Sartono (politikus): Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
k Perubahan kosmetik tanda baca |
||
Baris 30:
== Latar belakang dan keluarga ==
[[Berkas:Sartono n family.jpg|jmpl|200px|[[Bung Karno]] berada di tengah keluarga [[Sartono]]. Dari kiri ke kanan
Nama Sartono, berasal dari kata [[Jawa]], yaitu ''sarto'' dan ''ono''. Arti nama tersebut ialah "keberadaannya menjadi pelengkap". Kelak dalam perjalanan hidupnya terbukti Sartono selalu menjadi pelengkap dari kekurangan masyarakat atau bangsanya. Beliau lahir dari keluarga bangsawan. Nama kedua orang tuanya adalah Raden Mas Martodikaryo dan Raden Ajeng Ramini. Ayahnya adalah cicit dari [[Mangkunegoro II]], sedangkan ibunya adalah cucu dari [[Mangkunegoro III]].
Baris 65:
Pada bulan [[Maret]] [[1962]], Sartono menduduki posisi baru sebagai Wakil Ketua [[Dewan Pertimbangan Agung]]. Proses pengangkatan Sartono sebagai Wakil Ketua DPA ini dimulai pada 4 Maret 1962. Pada hari itu, [[Soekarno|Presiden Soekarno]] memanggil dia, [[Abdul Haris Nasution]], [[Juanda]], dan [[Chaerul Saleh]] untuk membicarakan tentang regrouping pemerintahan agar lebih efektif. Pertemuan tersebut dilanjutkan pada keesokan harinya, tetapi yang dipanggil hanya Sartono, [[Iwa Kusumasumantri]], dan [[Arifin Harahap]]. Baru keesokan harinya pengangkatan [[Sartono]] yang menggantikan [[Roeslan Abdulgani]] sebagai Wakil Ketua DPA diumumkan. [[Sartono]] dilantik sebagai Wakil Ketua DPA pada [[8 Maret]] [[1962]], dan pada tanggal [[9 Maret]] [[1962]] sebagai Wakil Menteri Pertama Kabinet Kerja.
Jabatan Wakil Ketua [[DPA]] dipegang oleh Sartono berkelanjutan hingga tahun [[1966]]. Selain menduduki jabatan tersebut, Sartono juga menjabat menteri ''ex offico'' dalam berbagai kabinet yang dipimpin oleh [[Soekarno|Presiden Soekarno]]. Bahkan, dalam [[Kabinet Dwikora II|Kabinet Dwikora yang Disempurnakan]], kedudukan Sartono menjadi Menteri Kompartemen Hukum dan Dalam Negeri, di mana ia membawahi Menteri-Menteri
Sewaktu di [[DPA]], Sartono tidak pernah lupa untuk selalu mengembangkan sistem demokrasi yang sehat di [[Indonesia]]. Melihat makin lemahnya penerapan demokrasi sejak pembubaran [[DPR]] hasil Pemilu, Sartono tergerak hatinya untuk menyampaikan suatu petisi. Pada tahun [[1962]], tidak berapa lama setelah diangkat sebagai Wakil Ketua DPA, Sartono melalui suatu panitia DPA mengusulkan agar pemerintah memperluas hak-hak [[demokrasi]] untuk rakyat. Salah satu rekomendasinya ialah saran untuk mencabut undang-undang darurat yang sudah beberapa lama berlaku. Pemerintahan [[Soekarno]] tidak lama kemudian mengikuti rekomendasi [[DPA]] tersebut.
|