Perbudakan modern: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
menambah tulisan
menambah tulisan
Baris 108:
 
== Kasus Perbudakan Modern di Industri Perikanan Thailand ==
Praktik perbudakan modern di industri perikanan Thailand menarik perhatian komunitas internasional dalam lima tahun terakhir. Hal ini dibuktikan dengan pemberitaan media internasional seperti The Guardian (2014) dan Associated Press (2015) yang membahas keterkaitan praktik perbudakan di Thailand dengan rantai pasokan produk olahan ''seafood'' di pasar Amerika Serikat dan Eropa. Kasus ini juga mendapat perhatian dari NGO Internasional seperti EJF dengan judul publikasi ''“Sold to the Sea”'' dan dari Human Right Watch (HRW) yang berjudul ''“Hidden Chain”.'' Para penyintas yang berhasil diwawancarai menuturkan serangkaian ''labor abuse'' yang mereka alami. Sebagai contoh, HRW menarasikan cerita penyintas korban perbudakan Thailand dengan sebagai berikut:<blockquote>“Pada tahun 2011, Saw Win (57) bermigrasi ke Thailand dengan harapan untuk mendapatkan pekerjaan sehingga dapat menghidupi keluarganya di Myanmar. Dia menuturkan kepada Human Right Watch, bahwa dirinya berangkat ke Thailand melalui perantara yang ia temui di Kota Kawthaung yang berada di bagian selatan Myanmar. Perantara tersebut mengatakan bahwa Saw Win akan mendapatkan pekerjaan di sektor pengolahan makanan dengan gaji 4,5 USD setiap harinya. Namun setelah Saw Win menginjakan kaki di perbatasan Thailand, dirinya langsung diangkut dengan truk bersama raturan pekerja migran tanpa dokumen lainnya (''undocumented migrant workers).'' Truk yang dinaiki Saw Win kemudian berhenti di kota pelabuhan Kantang yang terletak di bagian pantai barat daya Thailand. Setelahnya, Saw Win beserta 124 pekerja migran lainnya dikurung dalam sebuah ruangan sempit, dan keesokan harinya mereka dipaksa bekerja di kapal penangkap ikan selama 3 bulan lamanya tanpa upah. Kemudian Saw Win dijual lagi oleh perantaranya ke kapal penangkap ikan yang bermarkas di Songkhla, bagian tenggara Thailand. Disana, Saw Win beserta pekerja migran lainnya mendapatkan perlakuaan kasar dari Kapten kapal penangkap ikan Thailand yang secara teratur memukuli kru dengan batang besi dan mengancam mereka dengan todongan senjata. Selain kekerasan seacra psikis, kubutuhan makan para buruh migran juga tidak tepenuhi, Saw Win menuturkan banyak rekan kerjanya yang meninggal karena kekurangan nutrisi, sehingga banyak yang terkena penyakit serius dan kemudian meninggal. Saw Win berhasil melarikan diri dengan terjun ke laut, kemudian diselamatkan oleh kapal berbendera Malaysia” (Human Right Watch, 2018).</blockquote>Berdasarkan data dari World Bank dalam (Testaverde, 2017) Thailand memiliki jumlah pekerja migran tertinggi di ASEAN dengan 3,76 juta pada 2015, yang terdiri dari 53 persen dari Burma, 26 persen dari Laos, dan 21 persen dari Kamboja. Sedangkan data statistik dari pemerintah Thailand menunjukkan hanya 1.726.415 pekerja migran yang terdaftar dari Burma, Kamboja, dan Laos pada kurun waktu November 2017 (Department of Employment, 2017).
 
Menurut Human Rights Watch (2018) jumlah pekerja migran di Thailand belum dapat diestimasikan dengan tepat, terlebih lagi jumlah pekerja migran di sektor-sektor perikanan. Human Right Watch (HRW) sendiri mengestimasi setidaknya terdapat 222.000 pekerja migran bekerja di industri perikanan Thailand. Melissa Marschke & Peter Vandergeest (2016) mendukung pernyataan dari HRW yang mengungkapkan adanya kesulitan dalam memperkirakan secara akurat jumlah pekerja di kapal penangkap ikan Thailand. Pada tahun 2012, survei yang dilakukan oleh National Fisheries Association of Thailand (NFAT) memperkirakan jumlah total pekerja di sektor perikanan mencapai 143.000 pekerja migran di 9500 kapal (ILO, 2013). Survei ini dianggap tidak merepresentasikan keadaan yang sebenarnya sebab mengecualikan pekerja yang bukan anggota dari NFAT. Sedangkan Environmenttal Justice Foundation (2013) memperkirakan sektor indutri perikanan di Thailand mempekerjakan lebih dari 650.000 orang, 200.000 diantaranya merupakan pekerja migran.
 
Survei yang dilakukan pada tahun 2017 terhadap 2000 pekerja migran di Thailand menunjukkan bahwa pelanggaran hak-hak pekerja dialami lebih dari separuh jumlah pekerja migran di enam sektor ekonomi yang berbeda, dengan tingkat tertinggi berada di sektor perikanan (Harkins, 2017). Di sektor perikanan, banyak pekerja migran lainnya yang memiliki nasib yang sama dengan Saw Win, mereka ditipu oleh perantara yang menjanjikan pekerjaan dengan nominal upah yang tinggi, namun kenyataannya mereka dijadikan budak di kapal-kapal penangkap ikan dengan kondisi yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap HAM, seperti tidak adanya waktu beristirahat, kekerasan verbal dan psikis bahkan sampai pembunuhan, gaji rendah, penahanan dokumen dan alat komunikasi (Mason, 2015).
 
Survei penelitian yang dilakukan oleh Stinger ''et al'' (2018) menunjukkan prakitk kerja paksa berdasarkan indikator yang dikeluarkan oleh ILO SAP-FL yang disajikan dalam tabel di bawah ini.
{| class="wikitable"
|+Tabel Praktik Kerja Paksa di Industri Perikanan Thailand
!No.
!Indikator
!Total Presentase
|-
|1.
|Memanfaatkan kondisi vulnerabilitas korban (Ketiadaan dokumen dan/atau tidak diijinkan untuk memperoleh dokumen resmi)
|72,1 %
|-
|2.
|Penipuan
|49 %
|-
|3.
|Kekerasan fisik
|38 %
|-
|4.
|Intimidasi dan ancaman
|59 %
|-
|5.
|Pemotongan upah/ upah tidak dibayar
|60,4%
|-
|6.
|Jeratan utang
|75%
|-
|7.
|Kondisi kerja dan hidup yang tidak layak
|81,6%
|-
|8.
|Jam kerja yang berlebihan
|66,9%
|}
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh Stringer et al. (2018)
 
kepada para penyintas didapati bahwa 66,9% diantaranya harus bekerja antara 16 sampai 24 jam per hari tanpa istirahat yang cukup. Kondisi jam kerja yang melebihi batas maksimum tanpa waktu istirahat yang wajar merupakan bentuk eksploitasi terhadap pekerja. ILO telah merumusukan beberapa instrumen terkait dengan hal tersebut, salah satunya adalah ''Hours of Work Convention 1930'' yang menetapkan standar maksimum jam bekerja sebesar 8 jam per hari (ILO, tanpa tahun). Dalam ''Universal Declaration of Human Rights 1948'' juga menyebutkan tentang hak pekerja untuk mendapatkan waktu istirahat yang layak, ketentuan ini tertuang dalam Pasal 24 yang berbunyi ''“Everyone has the right to rest and leisure, including reasonable limitation of working hours and periodic holidays with pay”'' (UDHR, 1948). Sedangkan menurut Undang-undang ketenagakerjaan Thailand, jumlah maksimum jam kerja adalah 8 jam sehari dan tidak lebih dari 48 jam seminggu. Majikan (pihak yang memperkerjakan) dan pekerja dapat setuju untuk mengatur periode jam kerja untuk beberapa jenis pekerjaan, sebagaimana ditentukan oleh undang-undang ketenagakerjaan Thailand, tetapi jumlah total jam kerja dalam hal apa pun tidak boleh melebihi 48 jam seminggu. Ketentuan tersebut berlaku untuk semua jenis pekerjaan termasuk pekerjaan yang dilakukan di bawah air, di terowongan bawah tanah atau di gua (Kementerian Ketenagakerjaan Thailand, tanpa tahun).
 
Bentuk eksploitasi selanjutnya adalah upah yang kecil atau tidak dibayarkan sama sekali. Berdasarkan tabel 2.3 disimpulkan bahwa 60,4% penyintas mengaku upah mereka terlalu kecil bahkan seringkali mereka tidak dibayar, hal ini terjadi karena upah yang mereka terima ditahan oleh agen/perantara atau untuk digunakan untuk membayar biaya rekrutmen yang menggunakan metode jeratan hutang. Tindakan tersebut tentunya melanggar instrumen HAM internasional yang berlaku, salah satunya adalah UDHR. Dalam Pasal 23 Ayar 2 UDHR secara jelas menyatakan bahwa ''“Everyone, without discrimination has the right to equal pay for equal work”'' (UDHR, 1948).
 
Hasil wawancara yang dilakukan oleh Stringer ''et al''. (2018) dalam tabel 2.3 juga menunjukkan adanya kekerasan fisik yang dialami oleh pekerja yaitu sebesar 38%. Para penyintas menuturkan penyiksaan fisik yang mereka alami seperti pemukulan dengan batang besi atau balok kayu, pencambukan dengan ekor ikan pari, dirantai di dek kapal, atau dikunci di lemari pendingin bersama dengan ikan- ikan hasil tangkapan. Para penyintas yang berhasil diwawancarai oleh Human Rights Watch (2018) menuturkan selain kekerasan fisik yang mereka alami, mereka juga mendapatkan perlakuan yang bersifat merendahkan harkat dan martabat sebagai manusia ''(humiliation),'' contohnya ketika nahkoda kapal secara sengaja menempatkan telapak kaki mereka di atas kepala para pekerja kapal. Tindakan tersebut merupakan bentuk penghinaan yang besar dalam tradisi agama Buddha di Asia Tenggara.
 
== Kasus Perbudakan Dalam Peradilan Pidana Internasional: Perbudakan Seksual dalam International Military Tribunal for the Far East (IMTFE/ Tokyo Trial) ==