Abu al-Mafakhir dari Banten: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: pengguna baru menambah pranala merah VisualEditor
Baris 48:
 
Di tahun 1650, Cirebon mengirim kembali utusan atas perintah Mataram bernama Jiwaprana dan Nalawangsa untuk kembali membujuk Banten agar mau mengakui eksistensi dan superioritas Mataram, menurut Abul Mafakhir Jiwaprana kata-katanya manis dalam membujuk sultan untuk mengakui eksistensi Mataram di atas Banten namun sultan Abul Mafakhir tetap tidak bersedia.<ref name="titik23">Pudjiastuti, Titik. 2015. Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. [[Jakarta]]: Wedatama Widya Sastra</ref> Kegagalan Jiwaprana dan Nalawangsa dalam membujuk Abul Mafakhir untuk mengakui eksistensi Mataram membuat Penambahan Ratu II mengirimkan langsung kerabatnya yaitu Pangeran Martasari, Pangeran Suradimarta beserta para pengiring dan pejabat Cirebon bernama Wiratantaha.<ref name="titik23" /> Pangeran Martasari menyampaikan pesan agar Abul Mafakhir mau menemui Amangkurat I, serta eksistensi Mataram dan menghentikan serangan kepada Belanda, dimana permintaan ini ditolak Abul Mafakhir.<ref name="erwantoro2">Erwantoro, Heru. 2012. Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon. [[Bandung]]: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung</ref>{{Cquote|isun ora kena den ririhi maring Mataram iki, ana ratu nisun<br><br>saya tidak bisa dibujuk untuk pergi ke Mataram, saya punya raja sendiri<ref name=titik2/> (sultan Mekah yaitu [[Mehmed IV]])}}Pada pertemuan itu, cucu Abul Mafakhir yaitu [[Tirtayasa dari Banten|Pangeran Surya]] mengajak para utusan Cirebon agar mereka lebih baik bersekutu dengan Banten daripada dengan Mataram, dimana ia mengingatkan bahwa pengaruh Mataram sesungguhnya dapat mengancam kedaulatan Cirebon.<ref name="erwantoro2" /> Pernyataan Banten untuk tidak memenuhi permintaan Mataram ini kemudian disampaikan Pangeran Martasari kepada Panembahan Ratu II, yang sangat marah dengan kegagalan misi para utusan tersebut.<ref name="titik23" />
 
==== Perang Pacirebonan ====
Setelah kegagalan Pangeran Martasari dan Pangeran Suradimarta membujuk Banten, terjadi [[Peristiwa Girilaya]], yaitu peristiwa penahanan sultan Cirebon Panembahan Ratu II oleh Mataram di tahun 1650.<ref name="iswara">{{Cite web|title={{!}} Iswara, Prana Dwija. 2009. Sejarah Kerajaan Cirebon. &#91;&#91;kota Bandung{{!}}Bandung&#93;&#93;: Universitas Pendidikan Indonesia|url=http://iswara.staf.upi.edu/2009/07/18/sejarah-kerajaan-cirebon/|archive-url=https://web.archive.org/web/20161225115911/http://iswara.staf.upi.edu/2009/07/18/sejarah-kerajaan-cirebon/|archive-date=2016-12-25|dead-url=yes|access-date=2019-08-24}}</ref> Amangkurat I mengundang Panembahan Ratu II beserta kedua putranya untuk mengunjungi keraton Mataram di [[Keraton Plered|Plered]] sebagai penghormatan untuk penguasa baru Cirebon tersebut. Selepas acara penghormatan selesai, Panembahan Ratu II serta kedua putranya malah dilarang untuk kembali ke Cirebon<ref>Ekajati, Edi Suhardi. 2003. Sejarah Kuningan: dari masa prasejarah hingga terbentuknya kabupaten. [[Bandung]] : Kiblat Buku Utama</ref> dan tinggal di lingkungan Mataram sebagai tahanan hingga kematiannya.<ref name="iswara2">{{Cite web|title={{!}} Iswara, Prana Dwija. 2009. Sejarah Kerajaan Cirebon. &#91;&#91;kota Bandung{{!}}Bandung&#93;&#93;: Universitas Pendidikan Indonesia|url=http://iswara.staf.upi.edu/2009/07/18/sejarah-kerajaan-cirebon/|archive-url=https://web.archive.org/web/20161225115911/http://iswara.staf.upi.edu/2009/07/18/sejarah-kerajaan-cirebon/|archive-date=2016-12-25|dead-url=yes|access-date=2019-08-24}}</ref> Penahanan ini memicu krisis di Cirebon dikarenakan kosongnya kepemimpinan. Amangkurat I memerintahkan Pangeran Martasari untuk menyerang Banten, dimana perintah dari Mataram ini disanggupi Martasari karena sultan Cirebon sedang dalam penawanan.<ref name="yuyun2">Juariyah, Yuyun. 2016. Jurnal al-Tsaqafa : Menelusuri Jejak Islamisasi Tatar Sunda Melalui Naskah Kuno. [[Bandung]] : Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Jati</ref>
 
Banten dan Mataram lalu terus bermusuhan hingga terjadi [[Pemberontakan Trunajaya]] di tahun 1674.<ref>{{Cite book|last=Kartodirdjo|first=Sartono|date=1987|url=https://books.google.com/books?id=TYYeAAAAMAAJ&newbks=0&printsec=frontcover&dq=Pemberontakan+Trunajaya+Banten&q=Pemberontakan+Trunajaya+Banten&hl=en|title=Pengantar sejarah Indonesia baru, 1500-1900: Dari emporium sampai imperium|publisher=Gramedia|isbn=978-979-403-129-2|language=id}}</ref>