Perbudakan modern: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
menambah tulisan
menambah tulisan
Baris 42:
Kerja paksa dapat diartikan sebagai pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang tanpa adanya kehendak pribadi dan dilakukan di bawah ancaman seperti kekerasan, intimidasi, dan bentuk ancaman-ancaman lainnya.atau dengan cara yang lebih halus seperti utang yang dimanipulasi, penyimpanan surat-surat identitas atau ancaman pengaduan kepada otoritas imigrasi.<ref name=":12" />
 
Kerja paksa atau ''forced labor'' merupakan perbuatan yang dikutuk oleh komunitas internasional, yang mana praktik jenis ini merupakan bentuk baru dari perbudakan. Definisi dari perbudakan terdapat dalam Konvensi tentang Kerja Paksa 1930 Pasal 1 Ayat 2 yang berbunyi ''“all work or service which is exacted from any person under the menace of any penalty and for which the said person has not offered himself voluntarily”.''<ref>ILO Forced Labour Convention, 1930 , ''United Nations Treaty Series,'' vol. 39, p. 55. </ref>Yang membedakan praktik kerja paksa dengan perbudakan tradisional adalah ketiadaan konsep kepemilikan dalam definisi kerja paksa. Namun secara jelas bahwa kerja paksa memiliki karakteristik dari perbudakan yaitu pembatasan terhadap kebebasan individu dan adanya elemen kekerasan yang dapat menimbulkan efek yang sama seperti korban-korban perbudakan tradisional ''(chattel slavery).''<ref name=":0" />
 
ILO melalui ''ILO’s Special Action Programme to Combat Forced Labour'' (SAP-FL) telah mengeluarkan 11 indikator yang dapat digunakan untuk menganalisis praktik kerja paksa atau ''forced labor.'' Indikator tersebut meliputi: (1) memanfaatkan kerentanan atau vulnerabilitas korban; (2) penipuan; (3) pembatasan pergerakan; (4) isolasi; (5) kekerasan fisik dan seksual; (6) intimidasi dan ancaman; (7) perampasan dokumen identitas; (8) pemotongan upah; (9) jeratan hutang; (10) kondisi kerja dan hidup yang tidak layak; dan (11) jam lembur yang berlebihan. Adanya satu indikator tunggal dapat menyiratkan bahwa seorang individu berada dalam situasi kerja paksa, namun dalam banyak kasus yang terjadi adalah kombinasi dari beberapa indikator secara bersamaan.<ref>{{Cite web|last=ILO|title=ILO Indicator of Forced Labor|url=https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed_norm/---declaration/documents/publication/wcms_203832.pdf}}</ref>
Baris 49:
 
==== Perdagangan Manusia ====
Perdagangan manusia dan perbudakan modern merupakan dua hal yang saling terkait satu sama lain. Mayoritas korban perbudakan modern juga merupakan korban dari perdagangan manusia, namun tidak semua korban perdagangan manusia akan terjebak dalam praktik perbudakan modern.<ref>Wetterö, T. (2015). ''An analysis of the Protocol and the Recommendation (2014) to the ILO Forced Labour Convention.'' Lund University, Sweden.</ref> Perbudakan modern lebih menekankan pada aspek eksploitasi tenaga kerja untuk tujuan ekonomi<ref>Justice, S., Esegbona, S., Arif, Z., & Scullion, J. (2011). Modern slavery. ''Open Learn,'' 22(4), 28–29.</ref>
 
==== Perbudakan Seksual ====
Kovenan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) tahun 1919, mengintruksikan kepada negara-negara anggota untuk berkolaborasi menekan perdagangan anak-anak dan perempuan untuk dieksploitasi secara seksual.<ref name=":0" /> Perbedaan perbudakan seksual dengan prostitusi ada tiga. Yang pertama, tidak adanya keuntungan finansial yang didapatkan oleh para budak tersebut. Yang kedua, perbudakan seksual melibatkan kontrol atau penguasaan absolut oleh seseorang terhadap orang lainnya. Yang terakhir, adanya ancaman kekerasan yang ditujukan kepada korban. Perbudakan seksual seringkali terjadi dalam konflik bersenjata atau ketika pendudukan suatu negara ke negara lain.<ref name=":0" />
 
Penggunaan budak-budak seks ketika waktu perang terjadi dalam bentuk ''camp'' pemerkosaan, ''comfort station'' (mirip rumah pelacuran) yang dilakukan oleh tentara Jepang pada masa [[Perang Dunia keduaII|Perang Dunia II,]] dan bentuk-bentuk pelecehan seksual lainnya. Tindakan tersebut tentu merupakan bentuk pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional. Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 melarang pihak-pihak yang berkonflik untuk melakukan ''“outrages upon personal dignity, in particular humiliating and degrading treatment”.''<ref>Geneva Conventions. (1949) ''United Nations Treaty Series,'' Vol. 75</ref>Kemudian, Protokol Tambahan I dan II mengandung pelarangan terhadap segala bentuk perbuatan yang tidak senonoh ''(indecent)'' terhadap perempuan dan anak-anak.<ref>Additional Protocol I and II Geneva Convention (1949)</ref>Namun berbagai instrumen hukum internasional yang ada belum merujuk pemerkosaan sistematis sebagai perbudakan seksual. Tercatat hanya Vienna Declaration and Programme of Action yang menegaskan perbudakan seksual sebagaimana berikut ''“All violations of this kind, including in particular murder, systematic rape, sexual slavery and forced pregnancy, require a particularly effective response.”''<ref>Report of the World Conference on Human Rights, United Nations document A/CONF.157/24 (1993), part II, para. 38.</ref>
 
==== Pernikahan Paksa ====