Sarwo Edhie Wibowo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 45:
[[Jenderal]] [[TNI]] ([[Kehormatan latin|HOR]].) ([[Purnawirawan|Purn.]]) '''Sarwo Edhie Wibowo''' ({{lahirmati|[[Pangenjuru Tengah, Purworejo, Purworejo|Pangenjuru]], [[Purworejo]], [[Jawa Tengah]]|25|7|1925|[[Jakarta]]|9|11|1989}}) adalah seorang tokoh militer Indonesia. Ia adalah ayah dari [[Kristiani Herrawati]], [[Ibu Negara Indonesia|ibu negara Republik Indonesia]], yang merupakan istri dari Presiden ke-6 Republik Indonesia, [[Susilo Bambang Yudhoyono]]. Ia juga ayah dari mantan [[Kepala Staf TNI Angkatan Darat|KSAD]], [[Pramono Edhie Wibowo]]. Ia memiliki peran yang sangat besar dalam penumpasan Pemberontakan [[Gerakan 30 September]] dalam posisinya sebagai panglima [[RPKAD]] (atau disebut [[Kopassus]] pada saat ini). Selain itu ia pernah menjabat juga sebagai Ketua [[Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila|BP-7]] Pusat, Duta besar Indonesia untuk [[Korea Selatan]] serta menjadi Gubernur [[AKABRI]].
 
== AwalRiwayat kehidupanHidup ==
Ia lahir pada tanggal 25 Juli 1925 di [[Pangenjuru Tengah, Purworejo, Purworejo|Desa Pangenjuru Tengah]], [[Purworejo, Purworejo|Purworejo]] dari Pasangan Raden Kartowilogo dan Raden Ayu Sutini berasal dari keluarga [[PNS]] bekerja untuk [[Imperium Belanda|Pemerintah Kolonial Belanda]]. dan kemudian diberi nama Edhie. Namun karena sering sakit sakitan sesuai dengan adat Jawa, nama Edhie pundi ditambah Dengan Sarwo. Dan akhirnya namanya menjadi Sarwo Edhie, bahkan setelah menikah namanya menjadi Sarwo Edhie Wibowo. Sesuai pesan ayahnya, dengan harapan kelak ia memiliki kewibawaan. Meski berdarah bangsawan. Edhie tak segan-segan mengikuti permainan anak desa. Orangtuanya tidak pernah mengajarkan perbedaan kedudukan dengan orang lain. Sebagai seorang anak, ia belajar [[silat]] sebagai bentuk pertahanan diri. Saat ia tumbuh, Sarwo Edhie membentuk kekaguman terhadap [[Angkatan Darat Kekaisaran Jepang|Tentara Jepang]] dan kemenangan mereka melawan Pasukan [[Sekutu]] yang ditempatkan di Pasifik dan Asia.
 
Baris 54:
Teman satu kampung halamannya, [[Ahmad Yani]] yang mendorongnya untuk terus menjadi seorang tentara dan mengundangnya untuk bergabung dengan Batalion di [[Magelang]], [[Jawa Tengah]].
 
=== Karier militer ===
=== Karier hingga 1965 ===
 
==== Karier hingga 1965 ====
Karier Sarwo Edhie di ABRI, dia pernah menjadi Komandan Batalion di [[Kodam IV/Diponegoro|Divisi Diponegoro]] (1945—1951), Komandan Resimen Divisi Diponegoro (1951—1953), Wakil Komandan Resimen di [[Akademi Militer Nasional]] (1959—1961), Kepala Staf Resimen Pasukan Komando (RPKAD) (1962—1964), dan Komandan RPKAD (1964—1967).
 
RPKAD adalah usaha Indonesia untuk menciptakan sebuah unit pasukan khusus (yang kemudian akan menjadi [[Kopassus]]) dan pengangkatan Sarwo Edhie sebagai komandan unit elit ini berkat Ahmad Yani. Pada tahun 1964, Yani telah menjadi [[Kepala Staf Angkatan Darat]] dan menginginkan seseorang yang bisa dia percaya sebagai Komandan RPKAD.<ref>{{cite book|last= Djarot|first= Eros|authorlink=Eros Djarot|last2= et al.|title= Siapa Sebenarnya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30-S PKI|year= 2006|edition= 1|publisher= PT Agromedia Pustaka|location= Tangerang|language= Indonesia|page= 63}}</ref>
 
==== Menumpas Gerakan G30S ====
 
Selama Sarwo Edhie menjadi Komandan RPKAD [[Gerakan 30 September]] terjadi.
 
Baris 75 ⟶ 74:
Dengan situasi di Jakarta yang aman, mata Soeharto ternyata tertuju ke Pangkalan Udara Halim. Pangkalan Udara adalah tempat para Jenderal yang diculik dan dibawa ke basis Angkatan Udara yang telah mendapat dukungan dari gerakan G30S. Soeharto kemudian memerintahkan Sarwo Edhie untuk merebut kembali Pangkalan Udara. Memulai serangan mereka pada pukul 2 dinihari pada 2 Oktober, Sarwo Edhie dan RPKAD mengambil alih Pangkalan Udara pada pukul 06:00 pagi.
 
==== Transisi dari Orde Lama ke Orde Baru ====
Setelah mengambil alih Pangkalan Udara Halim, Sarwo Edhie bergabung dengan Soeharto karena keduanya dipanggil ke [[Bogor]] oleh Presiden [[Soekarno]]. Sementara Soeharto diperingatkan oleh Soekarno karena mengabaikan perintahnya, Sarwo Edhie terkejut dengan ketidakpekaan Soekarno dengan kematian enam Jenderal. Sarwo Edhi bertanya "Di mana para Jenderal?", Sukarno menjawab "Bukankah ini hal yang normal dalam revolusi?".<ref>{{cite book|last= Dake|first= Antonie C.A|title= Sukarno File: Kronologi Suatu Keruntuhan|year= 2005|edition= 4th|publisher= Aksara Karunia|location= Jakarta|language= Indonesian|page= 194}}</ref>
 
Baris 97 ⟶ 96:
Sarwo Edhie dukungan tegas dengan Soeharto sebagai yang terakhir mulai membuat bergerak untuk naik ke Kepresidenan. Factionally berbicara Namun, Sarwo Edhie milik faksi dijuluki oleh para ahli sebagai "Orde Baru Radikal". Bersama dengan [[Kemal Idris]] dan [[Kodam VI / Siliwangi]] Komandan [[Hartono Rekso Dharsono]], Sarwo Edhie ingin partai-partai politik harus dibongkar dan diganti dengan kelompok-kelompok non-ideologis yang menekankan pembangunan dan modernisasi.
-->
==== Penentuan Pendapat Rakyat ====
 
=== Penentuan Pendapat Rakyat ===
 
Untuk hal ini, Sarwo Edhie dipindahkan ke Irian Barat untuk menjadi Panglima [[Kodam XVII/Cendrawasih]]. Ia memimpin di sana hingga terselenggaranya "[[Penentuan Pendapat Rakyat]]", di mana Indonesia menganeksasi wilayah tanpa memegang referendum penuh, Sarwo Edhie memainkan peran utama dalam menghancurkan resistensi [[Papua]].<ref>[http://tapol.gn.apc.org/news/files/st040928.htm TAPOL, the Indonesian Human Rights Campaign]</ref>
<!--
Baris 175 ⟶ 172:
[[Kategori:Tokoh dari Purworejo]]
[[Kategori:Tokoh Angkatan 45]]
[[Kategori:Politikus Indonesia]]
[[Kategori:Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan]]
[[Kategori:Susilo Bambang Yudhoyono]]