sama sekali tidak menghalangi kaum perempuan untuk mewarisi harta benda lain (misalnya [[personal property]]); dan pada masa pemerintahan Raja [[Kilperik I]] (''ca.'' 570), aturan ini diamandemen agar anak perempuan boleh mewarisi tanah jika si pewaris tidak memiliki anak laki-laki yang masih hidup (amandemen ini, tergantung cara penerapan dan penafsirannya, menjadi dasar hukum suksesi Semi-Sali atau hukum [[primogenitur|hak kesulungan]] yang mendahulukan laki-laki, atau pun kedua-duanya).<!--
 
Pilihan kata yang digunakan dalam rumusan hukum ini, maupun adat yang lazim berlaku sampai berabad-abad kemudian, tampaknya meneguhkan tafsir yang mengatakan bahwa warisan dibagi-bagikan kepada saudara-saudara dari mendiang pewaris. Dan, jika hukum ini dimaksudkan untuk mengatur alih kepemimpinan, maka dapat ditafsir mewajibkan penerapan [[senioritas agnatis]], bukan hak kesulungan langsung.<!--
The wording of the law, as well as common usage in those days sampai berabad-abad kemudian, seems to support an interpretation that inheritance is divided between brothers. And, if it is intended to govern succession, it can be interpreted to mandate [[agnatic seniority]], not direct primogeniture.
 
In its use by Continental hereditary monarchies since the 15th century, aiming at agnatic succession, the Salic law is regarded as excluding all females from the succession as well as prohibiting the transfer of succession rights through any woman. At least two systems of hereditary succession are direct and full applications of the Salic Law: [[agnatic seniority]] and [[agnatic primogeniture]].