Koto Gadang, IV Koto, Agam: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kalakutjet (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Kalakutjet (bicara | kontrib)
Penambahan kosmetika dan perincian lebih lanjut.
Tag: VisualEditor pranala ke halaman disambiguasi
Baris 13:
* Perempuan: 1310 jiwa
|nama_lain=''Kota Gedang''}}
[[Berkas:Tembok Gadang Koto Gadang.JPG|ka|jmpl|279px259x259px|Objek wisata [[Janjang Saribu]] diyang menyambungkan antara Koto Gadang dengan [[Kota Bukittinggi]] melalui [[Ngarai Sianok]].]]
[[Berkas:Masjid Nurul Iman Koto Gadang 2020 02.jpg|jmpl|258x258px|[[Masjid Nurul Iman Koto Gadang]] pada tahun 2020. Masjid ini merupakan pembangunan ulang dari masjid lama yang sebagian runtuh saat [[gempa bumi Sumatra 2007]] meluluhlantakkan Koto Gadang.]]
'''Koto Gadang''' adalah sebuah [[nagari]] (setingkat [[desa]]) di [[Kecamatan]] [[IV Koto, Agam|IV Koto]], [[Kabupaten Agam]], [[Provinsi]] [[Sumatra Barat]], [[Indonesia]]. Nagari ini terkenal sebagai penghasil kerajinan [[perak]] dan melahirkan banyak tokoh-tokoh tingkat [[Bangsa|nasional]] bahkan [[Antarbangsa|internasional]], seperti [[Ahmad Khatib Al-Minangkabawi|Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi]], [[Sutan Syahrir|Soetan Sjahrir]], [[Agus Salim|Haji Agus Salim]], [[Rais Abin|Jenderal Rais Abin]], [[Rohana Kudus]], dan banyak tokoh lainnya.
 
== Geografi ==
Nagari Koto Gadang terletak di dataran antara [[Gunung Singgalang]] dan [[Ngarai Sianok]] yang terletak di [[Altitudo|ketinggian]] antara 920 – 950 meter dari permukaan laut dengan [[suhu]] rata-rata berkisar antara 2730[[Celsius|<sup>o</sup>C]] hingga 16[[Celsius|<sup>o</sup>C]] pada malam hari. Nagari Koto Gadang memiliki luas wilayah 640 [[Hektare|Ha]] dengan batas-batas sebagai berikut:
Nagari Koto Gadang terletak di dataran antara [[Gunung Singgalang]] dan
[[Ngarai Sianok]] yang terletak di [[Altitudo|ketinggian]] antara 920 – 950 meter dari permukaan laut dengan [[suhu]] rata-rata berkisar antara 27[[Celsius|<sup>o</sup>C]] hingga 16[[Celsius|<sup>o</sup>C]] pada malam hari. Nagari Koto Gadang memiliki luas wilayah 640 [[Hektare|Ha]] dengan batas-batas sebagai berikut:
* Sebelah utara dengan Nagari [[Sianok Anam Suku, IV Koto, Agam|Sianok VI Suku]]
* Sebelah selatan dengan Nagari [[Koto Tuo, IV Koto, Agam|Koto Tuo]]
Baris 34:
# Kampung Baru
 
[[Penggunaan lahan|Penggunaaan lahan]] (tersensus pada tahun 2004) sebagian besar yaitu 300 [[Hektare|ha]] dimanfaatkan untuk areal [[Sawah|persawahan]], pemukiman[[Pemukiman|permukiman]] 42,8 [[Hektare|ha]] , daerah perkebunan 59 [[Hektare|ha]], serta sisa yang masih diliputi kawasan [[hutan]] dan [[Belukar|semak belukar.]]
 
=== Sawah ===
[[Berkas:Ngarai Sianok 24 Nov 2018 1.jpg|jmpl|257x257px|Pemandangan [[Ngarai Sianok]] dilihat dari Koto Gadang.]]
Sawah-sawah dibagi atas beberapa tumpak:
{{col|2}}
# Kubu
# Munggu
# Ladang lawehLaweh
# Kayu Katiak
# Campago
# Balai
# AurAua
# Pejajahan
# Bancah
# Bancah tangahTangah
# Batu Balirik
# Panta
Baris 58 ⟶ 59:
# Lurah Pulai
# Rawang
# Tabek / Belakang(belakang Masjid)
# Golek Aguang
# Talago
Baris 67 ⟶ 68:
# Banda Gadang
# Pugaran
# Banda Katiak
# BandaKatiak
# Banda Panjang
# BandaPanjang
# Sibutuang
# Puraweh
Baris 79 ⟶ 80:
 
== Sejarah ==
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Minangkabau-huis van Radja Mengkoeloe te Kotagedang nabij Fort de Kock Sumatra. TMnr 60003328.jpg|jmpl|200px238x238px|[[Rumah adatGadang|Rumah gadang]] [[Raja Mengkulu]] di Koto Gadang (sekitar tahun 1870)]]
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Een Minangkabau vrouw in Kota Gedong weeft slendangs die als huwelijksgeschenk zullen worden aangeboden aan Koningin Wilhelmina en Prins Hendrik TMnr 10014514.jpg|jmpl|238x238px|Seorang perempuan Koto Gadang sedang [[menenun]] sebuah [[selendang]] yang akan dipersembahkan sebagai hadiah pernikahan untuk [[Wilhelmina dari Belanda|Ratu Wilhelmina]] dan [[Pangeran Hendrik dari Belanda|Pangeran Hendrik.]]]]
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM De moskee te Kotagedang nabij Fort de Kock Sumatra. TMnr 60003330.jpg|jmpl|200px|Masjid Koto Gadang dengan corak asli Minangkabau (sekitar tahun 1870)]]
[[Berkas:Indonesië voorheen Nederlands-Indië, Mosdjul te Kota Gedang bij Fort de Kock. Sumatra, 1880-1910.jpg|jmpl|200x200px238x238px|[[Masjid Nurul Iman Koto Gadang|Masjid Koto Gadang]], antara medio 1880-1910.]]
Nagari Koto Gadang merupakan salah satu dari 11 [[nagari]] yang terletak di [[Kecamatan]] [[IV Koto, Agam|IV Koto]], [[Kabupaten Agam]]. Asal -usul Nagari Koto Gadang menurut sejarahnya (''[[Tambo Minangkabau|tambo]]'') dimulai pada sekira akhir abad ke-17, dimana ketika itu sekelompok kaum [[Nenek moyang|moyang]] yang berasal dari [[Pariangan, PadangpanjangTanah Datar|Pariangan]] mendaki dan, menuruni [[bukit]] dan [[lembah]], menyeberangi anak [[sungai]], untuk mencari tanah yang elok untuk dipeladangi dan dijadikan [[sawah]] serta untuk tempat pemukiman[[permukiman]].
[[Berkas:KITLV - 37389 - Demmeni, J. - Tulp, De - Haarlem - Minangkabau bride at Kota Gedang near Fort de Kock (Bukittinggi) - 1911.tif|jmpl|[[Pengantin perempuan]] [[Orang Minangkabau|Minangkabau]] dari Koto Gadang, dengan memakai ''[[Tikuluak Koto Gadang|tikuluak]]'' khas Koto Gadang, terpotret tahun 1911.]]
[[Berkas:Vrouwen aan het kantklossen, vermoedelijk in de Amai Setia School te Kota Gedang, KITLV 5556.tiff|jmpl|Gadis-gadis yang sedang belajar [[Renda|merenda]] di [[Yayasan Amai Setia|Amai Setia]] pada zaman kolonial Belanda.]]Setelah sekian lama berkembara, sampailah mereka di sebuah bukit yang bernama ''Bukik Kapanehan'' (Bukit Kepanasan). Disitulah mereka [[Mufakat|bermufakat]] akan membuat teratak, meneroka sawah, dan berladang yang kemudian berkembang menjadi sebuah perkampungan. Lama kelamaan, dikarenakan anak kemenakan bertambah banyak, tanah untuk bersawah dan berladang tidak lagi mencukupi untuk dikerjakan maka dibuatlah empat buah koto. Bercerailah kaum-kaum yang ada di bukit tersebut. Dimana 2 penghulu pergi ke [[Sianok Anam Suku, IV Koto, Agam|Sianok]], 12 penghulu dan 4 orang tua pergi ke [[Guguak, Lima Puluh Kota|Guguak]], 6 penghulu pergi ke [[Guguak Tabek Sarojo, IV Koto, Agam|Tabek Sarojo]], dan 24 penghulu menetap di Bukik Kapanehan. Karena penghulu yang terbanyak tinggal di koto tersebut, maka dinamakanlah kampung itu sebagai ''Koto Gadang'' (kota besar)
Setelah lama berjalan, sampailah di sebuah bukit yang bernama Bukit Kepanasan. Disitulah mereka bermufakat akan membuat teratak, menaruko sawah, dan berladang yang kemudian berkembang menjadi dusun. Lama kelamaan, dikarenakan anak kemenakan bertambah banyak, tanah untuk bersawah dan berladang tidak lagi mencukupi untuk dikerjakan maka dibuatlah empat buah koto. Bercerailah kaum-kaum yang ada di bukit tersebut. Dimana 2 penghulu pergi ke Sianok, 12 penghulu dan 4 orang tua pergi ke Guguk, 6 penghulu pergi ke Tabeksarojo, dan 24 penghulu menetap di Bukit Kepanasan. Karena penghulu yang terbanyak tinggal di koto tersebut maka tempat itu dinamakan Koto Gadang. Itulah nagari–nagari awal yang membentuk daerah IV Koto.
 
Kaum-kaum yang datang bersama ini kemudian membangun pemukimanpermukiman dan bernagari dengan tidak melepaskan adat kebiasaan mereka. Dengan bergotong -royong mereka membangun [[Rumah Gadang|rumah-rumah gadang]], sehingga sebelum tahun 1879 banyaklah rumah gadang yang bagus berikut dengan lumbungnya ([[rangkiang]]). Pada tahun 1879 dan 1880 terjadilah kebakaran besar sehingga memusnahkan perumahan-perumahan tersebut.
 
Penghidupan orang Koto Gadang sebelum Alam Minangkabau berada dibawah pemerintah [[Hindia Belanda]] ialah bersawah, berladang, berternak, bertukang kayu, dan bertukang emas dan perak. Pekerjaan bertukang emas dan perak anak negeri sangat terkenal di seluruh Minangkabau. Karena berkembangnya penduduk, hasil yang diperoleh dari persawahan tidaklah mencukupi lagi. MulailahMaka mulailah orang Koto Gadang pergi merantau ke negeri lain seperti [[Bengkulu]], [[Kota Medan|Medan]], [[Jakarta]], dan lain-lain.
 
Setelah pemerintah [[Hindia Belanda]] memerintah Alam Minangkabau, Koto Gadang dijadikan ibu nagari dari Kelarasan[[IV Koto, Agam|Kelarehan IV Koto]]. Dibuatlah susunan pemerintahan yang baru dengan ''Tuanku Lareh'' sebagai pemimpin yang memerintah di [[Kecamatan|kelarasan]] IV Koto dan ''Penghulu Kepala'' atau ''Wali Nagari'' sebagai pemimpin pemerintahan [[nagari]].
 
== Suku dan Jurai ==
=== Suku ===
Penduduk yang telah bermukim itu tersusun berdasarkan ''suku'' dan ''kaum'', yang dipimpin oleh Penghulu Suku yang disebut ''DatukDatuak''. Koto Gadang terbagi atas empat suku (''margasuku'' ([[marga]]) yaitu:
 
# [[Suku Sikumbang|Sikumbang]]:
## Sikumbang Mudiak: empat ''paruik''
## Sikumbang HilirHilia: empat ''paruik'' <br />Kaum – kaum ini dinamakan ''Sikumbang nan Salapan Hindu''
# [[Suku Koto|Koto]]:
## Koto nan ampekAmpek paruikParuik
## Koto nan tigoTigo paruikParuik <br />Kaum–kaum ini dinamakan ''Koto nan Tujuah Paruik''
# [[Suku Guci|Guci]]/[[Suku Piliang|Piliang]]:
## Guci terdapat tiga buah ''paruik'';
### Guci Pacah
### Guci Tabit Hanyir
### Guci Parit Tahampai
## Piliang terdapat tiga buah ''paruik'';
### Piliang Panjang
### Piliang Kamang / Piliang Tapi
### Piliang Kampuang Teleng <br />Kaum–kaum ini dinamakan ''Guci/Piliang nan Anam Panghulu''
# [[Suku Caniago|Caniago]]:
## Caniago Tapi
## Caniago Tangah
## Caniago Bodi<br />Kaum–kaum ini dinamakan ''Caniago nan Tigo Ninik.''
 
=== Jurai ===
''Jurai'' dibagi atas tiga:
# Jurai Mudiak
# Jurai Tangah
# Jurai Hilir
 
Itulah sebabnya dikatakan ''Koto Gadang nan tigoTigo juraiJurai nan ampekAmpek sukuSuku.''
 
== Nagari Terpelajar ==
Baris 135:
Besarnya semangat belajar anak-anak Koto Gadang, maka pada awal dekade 1900-an, negeri ini dikenal sebagai tempat kelahiran para pekerja birokrasi Belanda, seperti jaksa, hakim, guru, pegawai pajak, yang meliputi daerah tugas Sumatra, Kalimantan, dan Batavia. Menurut suatu laporan, pada 1915, diperkirakan 165 lelaki dari Koto Gadang bekerja sebagai pegawai pemerintahan Belanda. Hampir separuh (79 orang) bekerja di luar wilayah Minangkabau. Sebanyak 72 orang di antaranya lancar berbahasa Belanda, sebagai suatu bukti mereka berpendidikan baik.<ref>Saur Hutabarat, Orang Minang dalam Elite Indonesia, Majalah Tempo, 12 Juli 1986</ref>
 
Menurut laporan "Soeara Kemadjuan Kota Gedang" (1916), demi kepentingan pendidikan, para orang tua yang waktu itu berpenghasilan rata-rata 15 gulden per bulan, sanggup membayar uang sekolah anaknya yang mencapai 5 gulden per bulan. Sebelum ada [[HIS|Hollands Inlandsche School (HIS)]], Sekolah Dasar tujuh tahun dengan bahasa pengantar Belanda, dan [[MULO|Meer Uitgebreid Lager Onderwojs (MULO)]] berdiri awal tahun 1900, sudah banyak anak Minang bersekolah ke [[STOVIA]], sekolah tinggi kedokteran di Jakarta, atau NIAS di Surabaya, terutama anak-anak Koto Gadang. Menurut data pada tahun 1926, dokter lulusan [[Stovia|STOVIA]] asal Minang berjumlah 32 orang. Dan 16 tahun kemudian lompatan segera terjadi. Dimana pada tahun 1942, sejumlah 40 siswa asal Koto Gadang lulus dari [[Stovia|STOVIA]]. Angka ini hanya mencakup satu kanagarian saja di ranah Minang, dan belum termasuk nagari-nagari lainnya.
 
Semangat menuntut ilmu ini diteruskan sampai sekarang di Koto Gadang, yang akibatnya praktis setiap orang kampung di Koto Gadang melek huruf, pintar membaca dan menulis, serta pintar-pintar bahasa Belanda. Makanya jangan heran, tahun 1917, dari 2.415 penduduk, sebanyak 1.391 orang di antaranya sudah bekerja, antara lain 297 orang jadi ''ambtenar'' dan 31 orang menjadi dokter.
 
Penelitian yang dilakukan [[Mochtar Naim]] menunjukkan, di antara 2.666 orang yang berasal dari Koto Gadang pada tahun 1967, 467 atau 17,5% merupakan lulusan universitas. Di antaranya (168 (orang menjadi dokter, 100 orang jadi insinyur, 160 orang jadi sarjana hukum, dan kira-kira 10 orang doktorandus ekonomi dan bidang-bidang ilmu kemasyarakatan lainnya. Kemudian pada tahun 1970, 58 orang lagi lulus universitas. Jadi, dengan 525 orang lulusan universitas (tidak termasuk mereka yang bergelar sarjana muda), Koto Gadang yang punya penduduk kurang dari 3.000 tak terkalahkan barangkali oleh desa mana saja, bahkan tidak oleh masyarakat-masyarakat yang telah maju lainnya di dunia.
 
== Tokoh ==
Baris 153:
guru besar, rektor, atase, dokter, direktur BUMN, wali kota, menteri, dan sebagainya.
 
* [[Abdul Gani Rajo Mangkuto|Abdoel Gani Radjo Mangkoeto]], Guruguru, Pengusahapengusaha
* [[Ahmad Khatib Al-Minangkabawi]], ahli fikih dan imam besar [[Masjidil Haram]]
* [[Jahja Datoek Kajo]], Demang''[[demang]]'', Anggotaanggota [[Volksraad]] Fraksi Nasional
* [[Haji Agus Salim]], Pejuangseorang Kemerdekaanpejuang kemerdekaan, [[Menteri luar negeri|Menteri Luar Negeri]] 3 Juli 1947 – 20 Desember 1949, Pahlawan Nasional Keputusan Presiden Indonesia Nomor 657 Tahun 1961
* [[Rohana Kudus]], perempuan jurnalis pendiri surat kabar ''[[Soenting Melajoe]]'', Pahlawan Nasional Keputusan Presiden Indonesia No. 120/TK/2019
* Raihoel Amar Datoek Basa, penterjemah, Ahli pada Lembaga Bahasa dan Budaya [[Universitas Indonesia]]
* [[Mohamad Nazief|Mr. Dr. Mohamad Nazif Soetan Machoedoem]], Bendahara Perhimpunan Indonesia, Sekretaris Umum (''Algemeene Secretary'') pemerintah [[Hindia Belanda]]
Baris 165:
* [[Tamsil|Tamzil gelar Sutan Narayau]], Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 3 Juli 1947 – 29 Januari 1948
* [[Mohamad Razif]], Duta Besar RI untuk [[Malaysia]] 1957–1963 dan Duta Besar RI untuk [[India]] 1967–1971
* dr. Sagaf Jahja, Residen Djambi 1945, Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Tengah (Anggota) 1946-1950
* [[Djohan Sjahroezah]] , Pejuang Kemerdekaan, Tokoh [[Partai Sosialis Indonesia]]/PSI
* Joesoef Jahja St. Majo Lelo, Ketua Voetbalbond Indonesische Jacatra/VIJ Persija 1942-1955, Komite Nasional Indonesia Pusat (Anggota) 1945, Wakil Walikota Djakarta 1945-1947
Baris 266:
* Rumah Sakit Jiwa Dr. Marzuki Mahdi, RSJ Cilendek, Bogor, Jawa Barat
* Rumah Sakit TNI Angkatan Laut Dr. Azhar Zahir, Manokwari, Papua
 
== Lihat juga ==
 
* [[Janjang Koto Gadang|Janjang Saribu]]
* [[Masjid Nurul Iman Koto Gadang|Masjid Tapi Nurul Iman Koto Gadang]]
* [[Yayasan Amai Setia]]
* [[Ngarai Sianok]]
* [[Tikuluak Koto Gadang]]
* [[IV Koto, Agam|Kecamatan IV Koto]]
* [[Kabupaten Agam]]
 
== Referensi ==
* Azizah Etek, Mursjid A.M., Arfan B.R., ''Koto Gadang Masa Kolonial'', LKiS, 2007
* James, K.A., "''De Nagarie Kota Gedang''", Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur 49, 1916, pp.&nbsp;185–195
* Graves, Elizabeth E., "''The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in the Nineteenth Century''", Equinox Publishing (Asia) Pte Ltd, Singapore, 2010, pp.&nbsp;207–224
 
== Catatan kaki ==