Orang Tionghoa di Lasem: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 7:
Perekonomian mereka di [[Indonesia]] justru menjadi semakin maju ketimbang ketika berada di Tiongkok yang sarat dengan kekangan dari kerajaan. Dalam mengembangkan perekonomiannya, orang Tionghoa memegang teguh nilai-nilai seperti ketekunan, berhemat, mengandalkan diri sendiri, semangat dalam berusaha dan keterampilan, ditambah dengan prinsip-prinsip organisasi sosial yang mudah ditemukan dan dikendalikan.
 
Dalam perkembangannya, eksistensi orang [[Tionghoa]] juga harus berhadapan dengan keberadaan pemerintah kolonial [[Belanda]]. Semakin kuatnya eksistensi kolonial [[Belanda]] tidak serta merta membuat eksistensi orang Tionghoa di Lasem menyurut. Orang Tionghoa bahkan diberikan peranan atau posisi khusus untuk mengelola perekonomian sebagai usahawan dan membina jaringan perdagangan serta finansial yang menyeluruh; membentang dari pelabuhan-pelabuhan besar hingga ke pasar-pasar desa. Keberadaan orang [[Tionghoa]] di Lasem dalam perkembangannya tidak hanya dalam rangka berdagang. Mereka membaur dengan unsur dan budaya lokal sehingga beberapa peneliti kesulitan untuk mengenali jejak-jejak budaya [[Tionghoa]] generasi pertama yang muncul di Lasem. Mereka juga tidak hanya menjadi kelompok yang identik dengan perdagangan, mereka juga mempunyai minat menjadi petani, pengurus usaha pertanian bangsawan [[Jawa]] atau ''pachter'' (pengusaha tanah) pemerintah Belanda.<ref name=":1">Liem Twan Djie, Perdagangan Perantara Distribusi Orang-Orang CinaTionghoa di Jawa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995) </ref>
 
== Perubahan Pemukiman Tionghoa di Lasem ==
Keturunan Tionghoa yang bermigrasi ke Lasem tidak hanya berasal dari satu golongan, mereka terdiri dari berbagai macam golongan. Tempat tinggal para golongan tersebut di negeri asalnya (Tiongkok) juga tidak saling berdekatan. Sebagai misal, orang Tionghoa yang mendiami pemukiman Tionghoa di Lasem berasal dari daerah [[Fukien]] Selatan yang merupakan imigran terbesar di negara-negara [[Asia]] pada abad ke-19. Sama halnya dengan orang [[Tionghoa]] pada umumnya, mereka juga memiliki kepiawaian dalam berdagang dan memiliki etos kerja yang tinggi. Orang Tionghoa lain yang bermukim di Lasem adalah suku bangsa Hokka yang berasal dari Provinsi [[Guangdong]] di bagian CinaTiongkok selatan. Mereka lebih senang merantau ke daerah selatan dari tempat tinggal aslinya. Sementara itu, suku ''Tie Ciu'' dan ''Kwang Fu'' yang berasal dari pantai utara [[CinaTiongkok]] atau tepatnya pedalaman ''Swatow'' di bagian timur Provinsi Kwantung juga banyak mendiami pemukiman di Lasem.<ref name=":4" />
 
Dalam perkembangannya, pertumbuhan penduduk Tionghoa di Lasem menjadi semakin banyak jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di pantai utara [[Jawa]], seperti [[Jakarta]], [[Semarang]], dan [[Surabaya]]. Terlbih lagi ketika terjadi huru-hara pembantaian etnis Tionghoa di berbagai wilayah, Lasem menjadi pelarian banyak di antara mereka. Perasaan sebangsa dan senasib tentu menjadi pemicu tingginya orang [[Tionghoa]] yang bermigrasi ke Lasem dalam momentum itu. Namun demikian, berkaitan dengan pembrontakan yang pernah terjadi antara penduduk Lasem melawan VOC, pemerintah [[Belanda]] selalu menaruh kecurigaan kepada kota ini. Lasem dianggap seperti api dalam sekam yang perlu diawasi dan dikontrol. Akhirnya, Lasem yang semula adalah ibu kota kabupaten, diubah statusnya menjadi kecamatan. Kabupaten Lasem kemudian dipindahkan ke [[Rembang]]. Hal itu membuat pertumbuhan Lasem makin hari makin ditekan untuk tidak bisa berkembang. Perekonomian orang Tionghoa di Lasem pun semakin mengalami ketidakpastian. Begitu pula dengan wilayah pemukiman mereka, jika dibandingkan dengan kota-kota di Pantai Utara Jawa lainnya seperti [[Jakarta]], [[Semarang]], dan [[Surabaya]], pemukiman mereka terhitung sangat tidak berkembang.<ref name=":4" />
Baris 26:
Seiring berjalannya waktu, datanglah seorang penjual arak (''ciu'') pada tahun 1700-an di Lasem. Perantau tersebut juga berasal dari negeri [[Tiongkok]] yang tiba bertepatan dengan masa penjajahan [[Belanda]] berlangsung. Sang pendatang sangat terkejud ketika menyaksikan penduduk Tiongkok di Lasem mengalami penderitaan dan kesulitan ekonomi. Dengan rasa iba, ia akhirnya bertekad untuk menetap di Lasem dan membantu meningkatkan derajat perekonomian orang Tionghoa di sana. Ia kemudian memberikan pengetahuan kepada orang Tionghoa tentang cara membuat batik tulis. Mula-mula, ia yang mendirikan usaha batik tulis dengan memperkerjakan orang [[Tionghoa]] sebagai pekerjanya. Hal itu ia lakukan sembari mengajarkan kepada mereka keterampilan dalam membuat batik tulis. Lambat laun, orang Tionghoa berpikir untuk tidak selamanya menjadi pekerja atau buruh batik tulis. Mereka bertekad untuk memiliki usaha batik tulis sendiri. Dalam perkembangannya, usaha batik tulis tersebut rupanya lebih dari mampu untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Bahkan, industry batik tulis di Lasem menjadi berkembang lebih cepat berkat sentuhan tangan dingin orang [[Tionghoa]]. Mereka pun dikenal sebagai pengusaha batik tulis yang mahir di Lasem.
 
Berkaitan dengan motif dan stylenya, batik tulis Lasem juga sedikit banyak tersentuh oleh pengaruh budaya Tionghoa, [[Jawa Tengah]] ([[Solo]] dan [[Yogyakarta]]), serta pengaruh selera Pantai Utara Jawa. Beberapa contoh motif batik yang disebarluaskan oleh orang [[Tionghoa]] adalah motif naga (atau ''liong'' dari bahasa CinaTionghoa ''long'') dan motif swastika (''banji''), motif awan ‘Cina’‘Tionghoa’ mudah dikenali pada pinggiran yang sejajar yang diberi warna bergradasi (motif mega mendung, ‘awan mendung’) atau motif ‘kebun’ (tamansari), dengan tumbuh-tumbuhan di atas warna dasar cerah dan dipenuhi wadasan yang ditarik ke atas. Motif-motif tersebut kini dikenal baik oleh pengrajin maupun pecinta batik Jawa, bahkan menjadi sebuah kelaziman dan dikenal paling masyhur. Pengaruh budaya [[Tionghoa]] juga tercermin dalam motif berbentuk burung-burung ''Phoenix'' yang merupakan kekhasan dari budaya [[Tionghoa]]. Sementara pengaruh gaya batik Jawa Tengah tercermin dalam pusat seni batik yang selalu memiliki nilai filosofi.<ref name=":5">Rindita Anggarini Santosa, “Perkembangan Usaha Perbatikan di Kalangan Etnis CinaTionghoa di Lasem Tahun 1960-1998”. Skripsi S-1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2009.</ref>
 
Seiring berjalannya waktu, batik tulis Lasem kini menghadapi ancaman kepunahan. Berbagai permasalahan muncul yang mengarah pada ancaman kepunahan batik Lasem. Permasalahan mendasar yang dihadapi oleh industri batik tersebut adalah rendahnya minat generasi muda untuk melanjutkan usaha batik maupun menjadi pengrajin. Sebagian besar dari mereka lebih memilih untuk bekerja di sektor formal, baik di sekitar Kabupaten Rembang maupun di luar [[Kabupaten Rembang]]. Hal itu menyebabkan terjadinya dua masalah kritis dalam industri batik tulis di Lasem, berkurangnya aktor yang menekuni usaha batik tulis dan berkurangnya penghasilan bagi para penduduk di Lasem.<ref name=":2" />
Baris 37:
Dari [[Batavia]], terjadi pembantaian terhadap orang [[Tionghoa]] yang dilakukan oleh Belanda hingga membuat kurang lebih 1.000 orang [[Tionghoa]] di Batavia melarikan diri ke Lasem. Pada tahun 1741, pengungsian orang Tionghoa dari kota-kota lain ke Lasem juga terjadi menyusul pembantaian yang sama. Di Lasem, mereka diterma dengan baik oleh Tumenggung Oei Ing Kiat. Mereka bahkan juga diperkenankan untuk membangun perkampungan baru di tepi Sungai Kamandung (Karangturi), Pereng, dan Soditan. Orang Tionghoa yang mengungsi ke Lasem dari Batavia umumnya bekerja sebagai pedagang, pegawai pelabuhan, dan buruh kasar. Berpindahnya mereka ke Lasem dengan demikian menjadikan pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara [[Jawa]] dimasuki oleh tenaga kasar yang banyak. Mereka juga ada yang menjadi buruh tanu dan tambak milik penduduk setempat. Kehidupan orang [[Tionghoa]] dan pribumi yang harmonis itu tidak berlangsung lama. VOC membuat perjanjian dengan [[mataram]] yang menjadikan kekuatan mereka justru semakin kuat. VOC memiliki hak untuk membuka kantor dagang di [[Rembang]] dan [[Jepara]] serta berhak untuk mengangkat maupun memecat pejabat-pejabat kerajaan dna juga para adipati di pantai utara.<ref name=":3" />
 
Melihat hal itu, penguasa Lasem kala itu merasa bahwa kekuatan politik [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] itu akan menjadi ancaman nyata bagi Lasem. Ia pun merencanakan sebuah perlawanan bersama Tan Ke Wie dan Raden Panji Margono bersama dengan rakyat Lasem lainnya. Pertempuran itu berlangsung di perairan sekitar Jepara dan tidak memakan banyak waktu. Dalam waktu yang relative singkat, pasukan VOC berhasil memukul mundur pasukan Dampoawang Lasem. Kapal-kapal mereka hancur berkeping-keping setelah diterjang meriam panas yang dilemparkan oleh VOC. Sang pemimpin perlawanan, Tan Ke Wie, pun gugur dalam pertempuran itu. Setelahnya, Tumenggung Oei Ing Kiat menuliskan nama-nama pasukan yang gugur dalam sebuah prasasti yang ditulis dengan menggunakan Bahasa CinaTionghoa. Sejak saat itu, kekuasaan VOC di Kadipaten Lasem menjadi semakin kuat. Namun demikian, meskipun perlawanan rakyat Lasem banyak menuai kekalahan dan [[Belanda]] selalu memenangkan pertarungan, perlawanan tersebut telah memperlihatkan hubungan yang harmonis antara penduduk pribumi dengan orang Tionghoa. Peristiwa pemberontakan itu juga menjadi simbol kepahlawanan dan persatuan orang Jawa dengan [[Tionghoa]].<ref name=":7">Groeneveldt, W. P. ''Nusantara dalam Catatan Tionghoa''.(Jakarta: Komunitas Bambu, 2009).</ref>
 
Kedua, hubungan yang harmonis antara orang Tionghoa dengan Lasem juga tercermin dalam hubungan yang saling membutuhkan. Di akhir pemerintahan [[Orde Baru]], terjadi pembantaian etnis Tionghoa di di beberapa kota besar. Di Lasem justru terjadi hal yang berkebalikan, para elit yang ada justru saling bernegosiasi untuk mengamankan kota dari isu kekerasan. Mereka berupaya untuk meredam agar kekerasan serupa tidak terjadi di Lasem. Mereka melihat ancaman-ancaman itu sebagaimana yang pernah mereka alami pada masa kolonial [[Belanda]]; bersama dengan kaum santri, petani, nelayan, dan warga Tionghoa mereka melawan penjajah. Jadi, ketika warga Tionghoa akan diancam dengan berbagai macam tindak kekerasan, memori-memori perjuangan itu tumbuh kembali.<ref name=":7" />