Hamka: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
OrophinBot (bicara | kontrib)
OrophinBot (bicara | kontrib)
Baris 68:
Pada Juli 1924, Malik kembali memulai perjalanannya ke Jawa. Ia menumpang di rumah Marah Intan sesama [[perantau Minang]] dan bertemu adik ayahnya, [[Jafar Amrullah]] di [[Yogyakarta]]. Pamannya itu membawanya ke tempat [[Bagoes Hadikoesoemo|Ki Bagus Hadikusumo]] untuk belajar [[tafsir Al-Qur'an]]. Hamka menemukan keasyikan belajar dengan Ki Bagus yang mengupas makna ayat-ayat Al-Qur'an secara mendalam. Dari Ki Bagus, Malik mengenal [[Sarekat Islam]] dan bergabung menjadi anggota. Melalui kursus-kursus yang diadakan Sarekat Islam, ia menerima ide-ide tentang gerakan sosial dan politik. Di antara gurunya waktu itu adalah [[Oemar Said Tjokroaminoto|HOS Tjokroaminoto]] dan [[Soerjopranoto|Suryopranoto]]. Cokroaminoto menaruh perhatian kepada Malik karena semangatnya dalam belajar. Malik mengikuti kelas dengan tekun, sering bertanya dan menyalin pelajaran yang didapatnya.
 
Pergerakan Islam di Jawa telah memberi pengaruh besar bagi Malik. Dari pengalamannya di Yogyakarta, ia menemukan Islam sebagai suatu yang hidup, suatu perjuangan, dan suatu pendirian yang dinamis. Ketika perhatian [[Islam di SumatraSumatera Barat|umat Islam di Minangkabau]] terseret pada perdebatan praktik ritual Islam, ia mendapati organisasi dan tokoh-tokoh pergerakan di Jawa memusatkan diri pada perjuangan untuk memajukan umat Islam dari keterbelakangan dan ketertindasan. Setelah melewatkan waktu enam bulan di Yogyakarta, Malik bertolak ke [[Pekalongan]] untuk bertemu dan belajar kepada kakak iparnya, [[Ahmad Rasyid Sutan Mansur]].{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=15}} Pertemuannya dengan Sutan Mansur mengukuhkan tekadnya untuk terjun dalam perjuangan dakwah. Dari kakak iparnya, Malik mendapatkan kesempatan mengikuti berbagai pertemuan [[Muhammadiyah]] dan berlatih berpidato di depan umum.
 
Di Pekalongan, Malik bertemu ayahnya yang urung berangkat ke Mesir setelah ditundanya Kongres Kekhalifahan Internasional. Kegiatan Muhammadiyah menarik perhatian Haji Rasul sehingga saat kembali ke Minangkabau bersama Jafar Amrullah dan Marah Intan, Haji Rasul menginisiasi pendirian Muhammadiyah di Sungai Batang. Perkumpulan yang telah berdiri lebih dulu bernama Sendi Aman bertukar nama menjadi Muhammadiyah untuk diakui sebagai cabang dari Yogyakarta. Dari sinilah [[Muhammadiyah di SumatraSumatera Barat|Muhammadiyah menyebar ke seluruh daerah Minangkabau]] dengan bantuan bekas murid-muridnya. Dalam rangka mempersiapkan mubalig dan guru Muhammadiyah, Haji Rasul menggerakkan murid-murid Thawalib membuka Tabligh Muhammadiyah di [[Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam|Sungai Batang]]. Malik memimpin latihan pidato yang diadakan kursus itu sekali sepakan. Ia membuatkan pidato bagi yang tak pandai mengarang. Pidato-pidato yang bagus ia muat dalam majalah ''Khatibul Ummah'' yang dirintisnya dengan tiras 500 eksemplar. Malik melengkapi dan menyunting bagian pidato yang diterimanya sebelum diterbitkan. Gurunya Zainuddin dan pemilik percetakan Bagindo Sinaro ikut membantu pembuatan dan distribusi majalah. Beberapa orang belajar kepada Malik membuat materi pidato. Dari kesibukannya menulis dan menyunting naskah pidato, Malik mulai mengetahui dan menuangkan kemampuannya dalam menulis. Namun, karena alasan keuangan, penerbitan ''Khatibul Ummah'' hanya bertahan tiga nomor.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=17-19}}
 
Usaha memperkenalkan Muhammadiyah ke daerah Minangkabau memperoleh banyak tantangan dari kalangan Thawalib yang telah dipengaruhi komunis. Pengaruh paham itu mempengaruhi sikap murid-murid Thawalib terhadap Belanda secara radikal ketimbang ideologi yang berakar dari materialisme. Pada saat yang sama, golongan anti-komunis membatasi kegiatan mereka pada perjuangan pembaruan pendidikan tanpa menentang kedudukan Belanda secara terbuka. Peralihan perhatian ke bidang politik di kalangan guru dan pelajar Thawalib membuat Haji Rasul kecewa sehingga ia menolak mengajar di lembaga itu, walaupun lembaga itu kelak bersih dari golongan komunis.
Baris 110:
Kembali ke Padang Panjang pada 1934, Malik diserahi untuk memimpin [[MA KMM Kauman Padang Panjang|Kulliyatul Muballighien]] sebagai ganti ''Tabligh School'' yang sempat vakum sepeninggalnya.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=32-33}} Dengan lama belajar tiga tahun, lembaga ini dimaksudkan untuk menyiapkan mubalig dan guru sekolah menengah tingkat tsanawiyyah. Melalui Kulliyatul Mubalighin, ia mengajarkan murid-murinya berpidato dan mengarang.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=34}}
 
Pada 1934, ia diangkat menjadi anggota Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatra Tengah—yang meliputi SumatraSumatera Barat, Jambi, dan Riau.
 
== ''Pedoman Masyarakat'' ==
Baris 125:
Kedudukan Hamka sebagai tokoh Muhammadiyah menjadi perhatian Jepang. Pada 1944, Jepang mengangkatnya menjadi anggota ''[[Chuo Sangi-in]]'', yaitu menjadi penasehat dari Chuokan Sumatra Timur [[Letnan Jendral T. Nakashima]]. Ia menerima pengangkatannya karena percaya dengan janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Namun, sikap kompromistis dan kedudukannya dalam pemerintahan pendudukan menyebabkan Hamka terkucil, dibenci, dan dipandang sinis oleh masyarakat. Hamka mengungkapkan bahwa bulan Agustus sampai Desember 1945 adalah masa yang paling pahit selama hidupnya, berada di tengah kebencian dan penghinaan sampai-sampai di depan anak-anaknya ia berkata, "sekiranya tidak ada iman, barangkali ayah sudah bunuh diri." Hal ini membuatnya meninggalkan Medan dan kembali ke Padang Panjang. Hamka tiba di [[Aur Tajungkang Tengah Sawah, Guguk Panjang, Bukittinggi|Aur Tajungkang]], Bukittinggi pada 14 Desember 1945.
 
Kembali ke SumatraSumatera Barat, Hamka menulis untuk membuktikan bahwa dirinya bukan kaki tangan penjajah, melainkan bagian dari rakyat yang menginginkan perubahan. Pada masa ini terbit buku-bukunya, seperti ''Negara Islam'', ''Islam dan Demokrasi'', ''Revolusi Pikiran'', ''Revolusi Agama'', ''Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi'', dan ''Dari Lembah Cita-Cita''.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid IV|pp=12-13}} Ketika berlangsung Konferensi Muhammadiyah di Padang Panjang pada 22 Mei 1946, Hamka terpilih sebagai Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah SumatraSumatera Barat, menggantikan [[Saalah Yusuf Sutan Mangkuto|S.Y. Sutan Mangkuto]] yang diangkat menjadi [[Daftar Bupati Solok|Bupati Solok]]. Posisi sebagai ketua Muhammadiyah membuat Hamka mempunyai banyak kesempatan mengunjungi cabang-cabang Muhammadiyah untuk meningkatkan kegiatan penyiaran Islam.
 
Kiprah Hamka dalam perjuangan nasional kian meningkat berbarengan dengan terjadinya perang revolusi menentang kembalinya Belanda ke Tanah Air. Selama perang kemerdekaan, Hamka bersama para pemimpin dan para pejuang lainnya ambil peranan melawan Belanda. Menurut Emzita, seorang jurnalis yang mengikuti perang gerilya pasca-kemerdeaan, Hamka melakukan kegiatan "tablig revolusi". Ia menjadi penghubung krusial di antara ulama dengan kelompok-kelompok pejuang. Hamka memimpin [[Barisan Pengawal Nagari dan Kota]] (BPNK), pasukan rakyat yang besar sekali peranannya dalam perang gerilya melawan pasukan Belanda di SumatraSumatera Barat. Ia bergerilya masuk-keluar hutan, mengelilingi hampir seluruh nagari di SumatraSumatera Barat dan Riau untuk mengobarkan semangat perjuangan. Tatkala [[Front Pertahanan Nasional]] (FPN) dibentuk secara resmi di SumatraSumatera Barat pada 12 Agustus 1947,{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid IV|pp=99}} Hamka ditunjuk oleh [[Muhammad Hatta]] sebagai salah seorang pimpinan. Bersama-sama dengan pimpinan FPN lain, yaitu [[Khatib Sulaiman]], [[Rasuna Said]] dan [[Karim Halim]], FPN di SumatraSumatera Barat berhasil menghimpun tidak kurang dari 500.000 pemuda yang berusia antara 17–35 tahun.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid IV|pp=96}}{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid IV|pp=100-101}}{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid IV|pp=114-120}}
 
Saat tentara Belanda menduduki Padang Panjang tahun 1948, Hamka mengungsikan keluarganya ke Sungai Batang. Selama berbulan-bulan, Hamka tak bertemu anak-anaknya. Putra Hamka, [[Rusydi Hamka]] menuturkan, mereka hanya bisa memakan ubi dan bubur. "Waktu itulah, [[Aliyah Hamka|Aliyah]] nyaris menemui ajalnya karena terlalu sering mengkonsumsi ubi, membuat Aliyah terserang penyakit."