Operasi Lintas Udara Pertama: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Karsinza (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Karsinza (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 9:
 
Mengingat sempitnya waktu, mereka hanya mendapat latihan di darat saja, berupa latihan teori terjun dan cara melipat payung. Mereka tidak sempat dilatih terjun dari pesawat. Lamanya latihan pun hanya satu minggu. Pada akhir latihan, terpilih 12 orang putra [[Kalimantan]] yang semua paham bahasa [[Kahayan|Dayak Kahayan]], ditambah dua orang dari PHB [[Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara|AURI]], yaitu Opsir Muda Udara I Hary Hadisumantri dari [[Kota Semarang|Semarang]] sebagai montir radio, dan Sersan Udara F.M Soejoto dari Ponorogo yang bertugas menjadi juru radio. Adapun pasukan payung berjumlah 14 orang ini, dipimpin Iskandar yang berasal dari Kabupaten [[Sampit]], [[Kalimantan Selatan]].
 
Tujuan dan tugas operasi penerjunan yang bersifat rahasia itu, adalah membentuk dan menyusun kekuatan inti gerilya di daerah asal suku [[Dayak]], Sepanbiha, untuk membantu perjuangan rakyat setempat; membuka stasiun pemancar induk, serta menyiapkan daerah penerjunan untuk operasi selanjutnya. Dua petugas PHB [[Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara|AURI]] beserta pemancar radio yang mereka bawa, diharapkan dapat menjadi “pemancar strategis”, sehingga perjuangan rakyat [[Kalimantan]] dapat dikoordinasikan dengan perjuangan di [[Pulau Jawa|Jawa]] dan [[Sumatra|Sumatera]].
 
== Jalannya Operasi ==
Baris 17 ⟶ 15:
Pesawat berangkat dari Yogyakarta pada tanggal 17 Oktober 1947 pukul 02.30 dini hari, dan waktu menunjukkan pukul 05.30 ketika melayang di atas kawasan rawa-rawa [[Kalimantan]]. [[Tjilik Riwut]] sempat ragu, tetapi setelah yakin bahwa mereka sudah ada di atas daerah Sepanbiha, maka para pemuda itu pun mulai melakukan penerjunan. Djarni batal meloncat karena takut. Adapun ke–13 anggota pasukan payung yang berhasil mendarat dengan selamat adalah  Hari Hadisumantri, Achmad Kosasih, (Mangkahulu), Iskandar, Ali Akbar (Balikpapan), Mica Amiruddin, Emmanuel  (Kahayanhulu), C. Williams (Kuala Kapuas), Morawi (Rantau Pulut), Bachri (Barabai), Darius (Kadingan), M. Dachlan (Sampit), J. Bitak (Kepala Baru), dan Suyoto.
 
Operasi pertama yang berlangsung pada tanggal 17 Oktober 1947 ini, disertai ''dropping'' alat-alat perlengkapan dan perbekalan untuk bergerilya di hutan. Beberapa orang tersangkut pohon-pohon tinggi rimba raya, tetapi tidak menjadi rintangan untuk mendarat tanpa cacat. Mereka baru berkumpul pada hari ketiga. Ternyata mereka tidak mendarat di Sepanbiha, tetapi dekat Kampung Sambi, di antara [[Sungai Seruyan]] di barat laut [[Rantau Pulung, Kutai Timur|Rantau Pulut]], [[Kotawaringin]]. Tidak semua ''parachut'' dapat ditemukan kembali, demikian juga persediaan amunisi, bahan makanan, alat perkemahan dan ''veldbed''. Andaikata tidak ada pengkhianatan dari Albert Rosing, seorang Lurah Kampung Mayang, yang menyebabkan mereka masuk perangkap, setelah 35 hari di hutan, pasti mereka berhasil.
 
Pada dini hari tanggal 23 November 1947, ketika orang masih tidur nyenyak, di sebuah ladang tepi Sungai Koleh (anak Sungai Seruyan), mereka dihujani peluru oleh sepasukan tentara [[Belanda]] yang menyerang dari 3 jurusan. Akibatnya tiga orang gugur seketika, yaitu Letnan Udara II Anumerta Iskandar, Sersan Mayor Udara Anumerta Achmad Kosasih, dan Kapten Udara Anumerta HariHarry HadisumantriHadisoemantri. Suyoto tertawan, sedangkan Dachlan yang mengalami luka berat di leher, bersama Bachri, Ali Akbar, Mica Amiruddin dan yang lain sempat meloloskan diri. Dengan tabah, sisa rombongan melanjutkan bergerilya, tetapi pengepungan pasukan [[Pemerintahan Sipil Hindia Belanda|NICA]] begitu ketatnya, sehingga akhirnya dua bulan kemudian mereka semua tertangkap.
 
Mereka dibawa ke [[Kota Banjarmasin|Banjarmasin]], dan kemudian ditawan di Penjara Bukitduri, [[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Jakarta]]. Tidak lama di Jakarta mereka dibawa kembali ke Banjarmasin, setelah itu mereka dikirim lagi ke Jakarta, masuk Penjara Glodok, kemudian dipindah ke Penjara Cipinang, lalu dijebloskan ke Penjara Bukit Batu di [[Nusakambangan|Nusa Kambangan]]. Pada waktu mendekati penandatanganan [[Konferensi Meja Bundar|KMB di Den Haag]], Belanda, mereka ditarik kembali ke Glodok dan akhirnya dikembalikan ke Yogya[[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]] dengan status bebas.
 
Demikianlah operasi penerjunan pasukan payung ini dilaksanakan sekaligus merupakan operasi lintas udara (linud) pertama bagi [[Tentara Nasional Indonesia|Angkatan Bersenjata Republik Indonesia]]. Meskipun tugas operasi [[Kalimantan]] itu gagal, tetapi kisah ''paratroop'' tersebut merupakan suatu peristiwa gemilang. Ini membuktikan bahwa para pejuang kemerdekaan dalam keadaan serba darurat dapat membina kekuatan yang tidak boleh dianggap remeh. Peristiwa inilah yang kemudian diperingati sebagai hari Pasukan Khas Angkatan Udara.
 
Untuk mengenang dan menghormati kepahlawanan para pelopor penerjunan  payung  yang  telah  mendahului  meninggal  dunia,  maka pimpinan AURI telah memerintahkan kepada FM. Sujoto, J. Bitak dan Dachlan untuk mengadakan ekspedisi ke Kalimantan guna memindahkan makam  ketiga temannya yang telah gugur, ke makam pahlawan Yogyakarta.  Demikianlah pada tanggal 15 Maret 1950 mereka bertolak dari Yogyakarta dan apabila dibandingkan dengan dua setengah tahun yang lalu, maka perjalanan sekarang ini adalah jauh lebih berbeda keadaannya, dimana udara tidak lagi diliputi oleh suasana pertikaian dan permusuhan dengan Belanda.