Iwan Dwiprahasto: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 34:
Berhubungan dengan hal di atas, pada 2011 Iwan Dwiprahasto dan dua peneliti lain melakukan riset tentang peran resep elektronik di unit [[rawat jalan]]. Peran utamanya adalah meminimalkan risiko fase ''prescribing'' dan ''transcribing,'' masing-masing yaitu mengurangi kesalahan baca dan pemilihan dosis terkecil atas tulisan tangan''.'' Iwan dkk. meneliti bagaimana pelaksanaan tersebut berpengaruh pada penerimaan dokter (secara deksriptif-kuantitatif) dan pemangkasan waktu tunggu resep terhadap apoteker ([[quasi eksperimen]] kuantitatif). Terdapat informasi bahwa sebanyak 62% pasien di empat RS umum di Yogyakarta mengaku kesulitan membaca resep miliknya. Kesulitan ini juga dialami oleh apoteker (25%) dan asisten apoteker (40%).<ref>{{Cite journal|last=Widayati|first=Aris|date=2007-11|title=Persepsi dokter, apoteker, dan pasien mengenai kelengkapan resep dan kemudahan pembacaan tulisan dalam resep (Legibility)di empat Rumah Sakit Umum di kota Yogyakarta periode Maret-April 2007|url=http://repository.usd.ac.id/8906/|journal=Jurnal Farmasi Sains dan Komunitas|language=id|volume=3}}</ref> Bagaimana sikap pengguna terhadap resep elektronik ditelaah melalui perspektif manfaat (nilai 0,004) dan persepsi kemudahan (nilai 0,003). Dari sini dapat diartikan bahwa pengguna menerima bentuk inovasi teknologi yang ada. Dokter dan instalasi dalam penelitian ini merasakan manfaat resep elektronik, yang mengerucut pada kesesuaian formularium pada peresepan. Validasi resep oleh petugas farmasi juga tidak lagi diperlukan karena kesalahan ''input'' data dapat diberi peringatan oleh komputer. Dalam hal waktu tunggu pasien saat pengambilan obat, rata-rata waktu tunggu secara statistik berbeda makna (p<0,001) dengan perbandingan waktu tunggu 13,9 ± 2,697 menit (resep elektronik) dengan 21,280 ± 6,612 menit (resep manual). Dapat disimpulkan bahwa waktu tunggu menjadi lebih pendek.<ref>{{Cite journal|last=Kusumarini|first=Putu|last2=Dwiprahasto|first2=Iwan|last3=Wardani|first3=PE|year=2011|title=Penerimaan Dokter dan Waktu Tunggu pada Peresepan Elektronik Dibandingkan Peresepan Manual|url=https://jurnal.ugm.ac.id/jmpk/article/view/2576|journal=Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan|volume=14|issue=03|pages=133-138|doi=}}</ref>
[[Berkas:Antibiotic resistance mechanisms.jpg|jmpl|252x252px|Mekanisme resistensi antibiotik di dalam tubuh manusia]]
Dalam tesis buatannya pada 19911992 di Universitas Newcastle yang dijadikan landasan analisa langkah-langkah pencegahan ''medication error,'' Iwan Dwiprahasto menemukan bahwa pemberian [[Antibiotik|antibiotika]] pada [[infeksi saluran pernapasan akut]] (ISPA) di layanan kesehatan swasta Yogyakarta tidak tepat. Angkanya mencapai 82%, di mana tidak berbeda antara [[dokter umum]] dan [[Dokter spesialis|spesialis]]. Pencegahan ''medication error,'' menurut Iwan, dapat dilakukan dengan memperbaiki [[Tata kelola perusahaan|tata kelola]] layanan rumah sakit, yang bermuara pada pengelolaan medik pasien secara terpadu.<ref>{{Cite journal|last=Dwiprahasto|first=Iwan|year=2004|title=Medical Error di Rumah Sakit dan Upaya untuk Meminimlkan Risiko|url=journal.ugm.ac.id|journal=Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan|volume=7|issue=01|pages=13-17|doi=}}</ref> Perlu diketahui sebelumnya bahwa sebagian besar ISPA umum disebabkan oleh [[virus]] (salesma, [[Influenza|flu]], [[bronkitis]], dan [[Radang paru-paru|pneumonia]] lainnya) dan dapat sembuh sendiri tanpa [[terapi medikamentosa]] (''self limiting disease''). Antibiotik hanya diberikan kepada ISPA yang disebabkan oleh bakteri, seperti kasus akut untuk [[rhinosinusitis]] dan bronkitis, serta bakteri penyebab [[otitis media]] dan [[faringitis]]/[[Radang amandel|tonsilitis]]. Konsumsi antibiotik yang berlebihan justru dapat menyebabkan resistensi antibiotik.<ref name=":4">{{Cite journal|last=Dwiprahasto|first=Iwan|year=2006|title=Peningkatan Mutu Penggunaan Obat di Puskesmas melalui Pelatihan Berjenjang pada Dokter dan Perawat|url=https://journal.ugm.ac.id/jmpk/article/viewFile/2740/2462|journal=Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan Universitas Gajah Mada|volume=09|issue=02|pages=94-101|doi=}}</ref><ref>{{Cite web|url=https://www.halodoc.com/tidak-semua-infeksi-memerlukan-pengobatan-antibiotik|title=Tidak Semua Infeksi Memerlukan Pengobatan Antibiotik|last=Redaksi Halodoc|first=|date=13-03-2019|website=Halodoc|access-date=18-06-2020}}</ref>
 
Besarnya pemberian antibiotika untuk ISPA diteliti kembali oleh Iwan Dwiprahasto secara retrospektif dengan maksud menciptakan model intervensi pelatihan penggunaan obat yang rasional. Penelitian ini dipublikasikan pada 2006 dan turut menelusuri penggunaan injeksi untuk penyakit [[Mialgia|myalgia]]. Lokus penelitiannya di 43 puskesmas di delapan kab/kota Prov. [[Sumatra Barat]]. Melalui penghitungan data resep, penelitian ini kembali mengkonfirmasi penggunaan obat berlebih untuk ISPA (antibiotik) dan myalgia (injeksi) berbentuk polifarmasi, yaitu penggunaan beberapa obat secara bersamaan dalam satu kondisi medis, baik kepada balita maupun dewasa. Peresepan seperti ini cenderung sama ditemui pada layanan dokter umum di layanan kesehatan swasta.<ref name=":4" />